Friday, April 13, 2012

Membumikan Fiqih Dengan Bermadzhab Secara Manhaji. Fikih Sosial


Membumikan Fiqih Dengan Bermadzhab
Secara Manhaji
P
By : khobir & bahruddin[1]

erkembangan limu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, menuntut para ulama Islam untuk melakukan upaya rekonstruksi terhadap khazanah pengetahuan Islam secara inovatif. Termasuk yang cukup urgen, adalah upaya para ulama tersebut untuk secara terus-menerus melakukan ijtihad dibidang fiqih secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebab kajian soal ijtihad akan selalu aktual, mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi Islam tidak bisa dipisahkan dengan produk-produk fiqih, apakah itu berfungsi sebagai purifikasi ataukah reaktualisasi.
Dalam sejarah fiqih Islam fungsi ijtihad ini pernah mengalami kemandegan, karena munculnya institusi ijtihad yang dibatasi oleh kelembagaan para mujtahid mutlak, seperti institusi empat imam mazdhab yang sangat popular itu. Sehigga umat Islam mengalami era taklid yang begitu panjang serta taasub madzhab yang berlebihan (yang terjadi sekitar tahu 656 H/ 1258 M sampai sekarang) dan juga terlepas dari kualitas dasar-dasar fiqih (Ushul Fiqh dan Qāwaidul Fiqh) yang telah dirumukan oleh imam mujtahid itu, atau terlepas dari pengembangan dasar-dasar tersebut dalam khazanah pemikiran para komentator (syarih) dari pengikut-pengikut imam itu. Dengan demikian, fiqih aktual mengalami masa surut yang luar biasa.
Oleh sebab itu institusi ijtihad sendiri dipegang oleh tiga kelompok besar di antara para ulama fiqih.
Kelompok pertama, yang menolak ijtihad mentah-mentah, dengan alasan bahwa produk ulama mujtahid dan salaf telah mampu menjawab setiap tanntangan zaman dan masalah-masalah kontemporer dewasa ini. Tinggal bagaimana merelevansikan pemikiran aktualnya, untuk kondisi dan situasi saat ini. Kelompok pertama ini lebih memilih taklid dan mengikuti pola pandang bahwa aktifitas fiqih selalu disandarkan pada imam-imam mujtahidnya.
Kelompok kedua, justru menganjurkan ijtihad dan secara ekstrim menolak taklid. Kelompok ulama ini lebih puritan, namun, sikapnya yang secara mentah-mentah menolak taklid, mengakibatkan munculnya sikap gegabah dalam melakukan ijtihad. Mereka tidak mau menengok kembali khazanah ulama salaf, dengan dalih cukup mengambil dasar al-Qur’an dan al-Hadits, untuk memproduksi kebutuhan fiqih yang berkembang. Karena itu pada kelompok ini, bermunculan para “mujtahid baru” yang mengatasnamakan dirinya sebagai pembaharu Islam yang secara kritis sering mereduksi pemikiran-pemikiran mapan para ulama fiqih itu sendiri. Yang disayangkan sikap ekstrim ini membawa pengeroposan dalam khazanah intelektual Islam, mengingat prasyarat-prasyarat ijtihad yang seharusnya dipenuhi oleh seorang mujtahid diabaikan begitu saja.
Kelompok ketiga, lebih moderat. Para pakar fiqih yang mengambil jalan “tengah” ini, tetap bersemangat agar fiqih Islam senantiasa aktual  dengan zaman. Tetapi tidak melepaskan dataran tempat berpijak para ulama pendahulunya (salafu as-shālih). Sebab apa yang telah dicapai ulama salaf itu, dalam sekala global telah memenuhi tuntutan psikologis dan kebutuhan yurisprudensi pada umumnya. Hanya saja, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut lebih jauh fungsi-fungsi yurisprudensi untuk menjawab tantangan yang dinamis. Kelompok ketiga ini, memberikan respon terhadap masalah-masalah aktual dengan metode-metode ijtihad, yang memadukan metode ulama mujtahid dengan metode penelitian modern, bahkan secara komprehensif memberlakukan apa yang disebut sebagai ijtihad kolektif (ijtihad jama’i).[2]

Bermadzhab Secara Manhaji

Hukum Islam atau yang biasa disebut fiqh merupakan ajaran yang paling populer dari seluruh ajaran Islam. Bahkan, terkesan di masyarakat Muslim bahwa fiqh adalah totalitas ajaran Islam. Sehingga ketika fiqh membeku dan tidak lagi mampu merespons laju kemajuan dalam segala bidang kehidupan, seakan-akan seluruh ajaran Islam telah runtuh. Di sini fiqh (dan ulamanya) dicap sebagai biang kemandulan terhadap pencerahan problem kemanusiaan.
Fiqh, sesungguhnya adalah hasil dialektika antara teks-teks otoritatif (al-Qur’an dan dalam kadar tertentu juga al-Hadits) dan realitas kemanusiaan, dialektika antara wahyu dan akal, dialektika antara yang samawi dan ardhi yang dibaca secara cerdas oleh anak-anak zamannya. Hanafi (W. 150 H), Maliki (W. 179 H), Hambali (W. 241 H) dan lain-lain adalah contoh pemikir yang melakukan pembacaan terhadap dialektika tersebut. Kata dialektika perlu digarisbawahi untuk memberikan kesan bahwa kedua belah pihak yang berdialog diletakkan dalam posisi tawar yang sejajar, tidak ada yang menang dan tidak ada yang dikalahkan. Dialektika itulah yang kemudian melahirkan aturan-aturan tata nilai yang benar-benar membumi sebagai dimensi kemanusiaan namun tetap memiliki nilai samawi sebagai dimensi keilahiyannya. Tata nilai itulah yang pada akhirnya disebut dengan hukum Islam (fiqh).
Kesalahan besar (mungkin juga ketidakmengertian) yang pernah dan sedang terjadi dalam rentang perjalanan sejarah fiqh adalah mengubah watak dialogis fiqh menjadi corak monologis. Di bawah tekanan corak kedua ini, akhirnya fiqh lambat laun namun pasti menuju kematiannya. Dalam tarikan nafas yang sama, peran akal, nilai tawar realitas-empiris dan hajat riil kemanusiaan terabaikan dan disia-siakan. Anehnya justru manusia sendiri yang melakukan pembunuhan terhadap unsur-unsur penting bangunan fiqh itu. Pada akhirnya fiqh dipahami sebagai hasil pemikiran ulama Arab klasik yang final dan berlaku universal. Inilah yang oleh al-Qarāfi ( W. 684 H) disebut ‘kesesatan (dalam) agama’. Al-Qarāfi menyatakan “al-jumud ‘ala al-manqulat abadan dhālalun fi al-din wa jahlun bi maqāsidi ulama al-muslimin wa al-salafi al-madhin” (ketundukan tanpa batas terhadap produk hukum tertentu adalah kesesatan dalam agama dan ketidakmengertian terhadap tujuan ulama salaf masa lalu).
Ulama-ulama madzhab sendiri yang pemikiran hukumnya diikuti oleh hampir seluruh umat Islam di dunia, tidak pernah menganggap dirinya sebagai manusia suci (ma’shum) yang terbebas dari kesalahan. Semua ulama madzhab menyerukan untuk tidak mengamini pemikirannnya secara (membabi) buta. Imam Ahmad bin Hambal – yang dikenal dengan ulama tradisionalis-literalistik – misalnya, menyatakan kepada sahabat-sahabatnya: “janganlah kalian bertaqlid kepadaku, jangan pula pada Syafi’i, al-Auza’i dan lain-lain. pilihlah hukum Tuhan dari sumber mana mereka menemukannya.
Tidak diragukan lagi, ijtihad-ijtihad baru harus kita buka kembali lebar-lebar seiring dengan kebutuhan untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan yang semakin kompleks. Sudah saatnya kata “ijtihad” diakrabkan dengan keseharian masyarakat muslim dan di atas semua itu betul-betul diaplikasikan dalam upaya produktivitas fiqh. Untuk kepentingan ijtihad ini, metodologi ushul fiqh perlu mendapat ruang yang sewajarnya. Menurut al-Ghazali, syarat utama yang harus dipenuhi dalam proses ijtihad adalah perangkat metode ushul fiqh. Kebenaran hasil ijtihad salah satunya ditentukan oleh ketepatan dalam menggunakan metode ini.
Ushul fiqh adalah seperangkat metode untuk melakukan pembacaan terhadap dialektika antara teks dan realitas empiris masyarakat. Sebab itulah, agenda besar ushul fiqh adalah analisis teks dan analisis maqāsid al-syariah Analisis teks diarahkan untuk memahami al-Qur’an dan juga al-Hadits secara benar. Sedangkan analisis maqāshid al-syariah ditujukan untuk mempersambungkan makna teks terhadap realitas empiris dan kebutuhan riil masyarakat. Analisis teks dan analisis maqāshid al-syariah harus dijalankan secara padu ketika seseorang hendak mengijtihadi problem kemanusiaan. Ijtihad yang hanya bertumpu pada teks akan melahirkan corak fiqh yang kering dari nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya ijtihad yang hanya berpijak pada maqāshid al-syariah akan mengakibatkan tampilan wajah fiqh yang liar dan sulit diterima nalar logika masyarakat, khususnya masyarakat yang masih mempercayai teks, terlebih teks suci.
Untuk memenuhi kebutuhan analisis teks, ushul fiqh menghadirkan kaidah-kaidah kebahasaan yang luar biasa rumit sekaligus menarik. Dimulai dari kategori lafadz (kata) al-‘am, al-khās, al-mutlaq, al-muqāyyad, al-amr, al-nahi, al-musytarāk, al-muawwal, al-haqiqāh, al-majaz, al-kinayah, ad-dhāhir, an- nash, al- mufassar, al-muhkam, al-khāfi, al-musykil, al-mujmal dan al-mutasyabih sampai pada teori kalimat yang terdiri dari al-manthuq, al-mafhum, ibarāh al-nash, isyarāh al-nash, dalalah al-nash dan iqtidhā’ al-nash.
Teori-teori tersebut dapat digunakan untuk membuka sekian makna-makna teks yang masih tersembunyi. Bukankah, ucap Ali ra, al-Qur’an hammalu aujuh, mengusung banyak kemungkinan arti? Arti-arti yang menggenang bagai air lautan yang terkungkung dalam celah-celah teks hanya dapat dibaca dengan berbagai macam teori. Nah, ushul fiqh menyediakan teori-teori tersebut.
Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah analisis maqāsid al-syariah sebagai tujuan substanstif kehadiran aturan hukum. Ulama terkemuka seperti al-Ghāzali (W. 504 H), ath-Thufi (W. 716 H) dan juga asy-Syātibi (W. 780 H) telah memberikan eksplorasi menarik dan mendalam atas wacana ini. Sekalipun konsep maslakhah mereka masih terkesan teosentris namun ada setitik cahaya yang dapat kita gunakan sebagai lentera untuk membangun maslakhah yang lebih manusiawi dan memberikan jaminan kesejahteraan pada seluruh umat manusia.
Di sisi lain ushul fiqh mempersiapkan metode-metode alternatif lain ketika problem kemanusiaan tidak dapat dicukupi secara langsung oleh teks setelah dilakukan pembacaan secara konprehensif. Istihsan , al-urf, al-qiyas, sadd al-dzari’ah, maslahah al-mursalah adalah sebagian metode alternatif itu. Metode yang pertama dan yang kedua ini tidak bersifat hirarkis, melainkan berjalan beriringan dan saling melengkapi.[3]
Sudah saatnya fiqh dibangun bukan hanya berangkat dari teks suci dan bukan semata berpijak pada realitas empiris tetapi dengan cara mendialogkan terus-menerus antara dimensi teks dan realitas kemanusiaan. Ushul fiqh layak digunakan sebagai alat baca dialektika tersebut. Sudah saatnya ushul fiqh bukan hanya dibaca di ‘alep barakahnya’ tetapi divitalkan untuk membangun fiqh yang akomodatif terhadap kebutuhan umat manusia. Selama ini ushul fiqh belum – kalau tidak dikatakan tidak sama sekali – digunakan sebagi metode ijtihad di Indonesia. Organisasi-organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah yang dikenal memiliki tokoh-tokoh cerdas (ulama) belum benar-benar menggunakan metode ushul fiqh dalam perhelatan ilmiah mereka. Bahtsul masa’il di tingkat manapun masih diramaikan dengan perburuan-perburuan rujukan kitab klasik sekalipun kadang terlalu dipaksakan. Bahkan tak jarang terdapat beberapa persoalan yang mauquf (dasar hukumnya  tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih). Sebab bagaimanapun rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Maka disinilah diperlukanya “fiqih baru” yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqih serta qawa’id (kaidah-kaidah fiqih). [4]
Dengan kembali menjadikan ushul fiqh sebagai metode ijtihad (bermadzhab secara manhaji), fiqh akan menjadi lebih membumi dan manusiawi dari pada fiqh yang ada saat ini.

Simpulan

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa salah satu dari lima ciri pokok fiqh social – fiqh yang dapat “membela” aspek social masyarakat saat ini – sesuai hasil rumusan dari serangkaian halaqah NU bekerja sama dengan RMI dan P3M adalah bermadzhab secara manhaji. Yaitu dengan mendalami kajian usul fiqh dan qawaidul fiqh sebagai metodologi pemutusan hukum terkait dengan problematika aktual yang belum sempat terpikirkan oleh ulama’ terdahulu. Karena dengan kedua kajian itulah ulama’-ulama’ salaf menghasilkan dan memutuskan hukum.
Semoga lembaga-lembaga keagamaan kita, seperti “Majelis Tarjih” Muhammadiyyah, dan “Majlis Bahtsul Masail” Nahdlatul Ulama’ mampu menutupi kelemahannya masing-masing. Seperti yang diungkapkan oleh Rifyal Ka’bah, dalam hasil penelitiannya bahwa kelemahan “Majlis Tarjih” Muhammadiyyah dalam metode penetapan hukum antara lain bahwa, majlis ini, cenderung kurang memperhatikan pendapat-pendapat para ulama’ terdahulu, dan mengklaim bahwa keputusan yang ada merupakan hasil ijtihad-ijtihad majlis yang langsung disandarkan kepada Al-qur’an dan Al-Hadist.
Sementara itu “Majlis Bahtsul Masail” Nahdlatul Ulama’ cenderung hanya mencukupkan diri pada pendapat-pendapat para ulama’ terdahulu (memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqaha) dan kurang memperhatikan sumber pokok, yaitu Al-qur’an dan Al-Hadist.[5] Sedangkan  untuk melakukan istimbath yang cenderung ke arah perilaku ijtihad oleh ulama NU dirasa sangat sulit, karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya muj’tahid.

&



[1] Mahasiswa STAI Ma’had Aly AL-HIKAM Malang



[5] Kasuwi Saiban,2005, Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, (Malang: Kutub Minar), cet. 1, hal 10

No comments:

Post a Comment