Thursday, March 29, 2012

Sejarah Fikih Sosial/Paradigma latar belakang Fikih Sosial DR. Sahal Mahfuz


I.                   Pendahuluan.

Hidup dan kehidupan rnanusia merupakan takdir Allah. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari segala ketetapan Allah. Takdir telah meletakkan manusia dalam suatu proses, suatu rentetan keberadaan, urutan kejadian, tahapan-tahapan kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk berikhtiar mempertahankan serta melestarikan hidup dan kehidupannya.
Manusia diberi hak hidup bukan untuk hidup semata, tetapi ia diciptakan oleh Allah untuk mengabdi kepadaNya. Dalam kerangka pengabdian inilah, manusia dibebani berbagai taklif yang erat kaitannya dengan ikhtiar beserta sarana-sarananya dan kemampuan manusia itu sendiri.
Dalam proses tersebut, kehidupan manusia selalu dipengaruhi berbagai faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, manusia di dalam berikhtiar melaksnakan taklif, berkewajiban mengendalikan dan mengarahkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupannya, untuk mencapai makna dan tujuan hidupnya, yakni sa'adatud darain atau kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat kelak.
Kesejahteraan lahir-batin merupakan cita-cita setiap insan. Kesejahteraan lahiriah, lazimnya merupakan sarana yang mendasar bagi tercapainya kesejahteraan batiniah, meskipun ada juga orang yang memperoleh kesejahteraan batiniyah tanpa mendapat kesejahteraan lahiriyah, menurut ukuran yang lazim.
Indikator kesejahteraan masyarakat -di rnana keluarga/rumah tangga (usrah) sebagai unit terkecil- memang sulit dirumuskan secara terinci. Namun sekurang-kurangnya ajaran syari'at Islam dengan konsep fiqih sosial telah banyak menunjang sebagai isyarat yang mendekati rumusan tersebut.[1]
Demikian tadi adalah sekilas pandang tentang pembahasan fikih sosial, untuk lebih jelasnya akan kami paparkan berikut ini :

II.                Pembahasan.

1.      Sejarah dan Pengertian Fikih Sosial.
Dalam sejarahnya, Fiqih Sosial muncul setelah ide-ide pembaruan Fiqih di Indonesia bermunculan. Kita mengenal ide Fiqih Indonesia yang dipopulerkan oleh Hasby Assidiqie tahun 1960an (bahkan benihnya sudah muncul sejak 1940an). Ide itu ditindaklanjuti dengan ide Fiqih Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia) oleh Hazairin pada tahun 1960an juga .
Kemudian KH. Abdurrahman Wahid (lebih dikenal dengan pangilan Gus Dur) pada 1975 menawarkan ide Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan. Pada 1980an, Munawir Sjadzali mengusulkan ide Reaktualisasi Ajaran Islam. Disusul dengan ide Agama Keadilan oleh Masdar F. Mas’udi pada 1990an.
Kemudian pada 1991 muncul Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang “dianggap” ijmak Ulama Indonesia, yang diinstruksikan oleh Presiden Soeharto. Baru kemudian muncul ide Fiqih Sosial pada 1994 oleh KH. Sahal Mahfudh dan KH. ‘Ali Yafie. Sebagai sebuah wacana pemikiran, keberadaan Fiqh Sosial memang belum terdefinisikan secara jelas.
Pemakaian istilah fiqh soaial (al-fiqh al-ijtima’i) secara bahasa akan menjadi tepat apabila disandingkan dengan term lain, yakni fiqh ndividu (al-fiqh al-infiradhi ). Kedua istilah ini relative belum dikenla dalam discourse fiqh klasik, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa klasifikasi – klasifikasi fiqh yang dibangun selama ini tetap mengapresiasikan dua sisi tersebut.
Jika al-fiqh al-infiradhi lebih menekankan pada aspek ajaran tentang hubungan individu dengan Tuhan (ibadah mahdhah ) dan hubungan manusia dengan manusia dalam bentuk personal ( baina al-fardh wa al-fardh ), Maka fiqh sosial (al-fiqh ijtima’i ) lebih menekankan kajiannya pada aspek ajaran tentang hubungan antarsesama manusia-individu dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Dengan pendekatan bahasa ini fiqh sosial dapat dipahami sebagai fiqh yang berdimensi sosial atau fiqh yang dibangun atas dasar hubungan antarindividu atau kelompok didalam masyarakat[2]. Ketiadaan istilah tak otomatis menunjukkan ketiadaan ide dasar istilah tersebut. Adanya indikasi Fiqih Sosial di dunia Arab bisa dilacak dari mekanisme Fiqih Sosial itu sendiri. Ini mengingat Fiqih Sosial merupakan tema yang sangat besar.
Mekanisme itu diantaranya adalah semangat menjadikan Fiqih tak hanya sebagai justifikasi hukum. Akan tetapi, menjadikannya sebagai kritik sosial, agen perubahan sosial, penggerak perubahan dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Dengan begitu, Fiqih Sosial lebih peka terhadap masalah-masalah sosial dan lebih ramah budaya dan peradaban.
Selain itu, ada mekanisme lain dari Fiqih Sosial. Yaitu, menverifikasi kembali mana persoalan-persoalan agama yang pokok dan mana yang cabang. Itu dilakukan dengan metode Maqâshid al-Syarî’ah. dari dua mekanisme itu saja bisa terlihat bahwa Fiqih Sosial, meskipun istilahnya dari Indonesia, akan tetapi spirit dan mekanismenya itu universal. Fiqh sosial merupakan sebuah ikhtiar aktualisasi fiqh klasik melalui upaya aktualisasi keseluruhan nilai yang ada didalamnya untuk dioptimalkan pelaksanaan dan diserasikan dengan tuntunan makna sosial yang terus berkembang.
Tujuan pokok fiqh sosial adalah membentuk satu konsep fiqh yang berdimensi sosial, atau fiqh yang dibangun dengan sejumlah peranan individu atau kelompok dalam proses bermasyarakat dan bernegara. Secara khusus bisa dikatakan bahwa pemikiran fiqh sosial ini berangkat dari realitas sikap keberagaman masyarakat tradisional, yang secara hirarkis mempertahankan pola bermadzhab secara utuh (qauli dan manhaji) dan benar (dimanifestasikan dalam seluruh sendi kehidupan).
Fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol:
1.      Interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual.
2.      Perubahan pola bermadzhab dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji).
3.      Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok ( ushul) dan mana yang cabang ( furu‘).
4.      Fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara.
5.      Pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.[3]
Jika dicermati lebih jauh, kelima ciri di atas memang didasarkan atas keyakinan bahwa rumusan produk hukum yang tertuang dalam berbagai kitab fiqh banyak yang dapat diterapkan (applicable) untuk memecahkan masalah-masalah sosial kontemporer. Pengembangan fiqh sosial tidak serta merta menghilangkan peran khazanah klasik.
Dengan dasar keyakinan ini, kreatifitas dalam pengembangan fiqh sosial diharapkan tidak tercabut dari akar tradisi orthodoxy. Persoalannya sekarang bagaimanakah khazanah klasik itu disikapi. Untuk tujuan ini maka prinsip “ almuhafadhatu ‘ala al-qodim al-salih wa al-akhdzu bil jadid al-aslah ” akan selalu menjadi panduan.

 2) Paradigma Fikih Sosial.
Paradigma, oleh Thomas Khun diartikan sebagai cara pandang yang memiliki makna transedensi, namun paradigma kini menjadi kata yang bermakna awam dan telah digunakan sebagian masyarakat dengan makna atau arti yang berbeda. Paradigma yang dimaksud adalah cara pandang dalam melihat perubahan sosial di abad postmodernisme dari sisi fiqh (hukum Islam).
Saat ini, persoalan terbesar ummat manusia adalah munculnya berbagai persoalan sosial kemasyarakatan dan berbagai persoalan lainnya yang menyelimuti kehidupan manusia itu sendiri. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan sosial yang demikian pesat saat ini, perangkat-perangkat hukum yang telah ada disamping al-Qur’an dan as-Sunnah , para fuqoha dan pemimpin Islam diharapkan tanggap serta ditantang untuk melakukan ijtihad guna menyelesaikan masalah-masalah hukum (masail fiqhiyah ) yang lahir akibat perubahan atau perkembangan sosial masyarakat Islam yang ada. Dan, secara paradigmatik persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat yang menimbulkan persoalan hukum ( masail fiqhiyah ) harus disikapi secara kritis dan dipahami seditail mungkin, hingga ijtihad atau kebijakan yang diambil oleh para fuqoha dan pemimpin Islam lainnya dapat memberikan ketenangan dan ketentraman kepada ummat .
Pada prinsipnya tujuan syari’ at Islam yang dijabarkan secara rinci oleh para ulama dalam ajaran fiqh ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara. Syari’at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang dalam fiqh menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) maupun muthloqah (teknik operasionalnya tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu). la juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalam bentuk mu’asyarah (pergaulan) maupun mu’amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup).
Disamping itu ia juga mengatur hubungan dan tata cara keluarga, yang dirumuskan dalam komponen munakahat. Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihad dan qadla . Pemecahan problem sosial berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum.
Dalam hal ini, kemaslahatan umum -kurang lebih adalah kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Baik kebutuhan itu berdimensi dlaruriyat atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun kebutuhan hajiyat (sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi tahsiniyyah atau pelengkap (suplementer).[4]
Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqh sosial di dasarkan atas keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dlaruriyat (primer), kebutuhan hajiyat (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyyah (tersier).  Fiqh sosial bukan sekedar sebagai alat untuk melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga menjadikan fiqh sebagai paradigma pemaknaan sosial.

 3) Tokoh Fikih Sosial Dan Pemikirannya.
Seperti yang telah dipaparkan pada keterangan sebelumnya. Diantara tokoh-tokoh penggagas fiqh sosial diantaranya adalah KH. Sahal Mahfudh dan KH. ‘Ali Yafie. Kiai Sahal Mahfudh merupakan sosok kiai yang sangat kharismatik di belantara Nusantara. repotasinya bisa disejajarkan dengan Gus Dur (almarhum) baik pola pemikiran dan kegigihannya dalam memperjuangkan agama Islam.
Begitu juga beliau sering mengisi ceramah keagamaan di berbagai tempat, diskusi dan yang lebih menarik beliau juga produktif dalam menulis. Yang membuat namanya semakin tersohor, dengan perjuangannya melahirkan konsep baru di bidang fiqih. Beliau memiliki keinginan kuat untuk memposisikan fiqih mampu menjawab segala tantangan zaman, sehingga lahirlah pemikiran beliau yang terkenal dengan  sebutan fiqih sosial.
Pondasi kuat yang melatar belakangi timbulnya terobosan baru yang progesif di bidang fiqih ini, tak lepas dari keinginan beliau untuk membuktikan bahwa, fiqih tidak hanya berkaitan dengan ibadah mahdhah an-sikh (relasi vertikal), namun juga mampu mengeluarkan manusia dari jurang kejumudan, keterbelakangan, akhirnya menemukan konsep baru yang bernama ”fiqih sosial”, yakni fiqih yang berhubungan, berkaitan, dan berkelin-kelindan dengan problematika sosial yang meliputi pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, ekonomi, keilmuan, budaya, dan politik.
Pada level ini kiai sahal berupaya mengentaskan kemiskinan dengan mendoktrin masyarakat dengan paradigma yang berbeda. Beliau mampu melakukan pergeseran pengertian miskin, setelah usahanya baik melalui ceramah, diskusi dan tulisan. Dengan segala upayanya menyadarkan masyarakat, beliau tidak henti-hentinya menyampaikan bahwa, hidup miskin harus dilawan dan harus di hilangkan, tiada lain dengan upaya keras, terencana, dan terorganisir, tidak menyerah tanpa ada upaya mengubahnya.
Kondisi miskin adalah kondisi yang tidak ideal, dan juga tidak dianjurkan oleh agama, landasannya adalah hadis Nabi ”kefakiran mendekatkan diri pada kekufuran” (HR. Abu Naim dari Anas). Dalam upaya kiai Sahal mengentaskan kemiskinan, dalam ranah praksisnya, pada Tahun 1977 Sahal mengikutkan santrinya, untuk mengikuti latihan tenaga pengembangan masyarakat yang di selenggarakan oleh LP3ES Jakarta, bekerja sama dengan Departemen Agama RI, selama satu tahun.
Selama satu tahun itu diajari bagaimana mengembangkan potensi rakyat terutama di sektor pertanian. Dari berbagai konsep yang ditawarkan kiai Sahal, perlu kiranya untuk membaca kembali berbagai konsepnya yang cukup mencerahkan dan penuh argumen, sebagai masukan untuk mebawa pada perubahan yang nyata, dengan tidak mudah menerima dengan kondisi yang kurang ideal, agar kemiskinan yang menjadi salah satu faktor kekufuran tidak terus kita nikmati selamanya.
K.H. Ali Yafie dilahirkan di Wani-Donggala, Sulawesi Tengah, barangkali turut mengalirkan sifat pribadinya yang berkemauan keras, tekun, dan paantang menyerah. Beliau adalah sosok tokoh yang bentuk dan struktur dasar intelektualitasnya dirakit dipesantren.[5]
Begitu banyak kiprah beliau dalam bidang kemasyarakatan, dar tingkat local (pengajar diberbagai madrasah), regional (dosen dan hakim pada Pengadilan Tinggi Agama di Makasar, Inspektur Pengadilan Agama Indonesia Wilayah Timur, Staf harian dan anggota Dewan Pleno Badan Potensi Karya Kodam XIV Hasanudin) sampai tingkat nasional dengan duduk atau pernah menduduki jabatan penting (Ketua Dewan Penasehat ICMI, anggota Dewan Pengawas Syari’ah Bank Muamalat Indonesia, wakil ketua Dewan Pembina Badan Arbitrase Muamalat, Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Guru Besar Institut Ilmu Al- Qur’an, Guru Besar Dirasah Islamiyah Universitas As-Syafi’iyah).
Melalui berbagai uraian, K.H. Ali Yafie telah memandu kita menjelajah belantara keagamaan dan sosial kemasyarakatan dalam spektrum yang cukup luas. Salah satu karyanya adalah Menggagas Fiqih Sosial dimana karya ini merupakan suntingan, kumpulan dari 26 artikel yang masing-masing merupakan ide utuh, lepas, berdiri sendiri, dan disampaikan pada berbagai kesempatan yang berbeda. Berkat teknik suntingan yang canggih, semua artikel terangkum menjadi jalinan kesatuan karya penting yang setiap unsurnya saling menopang dibawah tema sentral yang menggoda : Menggagas Fiqih Sosial. Karya ini seirama dengan membumikan Al-Qur’an karya Prof. Dr. Quraish Shihab.
Dengan orisinalitasnya masing-masing, keduanya dimulai dengan pembahasan tentang Al-Qur’an kemudian merambah kepada masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang actual saat ini. Dimana keduanya memberikan tekanan antara lain pada perlunya pemahaman Al-Qur’an secara utuh. Salah satu cara untuk memperoleh pemahaman Al-Qur’an secara utuh adalah dengan mendorong penafsiran secara tematis.
Dengan menekankan pada atau mengajukan tema-tema tertentu. Dengan kemampuan memilih ayat-ayat yang berkaitan dengan kehidupan dan dengan bantuan Sunnah yang merupakan penjelasan paling otentik terhadap isi dan kandungan Al-Qur’an, menurut K.H. Ali Yafie, kita bisa menjadikannya pedoman yang benar-benar fungsional bagi manusia untuk hidup di dunia, terlebih di akhirat.

III.             Penutup.
Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqh sosial di dasarkan atas keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dlaruriyat (primer), kebutuhan hajiyat (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyyah (tersier). Fiqh sosial bukan sekedar sebagai alat untuk melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga menjadikan fiqh sebagai paradigma pemaknaan sosial.



DAFTAR PUSTAKA


Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Parsipatoris Hingga Emansipatoris. Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara Yogyakarta. 2005
Mahfudz, Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKis Yogyakarta. 1994.

Rahman, Jamal D. Wacana Baru Fiqih Sosial 70 Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: MIZAN. 1997



http//.www.melbayawy.wordpress.com/2011/11/17/makalah-fikih-sosial.





[1] Mahfudz, Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKis Yogyakarta. 1994.
[2] Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Parsipatoris Hingga Emansipatoris. Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara Yogyakarta.hlm 108-109
[3] www.nupakistan.or.id
[4] www.nu.or.id
[5] Rahman, Jamal D. Wacana Baru Fiqih Sosial 70 Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: MIZAN. 1997.hlm 78-81.

No comments:

Post a Comment