Wednesday, December 25, 2013

Aspek Ekonomi Masa Daulah UTSMANIYYAH (1281-1934 M)


A.    Aspek Ekonomi Masa Daulah UTSMANIYYAH (1281-1934 M)
Dalam pemerintahan Usmani tanah adalah milik kerajaan dan diatur oleh Undang-undang yang berasal dari warisan Bizantium, yaitu bernama an-Nizam al-Iqta, undang-undang agraria yang membagi tanah menjadi beberapa kategori. Yang terkecil disebut al-Iqta al-Asgar atau timar. Tanah ini diberikan kepada para tuan tanah serta digarap para petani dan hasilya diberikan kepada pemilik tanah. Petani menggarap hanya mengambil hasil tanah sekedar untuk dimakan. Pemerintah menugaskan seseorang untuk mengawasi pemilik  timar  yang berkewajiban menyerahkan pajak kekayaan dan menyerahkan dua atau empat ekor kuda atau beberapa pelaut untuk ditugaskan di angkatan laut. Tanah yang lebih luas dari timar disebut zi’anah  dan pemiliknya dinamakan za’im, yaitu mereka yang telah berjasa terhadap negara. Seorang za’im harus menyerahkan pajak kepada pemerintah pusat dan harus mengirimkan sejumlah pasukan sesuai luas  zi’anah. Timar  dan  zi’anah  tidak dapat lepas dari pemeriksaan pemerintah pusat. Tanah yang lebih luas dari zi’anah diberikan kepada wali atau gubernur, yang disebut tanah khass yang tidak diperiksa oleh pemerintah pusat[1].
Perekonomian penduduk yang mapan merupakan syarat utama bagi kelangsungan hidup Dinasti Turki Usmani. Penaklukan pada masa pemerintahan Ustman Ibn Erthogrol bertujuan untuk menguasai beberapa jalur perdagangan dan beberapa sumber produktif. Tokoh-tokoh besar sufi (babas)[2] menjadi pimpinan dalam perpindahan masyarakat Turki dan kemudian mereka membangun pemukiman tempat-tempat yang baru mereka singgahi dan mereka turut membantu menjadikan daerah-daerah tersebut menjadi area pertanian[3]. Tiga dari empat penduduk Turki adalah petani dan penggembala, desa pertanian tradisional Turki terdiri atas rumah-rumah yang terbuat dari bata lumpur yang dijemur, tanpa perhiasan apapun karena berabad-abad Anatolia merupakan rute penaklukan, maka para penghuni desa lebih suka membangun rumah seperti itu, sehingga tidak mudah terlihat oleh musuh[4].
Gelombang perpindahan orang-orang Turki ke wilayah barat merupakan tempat pencarian lahan-lahan padang rumput, lahan pertanian yang produktif, dan menguasai kota-kota perdagangan, beberapa point penting yaitu dikuasainya rute perdagangan cepat di Iran dan lebih lanjut dari Asia ke Laut Tengah. Perluasan menjadi sumber penghasilan dan berguna untuk membuat senjata-senjata baru dan menciptakan teknik peperangan untuk mengorganisir tentara[5].
Tanaman utama di Turki adalah gandum dan barley, yang ditanam pada musim gugur dan dipanen dalam musim panas berikutnya, sebagian tanah yang baik ditanami padi-padian, sayur-sayuran, terutama bawang, mentimun dan semangka melimpah pada musim semi dan musim panas, buah-buahan iklim sedang seperti apel dan ceri, melimpah pada musim gugur. Sementara itu industri perikanan Turki didasarkan pada penangkapan ikan sepanjang pantai utara dan di selat yang memisahkan bagian Asia dan bagian Eropa dengan memanfaatkan perpindahan ikan dari Laut Hitam ke Laut Tengah[6].
Kemerosotan ekonomi pada masa Daulah Utsmaniyah terjadi akibat perang yang tidak pernah berhenti, sehingga perekonomian negara merosot drastis. Pendapatan berkurang, sementara belanja negara sangat besar termasuk untuk membiayai perang[7].

B.     Aspek Sosial Budaya Masa Daulah UTSMANIYYAH (1281-1934 M)
Masyarakat Turki terdiri dari masyarakat muslim dan non-muslim, mereka hidup berdampingan dengan damai sesuai dengan ajaran Islam yang menghormati agama lain. Pada masa Ustman ibn Erthogrol masih merupakan masa terjadinya gelombang nomadik dari Timur Tengah. Bangsa Turki tidak hanya berasal dari Asia Tengah tetapi juga berasal dari Arab, Kurdi, Yunani, Persia, Romawi, Circasia, Armenia, Georgian dan Yahudi. Masyarakat Kurdi dan Arab beragama Islam, masyarakat islam lainnya berasal dari emigran muslim negara-negara Islam terutama Asia Tengah, dan orang-orang kristen yang masuk agama Islam[8].
Penduduk Turki sebagian besar menggunakan bahasa Turki yang berbeda dari kebanyakan bahasa Eropa. Bahasa Turki diklasifikasikan ke dalam kelompok bahasa yang terkenal sebagai Ural-Altaic. Nama itu diambil dari barisan pegunungan Ural yang memisahkan antara Eropa dan Asia, dan pegunungan Altaic di jantung Asia. Walaupun demikian, beberapa ahli berpendapat bahwa bahasa Turki lebih tepat kalau dimasukan dalam keluarga Altaic yang terpisah. Bahasa Turki merupakan bahasa resmi negara. Diantara bahasa-bahasa yang digunakan kelompok-kelompok minoritas, yang terpenting adalah bahasa Kurdi (terutama di daerah bagian timur dan tenggara), dan di kota-kota besar terdapat kelompok-kelompok minoritas terpenting adalah bahasa kecil yang memakai bahasa Yunani, Armenia dan lain-lain[9].
Dari sisi latar belakang etnis, bahasa, adat, organisasi politik, dan pola kebudayaan serta teknologi, menampilkan keragaman kemanusiaan. Namun Islam menyatukan mereka meskipun sering kali terjadi totalitas kehidupan mereka, namun Islam terserap dalam konsep aturan keseharian, memberikan tata ikatan kemasyarakatan dan memenuhi hasrat mereka meraih kebahagiaan hidup. Lantaran keberagaman tersebut, Islam berkembang menjadi keluarga besar umat manusia. Syariat Islam menjadi landasan kehidupan Usmani, Islam menjadi agama resmi negara dan segala urusan di bawah pengendalian negara[10].
Kebudayaan Turki Usmani merupakan perpaduan bermacam-macam kebudayaan, diantaranya kebudayaan Persia, Bizantium, dan Arab. Dari kebudayaan Persia, mereka banyak mengambil ajaran-ajaran tentang etika dan tata krama dalam istana raja-raja. Organisasi pemerintahan dan kemiliteran banyak mereka serap dari Bizantium. Sedangkan, ajaran-ajaran tentang prinsip ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan, keilmuan, dan huruf mereka terima dari bangsa Arab[11]. Orang-orang Turki Usmani memang dikenal sebagai bangsa yang suka dan mudah berasimilasi dengan bangsa asing dan terbuka menerima kebudayaan dari luar. Hal ini mungkin karena mereka masih miskin kebudayaan. Bagaimanapun, sebelumnya mereka adalah orang nomad yang hidup di dataran Asia Tengah[12].
Di dalam pengembangan seni, Turki Usmani terkenal dengan seni arsitekturnya. Pengembangan seni arsitektur islam dapat dilihat berupa bangunan-bangunan masjid yang indah, seperti masjid al-Muhammadi, atau masjid Jami’ Sultan Muhammad al-Fatih, masjid Agung Sulaiman dan masjid Abi Ayyub al-Anshari. Masjid-masjid tersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid yang asalnya gereja Aya Shopia. Hiasan kaligrafi itu dijadikan penutup gambar-gambar kristiani yang ada sebelumya[13].


Berikut adalah gambar Masjid Aya Shopia pada masa sekarang yang berubah fungsi menjadi museum:
Description: C:\Users\umi salasah\Pictures\Masjid Aya Shopia.jpg
Gambar I. Tampak dari luar


Description: C:\Users\umi salasah\Pictures\Dalamnya Majid.jpg
Gambar II. Tampak dari dalam

Pada masa Sulaiman di kota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun masjid, sekolah, rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, vila, dan pemandian umum. Disebutkan bahwa 235 buah dari bangunan itu dibangun dibawah kordinator Sinan, seorang arsitek asal Anatolia[14].


[1] Tim Penyusun Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid IV, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), hlm. 239
[2] Istilah dalam bahasa Turki untuk ayah (lelaki tua). Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian I dan II, terj. Adang Efendi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1988), hlm. 847
[3] Ibid, hlm. 471
[4] Susanti, Kedudukan Istambul dalam Peradaban Islam Abad XV, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Adab, 2001), hlm. 17
[5] Albert Haurani, A History of The Arap People (Cambridge: Harvard university Press, 2002), hlm. 214
[6] Susanti, op.Cit., hlm.13-14
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.168
[8] Susanty, op.cit., hlm. 17
[9] Ibid, hlm. 19
[10] Ibid, hlm. 19
[11] Binnaz Toprak, Islam and Political Development in Turkey, (Leiden: E.J.Brill, 1981), hlm. 43
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm.135-136
[13] Ibid. hlm. 136
[14] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: Macmillan Press, 1970), hlm. 713-714

No comments:

Post a Comment