Saturday, June 14, 2014

Interaksi dan Pemahaman Hadits


YUSUF QARDHAWI
(Interaksi dan Pemahaman Hadits)
 Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Studi Haditsyang dibimbing oleh
Ibu Dr. Hj. Sulalah, M.Ag
Disusun oleh:
Indhra Musthofa
(13770051)
PascaSarajan UIN Maliki Malang Juni 2014 




A.    Pendahuluan
Hingga wafatnya Nabi SAW keyakinan umat Islam terhadap hadits tidaklah berubah.[1] Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, oleh karena itu keberadaan hadits sangat sentral sebagai realisasi ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Para ulama sepakat bahwa hadits memiliki tiga fungsi utama yang berhubungan dengan al-Quran, yaitu bayan ta’qid terhadap ketentuan yang ada dalam al-Quran, bayan tafsir sebagai penjelas terhadap kemujmalan al-Quran, dan bayan tasyri’ sebagai hukum sendiri yang tidak ada dalam al-Quran.
Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam (baik berupa perintah maupun larangannya) sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-qur’an. Hal ini karena hadits merupakan mubayyin (penjelas) terhadap Al-Qur’an, karena itu siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami dan menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa alqur’an, karena al-qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syariat. Dengan demikian. Antara hadits dengan al-qur’an memiliki kaitan sangat erat, untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.[2]
Disamping sebagai sumber hukum kedua sesudah Al-Qur’an, Hadis mempunyai dua fungsi yakni menjelaskan maksud kandungan Alqur’an dan menerangkan hukum-hukum yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an itu sendiri. Sebagai contoh kongkrit adalah hukum shalat, zakat, dan haji. Di dalam alqur’an perintah melaksanakan ibadah tersebut sangat jelas, tetapi tidak diterangkan berapa kali ibadah shalat harus dilaksanakan dalam sehari semalam, dan berapa pula rakaatnya. Masalah zakat tidak diterangkan berapa pula nishab dan jenis barang apa yang yang wajib dizakati. Jenis tanaman dan binatang apa, serta berapa persen zakatnya, sama sekali tidak diterangkan. Demikian pula halnya masalah haji, tidak ditegaskan cara mengerjakannya. Semua itu hanya diketahui secara jelas dari perbuatan dan ucapan Rasulullah.[3]
Secara historisitas penulisan ataupun pengkodifikasian hadits relatif sangat jauh dari masa hidup Nabi. Dari sinilah kemudian timbul penilaian-penilaian miring yang dengan sengaja di lakukan oleh non-muslim untuk menstereotipkan keberadaan hadits di mata umat Islam. Hal ini bisa menimbulkan akibat yang lebih berbahaya dari pada serangan fisik.[4]Sejak pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi para pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan periode ketika hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama telah menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi.
Non-muslim yang mengkaji Islam secara umum khususnya di Barat disebut juga orientalis. Sebelumnya para orientalis mengkaji Islam hanya pada meteri-materi keislaman secara umum, seperti bidang sastra dan sejarah. Kemudian berkembang meliputi kajian tentang Al-Qur’an, teks Al-Qur’an, Hadits Nabi, Teologi Islam dan Sufisme.[5]Belakangan ini mereka mulai serius dengan kajian Hadits Nabi, karena kajian tentang Al-Qur’an dinilai gagal.
Sunnah Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai macam serangan dari para kaum orientalis dengan beragam aksi yang mereka lakukan untuk menghancurkan esensi hadis Nabi itu sendiri. Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan (baca: hadis). Pergolakan di dunia Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi  yang berubah.
Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakekat, status, dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad saw.). karena status Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima oleh sebagian besar Muslim sebagai sebuah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
Menurut al-Qardhawi as-Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw., di samping itu as-Sunnah juga merupakan sumber kedua dalam Islam di bidang tasyri’ dan dakwah (tuntunan) nya.  Bersama al-Qur’an, hadis menjadi point yang sensitif dalam kesadaran spiritual maupun intelektual muslim. Tidak saja karena ia menjadi sumber pokok ajaran Islam, tetapi juga sebagai tambang informasi bagi pembentukan budaya Islam, terutama sekali historiografi Islam yang cukup banyak merujuk pada hadis-hadis. Hadis menjadi semakin krusial ketika makin banyaknya masalah yang muncul, sementera Nabi dan sahabat telah banyak yang wafat. Ketika Nabi masih hidup persoalan dapat dipecahkan dengan otoritas al-Qur’an atau Nabi Muhammad sendiri. Demikian pula pada masa sahabat, masyarakat dapat melihat praktek nabi yang dijalankan para sahabat. Tetapi setelah itu berbagai informasi tentang nabi menjadi sangat penting bagi kaum muslim. Itu sebabnya belakangan sangat banyak sekali muncul literatur hadis dalam berbagai bentuk dan jenisnya dengan muatan hadis-hadis yang cukup beragam.
Dengan demikian, hadis-hadis Nabi saw.  haruslah dipahami secara benar dan tepat. Namun, karena banyaknya serangan-serangan yang dilakukan oleh orang-orang Barat, maka banyak dari kalangan Muslim yang mulai berbeda pendapat dalam memaknai  dan memahami hadis-hadis itu sendiri.Dari uraian di atas, al-Qardhawi ingin membawa umat Islam untuk dapat memahami hadis secara benar dan tepat. Dalam makalah ini akan penulis jelaskan tentang interaksi dan pemahaman hadits yang diberikan oleh al-Qardhawi.

B.     Biografi dan Karya-karya Yusuf Qardhawi
Di kalangan pemikir Islam, Yusuf Qardhawi dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik sekaligus istimewa. Keunikan dan keistimewaan itu tak lain Karena Qardhawi memiliki cara atau metodologi yang khas dalam menyampaikan risalah Islam. Lantaran metodologinya itulah, dia diterima kalangan dunia barat sebagai pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun, dan moderat. Kapasitasnya itulah yang membuat Qardhawi kerap kali menghadiri pertemuan internasional para pemuka agama-agama di Eropa maupun di Amerika, sebagai wakil kelompok Islam.[6]
Yusuf Qardhawi[7] lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shaft turab di tengah Delta pada 9 september 1926. Yusuf Al-Qardhawi berasal dari keluarga yang tekun beragama. Sejak umur dua tahun ia telah di tinggal orang tuanya (ayahnya), selanjutnya ia sebagai anak yatim mulai saat itu diasuh oleh pamannya. Sekalipun bukan di bawah asuhan ayahnya, namun pamannya memperhatikan dengan baik, selayaknya anak kandungnya sendiri. Perhatian yang cukup baik dan lingkungan keluarga yang teguh, tekun dan kuat beragama. Al-Qardhawi pada umur 5 tahun telah mulai menghafal al-Qur’an sampai menginjak umur 7 tahun. Yusuf Al-Qardhawi di sekolahkan pada sekolah dasar di ba wah lingkungan Departemen Pendidikan dan Pengajaran Mesir, tepatnya di Madrasah Tsanawiyah Ma’had Thantha Mesir, untuk belajar ilmu-ilmu umum, seperti berhitung, sejarah, kesehatan dan sebagainya.[8]
Ketika berusia lima tahun al-Qardhawi diantarkan oleh pamannya ke salah satu guru agama yang disebut al-kuttāb di desanya untuk belajar mengaji dan menghafal Al-Qur’an. Di tempat tersebut al-Qardhawi terkenal sebagai seorang anak yang sangat cerdas. Dengan kecerdasannya beliau mampu menghafal Al-Qur’an dan menguasai hukum-hukum tajwidnya dengan sangat baik.[9] Al-Qardhawi menyempurnakan hafalan Al-Qur’an pada usia sepuluh tahun, dengan bacaan bertajwid. Karena kemahirannya dalam bidang Al-Qur’an pada masa remajanya, ia justru dipanggil mengajar di masjid-masjid.
Pada usia tujuh tahun, beliau masuk ke Madrasah Ilzamiyyah di bawah Kementrian Pendidikan untuk dengan nama ”Syaikh al-Qardhawi” oleh orang di sekitar kampungnya, bahkan ia selalu ditunjuk menjadi imam shalat, terutama shalat yang jahriyah. Setelah keluar dari madrasah tersebut, beliau melanjutkan ke Madrasah Ibtida-iyyah “Thantha”, yang diselesaikannya dalam waktu empat tahun. Kemudian pindah ke Madrasah Tsanawiyyah yang sama selama lima tahun.[10] Dia menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan itu dan selalu menempati ranking pertama. Kecerdasannya telah tampak sejak dia kecil. Sehingga salah satu gurunya memberi gelar “al-lamah” (sebuah gelar yang biasanya diberikan pada seseorang yang memiliki ilmu yang sangat luas). Dia meraih ranking kedua untuk tingkat nasional, Mesir, pada saat kelulusannya di sekolah Menengah Umum. Padahal waktu itu dia pernah dipenjarakan.
Setelah itu ia pergi ke Kairo untuk melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi. akhirnya ia masuk Fakultas Ushuluddin di Universitas al-Azhar. Ia berhasil memperoleh ijazah Perguruan Tinggi pada tahun 1952-1953. Beliau meraih ranking pertama dari mahasiswa yang berjumlah seratus delapan puluh. Kemudian dia memperoleh ijazah setingkat S2 dan memperoleh rekomendasi untuk mengajar di fakultas Bahasa dan Sastra pada tahun 1954. Dia kembali meraih ranking pertama dari tiga kuliah yang ada di al-Azhar dengan jumlah siswa lima ratus orang. Pada tahun 1956, Dr. Yusuf al-Qardhawi bekerja di bagian pengawasan bidang Agama pada Kementrian Perwakafan di Mesir dengan aktivitas ceramah dan belajar berhitung, sejarah, kesehatan dan lain-lain. Kemudian diangkat menjadi pemilik lembaga al-Immah. Pada tahun 1958 dia memperoleh ijazah diploma dari Ma’had Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah dalam bidang bahasa dan sastra. Pada tahun 1959 beliau dipindahkan ke bagian administrasi umum untuk Tsaqafah Islamiyyah di Universitas al-Azhar untuk mengawasi penerbitannya, dan bekerja dikantor seni pengelolaan dakwah dan bimbingan. Sedang di tahun 1960 dia mendapatkan ijazah setingkat Master di jurusan Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Sunnah di fakultas Ushuluddin. Pada tahun 1973 dia berhasil meraih gelar Doktor dengan peringkat summa cum laude dengan disertasi yang berjudul “az-Zakat wa Atsaruha fi Hill al-Masyakil al-Ijtimaiyyah (Zakat dan Pengaruhnya dalam Memecahkan Masalah-masalah Sosial Kemasyarakatan)”. Dia terlambat memperoleh gelar doktornya karena situasi politik Mesir yang tidak menentu. Pada tahun ini juga didirikan Fakultas Tarbiyah yang merupakan cikal bakal Universitas Qatar. Kemudian ia dipindahkan ke sana untuk mendirikan sekaligus memimpin bagian Dirasah Islamiyyah (Islamic Studies). Keterlambatannya meraih gelar doktoral itu bukannya tanpa alasan. Sikap kritislah yang membuatnya baru bisa meraih gelar doktor pada tahun 1972. Untuk menghindari kekejaman rezim yang berkuasa di Mesir, Al-Qardhawi harus meninggalkan tanah kelahirannya menuju Qatar pada tahun 1961. Di sana, ia sempat mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Pada saat yang sama ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.[11]
Namun sebelum itu, ia sudah merasakan kerasnya kehidupan penjara. Saat berusia 23 tahun, Al-Qardhawi muda harus mendekam di penjara akibat keterlibatannya dalam pergerakan Al-Ikhwānul Muslimn saat Mesir masih dijabat Raja Faruk tahun1949. Setelah bebas dari penjara, ia lagi-lagi menyuarakan kebebasan. Karena khutbah-khutbahnya yang keras, dan mengecam ketidak adilan yang dilakukan rezim berkuasa, Ia harus berurusan dengan pihak berwajib. Bahkan, ia sempat dilarang untuk memberikan khutbah di sebuah Masjid di daerah Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidakadilan rezim saat itu. Akibatnya, tahun 1956 (April) ia kembali ditangkap saat terjadi Revolusi di Mesir. Setelah beberapa bulan, pada Oktober 1956, Al-Qardhawi kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun. Setelah berkali-kali mendekam dibalik jeruji besi, Al-Qardhawi akhirnya meninggalkan Mesir tahun 1961 menuju Qatar. Di Qatar ini, al-Qardhawi lebih leluasa mengungkapkan pemikiran-pemikirannya.
Pada tahun 1977, ia merintis dan mendirikan Fakultas Syari’ah dan Dirasah Islamiyyah di Universitas Qatar. Sebagaimana ia juga telah menjadi Direktur Pusat Pengkajian Sunnah dan Sirah Nabawiyyah di Universitas Qatar, di samping posisinya sebagai dekan fakultas. Melalui bantuan universitas, lembaga-lembaga keagamaan, dan yayasan-yayasan Islam di dunia Arab, Yusuf Al-Qardhawi sanggup melakukan kunjungan ke berbagai Negara Islam dan non-Islam untuk misi keagamaan. Dalam tugas yang sama pada tahun 1989 ia mengunjungi Indonesia.[12]
Dari kiprahnya, Al-Qardhawi banyak menyumbangkan pemikiran baik dibidang ulum qur'an, hadits, fikih, sosial maupun tasawuf. Hal tersebut dapat ditelusuri dari berbagai karya yang berhasil dijumpai, di antaranya adalah:
1.      Fiqh al-Zakat, yang memuat tentang asal-muasal zakat, serta ragamnya, demikian juga yang berkaitan dengan zakat, semisal sodaqoh, infaq dan lainnya.[13]
2.      Fiqh Daulat Fi al-Islam wa al-Hadits, buku tersebut menguraikan bagaimana al-Qur'an dan Hadits mampu menjawab tantangan zaman dengan munculnya banyak teori kenegaraan, maka bagaimana kedua sumber yurisprondensi Islam tersebut menawarkan konsep tentang eksistensi negara Islam.[14]
3.      Fiqh al-Shiyam, karya ini menjelaskan bagaimana puasa ditinjau dari socio-historis sampai macam-macam puasa serta hakekat dari puasa.[15]
4.      Huda al-Islam (Fatawa Muashirah), buku ini menjelaskan tentang tanya jawab antara Yusuf Al-Qardhawi dan masyarakat Mesir seputar aqidah dan fiqh.[16]
5.      Al-Shahwat al-Islamiyah Baina Ikhtilaf al-Masyru wa Al-Tafriq al-Madzmum. Berisi tentang pentingnya meninggalkan sifat individualistic dan fanatisme buta terhadap madzhab, dan himbauan untuk bersatu serta mengeliminir perbedaan yang prinsipil.[17]
6.      Khithab Syaih al-Al-Qardhawi, yang memuat khutbah-khutbah singkat Al-Qardhawi.
7.      Al-Tsaqafat al- 'Arabiyah al-Islamiyah al-Ma'ashirah, karya ini berbicara tentang bagaimana sejarah dan perkembangan peradaban arab kontemporer.
8.      Fiqh Tajdid wa Shalawat al-Islamiyah, buku ini mengupas bagaimana fiqh sebagai bagian dari metode pemahaman akan ajaran Tuhan yang bersifat aplikatif serta pembaharuan yang mengikat di dalamnya.[18]
9.      Kaifa Nata'amalu Ma'a al-Sunnah al-Nabawiyah, kitab ini mengulas bagaimana berinteraksi dengan Sunnah dan lika-liku untuk memahaminya supaya umat Islam tidak terjebak pada berita bohong, sehingga dalam mengamalkan ajaran Islam umat Islam tidak buta.[19]
10.  Fi Fiqh al-Aulawiyat (Dirasat Jadidat f Dla' al-Qur'an wa al-Sunnah, buku ini membahas bagaimana fiqh memandang sesuatu pekerjaan yang sesuai dengan syara' untuk dikerjakan lebih dahulu karena melihat betapa pentingnya perbuatan tersebut, sehingga dalam buku tersebut sangat kental pola pikir skala prioritas.[20]
11.  Ri'ayat al-Bi'at fi Syari'at al-Islam, buku yang dikenal dengan Islam Agama Ramah Lingkungan ini merupakan karya yang membahas denganintensif persoalan lingkungan yang sekarang menjadi kajian mendalam karena kian hari bumi ini semakin menangis karena sudah tercemari.[21]
12.  al-Din fi 'Ashr al-'Ilm, buku ini sebenarnya adalah tanggapan terhadap kesalahpahaman kaum sekuler dan orang-orang barat menurut Islam terutama isu-isu kontemporer.[22]
13.  al-Sunnah Mashdaran li al-Ma'rifah wa al-Hadlarah, buku tersebut berusaha menguak al-Sunnah dalam menjawab tantangan zaman, yang mana IPTEK dan peradaban semakin maju.[23]
Sebagai seorang ulama kontemporer dan penulis produktif, berikut ini penulis sajikan beberapa karya Syaikh Yusuf Qardhawi yang penulis temukan pada buku Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi. Buku-buku karya al-Qaradhāwī yang telah diterbitkan antara lain:[24] 1) Al-Dīn fī ‘Ashr al-‘Ilm,2) Fatāwā li al-Mar’ah al-Muslimah, 3) Fatāwā al-Mu’āshirah, 4) Al-Fatwā baina al-Indhibāth wa al-Tasayyub, 5) Fī Fiqh al-Aulāwiyyat; Dirāsah al-Jadīdah fī Dhau’ al-Qur’ān wa al-Sunnah, 6) Al-Fiqh al-Islām baina al-Ashālah wa al-Tajdīd, 7) Fiqh al-Zakāh, 8) Al-Halāl wa al-Harām, 9) Al-Ibādah fī al-Islām, 10) Al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah ma’a Nazharāt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’āshir, 11) Al-Ijtihād al-Mu’āshir baina al-indhibāth wa al-Infirāth, 12) Al-Islām wa al-‘ilmāniyyah wajhan li wajhin, 13) Kaifa Nata’āmal ma’a al-Qur’ān al-Karīm, 14) Kaifa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, 15) Al-Khashā’ish al-‘āmmah li al-Islām, 16) Al-Madkhal li Dirāsah al-Sunnah al-Nabawiyyah, 17) Madkhal li Dirāsah al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, 18) Madkhal li Ma’rifah al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, 19) Min Ajl Shahwah Rasyīdah; Tujaddid al-Dīn wa Tanhadh bi al-Dunyā, 20) Min Fiqh al-Daulah fi al-Islām, 21) Musykilāt al-Faqr wa Kaifa ‘ālajahā al-Islam, 22) Al-Niqāb li al-Mar’ah, 23) Kaifa Nata’āmal ma’a al-Turāts wa al-Madzhab wa al-Ikhtilāf, 24) Al-Shahwah al-Islāmiyyah baina al-Ikhtilāf al-Masyrū’ wa al-Tafarruq al-Madzmūm, 25) Al-Shahwah al-Islāmiyyah baina al-Juhūd wa al-Tatharruf, 26) Al-Shahwah al-Islāmiyyah wa Humūm al-Wathan al-‘Arabī al-Islāmī, 27) Al-Siyāsah al-Syar’iyyah, 28) Syarī’ah al-Islām Shālihah li al-Tathbīq fi Kull Zamān wa Makān, 29) Taisīr al-Fiqh fī Dhau’ al-Qur’ān wa al-Sunnah…Fiqh al-Shiyām, 30) Dirāsah fi Fiqh Maqāshid al-Syarī’ah.

C.    Kedudukan Hadits Menurut Yusuf Qardhawi
Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhawi memberikan  penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhawi, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.[25]
Atas dasar inilah maka Al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum ekstrem[26],kedua, manipulasi orang-orang sesat, (Intihal al-Mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah[27],dan ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin)[28]Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
Untuk merealisasikan metodenya, Yusuf Qardhawi menerapkan metode pemahaman hadis dengan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi dengan sunnah, yaitu;
1.      Meneliti dengan seksama tentang ke-shahih-an hadis yang dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar hadis yang dipercaya. Yakni yang meliputi sanad dan matannya, baik yang berupa ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya.
2.      Dapat memahami dengan benar nash-nash yang berasal dari Nabi saw. sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka konteks hadis tersebut serta sebab wurud (diucapkannya) oleh beliau. Juga dalam kaitannya dengan nash-nashal-Quran dan Sunnah yang lain, dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-tujuan universal Islam. Semua itu, tanpa mengabaikan keharusan memilah antara hadis yang diucapkan demi penyampaian risalah (misi Nabi saw.), dan yang bukan untuk itu. Atau dengan kata lain, antara Sunnah yang dimaksudkan untuk tasyri’ (penetapan hukum agama) dan yang bukan untuk itu. Dan juga antara tasyri’ yang memiliki sifat umum dan permanent, dengan yang bersifat khusus atau sementara. Sebab,di antara ”penyakit” terburuk dalam pemahaman sunnah, adalah pencampuradukan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
3.      Memastikan bahwa nash tersebut tidak bertentangan dengan nash lainnya yang lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal dari al-Quran, atau hadis-hadis lain yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih shahih darinya, atau lebih sejalan dengan ushul. Dan juga tidak dianggap berlawanan dengan nash yang lebih layak dengan hikmah tasyri’, atau pelbagai tujuan umum syariat yang dinilai telah mencapai tingkat qath’iy karena disimpulkan bukan hanya dari satu atau dua nash saja, tetapi dari sekumpulan nash yang setelah digabungkan satu sama lain mendatangkan keyakinan serta kepastian tentang tsubutnya (atau keberadaanynya sebagai nash).[29]
As-Sunnah adalah sumber kedua dalam Islam di bidang tasyri’ dan dakwah
(tuntunan) nya. Para ahli fiqh merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum, sebagaimana para ahli dakwah dan tarbiyah merujuk kepadanya untuk menggali makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang merasuk ke dalam sanubari manusia. Demikian pula untuk mencari cara-cara efektif dalam rangka menganjurkan perbuatan kebaikan dan mencegah kejahatan.
Berbicara mengenai hadis sebagai sumber ajaran agama (hukum) berarti kita harus meletakkan hadis dalam kerangka diskursus ushul fiqh. Menurut ulama ushul fiqh hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw.  baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang dapat dijadikan dalil hukum shara’. Dari sini dapat dilihat bahwa ulama ushul menempatkan Nabi Muhammad saw.  sebagai musyarri’. Oleh karena itu, produk hadis ditempatkan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Quran. Penempatan hadis sebagai sumber hukum Islam tersebut, didasarkan pada beberapa dalil al-Quran, di antaranya terdapat dalam QS. al-Nisa’: 59 berikut:
$pkšr'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãèÏÛr&©!$#(#qãèÏÛr&urtAqߧ9$#Í<'ré&ur͐öDF{$#óOä3ZÏB(bÎ*sù÷Läêôãt»uZs?Îû&äóÓx«çnrŠãsùn<Î)«!$#ÉAqߧ9$#urbÎ)÷LäêYä.tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ÏQöquø9$#ur̍ÅzFy$#4y7Ï9ºsŒ×Žöyzß`|¡ômr&ur¸xƒÍrù's?ÇÎÒÈ
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Nisa’: 59)

Dalil yang semakna juga dapat ditemukan dalam QS al-Nisa’ ayat 80, yaitu sebagai berikut:
`¨BÆìÏÜãƒtAqߧ9$#ôs)sùtí$sÛr&©!$#(`tBur4¯<uqs?!$yJsùy7»oYù=yör&öNÎgøŠn=tæ$ZàŠÏÿymÇÑÉÈ
Artinya: ”Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. Al-Nisa’: 80)

Kedua ayat tersebut, setidaknya mengisyaratkan adanya perintah kepada orang-orang yang beriman, untuk taat kepada Allah dan Rasul yang berarti taat kepada al-Quran dan hadis.[30] Seseorang dikatakan taat kepada Allah kalau dia juga taat kepada Rasul—Nya, dan demikian pula sebaliknya.

D.    Interaksi dan Pemahaman Hadits Menurut Yusuf Qardhawi
1.      Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Quran
Untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penakwilan yang keliru, kita harus memahaminya sesuai dengan petunjuk al-Quran, seperti yang dijelaskan di dalam surat al-An’aam ayat 115, yakni sebagai berikut:
M£Js?uràMyJÎ=x.y7În/u$]%ôϹZwôtãur4žwtAÏdt6ãB¾ÏmÏG»yJÎ=s3Ï94uqèdurßìŠÏJ¡¡9$#ÞOŠÎ=yèø9$#ÇÊÊÎÈ
”Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan keadilannya. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-Nya dan Dia-lah Yang Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui” (Al-An’am: 115).

Al-Quran adalah roh eksistensi Islam dan asas bangunannya. Ia adalah konstitusi Illahi yang menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun sunnha Nabi adalah penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis maupun praktis. Sedangkan As-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah tugas Rasulullah saw., ”menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada mereka”.
Tugas seorang Rasul adalah menjelaskan kepada manusia risalah yang diturunkan untuk mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah ”penjelasan” bertentangan dengan ”apa yang hendak dijelaskan” atau sebuah ”cabang” tidak mungkin bertentangan dengan ”pokok”. Penjelasan Nabi senantiasa berkisar pada al-Quran dan tidak pernah melampauinya. Oleh sebab itu, tidak ada sunnah yang shahih yang bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkamat keterangan-keterangannya yang jelas.[31]
Jika sebagian orang menganggap adanya pertentangan, hal ini disebabkan karena hadisnya tidak shahih atau pemahaman kita yang tidak benar atau tidak sesuai dengan maksud hadits tersebut, dan pertentangan tersebut bersifat semu, bukan pertentangan yang hakiki. Ini berarti bahwa sunnah harus dipahami dalam konteks al-Quran.
Seperti dalam hadist : ”Syaawiruu hunna wa khaliquu hunna” (Bermusyawarahlah bersama mereka, tetapi janganlah mengikuti [hasil musyawarahnya]), hadits ini adalah merupakan hadits palsu, karena bertentangan dengan firman Allah tentang sikap kedua orangtua terhadap anaknya yang masih menyusu, yaitu sebagai berikut:
÷bÎ*sù#yŠ#ur&»w$|ÁÏù`tã<Ú#ts?$uKåk÷]ÏiB9ãr$t±s?urŸxsùyy$oYã_$yJÍköŽn=tã3……
”Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya....”

Sehingga menjadi jelas, bahwa apabila dalam menghadapi perbedaan pemahaman dalam menyimpulkan makna-makna hadits, maka kita harus dapat memahami dengan cara yang baik dan benar adalah dengan melihat makna hadits yang didukung oleh al-Quran, karena isi hadits (cabang) sebagai penjelas al-Quran tidak akan mengandung makna yang berbeda dengan al-Quran (pokok) sebagai sesuatu yang dijelaskan.
2.      Menghimpun Hadis-hadis yang Terjalin dalam Tema yang Sama
Untuk memahami sunnah Nabi dengan baik, kita harus menghimpun hadis-hadis yang bertema sama. Hadis-hadis yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, yang mutlaq dihubungkan dengan yang muqayyad, dan yang ’am ditafsirkan dengan yang khas. Dengan demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan satu sama lain tidak boleh dipertentangkan.[32]
Sebagaimana yang sudah disepakati, sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas al-Quran. Artinya, sunnah memerinci ayat-ayat yang global, menjelaskan yang masih samar, mengkhususkan yang masih umum, dan membatasi yang mutlak. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan tersebut harus diterapkan dalam memahami hadis yang satu dengan yang lainnya. 
Mencukupkan diri dengan pengertian lahiriah suatu hadis saja tanpa memperhatikan hadis-hadis lainnya, dan nas-nas lain yang berkaitan dengan topik tertentu seringkali menjerumuskan orang ke dalam kesalahan, dan menjauhkannya dari kebenaran mengenai maksud sebenarnya dari konteks hadis tersebut.[33]
Sebagai misal, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan ”mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki”, yang mengandung ancaman cukup keras terhadap pelakunya. Yaitu hadis-hadis yang dijadikan sandaran oleh sejumlah pemuda yang amat bersemangat, untuk menunjukkan kritik yang tajam terhadap siapa-siapa yang tidak memendekkan tsaub (baju gamis)—nya sehingga di atas mata kaki. Sedemikian bersemangatnya mereka, sehingga hampir-hampir menjadikan masalah memendekkan tsaub ini,  sebagai syiar Islam terpenting, atau kewajibannya yang mahaagung. Dan apabila menyaksikan seorang ’alim atau da’i Muslim yang tidak memendekkan tsaub—nya, seperti yang mereka sendiri melakukannya, maka mereka akan mencibirnya, dalam hati, atau adakalanya menuduhnya secara terang-terangan sebagai seorang yang ”kurang beragama”
Padahal, seandainya mereka mau mengkaji sejumlah hadis yang berkenaan dengan masalah ini, lalu menghimpun antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan tuntutan agama Islam kepada para pengikutnya dalam soal-soal yang menyangkut kebiasaan hidup sehari-hari, niscaya mereka akan mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh hadis-hadis seperti itu. Dan sebagai akibatnya, mereka akan mengurangi ketegangan sikap mereka dan tidak menyimpang terlalu jauh dari kebenaran, serta tidak akan mempersempit sesuatu yang sebetulnya telah dilapangkan oleh Allah SWT bagi manusia.
Dalam sebuah hadis yang dirawikan oleh Muslim dari Abu Dzar r.a., dalam ”Kitabul Iman” bagian kitab Shahihnya, bahwa Nabi SAW bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، الْمَنَّانُ الَّذِي لَا يُعْطِي شَيْئًا إِلَّا مَنَّهُ ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْفَاجِرِ ، وَالْمُسْبِلُ إِزَارَهُ "
”tiga jenis manusia, yang kelak, pada hari Kiamat, tidak akan diajak bicara oleh Allah: (1) seorang mannan (pemberi) yang tidak memberi sesuatu kecuali untuk diungkit-ungkit; (2) seorang pedagang yang berusaha melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong; dan (3) seorang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai di bawah kedua mata kakinya.”

Dalam riwayat lainnya, juga dari Abu Dzar, yang artinya:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
”Tiga jenis manusia, yang kelak pada hari Kiamat, tidak diajak bicara oleh Allah, tidak dipandang oleh—Nya, tidak ditazkiah oleh—Nya, dan bagi mereka tersedia azab yang pedih.” (Rasulullah saw . mengulangi sabda beliau itu tiga kali, sehingga Abu Dzar berkata: ’Sungguh mereka itu adalah manusia-manusia gagal dan merugi! Siapa merreka itu, ya Rasulullah?’ Maka jawab beliau): ”Orang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai ke bawah mata kaki; orang yang memberi sesuatu untuk kemudian diungkit-ungkit; dan pedagang yang melariskan dagangannya dengan bersumpah bohong.”
Hadis di atas juga didukung oleh hadis yang dirawikan dalam shahihAl-Bukhari, dari Abu Hurairah: ”Sarung yang di bawah mata kaki, akan berada di neraka.” Yang dimaksud dengan ”sarung” dalam hadis itu ialah ”kaki” seseorang yang sarungnya terjulur sampai di bawah mata kakinya. Ia akan dimasukkan ke neraka, sebagai hukuman atas perbuatannya.[34]
Akan tetapi, berdasarkan penelitian terhadap sejumlah hadis yang menerangkan bab ini, akan terlihat pendapat yang dikuatkan oleh Imam Nawawi dan Imam Ibnu Hajar bahwa kemutlakan makna hadis ini ditafsirkan oleh hadis yang membatasinya karena kesmobongan. Oleh karena itu, pelakunya dikenai ancaman berdasarkan kesepakatan ulama’.[35] Seperti hadits yang diriwayatkan Bukhari dalam bab ”Orang-orang yang menyeret kainnya bukan karena sombong” melalui hadits Abdullah Ibn Umar bahwa Nabi SAW bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barang siapa yang menyeret kainnya karena sikap angkuh, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”

3.      Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadis-hadis yang (Tampaknya)  Bertentangang (Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif)
Pada prinsipnya, nash-nash syari’at yang benar tidak mungkin bertentangan. Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanyalah merupakan keadaan luarnya saja, atau hanya kelihatan di luar saja bertentangan, tapi makna yang terkandung adalah sama. Dan kewajiban kita terhadap hal tersebut adalah menghilangkan pertentangan di dalamnya.
Apabila pertentangan tersebut dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada sehingga keduanya dapat diamalkan. Salah satu hal yang penting untuk memahami sunnah dengan baik adalah menyesuaikan hadis-hadis shahih yang ”tampak” bertentangan, yang kandungannya sepintas berbeda-beda, serta menggabungkan antara hadis yang satu dengan hadis yang lainnya.[36] Kemudian meletakkan masing-masing hadis sesuai dengan tempatnya sehingga menjadi satu kesatuan dan tidak lagi kelihatan berbeda atau bertentangan karena keduanya saling melengkapi.
Dalam hal ini, Yusuf Al-Qardhawi mengambil contoh hadis tentang ziarah kubur bagi wanita. Misalnya, hadis dari Abu Hurairah, bahwa:
"أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لعن زوارات القبور" (الترمذي 1056, ابن ماجه 1576, أحمد 8449, قال الترمذي: هذا حديث حسن صحيح)
Rasulullah saw. ”melaknat wanita yang sering menziarahi kuburan.” (Diraawikan oleh Ahmad, Ibn Majah dan Tirmidzi yang berkata: ”Hadis ini hasan sahih”, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam shahih—nya).[37]

Hal itu dikuatkan pula oleh beberapa hadis yang mengandung larangan terhadap kaum wanita untuk mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula larangan terhadap ziarah kubur bagi wanita. Walaupun demikian, ada hadis-hadis lainnya yang isinya berlawanan dengan hadis-hadis di atas. Yakni yang dapat dipahami darinya, bahwa kaum wanita diizinkan menziarahi kuburan, sama seperti kaum laki-laki. Di antaranya, sabda Nabi SAW.
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, فزورها او زوروا القبور فإنها تذكر الموت
”Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini ziarahilah kini ziarahlah” atau “ziarahilah kuburan-kuburan, sebab itu akan mengingatkan kepada maut.”[38]

Selain hadis tersebut di atas, terdapat lagi hadis Nabi tentang diperbolehkannya wanita menziarahi kubur. Yaitu ”Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan mengingatkan kepada maut.” Dalam hadis-hadis tersebut, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum wanita juga. Demikian pula hadis yang dirawikan oleh Muslim, An-Nasaiy dan Ahmad, dari Aisyah, katanya: ”Apa yang harus ku ucapkan kepada mereka, ya Rasulullah?” (Yakni apabila menziarahi kuburan). Jawab beliau:
السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
”Katakanlah: ’Salam sejahtera atas kaum Mukminin dan Muslimin, para penghuni rumah-rumah ini. Semoga Allah merahmati semua kita, yang telah mendahului maupun yang masih tertinggal. Kami, insyaAllah, akan menyusul kalian.”
Meskipun hadis-hadis ini, yang menunjukkan diizinkannya (kaum wanita menziarahi kuburan) lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan hadis-hadis yang melarang, namun menggabungkan semuanya dan berupaya menyesuaikan makna kandungannya, adalah masih mungkin. Yaitu dengan mengartikan kata ”melaknat” yang tersebut dalam hadis—sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qurthubiy—yang ditujukan kepada para wanita yang amat sering melakukan ziarah. Hal itu sesuai dengan bentuk kata zawwarat, yang berkonotasi ”amat sering”. Menurut Al-Qurthubiy, mungkin sebabnya ialah hal itu dapat mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka kepada pemenuhan hak para suami, disamping kemungkinan membawa mereka kepada tabarruj serta meratapi orang-orang yang mati dengan suara keras, dan lain-lainnya lagi. Mungkin dapat dikatakan pula bahwa jika semua itu dapat dihindarkan, maka tak ada salahnya memberi izin kepada mereka. Sebab, soal mengingat mati adalah sesuatu yang diperlukan bagi kaum laki-laki maupun wanita.
Berkata Asy-Syaukani: ”Pendapat itulah yang sepatutnya dijadikan andalan dalam upaya penggabungan antara hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan menurut zahirnya.”[39]
Dan apabila tidak mungkin menggabungkan antara dua hadis atau berbagai hadis yang pada zahirnya saling bertentangan, barulah diupayakan pentarjihan. Yaitu dengan mentarjihkan (atau ’memenangkan’) salah satu darinya, dengan berbagi alasan pentarjih yang tentukan oleh para ulama.
Soal  Naskh dalam Hadis, Masalah yang berkaitan erat dengan kontradiksi dalam hadis adalah persoalan naskh (pengahapusan) atau yang biasa kita dengan istilah nasikhmansukh (yang menghapus dan yang dihapus) dalam hadis.Sebagian ahli hadis menggunakan naskh apabila mereka mengalami kesulitan di dalam menggabungkan dua hadis yang bertentangan dan kemudian di antara keduanya diketahui mana hadis yang muncul belakangan.
Banyaknya hadis yang diasumsikan sebagai mansukh, membuat problematika dalam hadis lebih rumit dibandingkan dengan naskh di dalam al-Quran, karena al-Quran bersifat umum dan universal. Namun, setelah diadakan penelitian hadis yang dikatakan mansukh tidaklah demikian. Karena di antara hadis-hadis itu ada yang mengandung ketetapan (’azimah), dan ada pula yang dimaksudkan sebagai keringanan (rukhshah). Dan di antara keduanya mempunyai hukum masing-masing sesuai dengan kedudukannya.
4.      Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi dan Kondisinya Ketika Diucapkan, serta Tujuannya.
Untuk memahami hadis secara tepat dibutuhkan pengetahuan tentang sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi timbulnya hadis, sehingga dapat ditemukan illat yang menyertainya.  Kalau ini tidak dipertimbangkan, maka pemahaman akan menjadi salah dan jauh dari tujuan syari`. Hal ini mengingat hadis Nabi merupakan penyelesaian terhadap problem yang bersifat local, particular, dan temporal. Dengan mengetahui hal ini, seseorang dapat melakukan pemilahan antara yang umum, sementara dan abadi, dan antara yang universal dengan particular.[40]
Dalam pandangan Yusuf al-Qardhawi, jika kondisi telah berubah, dan tidak ada illat lagi, maka hukum yang bersinggungan dengan suatu nash akan gugur. Demikian juga dengan hadis yang berlandaskan suatu kebiasaan bersifat temporer yang berlaku pada masa Nabi dan mengalami perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi adalah maksud yang dikandungnya dan bukanlah pengertian harfiyah. Seperti contoh hadis:
أنتم أعلم بأمر دنياكم ...الحديث رواه مسلم
Hadis ini tidak tepat apabila dimaknai, untuk urusan dunia Rasul menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam,  karena  dalam berbagai bidang: ekonomi, sosial,politik dll. Rasul telah memberikan garis yang jelas.  Hadis ini harus dipahami  menurut sebab khusus yang menyertainya, yakni bahwa untuk urusan penyerbukan kurma, maka para petani Madinah memang lebih ahli ketimbang  Rasul. Maksud hadis Nabi terhadap keahlian profesi ataupun keahlian lainnya. Jadi, para petani lebih mengetahui tentang dunia pertanian daripada mereka yang bukan petani. Para pedagang lebih mengetahui dunia perdagangan daripada para petani. Petunjuk Nabi tentang penghargaan terhadap keahlian profesi atau bidang keahlian itu bersifat universal.[41]
Kita mengetahui bahwa para ulama kita telah menyatakan bahwa untuk memahami al-Quran dengan benar, haruslah diketahui tentang asbab an-nuzul (sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat al-Quran). Agar kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan seperti yang terjadi atas sebagaian kaum ekstrem dari kalangan Khawarij atau yang seperti mereka. Yaitu, yang mengambil ayat-ayat yang Turín berkenaan dengan kaum musyrik, lalu menerapkannya atas kaum muslim.
Demikianlah, jika asbab an-nuzul perlu diketahui oleh siapa saja yang ingin memahami al-Quran atau menafsirkannya, maka asbab al-wurud (sebab atau peristiwa yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis) lebih perlu lagi untuk diketahui.
Hal tersebut mengingat bahwa al-Quran, sesuai dengan wataknya, adalah universal dan abadi. Karena itu, ia tidak berkepentingan untuk membicarakan hal-hal yang detil atau yang hanya berkaitan dengan waktu tertentu. Kecuali untuk menyimpulkan darinya prinsip-prinsip tertentu atau menunjukkan pelajaran (‘ibrah) apa yang kiranya dapat diambil darinya.
Lain halnya dengan as-Sunnah, sebab ia memang menangani pelbagai problem yang bersifat local (maudhi’iy), particular (juz’iy) dan temporal (‘aniy). Di dalamnya juga terdapat dalam al-Quran.
Oleh sebab itu, haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan yang umum, yang sementara dan yang abadi, serta antara yang particular dan yang universal. Semua itu mempunyai hukumnya masing-masing. Dan dengan memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, pasti akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus, bagi siapa saja yang beroleh taufik Allah SWT. 
Dalam hadis lain, penulis mengambil contoh tentang keharusan wanita disertai mahramnya ketika bepergian jauh. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Abbas, secara marfu’: “Tidak dibolehkannya seorang perempuan bepergian jauh kecuali ada seorang mahram bersamanya.”[42]
‘Illah (alasan) di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai suami atau mahram. Ini mengingat bahwa di masa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal ataupun keledai dalam perjalanan mereka, seringkali mengarungi padang pasir yang luas atau daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi seperti itu, seorang perempuan yang bepergian tanpa disertai suazi ataupun  mahramnya, tentunya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau—paling sedikit—nama baiknya dapat tercemar.
Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti di masa kita Sekarang, ketika perjalanan jauh ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang yang mengangkut seratus orang penumpang atau lebih, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita bepergian sendiri. Karena itu, tidak ada salahnya, ditinjau dari segi syariat, jika ia melakukannya. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindak pelanggaran terhadap hadis tersebut.
5.      Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap
Di antara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam memahami as-Sunnah, ialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh as-Sunnah dengan prasarana temporer atau lokal yang kadangkala menunjang pencapaian tujuan. Mereka lebih mementingkan sarana ini, seolah-olah itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Padahal, siapa saja yang mendalami.
Setiap sarana dan prasana, mungkin saja berubah dari suatu masa ke masa lanilla, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya; bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada sesuatu yang menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat kita dengannya, ataupun membekukan diri kita disampingnya.[43]
Sebuah contoh yaitu hadis tentang siwak (sepotong kayu lunak dari pohon tertentu) untuk membersihkan gigi, tujuannya adalah kebersihan mulut sehingga mendatangkan keridhaan Allah, seperti disebutkan dalam hadis ”siwak menyebabkan kesucian mulut serta keridhaan Tuhan.” 
Adakah penggunaan siwak itu merupakan suatu tujuan tersendiri? Ataukah ia hanya suatu alat yang cocok dan mudah diperoleh di jazirah Arab, sehingga Rasulullah saw. menganjurkan penggunaannya, demi memanfaatkan sesuatu yang mudah didapat oleh mereka?![44]
Oleh sebab itu, tidak ada salahnya, bagi masyarakat-masyarakat lainnya yang tidak mudah memperoleh kayu siwak itu, menggantikannya dengan alat lainnya yang dapat diproduksi secara besar-besaran, cukup untuk digunakan oleh jutaan orang; seperti sikat—gigi yang kita kenal sekarang. Begitulah yang telah dinyatakan oleh sejumlah fuqaha’.
Dengan ini, kita mengetahui bahwa sikat gigi dan pasta gigi (seperti yang digunakan sekarang) sepenuhnya dapat menggantikan kayu arak. Terutama di rumah, setelah makan, atau ketika hendak tidur.
6.      Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, isti’arah. Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual. Sebagai misal, dalam surat al-Ahzab yang berbunyi:
$¯RÎ)$oYôÊttãsptR$tBF{$#n?tãÏNºuq»uK¡¡9$#ÇÚöF{$#urÉA$t6Éfø9$#uršú÷üt/r'sùbr&$pks]ù=ÏJøtsz`ø)xÿô©r&ur$pk÷]ÏB$ygn=uHxqurß`»|¡RM}$#(¼çm¯RÎ)tb%x.$YBqè=sßZwqßgy_ÇÐËÈ
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.”  (Al-Ahzab: 72)

Bahkan adakalanya pemahaman berdasarkan majaz  itu, merupakan suatu keharusan. Atau, jika tidak, orang akan tergelincir dalam kekeliruan. Ketika Rasulullah saw.  berkata kepada istri-istri beliau[45]: ”Yang paling cepat menyusulku di antara kalian (sepeninggalku) adalah yang paling panjang tangannya,” mereka mengira bahwa yang dimaksud oleh beliau, adalah yang benar-benar bertangan panjang. Karena itu, seperti dikatakan oleh Aisyah r.a.; mereka saling mengukur, siapa di antara mereka yang tangannya paling panjang. Bahkan, menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk mengukur tangan siapakah yang paling panjang?!
Padahal Rasulullah tidak bermaksud seperti itu. Yang dimaksud oleh beliau dengan ”tangan yang paling panjang” ialah yang paling banyak kebaikannya dan kedermawanannya.[46]
7.      Membedakan antara Alam Gaib dan Alam Kasatmata (Nyata)[47]
Maksudnya membedakan antara yang gaib dan alam kasatmata (nyata), di sini adalah dalam hal memaknai teks hadis. Di antara kandungan As-Sunnah, ada beberapa  hal yang berkaitan dengan alam gaib (’alamal-ghaib), yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat, mereka adalah jenis makhluk spiritual (halus), tercipta dari cahaya, nur, tak dapat ditangkap dengan indera dan tidak memiliki bentuk fisik. Makhluk-makhluk yang tidak bersifat fisik ini tidak makan, tidak minum, tidak kawin dan juga tidak berketurunan. Mereka juga tidak mempunyai sifat kelamin, lelaki atau perempuan. Mereka memang diciptakan untuk taat saja kepada Allah SWT. Dari mereka terpancar dzikir, tasbih, dan ibadah, sebagaimana halnya  nafas yang keluar dari seorang manusia. Mereka juga tidak dibebani kewajiban sebagaimana yang diberikan Allah kepada manusia.[48]
Juga seperti jin, penghuni bumi yang dibebani pula kewajiban-kewajiban tertentu seperti kita (manusia) juga, yang mereka itu dapat melihat kita dan kita tidak dapat melihat mereka. Dan di antara mereka itu adalah setan-setan, tentara Iblis yang pernah bersumpah di hadapan Allah SWT untuk berupaya menyesatkan kita dan memperindah kebatilan dan kejahatan dalam pandangan kita. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dijelaskan: 
tA$s%y7Ï?¨ÏèÎ6sùöNßg¨ZtƒÈqøî_{tûüÏèuHødr&ÇÑËÈžwÎ)x8yŠ$t7ÏããNßg÷YÏBšúüÅÁn=øÜßJø9$#ÇÑÌÈ
”iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka”[Shad: 82-83] (Yang dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah SWT)

Dan sebagian lagi dari hal-hal gaib ini bersangkutan dengan kehidupan di alam barzakh; yakni kehidupan setelah mati dan sebelum kebangkitan di hari kiamat. Termasuk di dalamnya, pertanyaan-pertanyaan malaikat ketika manusia berada dalam kuburnya; demikian pula tentang kenikmatan ataupun siksaan di dalamnya. Dan sebagiannya lagi berkaitan dengan kehidupan akhirat; yakni kebangkitan dan pengumpulan manusia di padang mahsyar, peristiwa-peristiwa besar pada hari kiamat, syafaat (dari para nabi, khususnya dari Nabi Muhammad saw.), mizan (neraca amalan manusia), hisab, shirath, surga serta pelbagai kenikmatan di dalamnya; baik yang bersifat material maupun spiritual, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya; dan juga neraka serta pelbagai siksaan di dalamnya, baik yang inderawi maupun yang maknawi, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya. Begitu pula dengan ’arsh dan kursy yang tidak dapat disaksikan oleh indera penglihatan manusia.
Apabila hadis tentang itu semua shahih, kita hanya dapat berkata dengan penuh keyakinan, “kami percaya dan membenarkannya” sambil meyakini bahwa di akhirat ada aturan tersendiri yang berbeda dengan tatanan di dunia.
8.      Memastikan Makna dan Konotasi Kata-kata dalam Hadis[49]
Dalam memahami suatu hadis haruslah dapat memastikan makna dan konotasi yang dimaksud dalam hadis. Sebab, penggunaan atau pemaknaan kata dan konotasi setiap masyarakat atau masing-masing orang itu berbeda-beda dalam memaknai suatu kata.
Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak ada keberatan sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata tersebut yang digunakan dalam as-Sunnah (atau juga dalam al-Quran) sesuai dengan istilah mereka yang baru (atau yang hanya digunakan di kalangan mereka saja).

E.     Kesimpulan
Dari pemikiran yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi ini  mengindikasikan bahwa metode yang yang ditawarkan oleh al-Qardhawi telah menimbulkan dialog yang marak baik yang pro maupun yang kontra, yang pada akhirnya membuka peluang adanya upaya pengembangan dalam wawasan studi pemikiran  hadis.
Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhawi bukan sesuatu yang sama sekali baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi merupakan refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan Yusuf al-Qardhawi dari realitas masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan para ulama jauh hari sebelumnya. Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadis, mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah bagaimana sebuah hadis muncul.
Jika dicermati beberapa prinsip pemahaman hadis nabi yang ditawarkan oleh Yusuf Al-Qardhawi sebenarnya sangat urgen untuk menggali nilai-nilai hadis yang relevan dengan kebutuhan historis sekarang ini. Hal ini penting mengingat pemahaman atas kedudukan hadis nabi harus relevan dengan dirinya dan pada saat yang sama menjadi relevan dengan masyarakat sekarang ini. Relevan dengan dirinya sendiri berarti kandungan maknanya terbatas pada nilai-nilai yang dikandungnya, relevan dengan kondisi masyarakat sekarang ini berarti bahwa relevansi tersebut berlangsung pada pemahaman yang rasional.
Bagaimanapun juga berbagai macam temuan dan teknologi yang cukup pesat mengharuskan perlunya pengkajian terhadap pemahaman hadis nabi. Interaksi antara budaya yang berkembang dengan ajaran Islam yang bersumber dari teks, untuk selanjutnya dapat dipastikan akan berhadapan dengan kenyataan yang lebih berat dan kompleks. Oleh sebab itu, aspek budaya tidak dapat diabaikan dalam kajian hadis.
Munculnya pemahaman hadis perspektif Yusuf Qardhawi mengarah pada upaya pengembangan pemikiran hadis sebagai sesuatu yang positif untuk ditumbuhkembangkan. Beberapa kriteria yang ditawarkan Yusuf Qardhawi telah memberi manfaat dalam menggali nilai-nilai hadis yang relevan konteks historis saat ini. Namun disisi lain harus disadari, maraknya berbagai pemahaman terhadap hadis nabi membuka peluang semakin melebarnya perpecahan di kalangan umat Islam, jika perbedaan pandangan itu tidak disikapi secara bijak, dengan menganggap produk mereka sendiri yang paling benar dan pemikiran orang/kelompok lain yang berseberangan dengan mereka adalah salah.


DAFTAR RUJUKAN

Al-Qardhawi, Yusuf . 1999. Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw. Bandung: Karisma
Al-Qardhawi,Yusuf.  1999. As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Al-Qardhawi, Yusuf. 1995. Studi Kritis As-Sunnah. Bandung: Trigenda Karya
Al-Qardhawi, Yusuf. 1999. Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah Al-Nabawiyah (Bagaimana Memahami Hadis Nabi ) terj.  Muhammad Al-Baqir. Bandung: Karisma
Al-Qardhawi, Yusuf. 2007. Pengantar Studi Hadis, terjmahan Agus Suyadi, Bandung: Pustaka Setia
Arif, Syamsuddin. 2008. Orientalism dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani
Fauziyah, Ririn. 2010. “Pemikiran Yusuf Qardhawi Mengenai Zakat Saham Dan Obligasi”. Skripsi Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Ismail, Syuhudi. 1994.  Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani Al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, Dan Local. Jakarta: Bulan Bintang
Kurdi, dkk. 2010.  Hermeneutika Al-Qur’anDan Hadis. Yogyakarta: El-Saq Press
Mahalli,A. Mudjab. 2001. Menelusuri Makna Sabda Nabi. Yogyakarta:Izzan Pustaka
MZ, Zainuddin. Dkk. 2011.  Studi Hadits. Surabaya: IAIN SA Press
Soebahar, H.M Erfan. 2003. Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Kritik Mushthafa Al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr Al-Islam. Jakarta: Prenada Media Kencana
Sulaiman L, M. Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadits Jakarta: Gaung Persada Press
Suryadi. 2008. Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yūsuf al-Qaradhāwī. Yogyakarta: Teras
Yusuf,Hery. 2003. Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakar Hingga Nasr Dan Qardhawi, Jakarta: Mizan Republika
Zulfah, Umi. 2004. “Riba dan Bunga Bank Menurut Yusuf al-Qaradhawi : Kajian Atas Penafsiran Yusuf al-Qaradhawi terhadap Q.S. al-Baqarah : 275 dalam Bukunya Fawāid al-Bunūk Hiya al-Ribā al-Harām”, skripsi Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Zumrodi. 2009. Jurnal Hermeneutik Volume 4, Nomer 1


[1]H.M Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Kritik Mushthafa Al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr Al-Islam,. (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2003), edisi pertama, hlm. 4
[2]Zainuddin MZ dkk, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press.2011), hlm.47
[3] A. Mudjab Mahalli Menelusuri Makna Sabda Nabi. (Yogyakarta:Izzan Pustaka.2001),hlm.8
[4]M. Noor Sulaiman L, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), cet.I, hlm. 204
[5]Syamsuddin Arif, Orientalism dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani. 2008), hlm. 1
[6]Hery Yusuf, Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakar Hingga Nasr Dan Qardhawi, Jakarta: Mizan Republika, 2003, hlm. 360
[7]Nama lengkapnya adalah Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf. Sedangkan al-Qardhawi merupakan nama keluarga yang diambil dari nama daerah tempat mereka berasal, yakni al-Qarādhah. Keluarga beliau adalah keluarga yang sederhana, ayahnya bermata pencaharian sebagai petani dan juga berdagang, sedangkan pekerjaan keluarga al-Qaradhāwi dari pihak ibu adalah pedagang. Zumrodi, Jurnal Hermeneutik Volume 4, Nomer 1, Januari 2009, Hal: 166
[8]Yusuf Al-Qardhawi,  Pasang Surut Gerakan Islam, terj. Ahmad Syaifuddin, Media Dakwah, Jakarta, t.th., hlm. 154
[9]Ririn Fauziyah, “Pemikiran Yusuf Qardhawi Mengenai Zakat Saham Dan Obligasi”, skripsi Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (2010), hlm. 55
[10]Ibid, hlm. 56
[11]Umi Zulfah, “Riba dan Bunga Bank Menurut Yusuf al-Qaradhawi : Kajian Atas Penafsiran Yusuf al-Qaradhawi terhadap Q.S. al-Baqarah : 275 dalam Bukunya Fawāid al-Bunūk Hiya al-Ribā al-Harām”, skripsi Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (2004), hlm. 20
[12]Ririn Fauziyah, Op., Cit. hlm. 60
[13]Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh al-Zakat, Dar al-Qalam li al-Nasy al-Tauzi', Mesir, 1987
[14]Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Daulat, Dar al-Qalam li al-Nasy al-Tauzi', Mesir, 1989
[15]Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh al-Shiyam, Dar al-Qalam li al-Nasy al-Tauzi', Mesir, t.th
[16]Yusuf Al-Qardhawi, Huda al-Islam (Fatawa Mu 'ashirah), Dar al-Qalam li al-Nasy al-Tauzi', Mesir, 1990
[17]Yusuf Al-Qardhawi, Al-Shahwat al-Islamiyah Baina Ikhtilaf al-Masyru wa Al-Tafriq al-Madzmum, Dar al-Qalam li al-Nasy al-Tauzi', Mesir, 1990
[18]Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Tajdid wa Shalawat al-Islamiyah, terj. Didin Hafifuddin., Mizan, Jakarta, 1999
[19]Yusuf Al-Qardhawi, Kaifa Nata'amalu Ma'a al-Sunnah al-Nabawiyah, al-Ma'had al-'Alami li al-Fikr al-Islamiy, USA, t.th.
[20]Yusuf Al-Qardhawi, Fi Fiqh al-Aulawiyat (Dirasat Jadidat fi Dla' al-Qur'an wa al-Sunnah,, terj. Bahruddin., Robbani Press, Jakarta, 2002. Buku tersebut naik cetak pertama kali pada tahun 1995 pada Maktabah Wahbah, Kairo, Mesir.
[21]Yusuf Al-Qardhawi, Ri'ayat al-Bi'atfi Syari'at al-Islam, terj. Abdullah Hakam. et.al., Pustaka Kautsar, Jakarta, 2002. Walaupun manuskrip aslinya baru naik cetak pada tahun 2001 pada Dar al-Syaruq, akan tetapi sudah banyak di alih bahasakan keberbagai bahasa dunia, di antaranya adalah Indonesia.
[22]Yusuf Al-Qardhawi, al-Din fi 'Ashr al-'Ilm, terj. Ghazali Mukri., 'Izzan Pustaka, Yogyakarta, 2003.
[23]Yusuf Al-Qardhawi, al-Sunnah Mashdaran li al-Ma'rifah wa al-Hadlarah, terj. Setiawan Budi Utomo (AS-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban), Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1998
[24]Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yūsuf al-Qaradhāwī. (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 53
[25]Yusuf Al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah Al-Nabawiyah (Bagaimana Memahami Hadis Nabi ) terj.  Muhammad Al-Baqir (Bandung: Karisma, 1999) cet. VI, hlm. 92.
[26] Penyimpangan atau distorsi datang dari sikap ekstrem yang menjauhi jalan tengah, menjauhi jalan lurus yang lapang dan menjauhi kemudahan. Yang dimaksud ekstrem disini adalah sikap berlebihan (ghulum). Ada 2 kelompok yang masuk kategori ini, yaitu kelompok ekstrem yang mengambil sikap dari keinginan yang sangat kuat untuk mencontoh perilaku Nabi dalam setiap perilaku dan perbuatannya. Padahal, banyak yang mereka sunnah, sebenarnya hanyalah adat istiadat arab. Kelompok kedua yaitu kelompok skeptic, mencampurkan antara apa yang menjadi kajian agama dan apa yang tidak menjadi kajian agama. Qardhawi lebih memilih sikap moderat dan adil, yang membedakan antara sunnah yang berdimensi syari’at dengan sunnah yang tidak berdimensi syari’at.
[27] Agar terhindar dari manipulasi ini, maka disyaratkan adanya ketelitian dalam masalah isnad. Sebagaimana syarat yang diajukan oleh ahli hadis dalam menguji validitas hadis, yakni tsiqqah, adil, dhabith, tidak syad dan tidak illat.
[28]Yakni dengan cara menghilangkan berbagai hukum dari batang tubuhnya.
[29] Yusuf  Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis…, hlm. 26-27.
[30] ‘A.Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990), hlm. 21.
[31]Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, terjmahan Agus Suyadi, Bandung: Pustaka Setia, 2007 hlm.153
[32] Yusuf al-Qardhawi, PengantarStudi.....hlm. 171
[33] Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi. Op. Cit. hlm. 113
[34]Ibid, hlm. 108
[35]Yusuf Al-Qardhawi, Studi Kritis As-Sunnah, (Bandung: Trigenda Karya, 1995), hlm. 117
[36]Apabila pertentangan tersebut dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, hal itu lebih baik daripada mentarjihkan antara keduanya. Sebab, pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya dan memperioritaskan yang lainnya.Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, terj. Agus Suyadi, Bandung: Pustaka Setia, 2007 hlm. 178-179
[37] Tirmidzi dalam bab Janaiz (1056), Ibn Majah (1576) dan Ahmad (2 / 337). Juga dirawikan oleh Al-Baihaqy dalam As-Sunan (4/  78)
[38] Ahmad dan Al-Hakim dari Anas, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir  (4584)
[39] Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw.,Op. Cit.Hlm.122.
[40]Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’anDan Hadis, (Yogyakarta: El-Saq Press, 2010), hlm.434
[41]Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani Al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, Dan Local, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 58
[42] Yusuf  Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), hlm. 71
[43]Yusuf Al-Qardhawi, Studi Kritis As-Sunnah, Op. Cit. Hlm. 162
[44]Contoh lain adalah hadis:خيرماتداويتمبهالحجامة.  رواهاحمدوغيره, hadis ini memberitahukan bahwa sebaik-baik obat ialah berbekam.  Berbekam  ini merupakan sarana, jadi ketika telah ditemukan obat yang lebih baik, berbekam tidak lagi dianggap yang terbaik, dan ini tidak menyalahi hadis. Menurut Yusuf al-Qardhawi, resep yang disebutkan dalam hadis ini bukanlah “roh” dari pengobatan Nabi. Roh-nya adalah memelihara kesehatan dan kehidupan manusia, keselamatan tubuh, kekuatan serta haknya untuk beristirahat jika lelah, dan berobat jika sakit. Berobat tidak bertentangan dengan keimanan pada takdir ataupun tawakkal kepada Allah.Yusuf al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, Op. Cit, hlm. 220
[45]حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى السِّيْنَانِىُّ أَخْبَرَنَا طَلْحَةُ بْنُ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَسْرَعُكُنَّ لَحَاقًا بِى أَطْوَلُكُنَّ يَدًا ». قَالَتْ فَكُنَّ يَتَطَاوَلْنَ أَيَّتُهُنَّ أَطْوَلُ يَدًا. قَالَتْ فَكَانَتْ أَطْوَلَنَا يَدًا زَيْنَبُ لأَنَّهَا كَانَتْ تَعْمَلُ بِيَدِهَا وَتَصَدَّقُ(Shahih muslim No. 6470).
[46]Yusuf Al-Qardhawi, Studi Kritis As-Sunnah, Op. Cit. Hlm. 186-188
[47]Ibid. Hlm. 211-216
[48] Yusuf Al-Qardhawi, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), hlm. 117.
[49]Yusuf Al-Qardhawi, Studi Kritis As-Sunnah, Op. Cit. Hlm. 218-220

No comments:

Post a Comment