Tuesday, December 20, 2011

Dakwah Islam Perspektif Sejarah.


Tugas Kelompok: 3
Ahmad Said, Bahrudin Zaini, Rahmat[1]
Pendahuluan
            Dalam makalah ini kami akan memaparkan kepada teman-teman sekalian tentang Dakwah Islam Perspektif Sejarah. Dalam makalah ini kami tidak lagi menjelaskan apa yang dimaksud dengan sejarah, ataupun apa yang dimaksud dengan dakwah itu sendiri. Melainkan menuju ke titik pont penting dari bahasan judul besar kami di atas.
            Sehingga dalam makalah ini kita akan mengetahui bagaimana sejarah perkembangan atau sejarah mengenai dakwah Islam itu dimulai semenjak kapan? Dan bagaimana pengklasifikasiannya?. Nah untuk jawaban atas dua pertannyaan ini, kami haturkan selamat membaca.
            Penting kiranya teman-teman berkenan untuk memberikan saran dan kritikan yang membangun guna sempurnanya makalah kami ini. semoga bermanfaat amin.
            Sub-sub dalam pembahasan makalah
A.    Periode Sebelum Nabi Muhammad
B.     Periode Nabi Muhammad SAW dan Khulafa al-Rosyddun
C.     Periode Umayyah, ‘Absiyyah, dan Utsmani
D.    Periode Zaman Modern
E.     Modern ala Indonesia
           













Pembahasan
            Sejarah Perkembangan Dakwah
            Para sarjana Islam, terutama para sejarawan berbeda pandangan dalam menentukan titik awal dakwah Islam dimulai. Perbedaan pendapat ini tidak terlepas dari pengertian tentang makna Islam itu sendiri. Mereka yang beranggapan bahwa makna Islam adalah makna universal, maka dakwah Islam telah dimulai sejak zaman Nabi Nuh as. Namun jika Islam dalam maknanya yang spesifik adalah apa dibawa oleh Nabi Muhammad, maka dakwah Islam dimulai semenjak diutusnya Nabi Muhammad SAW. Namun para sarjana Islam yang membagas tentang sejarah dakwah, lebih cenderung membahasnya pada tataran Islam dengan makna universal yang menakup dakwah Nabi Nuh hingga Nabi Isa as.
            Sejarah dakwah dapat dibagi menjadi empat periode.
            Periode pertama, tentang dakwah para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Periode kedua, masa Nabi Muhammad dan Khulafa’ al-Rasyidun. Periode ketiga, masa kekuasaan dinasti Umayyah, Abasiyyah, dan Usmani. Periode keempat, masa modern.
A. Periode Sebelum Nabi Muhammad SAW
            Pada periode pertama, semenjak Nabi Nuh hingga Nabi Isa, para ahli sejarah Islam sepakat bahwa mereka merupakan Da’i utusan Allah yang mengajak kepada ketauhidan (pengesaan Tuhan) serta memerangi kemusyrikan, menyuruh kepada ketaatan, dan mencegah perbuatan maksiat. Hal ini Allah terangkan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’ atay 163:
Artinya: “sesungguhnay Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudian, dan Kami telah memberiakn wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’kub dan anak-anak cucunya, Isa, Ayyub, yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud”.
Dan dalam surat an-Nahl ayat 36:
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul dan tiap-tiap umat.”sembahlah Allah dan jauhilah Thagut itu”, maka di antara umat-umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul)”.[2]
Dakwah para nabi pada periode ini lebih bersifat lokal, di mana para nabi diutus
kepada kaum tertentu, sesuai dengan kebutuhan dan kecenderungan masing-masing kaum. Dalam menjalankan dakwah, para nabi dibekali dengan kemampuan luar biasa yang biasa disebut dengan mu’jizat sebagai legitimasi kebenaran yang mereka bawa. Al-Qur’an juga menjelaskan tentang perjalanan dan metode dakwah mereka, di samping kendala dan cobaan-cobaan yang dihadapi, serta kesabaran dan istiqamah mereka dalam menghadapi kaumnya.
            Hal ini dapat kita lihat dari beberapa redaksi dalam Al-Qur’an yang bercerita tentang perjalanan dakwah mereka. Tentang Nabi Nuh dalam surat Nuh dan al-A’araf ayat 59, tentang Nabi Hud dalam surat Hud dan al-A’araf ayat 65-72, tentang Nabi Saleh dalam surat Hud ayat 62-65, tentang Nabi Ibrahim dalam surat asy-Syu’ara ayat 69-89, tentang Nabi Luth dalam surat al-A’araf ayat 80-84, tentang Nabi Yusuf dalam surat Gafir ayat 34, tentang Nabi Syu’aib dalam surat al-A’araf ayat 85-87, tentang Nabi Musa dalam surat Thaha ayat 43-48, tentang Nabi Daut dalam surat Sadh ayat 17-20, tentang Nabi Sulaiman dalam surat Saba’ ayat 12-14 seta tentang Nai Isa dalam surat Ali ‘Imran ayat 59.
            Para rasul telah berdakah dan menyeru manusia untuk mengesakan (menauhidkan) Allah dan melarang mereka dari menyekutukan-Nya. Para nabi telah menjelaskan hakikat tauhid itu dengan metode dan cara yang beraneka ragam, antara lain dengan memerhatikan ayat-ayat kauniyat (tanda-tanda kekuasaan Allah yang berkaitan dengan alam fisik), mengingatkan manusia akan nikmat dan karunia Allah, menjelaskan sifat-sifat kesempurnaan yang ada pada-Nya dengan argumen-argumen yang logis, dengan memuat permisalan-permisalan atau dengan merenungi diri manusia itu sendiri dan cakrawala alam semesta.
            Dengan kata-kata yang bijaksana dan argumen yang benar itulah paa rasul menyampaikan dakwah kepada kaumnya. Tidak ada yang berbeda antara utusan yang satu dengan yang lain. Mereka meyakinkan risalah dan kerasulannya dengan menampakkan sikap jujur, karena setiap nabi dan rasul memiliki sifat itu.
            Sebagaimana seorang nabi menampakkan kepada kaumnya sebagian mukjizat dari sisi Tuhan untuk menguatkan kebenaran risalahnya, ia juga mendatangkan berbagai bukti dan argumen yang lain. Apa yang dibawa berupa kebenaran itu diturunkan dari sisi Allah SWT. Dengan cara yang bijak, argumen yang mantap, dan bukti yang nyata, agar benar-benar bisa diterima dengan lapang dada oleh Mad’u (objek dakwah) dan bukan karena paksaan. Jika mereka telah beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan dalil-dalil naqli dan aqli (wahyu dan logika), dan ketika keimanan itu telah meresap di hati mereka, maka para rasul kemudian mengajak mereka untuk beriman kepada hari dibangkitkannya manusia dari kubur. Karena hal itu termasuk masalah gaib yang tidak mungkin bisa dicapai oleh akal kecuali setelah beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Iman para rasul-rasul Allah mengandung konsekuensi beriman terhadap apa yang mereka bawa. Dan di antara yang terpenting dari yang mereka bawa adalah mengajak untuk beriman kepada hari ba’ts (kebangkitan), hisab serta pembalasan. Oleh karena itu, mengingkari adanya hari ba’ts sama dengan mengingkari apa yang dibawa oleh para rasul.[3]
B. Periode Nabi Muhammad dan Khulafa al-Rosyddun
            Sejarah dakwah Nabi Muhammad dapat dibagi menjadi dua fase, fase Mekkah dan fase Madinah. Fase Mekkah dimulai semenjak Rasulullah menerima wahyu pertama di gua Hira, dan dimulai dari kalangan tertentu dari keluarga, saudara, dan kerabat terdekat beliau, seperti Khadijah, Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah, kemudian diikuti oleh beberapa sahabat lainnya, seperti Utsman bin ‘Affan, Zubair bin al-‘Awam, ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf dan lain-lain.
            Setelah tiga tahun lamanya Nabi Muhammad berdakwah dengan sembunyi-sembunyi (dakwah bi al-sir), maka Allah menurunkan perintah kepada beliau untuk berdakwah dengan terang-terangan (dakwah bi al-jahr) dan memperluas jangkauan dakwah. Dakwah ini mendapat tantangan yang sangat keras terutama dari pamannya Abu Lahab dan orang-orang Quraisy. Namun penghinaan dan siksaan yang dilancarkan oleh orang-orang Quraisy tidak mamp menghentikan langkah Nabi Muhammad dan para pengikutnya.
            Pada fase ini, Nabi Muhammad melakukan beberapa langkah yang dianggap sangat penting untuk kelanjutan dakwah Islam, di antaranya adalah konsentrasi beliau terhadap pendidikan dan penyucian diri bagi mereka yang menerima Islam (memeluk Islam) dengan jalan pembelajaran dan penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari serta memperdalam arti solidaritas antara sesama muslim.
            Sedangkan fase Madinah dimulai ketika Nabi Muhammad menerima wahyu untuk berhijrah ke madinah pada saat orang-orang Quraisy merencanakan pembunuhan terhadap Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Fase Madinah merupakan lembaran sejarah baru bagi nabi dan para pengikutnya dengan semakin kuat dan bertambahnya umat Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas.
            Pada fase ini, Raulullah masih tetap berkonsentrasi untuk menyampaikan dakwah atau risalah Islam dengan jalan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an, mengajarkan makna-makna Al-Qur’an dan hukum-hukumnya, mendirikan masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam, mempersaudarakan antara orang-orang Muhajirin dan Anshar, menegakkan hukum-hukum syariat, dan lain-lain.
            Setelah wafatnya Nabi Muhammad, dakwah deteruskan oleh Abu Bakar yang menjabat selama dua tahun tiga bulan delapan hari, kemudian Umar bin Khattab yang menjabat selama sepuluh tahun enam setengah bulan, kemudian dilanjutkan oleh Utsman bin ‘Affan yang menjabat selama dua beas tahun, kemudian Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib yang menjabat selama lima tahun. Jadi, masa Khulafa al-Rasyidun seperti yang diungkapkaan oleh al-Suyuthi berlanjut selama 30 tahun, yaitu dari semenjak wafatnya Rasulullah pada tahun kesepuluh Hijrah hingga terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun keempat puluh Hijrah.
            Pada masa ini, aktivitas dakwah secara intern dilaksanakan dengan khotbah dan diskusi-diskusi keagamaan, baik antara para sahabat ataupun dengan mereka yang baru memeluk Islam (muallaf). Secara ekstern, dakwah semakin menggeliat dengan semakin luasnya daerah-daerah yang dikuasai oleh umat muslim terutama pada masa khalifah Abu Bakar, umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, sedangkan pada masa Ali bin Abi Thalib laju dakwah agak tertahan karena menghadapi gejolak politik yang terjadi antara beliau dengan A’isyah dan pendukungnya, serta dengan Mu’awiyah yang banyak memakan korban.
            Pada masa Abu Baka terjadi peperangan melawan orang-orang murtad dan orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat, serta memerangi Musailamah al-Kazzab (seorang yang mengaku nabi). Pada masa ini juga Al-Qur’an untuk pertama kali dikumpulkan sebagai reaksi dan ketakutan Abu Bakar dengan meninggalnya sebagian besar para sahabat yang hafal Al-Qur’an dalam peperangan.[4]
            Pada masa Umar bin Khattab banyak daerah yang dapat ditaklukkan, di antaranya Damaskus, Azerbijan, al-Ahwaz, Palestina (Bait al-Maqdis), dan lain-lain. Umar juga adalah khalifah pertama kali yang mengumpulkan umat muslim untuk shalat Tarawih berjamaah.
            Secara umum, dakwah pada masa ini semakin bergairah, baik berupa gerakan-gerakan keilmuwan ataupun pendidikan dan pembelajaran. Pada periode ini Al-Qur’an dikumpulkan untuk pertama kali pada masa Abu Bakar dan kemudian pada masa Utsman bin Affan. Gerakan dakwah juga semakin luas dengan banyakanya daerah yang telah dikuasai oleh umat Islam dan berbondong-bondongnya orang yang ingin memeluk Islam dan menjadikannya sebagai pedoman hidup, karena mereka melihat kebaikan di dalamnya.
C. Periode Umayyah, ‘Abasiyyah, dan Utsmani
            Periode ketiga adalah masa Dinasti Umayyah, ‘Abasiyyah, dan Utsmani. Periode ini dimulai dengan berdirinya Dinasti Bani Umayyah oleh Mu’awiyah bin Abi Shafyan pada tahun keempat puluh Hijriyah hingga runtuhnya kekuasaan Dinasti Utsmani pada tahun1343 H/1924 M.
            Pada periode ini dakwah Islam semakin luas dengan semakin banyaknya daerah yang dapat ditaklukkan, seperti Asia Kecil, Romawi, Afrika Utara, Andalusia, dan lain-lain. Pada masa ini para ulama ahli fiqh, tafsir, dan hadis dikirim ke daerah-daerah yang telah ditaklukkan untuk menyebarkan dan menjelaskan agama Islam dan ajaran-ajarannya untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dibangun perpustakaan dan pusat-pusat ilmu pengetahuan yang tersebar di berbagai tempat, seperti Mesir, Baghdad, dan Iran. Pada periode ini, ilmu-ilmu keislaman, seperti Filsafat, teologi, hukum-hukum Islam, dan mistik berkembang dengan pesat. Dalam bidang filsafat dikenal al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina. Dalam bidang teologi dikenal Imam hasan al-Asy’ari, al-Ghazali, dan lain-lain. Dalam bidang hukum Islam dikenal Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam syafi’i, dan Imam Ibn Hambal.
D. Periode Zaman Modern
            Sejarah dakwah adalah suatu proses yang mencakup segala aspek kehidupan umat Islam lintas sosial, kultural, dan geografis. Pada periode ini sebagian sejarawan mengkaji sejarahh dakwah berkaitan dengan aspek individu (Da’i), seperti sejarah dakwah Hasan al-Banna, al-Maududi dan lain-lain, sebagian lagi mengkaji sejarah dakwah dari aspek pergerakan, seperti pergerakan Ikhwan al-Muslimun di Mesir, ada juga yang mengkaji sejarah dakwah dari aspek geografis, seperti sejarah dakwah di Mesir, Indonesia, Afrika, dan lain-lain. Oleh karena itu, membahas tentang sejarah dakwah Islam zaman modern merupakan bahasan yang sangat luas sehingga tidak memungkinkan untuk melihatnya secara utuh.
            Namun secara garis besar, proses dakwah pada periode ini baik yang berupa penyampaian (tablig) dan penyebaran Islam serta kegiatan belajar mengajar masih tetap berjalan, walau-pun proses dakwah mendapat tantangan dan rintangan, apalagi setelah runtuhnya Dinasti utsmani yang meru-pakan simbol kekuatan Islam dn terbagi-baginya daera yang masuk ke dalam kedaulatan Islam menjadi daerah-daerah kecil yang dikuasai oleh imperialis (penjajah).
            Pergerakan dakwah pada periode ini juga mengambil bentuk yang bermacam-macam, ada yang berdakwah secara personal, ada juga yang bergerak secara berkelompok yang kemudian mengambil bentuk pergerakan dakwah berua institusi formal dan non formal dalam bentuk pergerakan politik, pemikiran dan sosial dengan menerapkan metode-metode yang sesuai dengan pergerakan masing-masing serta sarana-sarana dan prasarana yang berbeda-beda.[5]
E. Modern ala Indonesia
            Kira-kira pada tahun 1980-an, di negeri kita muncul gejala dakwah yang menarik untuk diamati. Apabila pada masa sebelumnya tahun-tahun itu dakwah hanya dilakukan oleh orang-orang yang memang menekuni bidang itu, seperti kiai, ustadz, ulama dan sebagainya, maka seak tahun-tahun delapan-puluhan itu orang –orang yang secara profesional tidak pernah diperhitungkan untuk menjalankan dakah, sejak saat itu mereka ramai-ramai terjun di bidang dakwah. Mereka itu adalah para insan-insan seni, baik penyanyi, penari, pelawak, pemusik, pemain film, dan lain-lain. Pada masa-masa sebelum itu mereka cenderung dikategorikan sebagai “orang-orang yang didakwahi”, bukan orang-orang yang melakukan dakwah.
            Memang, pada tahun-tahun tujuh-puluhan sudah ada insan-insan seni yang terjun di bidang dakwah. Namun jumlah mereka sangat sedikit, dan di samping itu, mereka kemudian meninggalkan profesi sininya yang pada waktu itu mereka geluti dan kemudian hanya menekuni bidang dakwah. Berbeda dengan gejala yang terjadi pada tahun-tahun delapan-puluhan ke atas, di mana mereka yang terjun di bidang dakwah itu tetap tidak meninggalkan profesinya semula sebagai insan-insan seni.
            Contoh:  kerjasama Artis-Mubaligh/Mubaligh-Artis.[6]
Kesimpulan
            Perkembangan dakwah Islam menuai banyak fersi. Fersi pertama, sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Kedua saat Nabi Muhammad SAW dan kemudian dilanjutkan oleh Khulafa ar-Rosyidun, ketiga pada masa Dinasti Umayyah dan ‘Abasyiah dan yang terakhir yaitu zaman kita saat ini, yaitu zaman modern.
Daftar Pustaka
Faizah, S.Ag, M.A., H. Lalu Muchsin Effendi, Lc., M.A., Psikologi Dakwah, Jakarta: Prenada Media.          2006   
Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: PT Pustaka Firdaus. 1997
Majid dkk, Jelajah Dakwah Klasik-Kontemporer, yogyakarta: Gama Media. 2006



                [1] Mahasiswa aktif STAIMA Al-Hikam Malang, Semester V.
                [2] Faizah, S.Ag, M.A., H. Lalu Muchsin Effendi, Lc., M.A., Psikologi Dakwah, Jakarta: Prenada Media. 2006. Hlm. 19-20.
                [3] Ibid. Hlm.21-23.
                [4] Ibid. 23-25. Dan bandingkan dengan buku karangan: Abdul Majid dkk, Jelajah Dakwah Klasik-Kontemporer, yogyakarta: Gama Media. 2006. Hlm. 1-2.
                [5] Ibid. 25-27.
                [6] Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: PT Pustaka Firdaus. 1997. Hlm. Muqaddimah XIV-XVII.

No comments:

Post a Comment