Monday, November 14, 2011

Ushul Fiqh/Fikih dan pengeritan, ruang lingkup, tujuan/keguanaan, sejarah beserta aliran-alirannya.



BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

          Pada waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut hadist atau sunnah Al-Qur’an dan penjelasannya disebut “Sumber pokok hukum Islam”
          Bila para sahabat Nabi menemukan kejadian yang timbul dalam kehidupan mereka dan memerlukan ketentuan hukumnya, mereka mencari jawabannya dalam Al-Qur’an. Bila tidak menemukan jawabannya secara harfiah dalam Al-Qur’an maka mereka mencobanya dengan mencari dalam koleksi hadist Nabi. Bila dalam hadist Nabi tidak juga ditemukan jawabannya, maka mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadist. Mereka selalu mendasarkan pertimbangan dalam usaha memelihara kemashlahatan umat. “Yang menjadi dasar penetapan hukum syara”
          Dengan cara seperti itulah, Muaz Ibnu Jabal memberikan jawaban kepada Nabi dalam dialog diantara keduanya sewaktu Muaz diutus Nabi ke Yaman untuk menduduki jabatan Qadhi.
          Nabi : “Bagaimana cara anda menetapkan suatu hukum bila kepada anda dihadapkan perkara yang memerlukan ketetapan hukum?”
Muaz : “Aku menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah.”
Nabi : “Bila anda tidak menemukan dalam Kitab Allah?”
Muaz : “Aku menetapkan hukum dengan sunnah Nabi.”
Nabi : “Bila dalam sunnah, anda juga tidak menemukannya?”
Muaz : “Aku melakukan ijtihad dan aku tidak gegabah dalam ijtihadku.”
Jawaban Muaz dengan urut-urut seperti itu mendapat pengakuan dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian para ulama Mujtahid merasa perlu menetapkan dan menyusun kaidah yang dijadikan pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memperhatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan menggunakan bahasa arab secara baik.
Kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang disebut Ushul Fiqih.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIA USHUL FIQH
          Untuk mengetehui arti ushul fiqh harus diketahui arti “ushul” dan “fiqh”, ushul fiqh terdiri atas dua kata yang masing-masing mempunyai pengertian luas yaituushul ( ) dan fiqh( ).Dalam bahsa arab,ushul merupakan jamak dari ashl ( ) yang mengandung arti “fondasi sesuatu, baik bersifat materi ataupun non materi”.Dalam pengertian lain, ushul ialah sumber atau dalil. Fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syara tentang perbuatan orang mukkallaf, sperti hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya suatu perbuatan dan lain-lain. Orang yang mengetahui hukum-hukum itu disebut faqih.
          Hukum-hukum tersebut ada sumbernya (dalilnya), yaitu Al-Qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas. Secara terminologi, kata Ashl mempunyai beberapa pengertian yaitu:
1. Dalil/ : (Landasan hukum), seperti ungkapan para ulama ushul fiqh, “Ashl dari wajibnya sholat adalah firman Allah dan sunnah Rasul”. Maksudnya yang menjadi kewajiban sholat adalah ayat Al-Qur’an dan sunnah.
2. Qa’idah/ : (Dasar fondasi), seperti sabda Rasul SAW :
           Artinya : Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).
3. Rajih/ : (Yang kuat), seperti ungkapan para ahli ushul fiqh:
           Artinya : yang terkuat dari (kandungan) suatu ungkapan adalah arti hakikatnya.
Maksudnya, setiap perkataan yang didengar/dibaca, akan menjadi patokan adalah makna hakikat dari perkataan itu. Contoh lain dikatakan ulama ushul fiqh,
          Artinya : Al-Qur’an itu dasar dari qiyas.
Maksudnya, Al-Qur’an itu lebih kuat dari qiyas. Bisa juga diartikan : Al-Qur’an itu menjadi dasar dari qiyas.
4. Far’ul/ : (cabang), seperti ungkapan para ungkapan para ushul fiqh:
          Artinya : anak adalah cabang dari Allah
5. Mustasshab/ : (memperlakukan hukum-hukum yang ada sejak semula, selama tidak ada dalil yang merubahnya).
          Misalnya: seseorang yang telah berwudhu meragukan apakah ia masih suci atau sudah batal wudhunya. Tetapi, ia merasa yakin betul belum melakukan sesuatu yang membatalkan wudhu. Atas dasar keyakinan ini, ia tetap dianggap suci (masih berwudhu).
          Dari kelima pengertian ushul secara bahasa tersebut, maka pengertian yang biasa digunakan dalam ilmu ushul fiqh adalah dalil, yaitu dalil-dalil fiqh.
          Kata “fiqh” ( ) secara etimologis berarti paham / pemahaman yang mendalam, yang membutuhkan pengarahan potensi akal. Pengertian ini dapat ditemukan dalam surat thaha 20 : 27-28 yang berbunyi
Artinya : dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka memahami perkataanku.
          Pengertian fiqh secara etimologi ini juga ditemukan dalam surat An-Nisa, 4 : 27 dan Hud, 11 : 91 kemudian pengertian yang sama juga terdapat dalam sabda Rasulullah SAW :
Artinya : apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, maka ia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam). (H.R. Al-Bukhari-Muslim, Ahmad bin Hanbal, Al-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
          Fiqh menurut istilah ialah ilmu syariat. Para fuqaha (jumhur mutaakhirin) mentakrifkan fiqh dengan “ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafshil”
Arabia dikatakan hukum syari’ah maksudnya ialah : hukum-hukum fiqh yang berpautan dengan masalah-masalah amaliyah, yang dikerjakan oleh para mukallak, yakni diambil, dikeluarkan dari dalil-dalilnya syar’i yang menjadi objek ushul fiqh
          Dalam mendefinisikan ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu, terdapat dua definisi yang dikemukakan ulama syafi’iyyah dan jumhul ulama. Ulama syafi’iyyah mendefinisikan ushul fiqh sebagai berikut :
Artinya : mengetahui dalil-dalil fiqh secara global dan cara menggunakannya (mujtahid)
          Mengetahui keadaan orang yang menggunakannya (mujtahid). Definisi ini menggambarkan bahwa yang menjadi objek kajian para ulama ushul fiqh adalah dalil-dalil yang bersifat ij’mali (global, seperti kehujjaha ij’ma dan qiyas). Ushul fiqh juga membahas bagaimana cara meng-istinbath-kan hukum dari dalil-dalil seperti kaidah mendahulukan hadist mutawatir dan hadist ahad dan mendahulukan nash dari zhahir. Dalam ushul fiqh juga dibahas pula syarat-syarat orang yang menggali hukum dari dalil. Menurut ulama syafi’iyyah ushul fiqh juga membahas syarat-syarat mujtahid dan persoalan yang berkaitan dengan masalah taklid.
Jumhur ulama ushul fiqh yang terdiri atas ulama hanafiyah, malikiyyah, dan hanabilah mendefinisikan ushul fiqh dengan :
          Artinya : mengetahui kaidah-kaidah kulli (umum) yang dapat digunakan untuk meng-istinbath-kan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah melalui dalil-dalilnya yang rinci.
Definisi yang dikemukakan jumhur ulama ini, menekankan bahwa ushul fiqh adalah bagaimana menggunakan kaidah-kaidah umum ushul fiqh, contohnya:
1. Al-Qur’an dan sunnah adalah dalil yang dapat dijadikan hujjah
2. Dalil yang berstatus nash didahulukan dari zahir
3. Hadist mutawatir lebih didahulukan dari hadis ahad
4. Kaidah umum perintah itu mengandung kewajiban
5. Kaidah lainnya larangan itu mengandung keharaman
          Dari kaidah-kaidah umum ini terkandung hukum-hukum rinci yang tidak terhitung jumlahnya. Ahli fiqh tidak mempersoalkan dalil dan kandungannya sehingga dapat ditetapkan kaidah-kaidah kulli

B. RUANG LINGKUP USHUL FIQH
1. Pokok Pembahasan ushul fiqh.
          Bertitik tolak dari defenisi ushul fiqh yang disebutkan diatas maka bahasan pokok ushuil fiqh itu adalah tentang;
a). dalil-dalil atau sumber hukum syara’;
b). hukum-hukum syara yang terkandung dalam dalil itu;
c). kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil atausumber yang mengandungnya.
          Dalam membicarakan sumber hukumdibicarakan pula kemungknan terjadinya benturan antaradalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metoda dalam melahirkan hukuim syara’ tersebut.hal ii memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid. Kemudian membahas mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidakmempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan hal-hal lain yang berhubungan denganya.
          Dalam sistematika penyausunan pokok-pokok bahasan terdapatperbedaan yang disebabkan perbedaan arahdan penekana diri beberapa pkok bahasan tersebut.
2. Objek Kajian Ushul Fiqh
          Berdasarkan kedua definisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh di atas, Muhammad al-Zuhaili (ahli fiqh dari Syiria), menyatakan bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqh yang membedakan dari kajian fiqh, antara lain adalah :
a. Sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’ baik yang disepakati (seperti kehujahan Al-Qur’an dan sunnah), maupun yang diperselisihkan (seperti kehujahan istihsan dan mashlahah al-mursalah)
b. Mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zhahir dianggap bertentangan, baik melalui al-jam’u wa al-taufiq (pengkompromian dalil), tarjih (menguatkan salah satu dari dalil-dalil yang bertentangan), naskh, atau tasaqaut al-dalilain (pengguguran kedua dalil yang bertentangan). Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadist, atau pertentangan hadis dengan pendapat akal.
c. Pembahasan ijtihad, syarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahid), baik yang menyangkut syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusu keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
d. Pembahasan tentang hukum sayar’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, memilih anatar berbuat atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab, syarat, mani’, batal / fasad, azimah dan rukhsah.
e. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam meng-istinbath-kan hukum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash.
3. Tujuan dan Kegunaan Ushul Fiqh
          Para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa tujuan utama ushul fiqh adalah mengetahui dalil-dalil syara’ yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah mu’amalah, ‘uqubah, dan akhlak.oleh sebab itu,para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh bukan merupakan “tujuan”, melainkan sebagai “sarana” untuk mengetahui hukum-hukum allah pada setiap kasus yang diperoleh melalui kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.
          Secara sistematis para ulamsa fiqh mengemukakan kegunaan ilmu ushul fiqh yaitu antara lain untuk:
1) Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan mujtahid dalam memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun.
2) Memberikan gambaran mengenai syarat- syarat yang harus dimiliki seoramg mujtahid , sehingga adngan tap[at dia dapat menggali hukum-hukum syara’ dan nash; Disamping itu, bagi asyarakat awam, melalui ushul fiqh mereka dapat mengerti bagaimana para mujtahid menetapkan hukum sehingga dengan mantap mereka daptmempedomani dan mengamalkannya.
3) Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid, sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahirbelum ada dalam nash; dan belum ada ketetapan hukumnya.
4) Memelihara agama dari penyalagunaan dalil yang mungkin terjadi.dalam pembahasan ushul fiqh, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad, statusnya tetap mendapat pengakuan syara’. Melalui usul fiqh juga para peminat hukum Islam mengetahui mana sumber hukum Islam yang asli yang hasrus dipedomani, dan mana yang merupakan sumber hukum islam yang bersifat sekunder dan berfungsi untuk mengembangkan syariat sesuai dengan kebutuhan masyarakat islam.
5) Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari berbagai persoalan sosial yang terus berkembang. Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga para peminat hukum islam dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan alasannya.

4. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ushul Fiqh
          Pertumbuhan Ushul Fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum Islam sejak zaman Rasulullah SAW. Sampai pada masa tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Qur’an dan sunnah. Apabila muncul suatu kasus, Rasulullah SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya yang kemudian dikenal dengan hadis dan sunnah.
          Dalam menetapkan hukum dari berbagai kasus, di zaman Rasulullah SAW, yang tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an, para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa ada isyarat bahwa Rasulullah SAW, menetapkannya melalui ijtihad.
          Hasil ijtihad Rasulullah SAW ini secara otomatis menjadi sunnah sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat Islam. Dalam berbagai kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya, beliau menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan Umar Ibnu al-Khattab tentang batal tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW ketika itu bersabda:
          Artinya : “apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar menjawab, ‘Tidak apa-apa’ (tidak batal). Rasulullah SAW kemudian bersabda, “maka teruskan puasamu.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
          Dalam hadis ini, menurut para ulama ushul fiqh, meng-qiyas-kan hukum mencium istri dalam keadaan berpuasa dengan hukum berkumur-kumur bagi orang yang berpuasa. Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka mencium istri pun tidak membatalkan puasa.
Cara rasulullah SAW dalam menetapkan hukum inilah yang nenjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh.karenanya, para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh ada bersamaan dengan hadirnya “fiqh”, ayitu sejak zaman rasululah SAW. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat karma wahyu dan sunnah tidak adalagi, sementara persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang.
          Ali ibnu abi thalib juag n\melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas, yaitu meng-kiyas-kan hukuman orang yang meminum khamar dengan hukuman orang yangmelakukan qadsaf (menuduh orang lain berbuat zina). Alas an ali bin abi thalibadalah bahwa seseorang yang mabuk karma meminum hamar akan mengigau. Apabila kamu mangigau, maka ucapannya tidak bisa dikontrol dan akan menuduh oranglain berbuat zina.hukum bagi pelaku qadsaf adalah 80 kali dera.oleh sebab itu, huluman orang yang meminum khamar sama denga hukuman menuduh orang lain berzina.
5 Aliran-aliran Ushul Fiqh
          Dalam sejarah perkembangan ushul fiqh dikenal dua aliran ushul fiqh yang berbeda. Perbedaan ini muncul akibat perbedaan dalam membangun teori masing-masing yang digunakan dalam menggali hukum islam.
• Aliran syafi’yyah dan jumhur Mutakallimin (ahli kalam).
          Aliran ini membangunushul fiqh mereka secara teoritis, menetapkan kaidah-kaidah dengan alas an yang kuat, baoik dari naqli(Al-qur’an dan sunnah) maupun dari aqli(akal pikiran) tanpa terpengaruh oleh masalah-masalah furu’ (masalah keagamaan yang tidak pokok).
          Kitab ushul fiqh standar dalam aliran Syafi’iyyah/Mutakallalimin ini adalah: Al-Risalah yang disusun oleh imam Al-Syafi’I,kitab al-mu’tamat,disusun oleh abu Al-husain Muhammad Ibn ‘Ali al-bashri,kitab Al-Burhan fi al-ushul al-fiqh,disusun oleh Imam Al-haramainal- juwaini, dan tiga rangkaian kitab ushul fiqh imam abu hamid al- gazali, yaitu :al-mankhul min ta’liqat al-ushul;syifa’ al-ghalil fi Bayan al-sya’ban wa al-mukhil wa masalik al-ta’lil;dan al-mustashfa’ fi ilm al-ushul.
          Sekalipun kitab ushul fiqh dalam aliran Syafi’iyyah/Mitakallim cukup banyak ,tetapi yang menjadi sumber dan standar dalam alioran ini adalah kitab ushul fiqh tersebut diatas.
• Aliran fuqaha’,
          Yang dianut oleh ulama-ulama mazhab Hanafi.Dinamakan aliran fuqaha’ ,karna aliran ini dalam membamgun teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam maazhab mereka.Dalam menetapkqan teori tersebut,apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hokum furu’,maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hokum furu’ tersebut.
6. Keterkaitan Ushul fiqh dan Fiqh
          Fiqh dan Ushul merupakan bahasan terpisah, namun saling berkaitan. Pada waktu menguraikan sesuatu ketentuan tentang fiqh, untuk menguatkan bahasannya, sering disertai penjelasanmengenai kanapa ketentuan itu begitu adanya,sehingga memasuki lapangan pembahasa ushul fiqh. Demikian pula waktu membicarakan ushul fiqh, untuk lebih memperjelas bahasannya dikemukakan contoh-contoh yang berada dalam lingkupbahasan fiqh.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

          Ushul fiqh merupakan cabang ilmu pengetahuan yang akan memberikan suatu keputusan hukum bagi para pencari syara dan sumber ketentuan dalil dalam mengahadapi masalah kehidupan. Cabang ilmu ini tentunya akan memberikan penjelasan kepada umat islam dalam menghadapi masalah dalam berbagai aspek kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Haroen Nasrun, ushul fiqh : Wacana ilmu dan pemikiran, Jakarta, Logos,Publishing House,1996.
Khallaf Abdul Wahab, Ilmu ushul fiqh, semarang;Dina utama semarang, 1994.
Syarifudin Amir, Ushul fiqh jilid 1, Jakarta :Logos WacanaILmu, 1997.

No comments:

Post a Comment