Tuesday, February 5, 2013

Historical Approach to the ‘Umar Progressive Thought


Historical Approach to the ‘Umar Progressive Thought
Oleh: Sulhan

A.    Latar belakang Masalah
Salah satu ciri utama pemikiran Khalifah yang kedua, Umar Ibn Khattab adalah bahwa ia menganggap dirinya berhak atas otoritas yang luas sebagai penguasa. Dia memberikan hak yang khusus pada dirinya sendiri, bukan hanya pada urusan-urusan politik dan pemerintahan, akan tetapi juga dalam masalah perwakilan ketuhanan dan menetapkan hukum.[1]
Pemikiran progressif Umar yang sangat popular adalah kebijakan yang diambilnya yang terkesan sangat berani pada saat memutuskan masalah para pencuri pada masa paceklik. Umar dianggap berani tidak menerapkan had mencuri (Had al-Sariqoh) terhadap para pencuri di masa itu. Hal ini dianggap oleh kalangan Islam liberal sebagai energy positif untuk lebih menumbuh-suburkan ciri khas pemikiran keislamannya.[2]
Pro-kontra terhadap pemikiran progressif Umar tidak hanya terjadi pada masa itu, di mana mayoritas pemikiran para sahabat lebih cenderung kanan, ahlu al-hadits, akan tetapi hal itu berlanjut pada masa sekarang. Munawir Sjadzali, dalam makalahnya berjudul Reaktualisasi Ajaran Islam menulis tentang Umar bin Khathab: Selama menjabat beliau telah mengambil banyak kebijaksanaan dalam bidang hukum yang tidak sepenuhnya sesuai dengan bunyi ayat-ayat Alquran.[3]
Brangkat dari paparan di atas, terdapat suatu teori yang menyatakan bahwa tidak ada satupun pemikiran yang benar-benar lepas dari latar belakang pemikirnya. Hal ini mendorong Penulis untuk mengungkap kilas balik (track record) latar belakang kehidupan pribadi sosok Umar Ibn Khattab. Tulisan ini akan dimulai dengan suguhan kepribadian Umar pada masa jahiliyah, kemudian masa umar masuk Islam, masa-masa mendampingi Nabi, masa mendampingi Khalifah Abu Bakar, hingga pada masa beliau menjadi Khalifah yang kedua.
Adapun metode yang penulis gunakan adalah study pustaka literatur-litaratur sejarah tentang Umar Ibn Khattab. Sumber literatur sejarah yang akan Penulis kutib terbagi menjadi dua, yang pertama adalah sumber utama (primary resource)  diantaranya adalah Tarikh al-Thobary, Tharikh al-Muluk wa al-Umam, Tarikh Ibn Mas’ud, Tarikh Khulafa’, Umar Ibn Khattab, Karya Muhammad Husain Haikal. Sedangkan yang kedua adalah sumber sekunder/secondary resource, diantara yaitu Sejarah Khalifah, The Great Leader of Umar Bin al-Khattab, Para Pewaris Muhammad, dan buku-buku sejarah lainnya.

B.     Paparan Data
1.      Silsilah ‘Umar Ibn Khattab
Umar Ibn Khattab lahir pada  tahun 13 paca tahun Gajah.[4] Ayahnya bernama al-Khattab Ibn Nufail Ibn Abd Uzza Ibn Abdullah Ibn Qurt Ibn Razah Ibn ‘Ady Ibn Ka’ab.[5] Sedangkan Ibunya bernama  Khatmah Binti Hasyim Ibn Mughiroh Ibn ‘Umar al-Makhzumi. Rasulullah memberikannya julukan Abu Hafs setelah beliau memeluk Islam.[6] Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta warna kulitnya putih kemerah-merahan.[7] Postur tubuhnya tinggi besar seolah-olah ia sedang mengendarai kendaraan karena saking tingginya, tubuhnya kuat dan tidak lemah. Ia suka menyemir rambut dan jenggotnya dengan bahan pewarna al-hinna. Ia memiliki cambang yang panjang dan lebat. Kalau berjalan, jalannya cepat, kalau bicara, omongannya didengar, dan kalau memukul, pukulannya sangat menyakitkan.[8]
Umar tinggal di kapung yang terletak di Safa dan bergabung dengan kabilah Banu Sahm yang berada di sebelahnya. Nenek moyang Umar merasa dipacu oleh persaingan antara dua kelompok tersebut, yang kendati jumlah orangnya lebih kecil dengan kedudukan yang lemah dibandingkan dengan kabilah-kabilah besar lainnya. Dalam ilmu dan kearifan mereka lebih tinggi. Ilmu dan kearifan ini menempatkan mereka lebih  terkemuka   dalam   tugas-tugas   sebagai   penengah dan dalam mengambil  keputusan      jika    timbul    perselisihan. Mereka   yang   menjadi   juru   bicara   mewakili   Kuraisy   dalam   menghadapi kabilah-kabilah lain  manakala   timbul   perbedaan   pendapat,   yang   biasanya   berakhir   dengan perundingan Kepemimpin mereka disukai dalam menghadapi   perselisihan; mereka fasih berbicara, pandai bertutur kata. Kearifan itu kemudian melahirkan orang yang   bernama  Zaid bin Amr, salah seorang   yang   menjauhi   penyembahan berhala dan menolak makanan  dari  hasil   kurban  untuk   berhala   itu.   Di   samping   dia   ada   pula orang   yang   bernama   Umar   bin   Khattab,   yang   merasa   bangga  karena   ia menjadi   anggota  kabilah   itu.[9]
Ayahnya Khattab, sebenarnya adalah orang yang cerdas, sangat dihormati di kalangan masyarakatnya, pemberani. Dengan tangkas dan tabah ia memimpin Bani Ady dalam beberapa pertempuran.[10] Selain itu, Khattab dikenal sebagai pria yang kasar dank eras. Hal itu tampak misalnya ketika ia menganiaya keponakannya sendiri, Zaid Ibn Amr Ibn Nufail, ayah Sa’id Ibn Zaid, salah satu sepuluh orang yang diberi kabar gembira (al-‘asyrah al-mubasysyarina bi al-jannah). Zaid termasuk orang yang menolak dengan keras untuk menyembah berhala. Ia mengngkari perilaku kaumnya yang melakukan adat dan perbuatan jahiliyah. Ia sering mengatakan, “wahai kaum Quraisy, demi zat yang aku berada dalam kekuasaan-Nya, tidak ada seorangpun diantara kalian yang tetap berada dalam agama Ibrahim, kecuali Aku” ayah Sa’id ini meninggal lima tahun setelah kenabian. Khattab dikenal sering menyiksa setiap orang dari kaumnya yang masuk islam. Sifat kasar dan keras inilah yang kemudian diwarisi anaknya, Umar ibn Khattab.[11]
2.      Umar di Masa Jahiliyah
Masa kecil dan remaja
Semasa anak-anak Umar dibesarkan seperti layaknya anak-anak Quraisy. Yang kemudian membedakannya dengan   yang   lain,   ia   sempat belajar   baca-tulis,   hal   yang   jarang   sekali   terjadi  di  kalangan   mereka. Dari   semua   suku    Kuraisy   ketika   Nabi   diutus   hanya   tujuh   belas   orang yang   pandai   baca-tulis.   Sekarang   kita   mengatakan      bahwa   dia   termasuk istimewa di   antara teman-teman   sebayanya.  Orang-orang  Arab   masa   itu tidak   mengangga  pandai  baca-tulis    itu  suatu  keistimewaan, bahkan mereka   malah      menghindarinya   dan menghindarkan  anak-anaknya   dari  belajar.
Sesudah  Umar   beranjak     remaja   ia   bekerja   sebagai    gembala   unta ayahnya  di   Dajnan  atau   di   tempat   lain   di   pinggiran   kota Mekah.   Sudah kita  sebutkan ia bercerita tentang   ayahnya  serta tindakannya  yang  keras kepadanya saat ia menggembalakan  untanya. Penulis al-'Iqdul Farid menyebutkan   bahwa   pada   suatu   hari   Umar   berkata   kepada   an-Nabigah al-Ja'di: Perdengarkanlah nyanyianmu kepadaku tentang dia. Lalu diperdengarkannya sebuah kata dari dia. "Engkau yang mengatakan itu?"   tanyanya"Ya."  "Sering   benar   kau   menyanyikan   itu   di   belakang Khattab." Menggembalakan unta  sudah  merupakan  kebiasaan dikalangan   anak-anak   Kuraisy   betapapun   tingkat  kedudukan   mereka.
Beranjak  dari  masa   remaja ke masa  pemuda sosok   tubuh  Umar tampak berkembang   lebih   cepat   dibandingkan   teman-teman   sebayanya, lebih tinggi    dan   lebih    besar.   Ketika    Auf    bin  Malik     melihat orang banyak  berdiri   sama   tinggi,    hanya    ada   seorang     yang   tingginya   jauh melebihi   yang   lain   sehingga sangat   mencolok.  Bilamana  ia  menanyakan siapa orang itu,  dijawab :  Dia Umar bin   Khattab.[12]
Pada masa jahiliyah, Umar ibn Khattab tidak hanya melakoni pekerjaannya sebagai pengembala. Sejak muda, ia sudah terampil dalam berbagai bidang olahraga. Ia terampil dalam bermain gulat dan pandai menunggang kuda. Disamping itu ia juga terampil dalam mencipta dan mendendangkan syair.[13] Ia juga menaruh perhatian terhadap masalah sejarah dan urusan-urusan kaum kuraisy. Ia sangat gemar mengunjungi pasar-pasar besar, seperti ‘Ukaz, pasar Majannah, dan pasar Dzu al-Majaz. Kunjungan ke pasar-pasar ini ia gunakan untuk berdagang dan mempelajari sejarah bangsa Arab serta untuk mengetahui pelbagai peristiwa yang sedang terjadi, kontes pembanggan keturunan, dan persengketaan diantara suku.[14] Di pasar-pasar tersebut terkadang juga diselenggarakan unjuk kebolehan untuk mencipta dan memperdandangkan syair di antara para penyair terkemuka. Hal ini menjadikan sejarah bangsa Arab menjadi dinamis, tidak statis. Terkadang, pertunjukan-pertunjukan di pasar-pasar tersebut menyulut perang antar-suku. Pasar ‘Ukaz sendiri telah menyulut api perang sebanyak empat kali. Perang-perang antar suku ini dinamalan perang al-fajjar.[15]

Pendidikan dan Konsep Pemikirannya
Inilah yang membuatnya lebih percaya diri dan lebih punya rasa harga diri. Orang yang berharta selalu perlu menjaga hubungan baik dengan semua orang untuk melindungi dan memperbesar kekayaanya. Orang     yang    dalam    usaha    perdagangan,  keberhasilannya  bergantung pada    kelihaian    serta  menguasai      segala   seluk  beluknya Tetapi orang  yang   haus   ilmu   dan   ingin   menambah      pengetahuannya, harta kekayaan tak  banyak mendapat  perhatian,  sebab orang   yang sudah keranjingan  harta cenderung tidak  memperhatikan  ilmu   dan   lebih  banyak  menggantungkan  diri  pada  masalah-masalah  dunia   dan   tunduk  pada yang lebi  menguasainya.  Tetapi  orang  yang  memandang  dunia  dan   harta  itu rendah   dan   memburu   ilmu   dan   pengetahuan   lebih   membanggakan   diri, sampai-sampai   ia mau   menjauhi   orang,   maka ia tidak   akan   tertarik pada segala   yang     ada   di  tangan    mereka   karena   ia   sudah    lebih   tinggi   dari semua  mereka.  Tingkat ini  yang belum dicapai  Umar  di  masa  mudanya. Rasa   bangga dan percaya diri yang luar biasa  itu,  itulah  yang  benar- benar   dihayatinya
Usaha  Umar dalam memburu pengetahuan  membuatnya  sejak mudanya  ia memikirkan nasib masyarakatnya dan  usaha apa yang akan dapat   memperbaiki keadaan mereka.   Ini juga  kemudian   yang   membuatnya bangga,  bersikeras  dan  menjadi   fanatik   dengan   pendapatnya   sendiri tentang   tujuan yang  ingin  dicapainya itu. Ia  tidak  mau dibantah atau berdebat. Karena sikap  keras dan   ketegarannya itu  sehingga dengan fanatiknya ia berlaku  begitu sewenang-wenang.   Ia akan mempertahankan  pendapatnya dengan tangan  besi   dan  dengan   ketajaman   lidahnya. Tetapi  yang demikian ini bukan tidak mungkin akan  mengubah  pendapat   orang   lain   yang   dihadapinya  untuk menjadi  bukti   kuat   dalam pembelaannya  dan   untuk  mematahkan   alasan   lawan.[16]
Sifat fanatik tersebut mungkin saja muncul karna sifat beliau yang keras dan kasar. Apa yang dikatakan umm Kulsum binti Abu Bakar tentang   watak-nya yang keras  dan   kasar,  dan   apa yang dikatakan   Umm Aban   bahwa  ia  selalu    bermuka masam dan   hidupnya  yang   serba    keras,  merupakan sebagian   dari   wataknya   yang   sejak   masa   mudanya,  dan   kemudian   tetap begitu    dalam   perjalanan hidup selanjutnya. Sesudah menjadi khalifah, maka dalam doa   pertamanya  ia  berkata:  "Allahumma  ya  Allah, aku  sungguh      tegar,   maka  lunakkanlah hatiku. Ya Allah,   aku   ini  lemah, berilah   aku   kekuatan. Ya  Allah   aku  sungguh kikir   jadikanlah aku orang pemurah."   Sejak  mudanya ia  sudah mewarisi  sikap   keras   dan   kasar   itu dari   ayahnya,   kemudian   didukung   pula   oleh   tubuhnya   yang   tetap   kekar dan   kuat.[17]  Catatan sejarah yang lain menulis bahwa Umar pernah melamar Istri Yazid bin Abi Sufyan, tetapi lamaran itu ditolak karena ia yakin bahwa Umar itu mudah marah ketika keluar dan memasuki rumah. Bahkan Aisyah yang memiliki hubungan dekar dengan khalifah, menghalangi dia menikahi saudara perempuannya karena alasan yang sama.[18]
Kedudukan Umar di tengah-tengah kaumnya.
Umar ibn Khattab punya kelebihan dalam kekuatan dan keberanian. Semua orang Quraisy mengenalnya dengan sifat itu, karena itulah, untuk suatu urusan, Umar ibn Khattab selalu ditunjuk sebagai duta mereka. Jika misalnya terjadi konflik internal atau perang yang melibatkan kaum Quraisy dengan pihak lain, mereka pasti menunjuk Umar sebagai juru bicara dan wakil mereka.[19]
Ibn al-Atsir mengatakan, Umar tergolong pembesar Quraisy. Di zaman Jahiliyah bila ada urusan yang menuntut didelegasikannya seorang utusan pada pihak lain, mereka akan memilih Umar ibn Khattab. Kaum Quraisy, jika terlibat konflik bersenjata, baik internal atau yang melibatkan orang lain, akan mengutus Umar sebagai juru runding. Bila ada seseorang yang menyerang, atau orang lain yang membanggakan diri di depan kaum Quraisy, mereka akan menjadikan Umar sebagai lawan orang itu untuk menandinginya.[20] Hal ini wajar terjadi karena selain Umar memiliki kekuatan dan keberanian, ia juga pandai mengolah kata-kata dan fasih berbicara.
3.      Mendampingi Nabi
Kesetiaan Umar pada Rasulullah s.a.w sejak masuk Islam, ibarat kesetiaan kepala pada tubuh, malam dan siang, bayangan dan pemilik bayangan. Umar tak pernah berpisah dengan Rasulullah, baik ketika beliau melakukan perjalanan maupun tidak. Bahkan bagi Umar, waktu terindah adalah saat bertemu dengan kekasihnya, Muhammad s.a.w berada di sisi Rasulullah adalah harapan dan kesenangan tersendiri bagi Umar. Tak ayal peristiwa yang dialami Rasulullah, semuanya disaksikan oleh Umar ibn Khattab.[21]
Bukti kecintaan Umar kepada Rasulullah terlihat pada suatu riwayat yang menyatakan “Kami sedang bersama Nabi Muhammad s.a.w Beliau ketika itu sedang memegang tangan Umar ibn Khattab. Umar lalu mengatakan, ‘wahai Rasulullah, kau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku’ Nabi menjawab, ‘Tidak, demi Dzat yang aku berada dalam genggaman-Nya, sampai aku lebih kau cintai daripada dirimu sendiri’ Umar lalu berkata, ‘sekarang demi Allah, Kau lebih aku cintai daripada diriku sendiri’ Nabi berkata, ‘Sekarang, wahai Umar’.”[22]
Cinta dan kesetiaan dan pengorbanan Umar ibn Khattab terhadapa Rasulullah s.a.w tidak dapat diragukan lagi. Penulis-dalam konteks tulisan ini- tidak perlu mengulas panjang lebar tentang masalah itu. Akan tetapi yang menjadi titik tekan adalah bagaimana proses interaksi Umar dengan Rasulullah dalam masalah ilmu, sehingga dengan ini, diharapkan akan ditemukan korelasi antara pemikiran progresif Umar dengan latar belakang kehidupannya, baik sejak kecil, remaja, dan dewasa (pada masa Jahiliyah), ataupun ketika mendampingi dakwah Rasulullah melalui segara bentuk interaksi transfer of knowledge.
Keilmuan Umar
Umar Ibn Khattab tergolong ulama terkemuka dan hakim yang adil. Ia menjadi rujukan para sahabat sepeninggal Rasulullah s.a.w. Tak heran, karena sahabat ini belajar langsung di madrasah Rasulullah s.a.w Ia memperoleh “hidangan” ilmu secara langsung dari Rasulullah s.a.w. Rasulullah sendiri mengakui dan bersaksi atas hal itu.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hadits Abdullah ibn Umar, “Aku mendengar Rasulullah s.a.w bersabda, ‘saat tidur aku bermimpi, aku diberi semangkuk susu. Lalu aku minum sampai aku melihat susu itu keluar di antara jari-jariku. Aku berikan sisanya kepada Umaar ibn Khattab’. ” mendengar cerita itu, para sahabat bertanya, “bagaimana engkau menakwilkan mimpi itu, wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “ilmu” (HR.Bukhori Muslim)[23]
Imam Nawawi menjelaskan, susu ditafsirkan dengan ilmu karena keduanya sama-sama memberikan manfaat dan mendatangkan kebaikan. Susu adala makanan bagi bayi yang bisa membuat mereka sehat, dan badan menjadi kuat. Sedang ilmu merupakan sebab kebahagiaan dunia dan akhirat.[24]
Mimpi Rasulullah s.a.w memang benar adanya, tafsir mimpi yang beliau lakukan juga benar. Bahkan penjelasan Imam Nawawi juga sangat tepat sekali. Hal ini karena Umar adalah sahabat yang paling menonjol dalam hal keilmuan daripada sahabat yang lain. Pada masa nabi, terdapat beberapa peristiwa yang menunjukkan kecerdasan Umar dalam memutuskan sesuatu, dan hal itu mayoritas dibenarkan oleh wahyu yang turun setelahnya.
Salah satu peristiwa yang terjadi adalah masalah perang badar dan tawanan perang.[25] Muslimin menawan tujuh puluh orang Kuraisy,  kebanyakan   pemimpin-pemimpin dan   orang-orang   berpengaruh di kalangan mereka. Umar   bin    Khattab   termasuk   orang   yang   paling   keras   ingin  membunuh  para   tawanan      itu.   Tetapi   para   tawanan    itu  masih    ingin   hidup   dengan jalan penebusan.  Mereka  mengutus  orang    kepada  Abu  Bakr agar  membicarakan dengan Rasulullah  untuk bermurah  hati   kepada mereka dan    mereka   bersedia   membayar   tebusan. Abu Bakr berjanji akan  berusaha.  Tetapi   karena  mereka khawatir Umar akan mempersulit keadaan,  mereka juga   mengutus  orang  kepada  Umar dengan   pesan   seperti   kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga. Abu Bakr datang  menemui Rasulullah dengan permintaa agar bermurah hati kepada  para   tawanan  perang   itu   atau   menerima   tebusan dari  mereka, yang berarti  dengan   demikian  akan   memperkuat Muslimin.  Tetapi Umar tetap   keras   dan   tegar.  "Rasulullah, " katanya. "Mereka musuh-musuh Allah.  Dulu   mereka mendustakan, memerangi dan mengusir Rasulullah. Penggal sajalah leher   mereka.   Mereka   inilah   biang   orang-orang   kafir, pemuka-pemuka   orang  sesat. Allah sudah menghina kaum musyrik   itu dengan   Islam." [26]
  Dalam hal  ini Rasulullah bermusyawarah dengan Muslimin dan berakhir     dengan menerima   tebusan dan   Nabi   membebaskan   mereka.Tetapi  tak   lama sesudah   itu   datang  wahyu   dengan   firman   Allah   ini :
      "Tidak sepatutnya  seorang  nabi  akan mempunyai tawanan- tawanan  perang, sebelum  ia selesai berjuang di dunia. Kamu menghendaki harta benda dunia; Allah menghendaki akhirat. Allah Mahakuasa, Mahabijaksana." (Qur'an, 8:67).[27]
Begitulah Umar,  memberikan   pendapatnya  sekitar   peristiwa   Badr,  seolah  sudah  melihat    peristiwa    itu  sebelum    terjadi,   seperti   halnya dengan  soal   azan   untuk   salat.   Dengan   demikian   Nabi   dan   kaum   Muslimin   sangat   menghargai   pendapatnya,   kedudukannya   makin  tinggi  di samping  Nabi  dan   di  kalangan   kaum Muslimin   umumnya.
Wahyu turun memperkuat   pendapat   Umar   mengenai   para   tawanan perang.[28]  Ini juga yang  membuat Umar makin   dekat di   hati Nabi.  Ia  telah menjadi   pendampingnya  seperti juga Abu   Bakr:   Hafsah   putri   Umar   istri Khunais   bin    Huzafah,  adalah salah  seorang   yang   mula-mula   dalam   Islam.   Tetapi    Hafsah   ditinggalkan wafat oleh  Khunais beberapa  bulan sebelum Perang Badr.  Kemudian  Rasulullah  menikah dengan  Hafsah, seperti  dengan   Aisyah   putri   Abu   Bakr   sebelum itu. Pertalian  semenda ini   makin   mempererat   hubungan   Nabi   dengan   Umar, sehingga  dengan demikian  lebih  memudahkan Umar sering datang  menemui  Nabi, seperti juga Abu Bakar.
Karena semakin dekatnya Umar dengan Rasulullah, Umar yang memiliki pemikiran cedas, ulet, dan kritis, selalu mengikuti perjalanan tasyri’ al-Islamy yang dilakukan oleh Rasulullah dengan kontrol wahyu. Pemikiran progresif beliau semakin terasah pada masa Khalifah Abu Bakar al-Siddiq.
4.      Umar di Masa Khalifah Abu Bakar
Setelah Rasulullah mengahadap Allah s.w.t, terjadi peristiwa yang sangat genting pada masa itu, dimana jasad Rasul belum dikebumikan, kaum muslimin berada dalam masalah besar. Mereka berdiskusi sangat a lot sekali hingga benih-benih perpecahan mulai tampak, kalau saja bukan Umar yang membai’at Abu bakar agar menjadi pengganti Nabi untuk memimpin kaum muslimin, serta mengakhiri perselisihan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, niscaya perselisihan di bukit bani Tsaqifah tersebut akan berujung pada perpecahan di antara umat Islam waktu itu.
Setelah terpilihnya Abu Bakr sebagai Khalifah, seluruh urusan umat Islam berasa pada tampuk kepemimpinannya. Umar adalah sahabat dan penasihat terdekat. Hal ini yang menbuat Umar menjadi nominator terkuat meneruskan kekhalifahan Abu Bakr. Maka ketika Abu Bakr wafat, kaum muslimin sepakat membai’at Umar sebagai Khalifah baru.[29]
Karena posisinya yang sangat dekat dengan Kholifat Abu Bakar, maka dalam kebijakan-kebijakan, baik politik maupun keagamaan, Umar selalu memberikan kontribusi pemikiran-pemikiran progresifnya. Salah satu pemikiran ijtihadnya adalah masalah pemhimpunan al-Quran. Sebebutkan dalam beberapa riwayat bahwa ketika terjadi ekspedisi Yamamah, dan banyak dari penghafal al-Quran yang ikut dalam peperangan mati syahid, Umar ibn Khattab dating dating menemui Abu Bakr yang sedang berada di Masjid. Umar berkata kepada Abu Bakr “Pembunuhan yang terjadi dalam perang yamamah sudah makin memuncak” katanya kemudian kepada Abu Bakr, “saya hawatir di tempat-tempat lain akan bertambah banyak penghafal al-Quran yang akan terbunuh, sehingga al-Quran akan banyak yang hilang. Saya mengusulkan agar al-Quran dihimpun” usul yang dirasakan Abu Bakar sangat tiba-tiba itu dijawab dengan pertanyaan, “bagaimana saya akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam”[30] maka terjadilah dialog panjang antara kedua tokoh itu yang kemudian membuat Abu Bakr puas dengan pendapat Abu Bakar.[31] Ketika kesepakatan untuk menghimpun al-Quran itu disampaikan kepada Zaid ibn Tsabit[32] untuk melakukan penghimpunan al-Quran. Respon yang sama dilakukan oleh Zaid ibn Tsabit, beliau berkata, “bagaimana anda berdua melakukan itu, yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.” maka kata Abu Bakar”itu sungguh bagus” kemudian Zaid menyudahi pembicaraan itu dengan mengatakan, “Kemudian Allah membukakan hasti saya seperti terhadap Abu Bakar dan Umar”. Zaid meninggalkan termpat itu dan selanjutnya bekerja melacak dan menghimpun al-Quran dari lempengan-lempengan, dari tulang-tulang, kepingan-kepingan pohon kurma dan dari hapalan sahabat Nabi.[33]
Pemikiran-pemikiran progressif yang lahir dari kecerdasan, keuletan, dan ketelitian Umar semakin berkembang pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Tercatat ada sedikitnya ada empat kasus yang beliau ijtihadi pada masa khalifah Abu bakar ini, termasuk kasus penghimpunan al-Quran.
Kemudian ketika sakit Abu Bakar semakin parah, ia mengumpulkan beberapa oarng dari pemuka sahabat. Abu bakar memerintahkan untuk memilih pemimpin mereka, agar kejadian di bukit bani Tsaqibah tidak terulang lagi. Para sahabatpun menyelenggarakan musyawarah. Setiap orang menolak  dirinya dicalonkan dan malah mencalonkan sahabat lain yang dianggap layak menjadi khalifah. Karena musyawarah tersebut tidak membuahkan hasil, maka mereka mengembalikan  persoalan tersebut kepada Abu Bakar. Abu Bakar, Setelah melakukan musyawarah, meminta pendapat Abdurrahman ibn Auf tentang Umar ibn Khattab, kemudian Utsman ibn Affan. Mereka berdua sama-sama menjawab bahwa Abu Bakar lebih tahu tentang Umar daripada keduanya. Kemudian terpilihlah Umar ibn Khattab sebagai Khalifah pengganti Abu Bakar.[34]

5.      Menjabat Khalifah Kedua
Menjabat Khalifah kedua sebagai pengganti Abu Bakar adalah suatu kehormatan tersendiri bagi Umar ibn Khattab. Akan tetapi, kalau dilihat dari track record sebelumnya, baik Khattab maupun Umar sendiri, sosok Umar sebenarnya memiliki darah-darah kepemimpinan yang amat kental. Khattab, ayah Umar, adalah seorang pemimpin suku Bani Adi,[35] sedangkan Umar sendiri, karena keberanian dan kecerdasannya, selalu ditunjuk untuk menjadi duta kaumnya ketika ada konflik baik internal ataupun melibatkan suku-suku yang lain.[36] Maka keputusan Abu Bakar menunjuk Umar untuk meneruskan tugas kekhalifahan adalah suatu keputusan yang tepat.
Gaya kepemimpinan Umar berbeda dengan khalifah Abu Bakar. Rasul Ja’farian melakukan analisa yang hasilnya dia menemukan karakteristik kepemimpinan Umar. Umar Ibn Khattab menganggap dirinya berhak atas otoritas yang luas sebagai penguasa. Dia memberikan hak yang khusus pada dirinya sendiri, bukan hanya pada urusan-urusan politik dan pemerintahan, akan tetapi juga dalam masalah perwakilan ketuhanan dan menetapkan hukum.[37]
Karena kecintaannya kepada Ilmu, maka beliau sangat mendukung aktifitas-aktifitas ilmiyah. Salah satu statemen beliau adalah “Ilmu itu meski tidak memberikan manfaat kepadamu, ia tidak akan membahayakanmu”. Statemen yang lain adalah “meninggalnya seribu ahli Ibadah lebih ringan dari pada meninggalnya seorang ahli ilmu yang benar-benar memahami halal dan haram”. Statemen yang lain adalah “belajarlah ilmu dan ajarkan pada orang, belajarlah keteduhan dan ketenangan, bersikap rendah dirilah pada orang yang mengajarkan ilmu padamu dan pada orang yang kau ajari, jangan sombong terhadap ulama’ nicaya ilmumu tidak mengajari kebodohanmu”.[38] Statemen Umar tersebut menunjukkan bahwa beliau sangat mengapresiasi ilmu, para pencari ilmu, dan yang mengajarkan ilmu. Beliau sangat mendorong segala macam aktifitas ilmiyah pada masa kepemimpinan nya untuk menciptakan suasana ilmiyah di kota Madinah. Selain anjuran untuk bergelut dalam dunia ilmiyah, Umar juga memberikan warning kepada para sahabat untuk hati-hati dengan penyakit sombong, mereka harus selalu menciptakan suasana saling “respek” meski terjadi perselisihan pendapat, tidak boleh ada fanatisme pendapat.
Kecintaan Umar terhadap ilmu menjadikan beliau sangat responsif menghadapi setiap peristiwa yang terjadi. Sesuai analisa yang dilukan oleh  Rasul Ja’farian, Umar memiliki otoritas yang sangat luas untuk memberikan fatwa dari hasil pemikirannya sendiri dalam menyikapi setiap persoalan yang terjadi, baik politik maupun agama. Hal ini, sebetulnya adalah masa puncak di mana Umar sangat leluasa untuk mengasah dan mengembangkan intelektualnya yang dibangun mulai masa kecil. Akan tetapi, hal yang perlu untuk digaris bawahi adalah bahwa Umar sangat hati-hati dalam memutuskan suatu perkara. Kebersamaan dan kedekatannya dengan Nabi serta kedekatannya dengan Khalifah Abu Bakar membuatnya memiliki pengalam yang lebih daripada sahabat yang lain. Umar telah banyak makan asam garam baik ketika mendampingi Nabi maupun Khalifah Abu Bakar. Dari kebersamaannya dengan Nabi dan Abu Bakar, Umar berusaha mengambil substansi dari apa yang pernah dilakukan baik oleh Nabi maupun oleh Abu Bakar. Substansi tersebut beliau gunakan sebagai alat untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan konteks dan tempat yang berbeda.
Salah satu produk pemikiran (ijtihad) Umar yang masih mengalami pro-kontra sampai saat ini adalah kebijakan beliau untuk tidak menerapkan hukuman potong tangan (had al-sariqoh) pada para pencuri. Umar melihat adanya daruroh pada permasalahan tersebut. Peristiwa pencurian tersebut terjadi pada musim paceklik, dimana sangat sulit bagi orang Madinah untuk mencari pekerjan. Ditambah lagi hilangnya rasa kepedulian sesame di kalangan kaum muslimin. Orang kaya waktu itu, tidak mau tau terhadap apa yang dialami saudara seagama mereka. Akibatnya adalah marak terjadi pencurian dan perampokan. Setelah memahami dengan cermat kasus tersebut, Umar tidak menerapkan perintah al-Quran untuk memotong tangan para pencuri tersebut. Hal ini dilakukan karena Umar berfikir jika potong tangan diterapkan, maka orang-orang akan semakin susah untuk menjalani kehidupan mereka hanya satu tangan ketika melakukan pekerjaan.
Pemikiran-pemikiran (ijtihad-ijtihad) semakin berkembang dan sampai pada puncaknya di masa ini. Selain menjadi seorang pemimpin Negara, beliau adalah faqih karena kecerdasan dan keluasan ilmunya yang mulai diasah dari sejak kecil, remaja, waktu mendampingi Nabi, hinggan menjadi penasehat Khalifah Abu Bakar.
C.    Analisis
Seperti telah diuraikan dalam latarbelakang masalah, Penulis ingin mengulas kilas balik kehidupan pribadi seorang Umar bin Khattab. Hal ini dilakukan karena pada masa Nabi maupun Khulafaur Rasyidin, jarang ditemukan sahabat yang memiliki pemikiran cerdas seperti halnya sahabat Umat. Oleh karena itu, berangkat dari sebuah teori yang menyatakan bahwa tidak ada satupun pemikiran yang benar-benar lepas dari latarbelakang pemikirnya.
Pada bagian analisis ini, Penulis berusaha untuk memaparkan korelasi antara kehidupan Umar bin Khattab sebelum ia masuk Islam dengan hasil produk pemikiran-pemikiran progresifnya.
Khattab, ayah Umar, meski berkepribadian kasar, tapi beliau adalah orang yang cerdas, tidak jarang beliau memecahkan persoalan yang dialami sukunya waktu itu. Selain itu, beliau adalah orang dipercayai untuk memimpin sukunya. Dua hal positif yang dimiliki oleh Khattab ini yang kemudian diwariskan kepada anaknya, Umar bin Khattab.
Pada masa kecilnya, Umar ibn Khattab memang dibesarkan seperti layaknya anak-anak Quraisy. Akan tetapi yang istimewa darinya yang kemudian membedakannya dengan   yang   lain adalah bahwa ia   sempat belajar   baca-tulis,   hal   yang   jarang   sekali   terjadi  di  kalangan mereka. Dari   semua   suku    Kuraisy   ketika Nabi diutus   hanya   tujuh   belas   orang yang   pandai   baca-tulis.   Sekarang   kita mengatakan bahwa  dia   termasuk istimewa di   antara teman-teman   sebayanya.  Orang-orang Arab masa itu tidak menganggap pandai  baca-tulis itu suatu  keistimewaan, bahkan mereka   malah      menghindarinya   dan menghindarkan  anak-anaknya   dari  belajar.
Itulah awal di mana Umar kecil mendapatkan kesempatan istimewa untuk memulai langkahnya masuk dalam dunia intelektual. Suatu generalisasi yang hampir tidak terbantahkan bahwa baca tulis adalah kompetensi yang harus dimiliki seseorang untuk masuk dalam dunia intelektual. Umar, pada masa kecilnya adalah orang yang yang memiliki kompetensi langka yang pada masa itu hamper mayoritas orang Arab tidak suka atau bahkan melarang anaknya untuk belajar baca-tulis. Oleh karena itu, Umar adalah orang yang istimewa di kalangannya waktu itu, karena dialah satu-satunya orang yang belajar baca-tulis dan kemudian memiliki kompetensi dalam hal itu.
Pada masa mudanya, Umar memilki beberapa keahlian, diantaranya adalah adu gulat, memacu kuda, menyukasi sastra, baik mencipta dan mendendangkan syair, dan yang paling penting lagi adalah ia sangat menyukai ilmu pengetahuan. Nampaknya kompetensi baca-tulis yang ia miliki mulai memberikan stimulus positif kepadanya dengan mendorongnya untuk menyukasi sastra dan ilmu pengetahuan.
Adapun terkait dengan kesukaannya dalam masalah sastra. Dia selalu datang ke pasar-pasar di Makkah-di antaranya adalah pasar Ukaz- untuk menonton para penyair yang mendendangkan syairnya. Tidak hanya menonton, terkadang ia juga mencipta dan mendendangkan syairnya.
Sedangkan dalam ilmu pengetahuan, beliau termasuk orang yang memiliki paradigma berbeda dengan orang-orang pada masanya. Beliau memang, seorang pedagang-karena mayoritas mata pencaharian di sana adalah berdagang, bertani, dan ternak- beliau memang menjelajahi berbagai Negara untuk berdagang, seperti ke syam atau bahkan ke syiria. Akan tetapi nampaknya Umar memiliki misi lain dari hanya sekedar mencari laba dalam perdagangan. Misi tersebut adalah ilmu pengetahuan dan sejarah. Umar sangat mencintai ilmu pengetahuan, kecintaannya kepada pengetahuan membuat misi untuk meraih laba dalam perdagangannya tersebut menjadi dinomerdua-kan, bahkan, ada riwayat yang menyatakan bahwa Umar selalu mendapatkan rugi dalam berdagang, hal itu terjadi karena ia lebih memburu ilmu pengetahuan dan sejarah daripada fokus sama pekerjaanya sebagai pedagang.
Hal lain yang tidak kalah penting untuk disoroti adalah bahwa karena kecintaannya pada ilmu pengetahuan dan sejarah, beliau mulai memikirkan nasib masyarakatnya dan  usaha  apa  yang akan dapat   memperbaiki keadaan mereka. Hal ini benar-benar kejadian langka di masa itu.
Akhirnya, pondasi intelektualisme Umar ibn Khattab mulai dibangun dengan kecintaannya pada sastra, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Pondasi intelektualisme tersebut semakin kokoh dan bahkan berkembang dengan begitu cepat karena disokong oleh kecerdasan dan keuletannya dalam merespon setiap peristiwa yang terjadi.
Setelah Umar ibn Khattab memeluk Islam, pondasi intelektualisme yang kokoh tersebut kemudian diteruskan menjadi sebuah bangunan yang sangat megah. Kehadiran sosok Nabi Muhammad yang penuh dengan muatan ilmu pengetahuan dan hikmah dapat memberikan muatan ilmu kepada Umar yang sangat haus akan ilmu pengetahuan. Intelektualisme Umar ibn Khattab Ibarat tanaman di musim hujan yang kemudian dipupuk hingga tumbuh subur.[39]
Intelektualisme Umar semakin berkembang pada masa Abu Bakar menjabat sebagai Khalifah. Faktor kedekatannya dengan sang Kholifah membuat pemikiran-pemikiran beliau semakin terasah dan mendapat tempat. Hal ini terbukti beliau sangat responsif menyikapi berbagai macam persolan yang terjadi di masa itu. Salah satunya adalah persoalan penghimpuan al-Quran. Umar berpendapat untuk menghimpun al-Quran karena banyak dari penghapal al-Quran yang wafat.[40]
Intelektualisme progresif Umar sampai pada puncaknya ketika beliau menjabat sebagai Khalifah yang kedua, sebagai penerus Khalifah Abu Bakar. Umar ibn Khattab memiliki tipe kepemimpinan yang berbeda dengan pendahulunya, Abu Bakar. Hal tersebut terletak pada karakteristik pemikirannya yang kemudian menjadi tipe dan gaya kepemimpinannya. Salah satu ciri utama pemikiran Umar Ibn Khattab adalah bahwa ia menganggap dirinya berhak atas otoritas yang luas sebagai penguasa. Dia memberikan hak yang khusus pada dirinya sendiri, bukan hanya pada urusan-urusan politik dan pemerintahan, akan tetapi juga dalam masalah perwakilan ketuhanan dan menetapkan hukum.[41] Hal ini disebabkan oleh kepribadiannya yang kasar dan fanatik terhadap dirinya sendiri. Maka dengan otoritas yang ia miliki, yang tidak hanya dalam masalah politik saja, akan tetapi menyentuh pada ranah keagamaan, maka intelektualisme progresif beliau mencapai pada puncaknya. Hal ini terbukti dengan banyak sekali fatwa-fatwa beliau terkait persoalan-persoalan yang terngah dihadapi, baik menyangkut masalah politik, maupun keagamaan.[42]
Selain faktor politik diatas, faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap semakin berkembangnya pemikiran progressif Umar adalah kondisi sosial. Perubahan-perubahan luar biasa yang terjadi akibat keberhasilan umat Islam dalam melakukan ekspansi ke berbagai daerah waktu itu menjadi sebab munculnya berbagai macam permasalahan yang belum pernah terjadi sebelumnya.[43] Tuntutan untuk menyesuaikan masyarakat Islam dengan keadaan kontemporer  adalah salah satu hal yang harus segera diselesaikan. Beberapa permasalahan yang muncul akibat perubahan-perubahan tersebut membuat nalar berfikir Umar semakin terasah, hingga muncullah berbagai macam fatwa beliau sebagai respon terhadap problem sosial pada waktu itu.
D.    Kesimpulan
Sebuah teori yang menyatakan bahwa tidak ada satupun pemikiran yang benar-benar lepas dari latar-belakang pemikirnya sekarang semakin kokoh dan tidak terbantahkan. Tulisan ini membuktikan kebenarkan teori tersebut. Pemikiran progrssif umar ternyata tidak serta merta muncul tanpa didasari oleh latarbelakang kehipunnya. Proses yang begitu panjang dilalui umar untuk sampai pada posisi agung tersebut. Umar memulainya dengan belajar baca-tulis, dimana anak seusianya tidak melakukan hal itu, atau bahkan ayah-ayah mereka menjauhkan mereka dari hal tersebut. Lalu kemudian, kompetensi baca-tulis yang ia miliki memberikan stimulus positif kepadanya, sehingga ia mulai menyukai dan bahkan mencintai sastra, sejarah, dan ilmu pengetahuan.  Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membuatnya mulai berfikir untuk melakukan perubahan-perubahan berarti bagi kaumnya agar lebih baik. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan membuatnya lupa akan misi utama dalam berdagang, yaitu laba, ia lebih mementingkan ilmu dan sejarah, sehingga seringkali ia merugi dalam perdagangannya.
Setelah memeluk Islam, kehadiran Nabi yang penuh dengan Ilmu dan hikmah dapat memuaskan Umar yang sedang lapar akan ilmu pengetahuan. Lalu kemudian intelektualismenya semakin berkembang pada masa kepemimpinan Abu Bakar karena kedekatannya dengan beliau. Lalu pada akhirnya, intelektualisme beliau benar-benar sampai pada puncaknya ketika beliau menjabat sebagai Khalifah yang kedua. Faktor politik, ekonomi, dan sosial membuat intelektualime beliau semakin bergejolak, sehingga mucullah fatwa-fatwa beliau sebagai respon terhadap setiap permasalahan yang dihadapinya.

Daftar Pustaka
Rasul Jafariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta, Al-Huda
Munawir Sjazali. 1993. Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta: UI Press
Al-Suyuthi, 1351 H, Tarikhu al-Khulafa’, Mesir
Muhammad Husain Haikal, cet. Ketujuh 2007, Umar bin Khattab, Jakarta, Mitra Kerjaya Indonesia,
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thobary, 2001, Tarikh al-Thobary, Tharikh al-Muluk wa al-Umam, Beiru Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess
Muhammad Ash-Shalaby, 2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, Jakarta, Pustaka al-Kautsar
Ali Hasan Ibrahim, Al-Tarikh al-Islam al-‘Am
Muhammad Ahmad Abu an-Nashr, Umar bin Khathab
Rasul Ja’fariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta, Al-Huda
Ibnu Sa’ad, ath-Thabaqot al-Kubra, jilid 4
Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Jilid 5
Muhammad Abdul Fattah ‘Ulyan, 2002, Tarikh al-Khulafa al-Rasyidin, Dirasat wa Buhuts, Kairo, Maktabah al-Mutanabby
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Utsman al-Dzahaby, 1988, Al-Khulafa al-Rasyidun, min Tarikh al-Islam, Beirut, Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, tt, Tarikhu al-Khulafa, Kairo, Dar al-Fikr al-Islamy
Hepi Andi Bastoni, 2008, Sejarah Para Kholifat, Jakarta, Pustaka al-Kautsar
Umar-bin-khattab on http//.www.supportmadrasahkita.blogspot.com/2010/05/.html. diakses pada tgl. 27 Desember 2012 jam 15.11
Barnaby Rogerson, 2007, The Heirs of The Prophet Muhammad, terj. Ahmad Asnawi, Para Pewaris Muhammad, Yogyakarta, Diglossia Media,



[1] Rasul Jafariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta, Al-Huda, hal.99
[2]  Statement Peneliti Freedom Institute, Ahmad Sahal, dalam artikelnya berjudul Umar bin Khattab dan Islam Liberal menyebut Islam Liberal mendapat energi dari Umar bin Khathab.
[3] Munawir Sjazali. 1993. Islam, Realitas Baru, dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta: UI Press
[4] Al-Suyuthi, 1351 H, Tarikhu al-Khulafa’, Mesir, hal. 74
[5] Muhammad Husain Haikal, cet. Ketujuh 2007, Umar bin Khattab, Jakarta, Mitra Kerjaya Indonesia, hal. 8
[6] Muhammad Abdul Fattah ‘Ulyan, 2002, Tarikh al-Khulafa al-Rasyidin, Dirasat wa Buhuts, Kairo, Maktabah al-Mutanabby, hal.109
[7] Riwayat al-Harits dari Muhammad Ibn sa’ad dari Muhammad Ibn Umar. Lihat Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thobary, 2001, Tarikh al-Thobary, Tharikh al-Muluk wa al-Umam, Beiru Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 562. Adapun terkait masalah kulit Umar, Penulis menyimpulkan ada dua pendapat yang kontradiktif tentang wakna kulitnya, satu pihak mengatakan  sawo matang, sedangkan di pihak yang lain mengatakan kulitnya putih kemerah-merahan. Setelah menulis melakukan tinjauan pustakan, ternyata ada sejarawan yang menafsiri kedua perbedaan tersebut. Beliau berpendapat bahwa kulit Umar memang putih kemerah-merahan, namun di kemudian hari, tepatnya pada masa paceklik, warna kulitnya menjadi sawo  matang. Hal ini disebabkan karena Umar banyak makan minyak dan tidak mau makan daging. Umar melakukannya karena sebab melihat kondisi umat di masa itu tengah mengalami kesusahan. Maka dengan pertimbangan itu, Umar tak mau  minum susu dan makan daging agar tidak ada bedanya antara dirinya dengan rakyat yang tengah didera kesusahan. (lihat: Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal.338)
[8] Muhammad Ash-Shalaby, 2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, Jakarta, Pustaka al-Kautsar. Hal. 15-16
[9] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal. 8
[10] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal. 10
[11] Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal.316
[12] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal.12
[13] Ali Hasan Ibrahim, Al-Tarikh al-Islam al-‘Am, hal 226.
[14] Ash-Shalaby, 2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, hal. 20
[15] Muhammad Ahmad Abu an-Nashr, Umar bin Khathab, hal. 17
[16] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal. 15-16
[17] Muhammad Husain Haikal, Ibid
[18] Rasul Ja’fariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta, Al-Huda, hal.77
[19] Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, Loc.Cit. hal. 316
[20] Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, Loc.Cit. hal. 316
[21] Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal. 326
[22] Hadits Riwayat Bukhori dari Abdullah Ibn Hisyam, lihat; Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal. 326-327
[23] Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal. 333
[24] An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Jilid 5, hlm. 525
[25] Masalah tersebut hanya salah satu kasus yang pernah mejadi hasil produk ijtihad Umar, pembahasan lebih lengkap tentang ijtihad Umar akan dibahas pada bahasan tersendiri.
[26] Muhammad Abdul Fattah ‘Ulyan, 2002, Tarikh al-Khulafa al-Rasyidin, Dirasat wa Buhuts, Kairo, Maktabah al-Mutanabby, hal.122
[27] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal.47-48
[28] Sempat mucul generalisasi yang terkesan berlebihan terkait masalah ini. Generalisasi tersebut muncul dari statemen Ali r.a dan Adbullah ibn Umar r.a. adapun statemen Ali adalah riwayat dari Ibn ‘Asakir dari Ali r.a., beliau berkata “Inna fi al-Qurani la ra’yan min ra’yi Umar’” terjemahan bebasnya mungkin adalah “sesungguhnya dalam al-Quran terdapat pendapat dari salah satu pendapat Umar” sedangkan statemen Abdullah Ibn Umar adalah atsar marfuk kepada Ibn Umar, beliau berkata “apa yang dikatakan manusia tentang sesuatu, kemudian untuk berkomentar (member fatwa hokum tentang masalah itu) pasti ayat al-Quran turun sebagaimana yang ditetapkan Umar”. Lihat : Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, tt, Tarikhu al-Khulafa, Kairo, Dar al-Fikr al-Islamy, hal.133. dalam masalah Penulis sependapat dengan Ibrahim al-Quraiby. Beliau berpendapat bahwa ketika Umar memiliki pendapat tentang suatu kasus, wahyu Allah turun sesuai pendapatnya. Menurut Imam Nawawi –yang dikutip oleh beliau- adalah bahwa Umar pernah berkata , “Pendapatku sesuai dengan firman Allah pada tiga hal. Pertama, aku mengatakan ‘wahai Rasulullah, andai anda menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat sholat’ lalu turun ayat, ‘dan jadikanlah Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat’.  Kedua, aku mengatakan, ‘wahai Rasulullah, orang yang masuk menemui istri Anda ada yang baik, dan ada pula yang jahat. Andai anda memerintahkan istri anda agar mereka memakai hijab’. Lalu setelah itu, ayat tentang hijab turun, ketiga,   suatu ketika istri-istri Rasul saling cemburu satu sama lain. Kemudian aku  mengatakan, ‘jika kalian ditakdirkan bercerai dengan Rasulullah, semoga beliau mendapatkan ganti istri-istri yang  lebih baik daripada kalian’. Ayat yang sesuai dengan pendapat itu lalu turun ”. lihat: Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal.338-339
[29] Hepi Andi Bastoni, 2008, Sejarah Para Kholifat, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, hal. 13
[30] Redaksi Arabnya adalah  كيف افعل مالم يفعله رسول الله
[31] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal. 740
[32] Sekretaris Rasulullah yang menjadi salah satu sahabat yang bertugas untuk menulis Kalam Allah.
[33] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal. 741
[34] Muhammad Ash-Shalaby, 2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, Jakarta, Pustaka al-Kautsar. Hal.115-117
[35] Muhammad Husain Haikal, Op.Cit, hal. 10
[36] Ibrahim al-Quraibi, 2009, asy-Syifa fi Tarikh al-Khulafa’, terj. Faris Khoirul Anam, Jakarta, Qisthi Pess, hal. 316
[37] Rasul Jafariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta, Al-Huda, hal.99
[38] Muhammad Ash-Shalaby, 2008, The Great Leader of Umar Bin Khattab, Jakarta, Pustaka al-Kautsar. Hal. 262-263
[39] Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ide-ide(ijtihad) Umar yang mendapatkan legitimasi wahyu (dibenarkan oleh wahyu), salah satunya adalah 1) persoalan tawanan perang badar, Abu Bakar berpendapat untuk tidak membunuh tawanan pebgdsrang, sedangkan Umar bersikukuh untuk membunuh mereka, karena mereka adalah musuh-musuh Allah. Kemudian turun wahyu yang membenarkan pendapat Umar. 2)persoalan istri-istri Nabi yang tidak menutup aurat di dalam rumah mereka, kemudian Umar mengusulkan kepada Nabi untuk menyuruh mereka untuk menuntup aurat. Kemudian turun wahyu tentang wajibnya menutup aurat. Dan ijtihad-ijtihad beliau yang lain.
[40] Persoalan lain adalah masalah pemberian terhadap muallaf. Pada masa Rasulullah, beliau menyuruh memberikan sesuatu kepada orang-orang yang baru masuk Islam. Akan tetapi pada masa Abu Bakar, Umar berpendapat untuk menghentikan pemberian itu. Beliau berpendapat bahwa Islam sudah tumbuh menjadi komunitas yang kuat, jadi tidak lagi butuh orang-orang yang masuk Islam tidak secara total (orang-orang yang mengharap pemberian Karena termasuk muallaf). Nabi melakukan itu, karena beliau melihat waktu itu Islam memang butuh untuk memperkokoh eksistensi Islam. Jadi barang siapa yang ingin masuk Islam karena unsur “pemberian” itu, maka hendaklah mengurungkan niatnya.
[41] Rasul Jafariyan, 2006, The History of Caliphs, terj. Anna Farida DKK, Sejarah Khilafah, Jakarta, Al-Huda, hal. 99
[42] Salah satu fatwa beliau yang cukup popular adalah kebijakan beliau tentang para pencuri di musim paceklik yang melanda Madinah waktu itu. Umar mengambil kebijakan dengan tidak menerapkan had mencuri (Had al-sariqoh). Umar dianggap berani tidak menerapkan had mencuri (Had al-Sariqoh) terhadap para pencuri di masa itu. Hal ini dianggap oleh kalangan Islam liberal sebagai energy positif untuk lebih menumbuh-suburkan ciri khas pemikiran keislamannya.
[43] Barnaby Rogerson, 2007, The Heirs of The Prophet Muhammad, terj. Ahmad Asnawi, Para Pewaris Muhammad, Yogyakarta, Diglossia Media, hlm. 212

No comments:

Post a Comment