Saturday, August 6, 2011

2 Kaidah Fikih : استعمال النّاس حجّة بجب العمل بها dan انّما تعتبر العادة اذا اطرّت او غلبت

A. Pendahuluan
بسم الله الرّحمن الرّحيم
الحمد لله ربّ العالمين وبه نستعين على أمور الدّنيا والدّين و الصّلاة والسّلام على سيد المرسلين سيّدنا محمّد وعلى اله وصحبه أجمعين أمّا بعد
Kehidupun kita di dunia ini, tidak lepas dari berbagai problem. Khususnya problem dalam melakukan ibadah. Kita selalu bertanya-tanya apakah yang saya lakukan ini benar? Atau terkadang kita tidak mau melakkukan sesuatu yang kemungkinan memiliki nilai ibadah, hanya lantaran ragu akan kebenaran yang akan kita lakukan. Seperti contoh : Tradisi di daerah sumatra khususnya suku semenda, para orang tua tidak membagi harta warisannya untuk anak turunya, secara Islami (menggunakan ilmu waris) melainkan memakai sistem bagi rata antar saudara. Padahal, apabila kita mempelajari ilmu fikih, maka kita akan menjumpai hadits yang bermaknakan أن تراض“saling merelakan” dengan artian tidak apa-apa membagi harta warisan dengan jalan membagi rata warisan tersebut, asal semua pihak terutama kaum laki-laki yang memang seharusnya mewarisi lebih banyak daripada pihak perempuan saling rela. Hal ini hanya contoh segelintir permasalahan yang terkadang menjadi besar akibatnya apabila tidak mengetahui dasarnya. Dengan ilmu kaidah fikhiyah yang menjadi mata kuliah kita ini kita bukan hanya mempelajari fikih, lebih dari itu dengan kaidah fikhiyah ini kita mampu membuat produk hukum (fikih) baru dengan tetap pada koridor yang benar.
Dalam makalah sederhana dan membutuhkan banyak kritikan dan masukan yang membangun ini akan membawakan sub-sub makalah dan dua topik kaidah sebagai berikut :
A. Pendahuluan
B. Pembahasan
1. Kaidah pertama : استعمال النّاس حجّة بجب العمل بها
a. Maksud Kaidah
b. Tujuan Kaidah
2. Kaidah kedua : انّما تعتبر العادة اذا اطرّت او غلبت
a. Maksud Kaidah
b. Tujuan Kaidah
3. Dasar Kedua Kaidah
4. Contoh Aplikasi Kaidah
5. Analisis Penulis
C. Kesimpulan

B. Pembahasan
1. Kaidah pertama
استعمال النّاس حجّة يجب العمل بها
Artinya : Hujjah (dalil/statement/argument) yang sudah lumrah dalam kalangan suatu kelompok (manusia) haruslah digunakan (selama dalil itu tidak bertentangan dengan syari’ah).

a. Maksud kaidah
Maksud dari kaidah ini yang jelas yang dimaksud dari isti’maal sama artiannya dengan al ‘aadah (diambil kata kebiasaan) .
Yang sudah menjadi kajian kita pada pertemuan yang telah lewat. Adat secara bahasa berarti sesuatu yang dikerjakan atau diucapkan berulang-ulang, sehingga dianggap baik dan akhirnya diterima oleh jiwa dan akal sehat istilah lainnya adalah ‘urf. Keduanya mempunyai arti sesuatu yang telah menjadi kebiasaan manusia dalam hal muamalat, baik dengan perkataan atau perbuatan.
Maksudnya adalah apa saja yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat umm, maka itu menjadi pengangan atau suatu peraturan yang setiap anggota masyarakat wajib untuk mentaatinya. Hal ini berlaku selama kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan syara’.

b. Tujuan Kaidah
Apabila kita cermati kaidah ini, maka jelas bahwa kaidah ini mempunyai tujuan untuk menguatkan kaidah Al ‘Adah Muhakkamah dari segi kehujjaannya. Karena kaidah tersebut erat kaitannya dengan adat, maka tidak terlepas fungsinya bagi adat itu tersendiri. Selain itu, dapat juga menjadi pegangan bahwa adat yang sudah berjalan tersebut wajib diamalkan karena menjadi suatu hukum.
Dalam pemerintahan yang ada diNegara kita, hal ini dapat disebut dengna istilah hokum adat. Dijelskan dalam salah satu buku bahwa hukum adat itu memiliki 2 unsur, yaitu :
Untuk Kaidah Pertama :
* Unsur Psychologis : bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat bahwa adat dimaksudkan mempunyai kekuatan hukukm
Untuk Kaidah Kedua :
* Unsur kenyataan : bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat.

2. Kaidah kedua
انّما تعتبر العادة اذا اطّردت او غلبت
Artinya : tentunya tradisi itu bisa digunakan (sebagai acuan hukum) ketika tradisi tersebut berlaku terus-menerus dan bersifat umum.

a. Maksud Kaidah
Yang dimaksud dengan Adat yang terus-menerus berlaku adalah kebiasaan tersebut berlaku secara holistic (dalam setiap ruangan dan waktu), sedangkan kebiasaantersebut dilakukan oleh mayoritas public. Artinya tidak dianggap kebiasaan yang biasa dijadikan pertimbangan hukum, apabila ada kebiasaan itu hanya sekali-kali terjadi dan tidak berlaku secara umum. Kaidah ini adalah termasukdalam kategori syarat daripada adat, yaitu terus-menerus dilakukan dan bersifat umum (keberlakuaanya).

b. tujuan kaidah
Ada tujuan tertentu yang tersirat dari kaidah di atas yaitu memberikan batasan-batasan daripada adat untuk dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menetapkan suatu hukum. Yaitu diharuskannya kebiasaan tersebut berlaku secara umum dan kontinyu.
Dalam penjelasan mengenai beberapa batasan (syarat) yang harus ada pada ‘urf, para ulama’ menyebutkan sebagai berikut :
 Harus berlaku secara umum
 Harus sudah berlaku ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul
 Tidak bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan dalam suatu transaksi
 Harus tidak bertentangn dengan nash.

3. Dasar dari kedua kaidah
Yang menjadi dasar dari kedua kaidah diatas adalah kaidah al’aadah muhakkamah, di dalamnya masih bersifat umum. Sehingga keduanya adalah termasuk menjadi bagian cabang daripadanya yang berperan sesuai dengan apa yang menjadi perannya masing-masing.
Untuk ayat Al-Qur’an ataupun Al-Hadits yang menjadi dasar dari kedua kaidah di atas adalah sama dengan apa yang ada dalam kaidah pokok (Al-aadah muhakkamah)
Kata ‘urf yang ada pada surat Al-A’raf ayat 199 dapatlah diartikan sesuatu yang baik yang telah menjadi kebiasaan di masyarakat.
Dalam Al-Hadits juga dijelaskan mengenai kaa ma’ruf yang diartikan sebagai kebiasaan yang berlaku. Dalam hal ini yaitu mengenai masalah Hindun bintu ‘Utbah (istri Abu Sufyan) :
عن عائشة أن هند بنت عتبة قالت يارسول الله انّ أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي الا ما اخذت منه وهو لايعلم فقال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (رواه البخاري)
4. Contoh Aplikasi Kedua Kaidah
a. Diperbolehkannya jual beli dengan akad pesanan, yang dalam hal ini dijelaskan bahw Nabi Muhammad SAW juga melakukannya
b. Menjaahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi kebiasaan yang berlaku adalah benang dari tukang jahit
c. dll.

5.Analisis Penulis
Kaidah di atas dapat kita gambarkan dengan banyak fenomena yang terjadi saat ini dengan menyesuaikan definisi dan batasan-batasan yang sudah ditentukan. Dalam hal ini, telah jelas bagi kita bahwa kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlaku di masyarakat umum sebelumnya (adat), dapat dijadikan sebagai alas an atau argument bagi seseorang apabila terjadi perselisihan. Dalam arti seseorang dapat menuntut dengan alas an adat yang sudah berlaku begini ataupun begitu, dan juga seseorang dapat mengelak dari tuntutan seseorang karena adat yang ada di daerah ini seperti ini.
Menjadi sesuatu hal yang sangat penting untuk memahami adat istiadat dalam hal ini, karena dalam ruang lingkkup kehidupan, kita tak terlepaskan dari interaksi dengna sesame yang kemudian dalam perkembangannya menjadi kebiasaan-kebiasaan yang tak terasa menjadi tradisi di masyarakat umum.

C. Kesimpulan
Penulis Menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Penentuan hukum tidaklah dapat terlepaskan dari keterkaitannya dengan ruang dan waktu
2. Adat selalu menjadi pijakan asal dalam proses penetapan hokum, sebab apabila adat diabaikan maka berarti juga mengabaikan kehidupan social.
3. Berubahnya adat itu memicu pada perubahan hokum yang akan dihasilkan.
4. Adat adalah sesuatu hokum yang tidak tertulis, yang dapat dijadikan hujjah apabila sesuati dengan batasan-batasan (syarat-syarat)-nya.

Banyak jalan yang mudah dalam agama Islam, maka janganlah terlalu mem persulit diri dengan membatasi kita beraktivitas dalam keseharian. Namun kiranya penulis sedikit memberi masukan, walaupun agama ini mudah dan bersahabat, seyogyanyalah kita tetap mendekatkan diri kepada Allah, dengan tidak menggampangkan hukum yang telah Allah SWT tentukan.

Daftar Pustaka
Adib Bisri Drs. Moh., Terjamah Al Fafaidul Bahiyyah, Rembang : Menara kudus

Ahmad bin Muhammad az-Zarqo, Syarhu Kawaid Fiqhiyah Damaskus : Daru al-Qolam 1996

Djazuli A. , Kaidah-kaidah Fiqih, 2006, Kencana Prenada Media Group Jakarta

Ridwan Kafrawi DKK, Ensikopedia Islam, PT. Ictiar Baru : Jakarta, 1999

Saiban Kasuwi, Metode Ijtihad Ibnu Rusyd. Kutub Minar : Malang 2005

Sidqi Muhamad bin Ahmad Al-Burnu, Al-wajiz, Muassasah Ar-Risalah : Beirut, 1983

SurojoWignjodipuro, Pengantar dan Azaz-azaz Hukum Adat, alumni : Bandung, 1979









استعمال النّاس حجّة يجب العمل بها
انّما تعتبر العادة اذا اطرّت او غلبت
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Seminar Kelas
Materi kuliah: Kaidah Fikih
Dosen pengampu: H. Zaienu Zuhdi. Lc, M.Hi.





Oleh: Rahmat







SEKOLAH TINGGI MA’HAD ‘ALY AL HIKAM MALANG
2011

No comments:

Post a Comment