Monday, June 16, 2014

SYARAT-SYARAT PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI HADIS


        A.    Pendahuluan
1.     Latar Belakang
Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik itu perkataan, ataupun pengakuan beliau.Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.[1]Hadis Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis, terlebih dahulu melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayah al-hadis atau ar-riwayah,sedangkan yang meriwayatkan di namakan Rowi.
Rawi dalam ulumul hadits adalah seseorang yang menyampaikan hadits (berupa perkataan, perbuatan, persetujuan maupun sifat Rasul) kepada umat Nabi Muhammad saw. Yang mana seorang rawi itu mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap hadits-hadits Rasulullah, karena apabila seorang rawi itu tidak memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan  oleh para ulama’ hadits, maka hadits yang disampaikannya tidak diterima atau ditolak.
At tahammul wal al adaa merupakan dua istilah yang tidak asing lagi dalam ilmu hadits karena keduanya merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan hadits, oleh karenanya pada kesempatan ini penulis memilih judul yang berkaitan dengan at tahammul wal al adaa supaya penulis bisa lebih mengetahui mengenai at tahammul wal al adaa dan kita semua bisa mengetahui atau lebih akrab lagi dengan istilah-istilah dalam ilmu hadits yang belum kita ketahui, dengan memahami istilah-istilah dalam periwayatan hadits maka kita akan lebih mudah dalam memahami ulumul hadits.
2.     Rumusan Masalah
1.Apa pengertian dan syarat-syarat perawi hadits?
2. Apa yang dimaksud dengan at-tahammul wal adaa?
3. Apa saja istilah yang berkenaan denganperiwayatan hadist ?

3.     Tujuan Penulisan
1.Untuk mengetahui pengertian dan syarat-syarat perawi hadits
2.Untuk mengetahui yang dimaksud dengan at tahammul wal adaa
3.Untuk mengetahui istilah periwayatan hadits




























         B.    Pokok Pembahasan
1.   Pengertian Rawi
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits[2].Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.
2.   Syarat-syarat Perowi      
Berakal, cakap/cermat, adil, dan Islam adalah syarat syarat yang mutlak untuk menjadi seorang perawi agar riwayatnya dapat diterima.Apabila seorang perawi tidak memenuhi seluruh predikat itu maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan dipakai. Oleh para kritikus hadist, baik angkatan lama maupun angkatan baru, keempat syarat tersebut membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Syu’bah bin al~Hajjaj(160 H) pernah ditanya: “Siapakah yang hadistnya terpakai ?” Syu’bah menjawab: “Orang yang meriwayatkan hadist dari orang terkenal yang justru tidak mereka kenal, hadistnya tidak terpakai. Atau apabila dia salah memahami suatu hadist.Atau bila dia sering melakukan kesalahan-kesalahan.Atau meriwayatkan hadist yang disepakati banyak orang bahwa hadist tersebut salah.Maka hadist-hadist yang diriwayatkan oleh orang seperti itu tidak dipakai.Adapun selainya, boleh diriwayatkan.”[3]
Tampaknya Syu’bah ingin menegaskan bahwa dua syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi bila hadistnya ingin diterima yakni adil dan cermat.Sering melakulan kesalahan berarti tidak cermat, dan menyalahgunakan pemahaman hadist berarti tidak adil.Mengenai persyaratan harus Islam dan berakal, keduanya sudah menjadi syarat penting dan mutlak, sehingga Syu’bah tidak perlu menyebutkanya lagi.Sebab tidak bisa kita gambarkan lagi seorang yang adil tapi bukan Islam atau orang yang cermat tapi tak berakal.

a.  Berakal
Menurut para ahli hadist berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk  membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadist, seseorang harus telah memasuki usia akil balig[4]. Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang  mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.[5]
b.  Cermat
Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadist yang dia riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, teliti dan terpercaya.tetapi itu tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadist yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan.Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadist yang mereka riwayatkan, maka kecermatannya masih diragukan.[6]
Syu’bah al-Hajjaj berkata: “Hadist aneh yang anda terima berasal dari orang yang aneh pula”.[7] Allah akan menghargai orang orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadist, merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja. hadist shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.[8]

c.Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadistnya diakui kejujuranya.”[9]
Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi.Jika masalah kebersihan dapat baru diterima dengan penyaksian dua saksi.Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap dirinya sendiri.[10] Itulah menurut Imam fakhrudin dan Saif-Ahmad. Kepribadian yang baik harus dipenuhi oleh seorang rawi yang adil lebih banyak dikaitkanya dengan ukuran ukuran moral seorang rawi
d. Muslim
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas.Seorang rawi harus meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam.Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia.Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadist, bukan ketika membawa atau menanggungnya.[11]
3.     Penerimaan Hadits
Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits” dengan istilah at-tahammul, sedangkan menyampaikan hadits kepada orang lain mereka istilahkan dengan al aada. [12]
3.1  Syarat menerima riwayat hadits
Menurut pendapat yang sahih, perawi pada waktu menerima riwayat hadits tidak disyaratkan harus beragama Islam dan baligh, namun setidak-tidaknya harus sudah tamyiz.Jadi orang kafir dan anak-anak dinyatakan sah menerima riwayat hadits, tetapi untuk kegiatan penyampaiannya tidak sah sebelum masuk Islam dan baligh.[13]
Ada sebagian pendapat menyatakan, bahwa perawi hadits dalam melaksanakan kegiatan penerimaan riwayat hadits dinyatakan harus baligh pendapat ini tidak benar, sebab banyak kaum muslimin secara ijma’ menerima atau tidak mempersoalkan riwayat sahabat, baik diterima sebelum atau sesudah baligh.
Para ulama berbeda pendapat tentang minimal usia disunatkan mendengar hadits
1.   Menurut ulama Syam minimal berumur 30 tahun
2.   Menurut ulama Kufah, minimal berumur 20 tahun
3.   Menurut ulama Basrah, minimal berumur 10 tahun
4.   Untuk masa sekarang yang benar adalah mulai umur sedini mungkin sekiranya yang bersangkutan sudah mampu mendengarnya, karena semua hadits sudah tercatat dalam kitab-kitab hadits.
4.Periwayatan hadits
Al ada’ ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat bergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, sebagaimana berikut ini [14] :
1.   Islam
Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini dapat kita bandingkan dengan firman Allah surat Al-hujuraat ayat 6 sebagai berikut :
6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.





2.   Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika meriwayatkan hadits, walaupun penerimaannya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadits rasul:
رفع القلم عن ثلا ثة عن المجنون المغلوب علي عقله حتي يفيق وعن نائم حتي يستيقظ وعن
 الصبي حتي يحتلم
Hilangnya kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai iamimpi (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
3.   ‘Adalah
Yang dimaksud dengan adil (‘adalah) adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
4.   Dhabit
Dhabit ialah :
تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذ لك من وقت التحمل الي وقت الجاء
“Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikan”

Jalannya mengetahui kedhabitan perawi dengan carai’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang shiqqah dan memberikan keyakinan. Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas, antara suatu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang disampaikan tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan hadits-hadits yang lebih kuat ayat-ayat  al qur’an.
5.  Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya
a). As-Sima’, (السماع, mendengar
Yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat tertinggi.Ada juga yang berpen­dapat, bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada ke­benaran. Istilah atau kata yang dipakai dalam metode ini: سمعت ، سمعنا ، حدثنا ، حدثني ، أخبرنا ، أخبرني.
Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama, menurut al-Khatib al-Baghdadi (w 463H/1072 M), kata yang tertinggi adalah kemudian  حدثنا ، حدثني. Alasannya adalah kata  menunjukkan kepastian periwayat mendengar secara langsung hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan menurut Ibn Shalah (w 643-1245M) kata  حدثنا ، حدثني disatu sisi dapat saja lebih tinggi kualitasnya daripada سمعنا سمعت , karena kata  bias berarti guru hadist, tidak khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang menyatakan sami’tu tadi. Sedangkan kata أخبرني, حدثني  memberi petunjuk bahwa guru hadits menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya kepada periwayat yang menyatakan   أخبرني, حدثني tersebut.[15]
b. Al-Qira’ah ‘ala asy-Syaikh  (القرأة علي الشيخ, membaca di hadapan guru)
Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-‘Aradh (penyodoran). Ada juga menyebutnyaعرض القرأة  (menyodorkan bacaan). Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia menyodorkan bacaan al-Qur’an kepada gurunya. Yang dimaksud adalah seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya ataupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mendengar dari orang yang membaca di hadapan guru. Imam Haramain menyaratkan seorang guru harus meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau kesalahan.Bila tidak, maka tahammulnya tidak sah.‘Ardh ini merupakan praktik yang paling umum sejak awal abad kedua Mayoritas ulama memperbolehkan metode ini.Namun diriwayatkan pula, ada sebagian mereka yang tidak memperbolehkan menerimanya.
Lafadz-lafadz yang digunakan dalam metode ini adalah عليه قرأت، حدثنا او اخبرنا قرأة عليه ، قرئ علي فلان و انا اسمع [16]
c. Al-Ijazah  (الأجازة, sertifikasi atau rekomendasi)
Yaitu seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: أجزت لك أن نروي عني (aku mengijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku).[17]
Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa kri­teria dan syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli hadits harus mengenal betul apa yang akan diijazahkannya, naskah yang ada pada murid harus dibandingkan dengan-naskah aslinya sampai benar-benar sama dan yang meminta ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi dalam hal keilmuan, sehingga tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak pada tempat atau ahlinya. Ada riwayat yang mengukuhkan hal ini dari sebagian besar ulama mutaqaddimin, semisal al-Hasan al-­Bashriy, Ibn Syihab az-Zuhriy, Makhtil, Abban ibn ‘Iyasy, Ibn Juraij, Imam Malik dan lain-lain.Semuanya memperbolehkan mengamalkan ijazah dan menyingkirkan segala sesuatu yang menghalanginya.Menurut ulama mutaqaddimin ijazah hanya diperbolehkan bagi kalangan tertentu dari para pengikut hadits yang berstatus tsiqat, dan hadits yang diijazahkan juga tidak lebih dari beberapa hadits, atau juz’ atau kitab.
Ijazah memiliki beberapa jenis. Yang tertinggi adalah seorang guru membawa kitab atau beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada murid: “Kitab ini atau kitab-kitab ini saya dengar dan Fulan, dan Aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkannya dariku”. Inilah yang mereka sebut dengan Ijazah dari guru tertentu, kepada murid tertentu dan mengenai kitab tertentu pula.Sebagian ulama menyebutkan dela­pan jenis ijazah.Bahkan ada yang menyebutkannya sampai Sembilan jenis.
d. Al-Munawalah (المناوله)
Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.[18]Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata : Inilah haditsku, atau inilah riwayat-ri­wayat yang kudengar, tanpa mengatakan: Riwayatkanlah ini dariku, atau aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya dariku). Sebagian ulama memperbolehkan metode ini.sementara sebagian yang lain tidak memperbolehkannya. Tak ada silang pendapat di kalangan mayoritas ulama ahli hadits dalam menerima munawalah ini.Bahkan ada yang menjadikan “Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah” setingkat dengan as-Sima’.Namun yang benar menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, ia tetap berada di bawah tingkat as-Sima’ dan al-Qira’ah.Al-­Qadhiy ‘Iyadh dan al-’Iraqiy juga mengutip adanya kesepakatan ahli hadits dalam menerima metode munawalah ini.Tak seorang pun yang diriwayatkan menyebut silang pendapat, seperti halnya dalam ijazah.
Lafadz yang digunakan dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah adalah. أنباء نا ، أ نبأني  Sedangkan yang dipakai dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bila Al-Ijazah adalah نا و لني ، ناولنا [19]
e. Al-Mukatabah (المكتبه)
Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya. Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama, disertai dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan. Lafadz yang digunakan adalah أجزت لك ما كتبته اليك [20]
Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Lafadz yang digunakan adalah قال حدثنا فلان ، حدثني فلان كتابة ، أخبرني فلان كتابة ، كتب الي فلان
f. I’lam asy-Syeikh (اعلم الشيخ)
Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengamya atau diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama memperbolehkan meri­wayatkannya.Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Mereka juga menilai, bahwa keju­juran dan keterpercayaan sang guru tidak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya. Pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan keridhaannya untuk menerima dan meriwayat­kannya.Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama mutaqad­dimin, seperti Ibn Juraij, juga mayoritas ulama muta’akhkhirin.
g. AI-Washiyyah (الوصيه)
Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan  seorang untuk boleh meriwayatkan darinya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang amat langka.Ulama muta’akhkhirin menghitungnya dalam jajaran me­tode tahammnul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah riwayat bahwa Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jirmiy mewasiatkan kitab-kitabnya untuk Ayyub as-Sakhtiyani (68-131 H), lalu kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub yang jumlah sebanyak muatan kendaraan unta. Ayub juga memberikan upah pengangkutannya.[21]
h. Al-Wijadah (الوجده, penemuan)
Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu, bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits menggu­nakannya dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahi­fah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah. Misalnya, seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang ber­sangkutan melalui kesaksian orang yang bisa dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui sarana lainnnya yang mengukuhkan penisbatannya kepada yang bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin melalui sarana-sarana itu, maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam bentuk menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar. Ada riwayat akurat dari sebagian ulama salaf, bahwa mereka meriwayat­kan dari shahifah-shahifah dan kitab-kitab, namun demikian peri­wayatan dengan metode wijadah ini pada masa klasik amat langka.Karena mayoritas mereka sangat mengutamakan periwayatan secara langsung melalui mendengar atau menyodorkan kitab.Bahkan sebagian besar ulama salaf mencela mereka yang meriwayatkan dari shahifah-­shahifah. Sehingga sangat populer di kalangan mereka ungkapan: “Ja­ngan kalian membaca al-Qur’an dari orang-orang yang mempelajarinya dari mushhaf saja dan jangan menerima ilmu dari orang-orang yang menerimanya dari shahifah-shahifah.” Bahkan ada di antara mereka yang, menilai dha’if periwayatan dari kitab-kitab.Lafadz yang digunakan وجدت بخط فلان    atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
6.       Istilah yang berkaitan dengan periwayatan hadits
Yang dimaksud dengan Rijal al-Hadits adalah orang-orang yang terlibat dalam periwayatan sebuah hadits, baik ia sebagai periwayat yang berkedudukan sebagai sanad maupun yang ia sebagai mukharrij yang berkedudukan sebagai rawi yang menghimpun hadits berkenaan dalam kitabnya.[22]
a.   Mukharrij
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik.sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya) . Di dalam suatu hadits biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah mengeluarkan hadits tersebut, semisal mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya.[23]
b. al-Hakim
Al Hakim,yaitu orang yang mengetahui seluruh hadits yang pernah diriwayatkan, baik dari segi sanad maupun matan, jarh (tercela)nya, ta’dil (terpuji)nya, dan sejarahnya. Setiap rawi diketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru guru, dan sifat sifatnya yang dapat diterima maupun yang ditolak.Ia harus dapat menghafal hadits lebih dari 300.000 hadits beserta sanadnya. Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain Ibn Dinar (w. 162 H), Al Laits ibn Sa'ad, seorang mawali yang menderita buta di akhir hayatnya (w. 175 H), Imam Malik (w. 179 H), dan Imam Syafi’i (w. 204 H).[24]
c. al-Hujjah
Al-Hujjah, Yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal 300.000 hadits, baik matan, sanad, maupun perihal si rawi tentang keadilannya, kecacatannya, dan biografinya (riwayat hidupnya). Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain ialah Hisyam ibn Urwah (w. 146 H), Abu Hudzail Muhammad ibn Al Walid (w. 149 H), dan Muhammad Abdullah ibn Amr (w. 242 H).[25]
d. al-Hafizh        
Al-Hafidh Ialah gelar utk ahli haditsyg dapat menshahihkan sanad dan matan hadits dan dapat men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan rawinya.Seorang al-hafidh harusmenghafal hadits-hadits sahih mengetahui rawi yg waham {banyak purbasangka} illat-illat hadits dan istilah-istilah para muhaditsin.Menurut sebagian pendapat al-hafidh itu harus mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadits. Para muhaditsin yg mendapat gelar ini antara lain Al-Iraqi Syarafuddin ad-Dimyathi Ibnu Hajar al-Asqalani dan Ibnu Daqiqil Id.[26]
e. al-Muhaddits
Al-Muhaddits Menurut muhaditsin-muhadditsin mutaqaddimin al-hafidh dan al-muhaddits itu searti.Tetapi menurut mutaakhkhirin al-hafidh itu lbh khusus daripada al-muhaddits. Kata At-Tajus Subhi Al-muhaddits ialah orang yg dapat mengetahui sanad-sanad illat-illat nama-nama rijal ali dan nazil -nya suatu hadits memahami kutubus sittah Musnad Ahmad Sunan al-Baihaqi Majmu Thabarani dan menghafal hadits sekurang-kurangnya100 buah. Muhaditsin yg mendapat gelar ini antara lain Atha bin Abi Ribah {seorang mufti masyarakat Mekah wafat 115 H} dan Imam Az-Zabidi {salah seorang ulama yg mengikhtisharkan kitab Bukhari-Muslim.[27]

f. al-Musnid
Al-Musnid Yakni gelar keahlian bagi orang yg meriwayatkan sanadnya baik menguasai ilmunya maupun tidak.Al-musnid juga disebut dengan at-thalib al-mubtadi dan ar-rawi.[28]
                                 

        C.    Penutup
Dari penjelasan syarat-syarat rawi dan tahammul wa al-ada’ di atas dapat kami ambil kesimpulan bahwa syarat-syarat rawi itu ada 4 yaitu : berakal, cakap/cermat , adil, dan islam. Dan keempat hal ini harus dipenuhi oleh seorang rawi, apabila salah satu tidak terpenuhi maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan di pakai.
Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari deorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits” dengan istilah at-tahammul, sedangkan menyampaikan hadits kepada orang lain mereka istilahkan dengan al ada’. At tahammul (menerima periwayatan hadits) sendiri mempunyai 8 cara yaitu : al sima’, al qiro’ah, al ijazah, al munawalah ,al kitabah, al i’lam, al washiyah, dan al wijadah.
Sedangkan al ada’ (menyampaikan hadits) memiliki 4 syarat yang harus dipenuhi semua, karena  ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga sangat bergantung padanya. Adapun 4 syarat tersebut yaitu: islam, baligh, ‘adalah (adil), dan dhabit










DAFTAR PUSTAKA

Ismail, M. Syuhudi.1991. Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor :Ghalia Indonesia.
Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa  Cendekia.
Salah Muhammad Muhammad Uwayd. 1989. TaqribAl-tadrib.Beirut: Dar al-Kutub al-Imliyyah.
Al-Khatib Al-Baghdadi .Al-Kifayah.
Al Hakim al Naisaburi. Ma’rifah Ulum al-Hadist.
Muhammad Al Shan’ani. Taudhid al-Afkar 2/121.
Mahmud Thahhan. 2007. Intisari Ilmu Hadits.Malang:UIN-Malang Press.
Zainimal.2005. Ulumul Hadis.Padang: The Minangkabau Foundation.

Ahmad Bukhari Muslim, Struktur Hadis : Sanad, Matan Dan Mukharrij, http://santri-ppmu.blogspot.com/2011/03/struktur-hadis-sanad-matan-dan.html.Kamis 20 Maret 2014.

 





[1]M. Syuhudi Ismail, Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), 2

[2]Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia. hal 120
[3]Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa  Cendekia. hal 62
[4]Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah.hal 54
[5]Ibid 56
[6]Salah Muhammad Muhammad Uwayd. TaqribAl-tadrib .(Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989)   hal 110
[7]Al-Khatib Al-Baghdadi .Al-Kifayah .hal 141
[8]Al Hakim al Naisaburi. Ma’rifah Ulum al-Hadist. hal 59
[9]Ibid 80
[10]Muhammad Al Shan’ani. Taudhid al-Afkar 2/121.
[11]Ibid 76
[12]Sohari Sahrani. Ulumul Hadits.(Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2010) hal 176      
[13]Mahmud Thahhan. Intisari Ilmu Hadits. (Malang :UIN-Malang Press,2007)  hal 174


[14]Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia hal. 177       
[15]Zainimal, Ulumul Hadis, (Padang: The Minangkabau Foundation, 2005)., h. 184
[16]Endang Soetari, op.cit. h. 186

[17]Mudasir, op.cit., h. 185
[18] Mudasir opcit, h. 185
[19] Endang Soetari op.cit, h.187
[20] Endang Soetari loc.cit
[21] Ibid 210
[22]] Op.Cit.,DR.H.M Arief Halim, Ihtisar Ilmu Hadis. H.107                                                         

[23]Ahmad Bukhari Muslim, Struktur Hadis : Sanad, Matan Dan Mukharrij, http://santri-ppmu.blogspot.com/2011/03/struktur-hadis-sanad-matan-dan.html. Kamis 20 Maret 2014.

 

[24]Ibid.
[25]Ibid.
[26]Ibid.h.110
[27] Ibid.h.110

No comments:

Post a Comment