Friday, May 9, 2014

Filsafat Jiwa, Akal Versi Al-Kindi


PascaSarjana UIN Maliki Malang-Batu
MatKul: Filsafat dan Tasawuf
Eko Nazrul


A.  Latar Belakang
Manusia di abad 21 ini sangat maju peradabannya. Kemajuan peradaban manusia saat ini tidak terlepas dari sumbangan filsafat yang telah berkembang dimasa lalu. Bermula dari filsafat manusia kemudian menghasilkan ilmu-ilmu tertentu. Keilmuan dari zaman ke zaman mengalami perkembangan secara terus menerus. Hingga keilmuan menghasilkan teknologi-teknologi baru di berbagai bidang.
Filsafat dala bahasa inggris yaitu: philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari Yunani: philosopha, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Jadi secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love wisdom). Orangnya disebut filosof yang dalam bahasa arab disebut failasuf.[1] Filsafat telah banyak menghasilkan banyak pengetahuan.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk didalamnya adalah ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping sebgai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama.[2] Islam adalah agama Allah SWT yang berisikan ajaran-ajaran dan tuntunan-tuntunan yang harus dipegangi dan dipedomani oleh pemeluknya untuk kebahagiaan didunia maupun di akhirat. Sudah barang tentu ajaran islam tersebut harus dipahami dan dimengerti melalui belajar atau pencarian ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan bagian dari agama itu sendiri, ia menempati posisi atau kedudukan sebagai bagian dari agama dan memiliki fungsi sebagai alat/sarana untuk memperoleh tujuan agama yaitu memperoleh  kebahagiaan dunia maupun diakhirat.[3]
Jiwa, Akal dan hati sebagai karunia yang telah di titipkan oleh Allah kepada manusia merupakan anugerah yang tak ternilai bagi manusia. Dengan akal manusia dapat berpikir. Dan dengan hati manusia dapat mengimani Allah. Hati memunculkan Perasaan sayang, hormat, kagum, cinta, menghargai, toleransi. Apa sebenarnya jiwa dan akal itu? Bagaimana pendapat seorang filosof Al-kindi mengenai jiwa dan akal?
B.  Pembahasan
1.     Filsafat Jiwa
Tidak mengherangkan bahwa pembahasan tentang jiwa menjadi agenda yang penting dalam filsafat Islam, hal ini disebabkan, karena jiwa termasuk  unsur utama bagi manusia, bahka menjadi intisari dari manusia.[4] Kaum filosof muslim memakai kata jiwa ( al-nafs) sesuai apa yang diistilahkan dalam al quran dengan al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk nafsu atau nafas dan roh. Akan tetapi kata nafsu dalam pemakaian sehari-hari berkonotasi dengan dorongan untuk melakukan perbuatan yang kurang baik, sehingga kata ini sering dirangkaikan menjadi satu dengan kata hawa, yakni hawa nafsu.
Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan al quran sebagai sumber ajaran islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia.[5] Justru itu kaum filosof muslim membahas jiwa berdasarka pada filsafat jiwa yang dikemukakan oleh para filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan dengan ajaran islam.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak  tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting dan sempurna, dan mulia. Subtansi  jauhar-nya berasal dari subtansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungannya cahaya dengan matahari.[6] Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan llahy.[7] Sementara itu jisim, jisim mempunyai hawa nafsu dan amarah.
Argumen Al-Kindi tentang  bedanya jiwa dengan badan, Al-Kindi mengemukakan bahwa kenyataan jiwa menentang keinginan nafsu yang berorientasi kepentingan badan. Marah mendorong manusia untuk berbuat sesuatu, maka jiwa akan melarang dan mengontrolnya, seperti penunggang kuda yang hendak menerjang terjang. Jika nafsu syahwat muncul kepermukaan, maka jika berpikir bahwa ajakan syahwat itu salah dan membawa pada keerendahan, pada saat itu jiwa akan menentang dan melarangnya. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa itu lain dari nafsu yang dimiliki badan.[8] Hal ini  dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa, nafsu sebagai yang dilarang.
Al-kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersususn dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia. Hubungan jiwa dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa wujud tanpa bentuk atau jiwa. Pendapat ini mengandung arti bahwa jiwa adalah baru karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa wujud  tanpa materi, keduanya membentuk satu kesatuan yang bersifat esensial, dan kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa.
Dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih dekat dengan pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accident, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa, namun ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea
Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa, jika padanya berkumpul beberapa spesies, maka ia adalah aqilah bia al-fi’l, namun ketika spesies itu belum menyatu, maka jiwa itu aqilah bi al-quwwah. Segala sesuatu pada posisi potensi (bi al-quwwah), sedang untuk mengeluarkannya dari potensi menjadi aksi, meniscayakan adanya sesuatu yang lain. Dan yang mengeluarkan jiwa, yang aqilah bi al-quwwah hingga menjadi aqilah bi-al fi’l adalah bersatunya beragam spesia dan genus, yakni totalitasnya. Ketika semua ini menyatu dengan jiwa, maka nafsu menjadi’aqilah artinya ia memiliki akal tertentu yang berarti memiliki kulliyat al-asya’.[9] Al-Kindi dalam tulisannya juga menjelaskan bahwa Pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu (al-quwwat al-syahwaniyyat) yang terdapat di perut, daya marah (al-ghadhabiyyat) terdapat di dada, dan daya pikir (al-aqliyyat) berpusat pada kepala.[10]
Manusia menurut al-Kindi, apabila meninggalkan segala yang berbentuk empiris atau benda dan memusatkan pandangan pada hakikat-hakikat sesuatu, niscaya akan terbuka baginya pengetahuan tentang yang gaib dan mengetahui rahasia-rahasia ciptaan. Akan tetapi, apabila tujuan manusia hidup di dunia ini ingin mendapatkan kelezatan makan dan minum atau materi semata, maka akan tertutup jalan bagi daya pikirnya untuk mengetahui hal-hal yang mulia dan tidak mungkin sifatnya mencapai kualitas kesempurnaan atau kemuliaan menyerupai sifat kesempurnaan dan kemuliaan Allah.
Al-Kindi membandingkan daya bernafsu pada manusia dengan babi, daya marah dengan anjing, dan daya pikir dengan malaikat. Jadi, orang yang dikuasai oleh daya bernafsu, tujuan hidupnya seperti yang dimiliki oleh babi, siapa yang dikuasai oleh nafsu marah, ia bersifat seperti anjing, dan siapa yang dikuasai oleh daya pikir, ia akan mengetahui hakikat-hakikat dan menjadi manusia utama yang hampir menyerupai sifat Allah, seperti bijaksana, adil, pemurah, baik, mengutamakan kebenaran dan keindahan.[11]
Jiwa yang bersih setelah terpisah dengan badan pergi ke alam kebenaran atau alam kekal, diatas bintang-bintang di dalam lingkungan cahaya Allah, dekat dengan Allah dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan abadi dari jiwa.[12]
Jadi, hanya jiwa yang sucilah yang dapat sampai ke alam kebenaran itu. Jiwa yang masih kotor dan belum bersih harus mengalami penyucian terlebih dahulu. Mula-mulanya ia harus pergi ke bulan, kemudian setelah berhasil membersihkan diri di sana, dilanjutkan ke merkuri, dan seterusnya. Naik setingkat demi setingkat sampai akhirnya, sesudah benar-benar bersih kemudian mencapai alam akal, dalam lingkungan cahaya Allah dan melihat Allah.[13] Disini terlihat bahwa al-Kindi tidak percaya pada kekekalan hukum terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke alam akal. Alhasil, bagi al-Kindi, jiwa adalah, sesuai terminologi Al-Qur’an Khalidina fiha yang dalam bahasa indonesia sering diterjemahkan dengan kekal, namun kekalnya berbeda dengan Allah karena kekalnya dikekalkan Allah.[14]
2.    Filsafat Akal
Al-kindi dalam risalahnya menjelaskan akal. Ia menggambarkan akal sebagai suatu potensi sederhana yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda.[15] Selanjutnya Al-Kindi membagi akal pada empat macam; satu berada di luar jiwa manusia dan yang tiga lagi berada di dalamnya.
1.    Akal yang selamanya dalam aktualitas (al-‘aql al-lazi bi al-fi’il Abadan). Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat akal bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini ialah sebagai berikut:
1.    Ia merupakan Akal Pertama
2.    Ia selamanya dalam aktualitas
3.    Ia merupakan species dan genus
4.    Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir.
5.    Ia tidak sama dengan akal potensial tetapi lain dari padanya.[16]
2.    Akal bersifat potensial (al-aql bi al-quwwah), yakni akal murni yang ada dalam dalam diri manusia yang masih berupa potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.
3.    Akal yang bersifat perolehan (acquired intellect). Ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis penamaan perolehan, agaknya dimaksudkan oleh al-Kindi untuk menunjukkan bahwa akal dalam bentuk ini diperoleh dari akal yang berada diluar jiwa manusia, yakni akal pertama yang membuat akal potensial keluar menjadi akan aktualitas.
4.    Akal yang berada dalam keadaan actual nyata, ketika ia nyata, maka ia disebut akal “yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses penulisan kalau seseorang sunguh-sungguh melakukan penulisan.[17]
C.     Kesimpulan
Jiwa menurut Al-Kindi adalah jauhar basith (tunggal, tidak  tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting dan sempurna, dan mulia. Subtansi  jauhar-nya berasal dari subtansi Allah. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan llahy. Jiwa mempunyai daya terdapat tiga daya: daya bernafsu (al-quwwat al-syahwaniyyat) yang terdapat di perut, daya marah (al-ghadhabiyyat) terdapat di dada, dan daya pikir (al-aqliyyat) berpusat pada kepala. Sedangkan akal menurut Al-Kindi adalah suatu potensi sederhana yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda yang terbagi menjadi empat macam.





[1] Amsal Bakhtiar, filsafat ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 4
[2] M. Zainuddin, filsafat ilmu perspektif pemikiran Islam, (Yogyakarta: Naila Pustaka, 2011), hlm. 23.
[3] Harun Nasution, Falsafah dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm.13.
[4] Ibid., hlm. 87-89.
[5] Lihat : QS. Al-Isra’ (17):85.
[6] Kamal Al-Yazijy, Al-Nushus Al-Falsafiyah Al-Muyassarah, (Beirut : Dar Al-„ilm li al-Malayin, 1963), hlm. 76.
[7] M.M. syarif, (ed.) History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), hlm. 124-125.
[8] Kamal Al-Yazijy, op.cit., hlm.76.
[9] Ilyas Supena, Pengantar Filsafat Islam, (semarang: Walisongo Press, 2010), hlm. 84.
[10] Harun nasution, op.cit., hlm. 9.
[11] Kamal Al-Yazijy, op.cit., hlm 78-79.
[12] Hana Al-Fakhry, dan Khalil Al-Jarr, tarikh al-falsafah al-Arabiyyat dalam Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & filsafatnya, (Jakarta: Rajawali press, 2009),hlm. 63.
[13] Kamal Al-Yaziji, op.cit., hlm. 79-80.
[14] Sirajuddin Zar, op.cit., hlm. 63.
[15] George N Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filsafat Muslim, terj Kasido Djojo Suwarno, (Bandung: Salman, 1983), hlm. 50-51.
[16] Harun Nasution, op.cit., hlm. 15-16
[17] Harun Nasution, ibid.

No comments:

Post a Comment