Tuesday, June 17, 2014

HARALD MOTZKI: OTENTIKASI HADITS DAN SANGGAHAN ATAS SKEPTISME PARA ORIENTALIS TERHADAP HADITS


PascaSarjana Maulana Malik Ibrahim Malang
Mei, 2014




Oleh: Nurul Hidayah Irsyad
Harald Matzki: Otentikasi Hadits Dan Sanggahan Atas Skeptisme Para Orientalis Terhadap Hadits

A.    PENDAHULUAN
Setiap zaman senantiasa muncul para pemikir yang tertarik untuk meneliti hadis. Ini dapat dilihat dari buku-buku ilmu hadis yang banyak berkembang dewasa ini. Kajian terhadap hadis dalam karya-karya itu, pada umumnya bersifat filosofis. Para orientalis mengkaji hadis dengan pendekatan murni ilmiah baru pada abad 19. Namun umumnya hasil studi mereka khususnya terhadap hadis, kurang bisa diterima oleh umat Islam. Karena mereka selain bukan muslim, juga konklusi mereka terhadap hadis umumnya negatif.[1]
Hal yang tak bisa dihindari dari orientalisme ketika bersentuhan dengan kajian keislaman adalah mengkaji hadis Nabi yang diyakini oleh umat Islam sebagai sumber ajaran Islam selain al-Quran. Tidak sedikit dari kalangan orientalis yang mengkaji hadis Nabi baik dalam hubungannya dengan masalah matan, validitas isnad, otentisitas hadis itu sendiri dalam kaitannya dengan tadwin hadis, kritik matan dan lain-lain.
Secara umum kajian orientalisme terhadap Islam, khususnya hadis menurut Sahiron Syamsuddin[2] dapat dipetakan menjadi tiga asumsi, yakni asumsi skeptis,[3] asumsi non-skeptis[4] dan asumsi middle ground.[5] Tokoh asumsi skeptis Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, HA. Juynboll, Michael Cook dan Eckatt Stetter. Tokoh asumsi non-skeptis diantaranya Nabia Abbot dan asumsi middle ground diwakili oleh Harald Motzki.[6]
Dalam makalah ini akan dijelaskan otentifikasi hadis dan sanggahan Harald Motzki terhadap para skeptisme hadis.

B.     PEMBAHASAN
1.      Biografi
Harald Motzki dikenal sebagai sosok sarjana studi Islam yang terkonsentrasi  terhadap materi hadis dan berbagai keilmuan penyangganya, dan berupaya untuk mengkritisinya dengan objektif. Dan beliau adalah seorang orientalis yang menjadi Guru Besar Hadis sekaligus Profesor di Institut Bahasa dan Budaya dari Timur Tengah, Universitas Nijmegen, Belanda. Motzki adalah sosok yang dikenal para pemerhati orientalisme dan sebagai sosok yang banyak mengkaji hadis, sirah  dan sejarah asal-usul hukum Islam.[7]
2.      Metode Metode Penelitian Harald
Harald Motzki tidak secara eksplisit menyebutkan langkah-langkah penelitian yang sistematis ketika melakukan penelitian kitab Musannaf Abd ar-Razaq. Meskipun demikian, dari data yang ada, penyusun mencoba menggambarkan metode, pendekatan, dan langkah-langkah sistematis yang ditempuh Harald Motzki sebagai berikut:
a.         Meletakkan dating, yakni menentukan asal-muasal dan umur terhadap sumber sejarah yang merupakan salah satu substansi penelitian sejarah. Jika dating yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap sebuah sumber sejarah terbukti tidak valid di kemudian hari, maka seluruh premis teori dan kesimpulan yang dibangun atas sumber sejarah tersebut menjadi colleps (roboh). Teori inilah yang menjadi epistemologi Motzki dalam merekonstruksi sejarah awal Islam dalam karyanya The Origins of Islamic Jurisprudence.
b.        Tidak melakukan penelitian secara keseluruhan hadis-hadis yang terdapat dalam sumber primernya Musannaf Abd ar-Razaq. Namun, ia menggunakan metode sampling, yakni mengambil beberapa bagian yang diangap telah mewakili populasi dari yang diteliti. Tujuan dari penentuan sampel ini adalah untuk menghindari kekeliruan generalisasi dari sampel ke populasi. Motzki dalam hal ini meneliti 3810 hadis dari keseluruhan kitab Musannaf Abd ar-Razzaq yang berjumlah 21033 hadis. Dengan demikian ia meneliti sekitar 21% hadis.
c.         Setelah data terkumpul, kemudian Motzki menganalisis sanad dan matan dengan menggunakan metode isnad cum analisis dengan pendekatan traditional-historical, yakni sebuah metode yang cara kerjanya menarik sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya-karya terpisah, dan memfokuskan diri pada materi-materi para perawi tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul pada topik tertentu. Jadi, traditional-historical dijadikan sebagai alat untuk menganalisa dan menguji materi-materi dari perawi. Oleh karena itu, penelitian struktur periwayatan yang dilakukannya memberikan kesimpulan bahwa materi-materi yang diletakkan atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya adalah sumber yang otentik, bukan penisbatan fiktif yang direkayasa.
d.        Terkait dengan materi periwayatan (matan) hadis, Motzki mengajukan teori external criteria dan formal criteria of authenticity sebagai alat analisa periwayatan.
e.         Penyusunan atau disebut sebagai tahap aplikasi. Yakni berangkat dari metode-metode di atas, Motzki kemudian mengklasifikasikan terhadap riwayat yang terdapat dalam kitab Musannaf.
Penggunaan Moztki terhadap teori dating (menentukan umur dan asal muasal terhadap sumber sejarah) yang di dasarkan atas sumber orisinil berupa kitab Musannaf karya Abd ar-Razzaq ditambah dengan metode isnad cum analisis dengan pendekatan traditional-historical merupakan penelitian yang dapat dipertangungjawabkan secara akademisi. Hal ini berbeda jauh dengan analisis historisnya Schacht yang didasarkan atas keragu-raguan dalam menginterpretasi terhadap fenomena semata sebagaimana tampak dalam projecting back (penyandaran ide kepada tokoh yang memiliki otoritas-nya). Meskipun demikian, jika dicermati lebih mendalam teori yang dibangun oleh Motzki sebenarnya sudah ada dalam kajian ilmu hadis dalam Islam. Misal teorinya tentang traditional-historical dapat disejajarkan dengan ilmu al-rijal al-hadis dan teorinya tentang external criteria dan argument internal formal criteria of authenticity dalam periwayatan hadis dapat disejajarkan dengan teori al-tahammul wa al-‘ada al-hadis.
Dalam memahami sebuah teks, menarik bila kita menelaah pemikiran Julia Kristeva, seorang pemikir post-strukturalis Perancis. Dalam kedua bukunya: Revolution in Poetic Language (Kristeva: 1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art (Kristeva: 1979). Ia memperkenalkan istilah ‘intertekstualitas’ sebagai kunci untuk menganalisis sebuah teks. Menurutnya, relasi dalam sebuah teks tidaklah sesederhana relasi-relasi antara ‘bentuk’ dan ‘makna’ atau ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (signified) sebagaimana dipertahankan oleh semiotika konvensional. [8]
Sebaliknya, Kristeva melihat pentingnya dimensi ruang dan waktu. Sebuah teks dibuat di dalam ruang dan waktu yang konkret. Karena itu mesti ada relasi-relasi antara satu teks dengan teks lainnya dalam suatu ruang, dan antara satu teks dengan teks sebelumnya di dalam garis waktu. Hal inilah yang terlupakan dari kajian Motzki, di mana ia terlalu “asyik” dengan kajian teks dalam Mus}annaf dan jarang sekali ia melakukan interpretasi sejarah di luar teks. Pemberian porsi yang sebanding antara keduanya dengan mensintesakan secara kreatif antara teori Schacht dengan teori Motzki dapat dijadikan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kelemahan ini, agar pemahaman terhadap teks (al-Qur'an dan hadis) tidak tercerabut dari konteks kesejarahannya.

3.      Kajian Harald Motzki atas Kitab al-Mushannaf Karya Abdurrazzaq as-San’ani
Sebelum masuk pada pembahasan usaha Motzki tentang otentisitas hadis, pengetahuan atas Mushannaf Abdul Razzaq dirasa penting. Hal ini dikarenakan jika riwayat yang terdapat dalam kitab ini oyentik, maka hadis memang telah ada sejak abad pertama hijriah. Ditinjau dari segi jenis kitab-kitab hadis, kitab ini termasuk kitab hadis yang disusun berdasarkan bab fiqh. Hal ini dapat dilihat dari tehnik penyusunannya yang khas, yakni mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema serupa. Penulis kitab ini adalah Abdul Razzaq yang memiliki nama lengkap al-Hafiz al-Kabir Abi Bakar ‘Abd al-Razzaq Ibn Hamman al-San’ani (w. 211H). Ia dilahirkan pada tahun 126 H/744 M. Ia dibesarkan di Yaman dan pernah mengenyam pendidikan di Yaman. Kitab Musannaf ‘Abd al-Razzaq sudah dipublikasikan sejak tahun 1972 sebanyak 11 volume, yang disajikan oleh Habib al-Rahman al-A’zami, dan diterbitkan oleh al-Majelis al-Ilmi, Beirut. Kitab Musannaf ‘Abd al-Razzaq ini memuat hadis sebanyak 21033 buah.[9]
Ada beberapa alasan, mengapa Harald Motzki mengambil Kitab Musannaf Abd al-Razzaq ini sebagai objek penelitiannya:[10]
a.    Musannaf Abd al-Razzaq ini merupakan salah satu kitab yang mewakili dari banyak kitab-kitab hadis tertua pada abad kedua hijriah;
b.    Musannaf Abd al-Razzaq tidak terpengaruh oleh mazhab as-Syafi’i, karena di dalamnya masih murni mengandung materi-materi dari qaul Nabi, qaul Shahabat dan qaul Tabi’in;
c.    Musannaf Abd al-Razzaq adalah kitab yang memuat informasi yang cukup mewakili perkembangan hukum Islam di Makkah;
d.   Musannaf Abd al-Razzaq adalah kitab yang lebih tua dan lebih tebal dibandingkan dengan musannaf-musannaf yang lain.
Maka wajarlah Motzki mengambil kitab ini sebagi objek kajiannya, karena kitab ini dianggap representatif, sekaligus membuktikan tesa yang dibangun bahwa otentisitas hadis dapat dipertanggung jawabkan. Dengan alasan tersebut di atas, Harald Motzki menjadikan Musannaf ‘Abd al-Razzaq sebagai sumber penelitiannya yang utama.[11]
Contoh periwayatan Hadits menurut Abd al-Razzaq:[12]
·       عبد الرزاق عن بن جريج قال قلت لعطاء فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق فيما يغسل قال نعم لا شك في ذلك
·       عبد الرزاق عن بن جريج قال أخبرني زياد أن فليح بن سليمان أخبره أن أبا هريرة توضأ فغسل الرفغين فقيل له ما تريد بهذا قال أريد أحسن تحجيلي أو قال تحليلي
·       عبد الرزاق عن بن جريج عن عمرو بن يحيى بن عمارة بن أبي حسن أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يمسح رأسه مرة واحدة بكفيه يقبل بيديه ويدبر بهما على رأسه مرة واحدة 

4.      Teori Dating dengan Pendekatan Isnad Cum Matn Analysis
Pendekatan isnad cum matn analysis sudah dimulai oleh Jan Hendrik Kramers dalam artikelnya yang terbit tahun 1953 dan Joseph van Ess dalam bukunya Zwischen Hadit und Theologie, terbit tahun 1975. Kedua tulisan yang sangat serius ini tidak mendapat perhatian memadai dalam kesarjanaan hadis di Barat sampai Harald Motzki menulis sejumlah buku dan artikel yang menggunakan pendekatan ini. Dengan isnad cum matn analysis Motzki mengkritik dengan sangat serius metode, premise, kesimpulan dari para pendukung madhhab skeptis, mulai dari Gldziher, Joseph Schacht, Norman Calder, Michael cook, G.H.A. Juynboll dan lain-lain.[13]
Diantara karakteristik pendekatan isnad cum matn analysis adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada komentar atau penilaian ulama tentang perawi tersebut. Komentar ulama tentangnya menjadi sekunder. Kualitas perawi primarily ditentukan terutama oleh matn atau teks dari perawi tersebut. Dengan kata lain, apakah seorang perawi thiqa atau tidak tidak hanya berdasar pada kitab-kitab biografi yang membahas tentang kualitas perawi, tetapi berdasar terutama pada analisa sanad dan matan hadis yang sedang diteliti.[14]
Kalau kita meneliti sebuah hadis, maka yang pertama kita lakukan adalah:
a.       Semua varian-varian hadis yang dapat ditemukan dikumpulkan, bukan hanya dalam Sahih Buhari atau Muslim saja, tapi disamping kutub al-sitta (canonical collections), juga Muwatta Malik, Musnad al.Tayalisi, Musnad Ibn Rahawayh, Musannaf Abd Razzaq, Sunan al-Darimi, Ibn al-Jad dan lain lain (pre-canonical collections), al-Bayhaqi, Ibn Hibban, al-Tabarani, Ibn Khuzayma dan lain lain (post canonical collections), bahkan kalau perlu dalam kitab hadis koleksi Shiah, misalnya Musnad al-Allama al-mujlisi, al-Shamiyyin dll. Semua varian hadis dalam kitab-kitab tersebut dikumpulkan.
b.      Setelah terkumpul semua data yang dibutuhkan, kemudian dibuat diagram untuk melihat siapa perawi yang menerima hadis dari mana. Dengan demikian akan kelihatan siapa yang menjadi madar atau common link dari setiap generasi. Siapa yang menjadi sumber hadis tersebut dari generasi kegenerasi.
c.       Diagram isnad yang dibuat harus diuji kebenarannya melalui analisis matn. Karena klaim perawi telah menerima dari informan yang ia sebutkan boleh jadi hanya pengakuan belaka.
d.      Grup varian matan dan grup varian isnad dibandingkan untuk dicek apakah ada korelasi atau tidak. Dalam hal ini membandingkan matn antara para perawi segenarasi dan seperguruan menjadi mutlak. Apakah hadis tersebut hanya beredar pada abad kedua ketiga atau sudah beredar pada abad pertama hanya dengan cara ini kita dapat mengetahui apakah hadis tersebut berasal dari nabi, Sahabat, Tabiin atau setelahnya. Disamping itu, independensi dan interdependensi setiap riwayat harus kita buktikan, juga dengan menguji matannya. Benarkah si A menerima hadis dari B seperti yang ia klaim, benarkah B menerima hadis dari C seperti yang ia kutip, Benarkah C menerima dari D seperti yang ia katakan, dstnya. Analisa sanad dan matn menjadi sangat menentukan.[15]
Harald Motzki tidak secara eksplisit menyebutkan langkah-langkah penelitian yang sistematis ketika melakukan penelitian kitab Musannaf Abd ar-Razaq. Meskipun demikian, dari data yang ada, penyusun mencoba menggambarkan metode, pendekatan, dan langkah-langkah sistematis yang ditempuh Harald Motzki sebagai berikut:
f.     Meletakkan dating, yakni menentukan asal-muasal dan umur terhadap sumber sejarah yang merupakan salah satu substansi penelitian sejarah. Jika dating yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap sebuah sumber sejarah terbukti tidak valid di kemudian hari, maka seluruh premis teori dan kesimpulan yang dibangun atas sumber sejarah tersebut menjadi colleps (roboh). Teori inilah yang menjadi epistemologi Motzki dalam merekonstruksi sejarah awal Islam dalam karyanya The Origins of Islamic Jurisprudence.
g.    Tidak melakukan penelitian secara keseluruhan hadis-hadis yang terdapat dalam sumber primernya Musannaf Abd ar-Razaq. Namun, ia menggunakan metode sampling, yakni mengambil beberapa bagian yang diangap telah mewakili populasi dari yang diteliti. Tujuan dari penentuan sampel ini adalah untuk menghindari kekeliruan generalisasi dari sampel ke populasi. Motzki dalam hal ini meneliti 3810 hadis dari keseluruhan kitab Musannaf Abd ar-Razzaq yang berjumlah 21033 hadis. Dengan demikian ia meneliti sekitar 21% hadis.
h.    Setelah data terkumpul, kemudian Motzki menganalisis sanad dan matn dengan menggunakan metode isnad cum analisis dengan pendekatan traditional-historical, yakni sebuah metode yang cara kerjanya menarik sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya-karya terpisah, dan memfokuskan diri pada materi-materi para perawi tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul pada topik tertentu.
Jadi, traditional-historical dijadikan sebagai alat untuk menganalisa dan menguji materi-materi dari perawi. Oleh karena itu, penelitian struktur periwayatan yang dilakukannya memberikan kesimpulan bahwa materi-materi yang diletakkan atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya adalah sumber yang otentik, bukan penisbatan fiktif yang direkayasa.
i.      Terkait dengan materi periwayatan (matan) hadis, Motzki mengajukan teori external criteria dan formal criteria of authenticity sebagai alat analisa periwayatan.
j.      Penyusunan atau disebut sebagai tahap aplikasi. Yakni berangkat dari metode-metode di atas, Motzki kemudian mengklasifikasikan terhadap riwayat yang terdapat dalam kitab Musannaf.
Hasil Motzki dalam penelitiannya menemukan tiga sumber dominan yang sering dirujuk oleh Abd ar-Razaq, yang memberikan kontribusi ribuan hadis, mereka adalah Ma’mar, Ibn Jurayj, dan Sufyan As-Sauri. Guna membuktikan masalah ini, Motzki meneliti empat tokoh sebagai sumber otoritas utama dari Abd ar-Razzaq, yakni Ma’mar di mana ar-Razzaq meriwayatkan materinya sekitar 32%, Ibnu Jurayj 29%, As-Sauri 22%, dan Ibn Uyainah 4%. Sisanya adalah sekitar 13% yang berasal dari 90% tokoh yang berbeda dan kurang dari 1% tokoh yang berasal dari abad ke-2 H seperti Abu Hanifah 0,7%, dan Imam Malik sebesar 0,6%. [16]
Dari pemilahan tersebut, menurut Motzki setiap koleksi memiliki karakteristik tersendiri, dan hampir mustahil seorang pemalsu dapat memberikan sumber yang begitu bervariasi, apalagi jika penelitian ini difokuskan pada asal perawi dan karakter teks yang diriwayatkan. Guna mendukung pandangannya bahwa ar-Razzaq bukan seorang pemalsu, maka Motzki mengutip biografinya khususnya terkait dengan guru-gurunya ar-Razzaq. Lebih lanjut, Motzki mengklasifikasikan riwayat yang terdapat dalam Musannaf Abd ar-Razzaq sebagai berikut:
1)        Ma’mar (w. 153 H) 32% dengan konfigurasi materi yang berasal darinya adalah Ibn Syihab az-Zuhri 28%, Qatadah bin Diama 25%, Ayyub bin Abi Tamima 11%, orang tanpa nama (anynamous) 6%, Ibn Tawus 5%, Ma’mar 1%, 77 orang 24% jumlah total 100%.
2)        Ibn Jurayj (w. 150 H) 29% dengan konfigurasi materi yang berasal darinya adalah ‘Ata’ ibn Rabah 39%, orang tanpa nama (anynamous) 8%, Amr bin Dinar 7%, Ibn Syihab az-Zuhri 6%, Ibn Tawus 5%, Ibn Jurayj 1%, 103 orang 34%, jumlah total 100%.
3)        Sufyan as-Sauri (w. 161 H) 22%. Profil teks yang yang berasal darinya mencakup pendapat hukum as-Sauri sendiri yang lebih dominan, yakni Sufyan as-Sauri 19%, Mansur bin al-Mu’tamir 7%, Jabir bin Yazid 6%, orang tanpa nama (anynamous) 3%, 161 informan 65%, jumlah total 100%.
4)        Ibn ‘Uyayna 4% sumber hadis riwayatnya adalah Amr bin Dinar 23%, Ibn Abi Najih 9%, yahya bin Said al-anshari 8%, Ismail bin Abi Khalid 6%, orang tanpa nama (anynamous) 4%, 37 orang 50%, jumlah total 100%.
5)        90 orang 13% jumlah keseluruhan dari poin a hingga point e adalah 100%.[17]
Berdasarkan data ini Moztki menyatakan “bahwa profil masing-masing periwayat hadis tersebut menunjukkan bahwa keempat koleksi teks tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Kekhasan masing-masing struktur mengindikasikan tidak mungkin seseorang melakukan pemalsuan (forge) dalam menyusun materi, karena jika demikin tentu dalam teks hadis tersebut akan ditemukan perbedaan-perbedaan yang signifikan. Di samping itu, semakin detail dan mendalam penelusuran terhadap teks-teks tersebut mengenai kekhasan teks dan asal muasal sumber informasi, maka akan semakin signifkan perbedaan-perbedaan yang dijumpai.[18]
Selanjutnya, Motzki berkesimpulan bahwa materi-materi hadis yang disandarkan kepada Abd ar-Razzaq kepada keempat informan utamanya adalah otentik (murni). Gaya penyajian materi ar-Razzaq yang kerap kali mengekspresikan keraguanya atas sumber yang pasti terhadap sebuah hadis menunjukan sikapnya yang terbuka dan jujur. Hal ini menjadi ta’kid keotentikannya. Sebab, tidak mungkin seorang pemalsu akan menunjukkan sikap seperti itu yang hanya akan melemahkan riwayat yang disampaikannya.
Motzki kemudian menganalisa lebih jauh mengenai hubungan guru antara Ar-Razzaq dengan perawi di atasnya yakni Ibn Jurayj. Distribusi otoritas yang tidak seimbang dan keinginan Jurayj menyampaikan pendapatnya sendiri merujuk otoritas yang lebih awal, menunjukkan bahwa ia bukan pemalsu. Hal ini didukung oleh pengujian sumber Jurayj meliputi: perbedaan isi (misal, pengunaan ra’yu didistribusikan secara tidak seimbang); perbedan pengunaan riwayat guru-murid, anak-bapak, maula-patron, perbedaan proporsi hadis dari nabi, sahabat, dan tabi’in; perbedaan penggunaan isnad dan perbedaan terminologi periwayatan (misal, penggunaan istilah ‘an atau sami’tu). [19]
Lebih lanjut, Motzki memfokuskan dari sumber yang sering diikuti Jurayj, yakni ‘Ata’. Dalam hal ini ia menggunakan teori External Criteria dan argument internal formal criteria of Authenticity yang merupakan dua alat analisa yang dihasilkan ketika Motzki meneliti penyandaran (transformasi ilmu) yang dilakukan Jurayj kepada ‘Ata’. Sementara External Criteria dibagi menjadi dua, yakni pertama, Magnitude (banyak sanad dan penyebarannya).
Dalam konteks ini, proporsi sumber Jurayj pada klasifikasi Motzki di atas betentangan dengan asumsi bahwa ia adalah pemalsu. Sebab ia memilih cara yang sangat complicated dengan menyandarkan materi hukumnya kepada sumber yang ia sebutkan. Jika ia pemalsu, tentunya ia akan memilih satu atau beberapa informan saja dari fuqaha’ atau perawi terkenal.[20]
Dilihat dari frekwensi gaya pertanyaan (direct, indirect, anonymous, and not-anonymous), menunjukkan jika Jurayj tidak melakukan projection back atau telah mengatribusikan pendapatnya kepada generasi sebelumnya. Dengan bahasa sederhana, analisis Motzki atas gaya penyajian materi ‘Ata’ oleh Jurayj menunjukkan implausibility asumsi bahwa ia telah melakukan pemalsuan. Sementara dilihat dari kualitas dan kuantitas responsa ‘Ata’ atas pertanyaan Jurayj menunjukkan keduanya terdapat korelasi historis yang panjang. [21]
Motzki juga menggunakan teori argument internal formal criteria of authenticity yang menunjukkan keotentikan materi Jurayj dengan ‘Ata’. Ia kemudian menginventarisir enam hal yang ia kategorikan sebagai internal formal criteria of authenticity. Yaitu sebagai berikut:[22]
1)      Jurayj tidak hanya menyajikan pendapat hukum dari generasi sebelumnya, namun juga menyajikan pendapat hukumnya sendiri.
2)      Jurayj tidak hanya menyajikan materi dari ‘Ata’, melainkan juga memberikan tafsir, komentar, dan bahkan kritik terhadap materi tersebut. Motzki membayangkan tidak rasional Jurayj membuat teks sendiri, kemudian menyandarkannya secara palsu kepada ‘Ata’, dan pada saat bersamaan ia memberi komentar dan kritik.
3)      Jurayj terkadang mengekspresikan ketidakyakinannya atas maksud dan perkataan ‘Ata’. Keraguan Jurayj dinilai Motzki sebagai sesuatu yang positif, yakni sebagai bukti kejujurannya dalam memproduksi ajaran dari gurunya.
4)      Jurayj terkadang meriwayatkan materi ‘Ata’ dari orang lain.
5)      Jurayj menyajikan materi secara tepat dan verbatim.
6)      Jurayj terkadang menunjukan kelemahan sumber informasinya. [23]
Berangkat dari dua External Criteria dan enam point argument internal formal criteria of Authenticity di atas, Motzki kemudian membuat kesimpulan berikut:
1)        Materi Ibn Jurayj dari ‘Ata’ yang diabadikan dalam Musannaf Abd ar-Razzaq adalah benar-benar sumber otentik.
2)        Sumber tersebut dapat dikatakan sebagai historically reliable source untuk fase perkembangan hukum di Makkah pada dekade pertama abad ke-2 H.[24]
Kemudian setelah Motzki melanjutkan penelitian dan analisanya mengenai sejauh mana ‘Ata’ menerima materinya. Motzki pun mengambil kesimpulan bahwa hirarki sumber otoritas ‘Ata’ adalah Sahabat nabi 15%, al-Qur'an 10%, anynamous traditions 3%, dan okoh yang semasa dengannya 1,5%. Hassil penelitian Motzki tersebut juga menunjukkan bahwa Ibn ‘Abas adalah di antara sahabat yang sering dirujuk oleh ‘Ata’.[25]
Adapun hasil analisa Motzki terhadap periwayatan ‘Ata’ adalah sebagai berikut:
1)      Responsa, rujukan ‘Ata’ kepada ibn ‘Abbas hanya bersifat supplementary dan Confirmative untuk mendukung pendapat ‘Ata’. Artinya, rujukan ‘Ata’ kepada ‘Abbas atau sahabat lain tidak dimaksudkan untuk memberikan “muatan otentisitas” pada pendapat hukumnya. Realita ini Motzki pahami sebagai indikasi kredibilitas ‘Ata’.
2)      Secara umum, ‘Ata’ mengutip Ibn ‘abbas secara langsung (direct references), meskipun tidak menutup kemungkinan ia mengutip secara tidak langsung (indirect references).
3)      Dalam beberapa kasus, ‘Ata’ merujuk Ibn ‘Abbas bukan untuk mengkonfirmasikan pendapatnya, melainkan untuk berbeda pendapat dengannya.
4)      Di samping sebagian besar riwayat ‘Ata’ dari Ibn ‘Abbas menurut legal dicta, terdapat pula sejumlah teks yang memuat qisas. Dalam qisas ini ‘Ata’ mempresentasikan dirinya sebagai murid Ibn ‘Abbas. Hal ini menurut Motzki “kriteria isi” tersebut menunjukkan otentisitasnya.
5)      Mengingat jumlah hadis Nabi yang allegedy diriwayatkan oleh Ibn ‘Abas dalam literatur hadis yang sangat besar (sekitar 1.660 hadis), maka ‘Ata’ tidak mengutip dalam materi hukumnya. Dengan kata lain, materi ‘Ata’ dari Ibn ‘Abbas yang terekam dalam Musannaf , status Ibn ‘Abbas bukan sebagai perawi hadis Nabi. Melainkan materi tersebut otentik dari pendapatnya Ibn ‘Abbas sendiri. [26]
Dari kelima hal ini, Motzki berpendapat bahwa ada indikasi otentisitas riwayat ‘Ata’ dari Ibn ‘Abas. Selain dari materi ‘Ata’ yang didapat dari Ibn ‘Abbas, Motzki juga menganalisa dari materi ‘Ata’ yang lain, yakni ‘Umar, abu Hurairah, Jabir dan lain-lain. Motzki melihat ada indikasi kuat kejujuran ‘Ata’ dalam penyebutan sumber otoritasnya. Sampai di sini, maka Motzki berkesimpulan bahwa Musanaf karya Abd ar-Razzaq adalah dokumen hadis otentik abad pertama Hijriyah.[27]
5.      Karya Harald Motzki
a.       Berupa penelitian De ontstaansgeschiedenis van de islamitische jurisprudentie (sejarah yurisprudensi Islam).
1)      De methoden van bronnenkritiek op het gebied van de overleveringen over de vroege Islam (Metode kritik terhadap sumber dasar hadits).
2)      Het ontstaan van de geschreven tekst van de Koran (Asal dari teks tertulis Qur’an).
3)      De reconstructie van het leven van Muhammad (Rekonstruksi kehidupan Muhammad).
4)      Historisch-antropologische aspecten van de islamitische beschaving (Historis-Antropologis Kebudayaan Islam).
b.      Berupa Ceramah Ilmiah Inleiding Islam 1 & 2
1)      (moslims en de moderne tijd) (Muslim dan Modernitas-Sebuah Pendahuluan Pengenalan Islam),
2)      Lektuur Islamitische Teksten (Teks literatur Islam),
3)      Werkgroep Jihad (Pemahaman Kelompok Jihad),
4)      Werkgroep de overlevering over de vroege Islam (Kelompok Pergerakan pada tradisi Islam awal),
5)      Werkgroep het islamitische Midden-Oosten in beweging (met dr. R. Meijer) (Gerakan Pembaharu Islam di Timur Tengah (ditulis dengan R. Meyer).
c.       Berupa Jurnal Ilmiah dan Buku diantaranya:
1)      Harald Motzki, Die Anfange der islamischen Jurisprudenz. Ihre Entwicklung in Mekkah bis zur Mitte des 2./8. Jahrhunderts, Stuttgart 1991. Engl. Trans. The Origins of Islamic  Jurisprudence. Mekahn Fiqh before the Classical schools, trnasl. Marion H. Katz, Leiden 2002.
2)      Harald Motzki, “Der Fiqh des—zuhri: die Quellenproblematik,“ Der Islam 68, 1991, 1-44. edisi Iggris, “The Jurisprudence of Ibn Sihab Al-Zuhri. A Source-critical Study,“ dalam
http:/webdok.ubn.kun.nl/mono/m/motzki_h/juriofibs.pdf
3)      Harald Motzki, “The Musannaf of Abd. Al-Razzaq Al-San’ani as a Source of Authentic ahadith of the First Century A.H.,” Journal of Near Eastern Studies 50, 1991, h. 1-21.
4)      Harald Motzki, “Quo vadis Hadit Forschung? Eine kritische Untersuchung von G.H.A. Juynboll, Nafi’, the mawla of Ibn Umar, and his position in Muslim Hadith Literature,“ Der Islam 73, 1996, h. 40-80, 193-229.
5)      Harald Motzki, “The Prophet and the Cat: on Dating Malik’s Muwatta’ and Legal Traditions,“ Jurusalem Studies in Arabic and Islam, 21, 1998, h. 18-83.
6)      Harald Motzki, “The Role Of Non-Arab Converts in The Development of Early Islamic Law,” dalam Islamic Law Society, Leiden, Vol. 6, No. 3, 1999.
7)      Harald Motzki, “The Murder of Ibn Abi l-Huqayq: on the Reliability of Some maghaji Reports,” dalam H. Motzki, ed., The Biography of Muhammad: the Issue of the Sources, Leiden, 2000, h. 170-239.
8)      Harald Motzki, “Der Prophet und die Schuldner. Eine hadit-Untersuchung auf dem Prufstand,“ Der Islam, 77, 2000, h. 1083.
9)      Harald Motzki, “The Collection of the Qur’an. A Reconsideration of Western Views in Light of Recent Methodological Developments,” Der Islam 78, 2001, h. 1-34.
10)  Harald Motzki, “Ar-radd ‘ala r-radd – Zur Methodik der hadit-Analyse,“ Der Islam 78, 2001, h. 147-163.
11)  Harald Motzki, ed., Hadith. Origins and the Developments, Aldershot: Ashgate/Variorum, 2004.
12)  Harald Motzki, “Dating Muslim Traditions . A Survey,” Arabica, 52, 2005. Hadith: Origins and Developments (Hadits: Asal-usul dan Perkembangannya) ISBN 0860787044.





[1] Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 243-244.
[2] Sahiron syamsuddin, “Pemetaan Penelitian Orientalis terhadap Hadis” dalam M.NurKholis Setiawan dan Sahiron dkk, Orientalisme al-Qur’an dan al-Hadis (Yogyakarta: Nawesea, 2007), hal. 46-49.
[3] Asumsi skeptis adalah asumsi /persepsi yang meragukan otentisitas hadis Nabi.
[4] Asumsi non-skeptis adalah lawan dan kebalikan dari asumsi skeptic, yakni asumsi yang tidak meragukan otentisitas hadis-hadis Nabi.
[5] Asumsi middle ground merupakan asumsi yang menengahi dua teori yang berlawanan (skeptik dan non-skeptis.
[6] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hal. 169.
[7] Lihat pengantarnya dalam buku Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis.  (Bandung: Hikmah, 2009) hlm. ix. Lihat juga, Harald Motzki,  The Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh Before the Classical Schools. (Leiden: Brill, 2002). Lihat juga Wael B. Hallaq dalam pengantar  The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Hlm. xli. Lihat juga, Syamsuddin Arif,  Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Hlm. 35-36 dan 42-44
[8] Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1,.... hlm. 12.
[10] Ibid.,
[11]M. Nurdin Zuhdi, Otentisitas, makalah pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang sudah diseminarkan pada tanggal 22 Desember 2009, hlm. 12.
[12] Abu Bakar Abdur Razzaq. Mushonnaf Abd ar-Razzaq (Beurut: al-Maktab al-Islami, 1403), hal. 5-6.
[13] Phil. H. Kamaruddin Amin, Western Methods of Dating vis-a-vis Ulumul Hadis Refleksi Metodologis atas Diskursus Kesarjanaan Hadis Islam dan Barat, http://www.uin-alauddin.ac.id/uin-982-.html, diakses tanggal 19 Mei 2013
[14] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1 di download dari http://www.scribd.com, pada tanggal 16 Juni 2013.
                [17] Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1, hal. 5.
[18] Ibid.,
[19] Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies......, hal. 5.
                [20] Ibid.,
[21] Ibid.,
                [22] Ibid.,
[23] Harald Motzki, The Musannaf of ar-Razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, ....., hal. 6.
                [24] Ibid.,
                [25] Ibid., hal. 7.
[26] Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1, hal. 7s
[27] Ibid.

No comments:

Post a Comment