Friday, July 11, 2014

Resuman Buku Teori Common Link

           
Mahasiswa PascaSarjana UIN Maliki Batu
Juli, 2014


I.     Pendahuluan
Hingga saat ini, persoalan asal-usul hadits masih menjadi bahan perdebatan di kalangan para pemikir hadits. Sejumlah pemikir meragukan kebenaran hadits sebagai berasal dari nabi dan hal itu, menurut mereka, dapat dibuktikan secara historis, sedangkan sebagian pemikir yang lain mempercayai bahwa hadits memang berasal dari nabi. Masing-masing kelompok mengemukakan berbagai argumen yang tampak sama-sama meyakinkan.
Ignaz Goldziher (1850-1921)yang termasuk kelompok pertama mengatakan:  fenomena hadits berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi, karena kandungan hadits yang terus membengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi muslim materi hadits berjalan parallel dengan doktrin-doktrin fiqh dan teologi yang seringkali bertentangan maka dapat disimpulkan bahwa sangat sulit untuk menentukan hadits-hadits orisinal yang berasal dari nabi. Lebih lanjut dia berpendapat bahwa sebagian besar materi hadits dalam koleksi kitab hadits, merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari kecenderungan-kecenderungan yang Nampak pada masyarakat muslim selama masa-masa tersebut. Akibatnya,  produk-produk kompilasi hadits yang ada saat ini tidak dapat dipercaya secara keseluruhan sebagai sumber ajaran dan perilaku nabi sendiri.
Josep Schacht (1902-1969) yang mengklaim sebagai penerus Goldziher  menyatakan bahwa isnad, yakni rangkaian para periwayat hadits yang menjadi sandaran kesahihan sebuah matan hadits, memiliki kecenderungan untuk berkembang ke belakang. Menurutnya, isnad berawal dari bentuk yang sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengaitkan doktrin-doktrin aliran fiqh klasik kepada tokoh yang lebih awal, seperti sahabat dan akhirnya kepada nabi.  Oleh karena itu isnad merupakan rekayasa sebagai hasil dari pertentangan antara ahli aliran fiqh klasik dan ahli hadits maka taksatu pun dari hadits nabi, terlebih yang berkenaan dengan persoalan hukum, dapat dipertimbangkan sebagai hadits shahih. Singkatnya, hadits-hadits tersebut sebenarnya tidak berasal dari nabi, tetapi dari generasi tabiin.
Teori-teori Goldziher dan Schacht tersebut selanjutnya diikuti dan dikembangkan oleh seorang ahli sejarah Islam klasik dan hadits, G.H.A. Juynboll, yang lahir d Leiden pada 1935 M. Sejak tahun 1965 hingga sekarang, ia secara serius mengabdikan dirinya untuk mengkaji sejarah awal hadits. Hasil-hasil temuannya masih terus bermunculan di berbagai jurnal internasional, seperti Arabica, Der Islam, Bibliotheca Orientalis, Jerusalem Studies in Arabic and Islam, Le Museon, dan  Islamic Law and Society. Ia juga termasuk salah satu kontributor dalam Encyclopedia of Islam  New Edition, khususnya volume VII, VIII, dan IX.
Dalam mengkaji sejarah awal hadits, Juynboll mengadopsi teori-teori Schacht, terutama teori common link-nya. Teori ini merupakan struktur fundamental bagi seluruh kajiannya mengenai hadits nabi. Menurutnya, teori common link adalah teori yang brilian. Sayangnya, teori tersebut belum dikembangkan dalam skala yang oleh para pengkaji hadits. Hal itu barangkali karena teori ini kurang mendapat perhatian, elaborasi, atau penekanan yang selayaknya, bahkan oleh Schacht sendiri. Padahal menurutnya, jika orang mau memahami teori ini maka akan tampak bahwa ia sangat menarik dan mengagumkan, serta tergolong teori yang relatif baru.
Common link adalah istilah untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang lalu menyiarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannnya kebanyakan dari mereka menyiarkannya lagi kepada dua atau lebih muridnya.  Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam isnad  yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnadyangmeneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk yang pertama kalinya maka di sanalah ditemukan common link-nya.
Oleh karena itu, teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwea semakin banyak garis periwayatan yang bertemu atau meninggalkan periwayatan tertentu maka semakin besar pula momen periwayatan itu memiliki klaim kesejarahan. Sebaliknya, jika suatu hadits diriwayatkan dari nabi melalui seseorang (sahabat), kepada orang lain (tabiin), dan kemudian kepada orang lain lagi (tabiit-tabiin), yang pada akhirnya sampai pada common link, dan setelah itu jalur isnad tersebut bercabang keluar maka kesejarahan jalur periwayatan tunggal itu tidak dapat dipertahankan. Dalam kenyataannya, sebagian besar isnad yang mendukung bagian yang sama dari sebuah matan hadits baru mulai bercabang dari kaitan bersama, yakni seorang periwayat yang berasal dari generasi kedua atau ketiga setelah nabi.
Dengan demikian, yang sering terjadi adalah bahwa yang menjadi common link(kaitan bersama) sebuaha hadits adalah tabiin dan muridnya (tabiit-tabiin). Jarang sekali seorang sahabat atau bahkan nabi sendiri menjadi kaitan bersama suatu hadits. Jika demikian maka hadits itu tidak, atau setidak-tidaknya secara historis belum terbukti berasal dari nabi atau sahabat, tetapi berasal dan bersumber dari para tabiin atau bahkan dari para tabiit-tabiin. Hal ini memperkuat ide Juynboll tentang kronologi hadits yang menyatakan bahwa hadits yang berakhir pada tabiin lebih tua daripada hadits yang berakhir pada sahabat, dan pada gilirannya ia lebih tua daripada hadits yang berakhir pada nabi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa semakin dalam penyelaman di bawah common link, semakin baru asal-usul isnad itu, dan, dengan demikian, semakin baru pula asal-usul hadits tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, beberapa persoalan yang menjadi focus kajian ini adalah : (a) apa yang dimaksud dengan teori common link?; (b) bagaimana implikasi teori tersebut bagi persoalan asal-usul dan perkembangan hadits?; (c) apakah teori common link dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya?















         II.     Pembahasan
  1. Biografi dan Karya-karya G.H.A Juynboll
Gautier H.A Juynboll yang lahir di Leiden, Belanda pada 1935 adalah seorang pakar dibidang sejarah perkembangan awal hadits. Selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadits dari persoalan klasik hingga kontemporer. Kepakaran murid J. Brugmen ini dalam kajian sejarah awal hadits, menurut P.S. van Koningsveld, telah memperoleh pengakuan internasional. Oleh karena itu, tidak diragukan ketokohannya dalam bidang itu dapat disejajarkan dengan nama-nama seperti James Robson, Fazlur Rahman, M.M Azami, dan Michael Cook.
Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith, Juynboll mengklaim telah menjelaskanperkembangan penelitiannya atas literatur haduts secara kronologis sejak akhir tahun 1969-an hingga 1996.
Semasa menjadi mahasiswa S1, Juynboll bergabung bersama sekelompok kecil orang untuk mengedit satu karya yang kemudian menghasilkan separo akhir dari kamus Hadits,  Concordance et indices de la tradition musulmane, tepatnya dari pertengahan huruf ghayn hingga akhir karya tersebut. Pada 1965 hingga 1966, dengan dana bantuan dari The Netherlands Organisation for the advecement of pure Research (ZWO). Juynboll hingga di Mesir untuk melakukan penelitian Disertasi mengenai pandangan para teolog Mesir terhadap literatur Hadits, akhirnya, Disertasi yang disusunnya itu dapat dipertahankan di depan komisi senat pada kamis, 27 Maret 1969, pukul 14.15, dalam rangka meraih gelar doktor di bidang sastra di Fakultas Sastra, Universitas Negeri Leiden, Belanda.
Setelah disertasi tersebut diterbitkan oleh penerbit E.J. Brill, Leiden, pada 1969, Juynboll kemudian melakukan penelitian mengenai berbagai persoalan, baik yang klasik maupun kontemporer. Pada 1974, ia menulis makalah bertitel: “on The Origins Of Arabic Prose” dan dimuat dalam buku, Studies On The First Century Of Islamic Society. Sejak saat itu, ia memusatkan perhatiannya pada studi hadits dan tidak pernah meninggalkannya lagi.
Selain meneliti, Juynboll yang dalam beberapa kesempatan sering mengatakan, “seluruhnya akan kupersembahkan untuk hadits nabi,” juga mengajar di berbagai Universitas di Belanda. Hanya saja, kegiatan mengajar para mahasiswa yang sedang menulis tesis dan disertasi kurang begitu diminatinya. Sebagai seorang ilmuan Swasta (Private Scolar), ia tidak terikat dengan Universitas manapun dan sebagai akibatnya tidak mempunyai jabatan akademis sebagaimana para ilmuan besarlainnya. Oleh karena itu kegiatan sehari-harinya adalah sebagai Daily Visitor di perpustakaan Universitas Leiden. Belanda. Untuk melakukan penelitian hadits khususnya diruang baca koleksi perpustakaan Timur Tengah Klasik (Oriental Reading Room) , di bawah seorang supervisor bernama Hans van de Velde. Diusianya yang telah menginjak 69 tahun itu, Juynboll tinggal di Burggravenlaan 40 NL-23 HW Leiden, Belanda.
Sebagai seorang ilmuan dan peneliti dalam bidang studi Hadits, Juynboll telah menghasilkan sebuah karya, baik dalam bentuk buku maupun artikel, yang pada gilirannya ikut memberikan sumbangan terhadap studi haditsnpada khususnya dan studi islam pada umumnya. Sebagian besar pemikirannya, terutama yang terkait dengan studi hadits dan teori Common link, di elabiorasi dalam tiga bukunya, The Autentifity of the Tradition Literature: Discusion in Modern Egypt. Muslim Tradition. Studies in Chronology. Provenance and Authorshipof Early Hadith. Dan Studies on the origins and Uses of Islamic Hadits. Oleh karena itu tidak salah jika penulis memberikan perhatian perhatian khusus kepada tiga karya tersebut dan kemudian mengemukakan kandungannya secara ringkas.
The authentificity of The Tradition Literature adalah karya orisinal Juynboll yang berdasarkan berbagai sumber klasik dan kontemporer mengkaji pendapat-pendapat para teo;og muslim mesir tentang keshahihan hadits nabi. Dalam pendahuluan buku ini dia menjelaskan pendapat para orientalis, seperti A. Sprenger, orang pertama yang menganggap sebagian besar hadits palsu, G. Weil, W. Muir, dan R.P.A. Dozy yang menyatakan, setidak-tidaknya separo hadits yang terdapat dalam koleksi al-Bukhari adalah otentik.
Pada bagian selanjutnya Juynboll mengupas pendapat Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht serta pendapat para pemikir hadits modern, seperti Fuat Seizgen dan Fazlur Rahman tentang kedudukan hadits dalam Islam. Menurutnya, Goldziher telah berkesimpulan bahwa jarang sekali sebuah hadits dapat dibuktikan sebagai perkataan nabi atau deskripsi mengenai perilaku nabi yang asli dan dapat dipercaya. Literature hadits, kata Goldziher, merupakan akibat Dari perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama. Sedangkan Joseph Schacht mengatakan isnad sebenarnya memiliki kecenderungan berkembang ke belakang. Pada awalnya, hadits hampir tidak pernah kembali kepada nabi atau sahabat sekalipun, tetapi disebarkan berdasarkan otoritas para tabiin. Dikemudian hari, hadits sering kali dikembalikan kepada seorang sahabat dan akhirnya kepada nabi sendiri.
Berbeda dengan Goldziher dan Schacht, Fazlur Rahman yang diharapkan dapat menjembatani jurang antara kesarjanaan barat dan nilai-nilai islam ortodoks, memperkenalkan konsep-konsep kesinanambungan sunah nabi dan praktek keagamaan umat islam. Menurutnya konsep sunah nabi sudah dipakai pada masa nabi sendiri. Dengan berbagai argumen, ia menegaskan bahwa sunah, sebagaimana dihimoun dalam koleksi hadits, mencakup perilaku nabi. Dengan kata lain, ia menghembuskan semangat nabi. Oleh karena itu, literature Hadits harusnya tidak dianggap sebagai data sejarah yang tidak dapat dipercaya sama sekali dan dibuang secara keseluruhan. Meskipun bagian yang dianggap mewakili sunah nabi itu sedikit, sisanya merefleksikan sunnah yang hidup (Living Tradition), sementara sunah yang hidup merupakan penafsiran dan perumusan progresif dari sunnah nabi. Sementara itu, Fuat Seizgin lebih mengarahkan perhatiannya pada problem penulisan Hadits yang berujung pada bukti mengenai kesejarahan isnad Hadits. Ia merevisi kesimpulan Goldziher tentang kronologi penulisan Hadits. Baginya, aktivitas penulisan Hadits telah dipraktekan pada masa yang lebih awal dapida yang dipahami oleh Goldziher.
Setelah, di dalam buku ini Juynboll juga mengemukakan definisi-definisi Islam ortodoks tentang beberapa istilah teknis dan ringkasan historis mengenai evolusi Hadits dalam islam dengan menekankan adanya jarak satu abad dari masa nabi hingga masa umar bin abdul aziz dalam masalah penulisan Hadits. Secara umum, diskusi mengenai keshahihan Hadits dalam karya tersebut didasarkan pada beberapa persoalan, seperti persoalan tadwin (penulisan Hadits), ‘adalah (keadilan), wadh, periwayatan Hadits, israiliyat, dan Hadits-Hadits tentang pengobatan.
Pada bagian selanjutnya, Juynboll menguji kesuksesan sejumlah teolog mesir, seperti muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Mahmud Abu rayyah yang menyoroti keshahihan Hadits. Dalam bab II buku tersebut dikatakan bahwa sejak awal, Muhammad Abduh yang merasa kesulitan untuk menentukan Firqoh yang selamat dalam Hadits sataftariqu Ummati, tidak bermaksud menolak sebagian besar Hadits sebagai tidak relevan, tetapi dia hanya berusaha untuk melepaskan diri dari ketundukan (taqlid) kepada para ulama sebelumnya, termasuk para teolog dan ahli Hadits.
Pada Bab III, Juynboll membicarakan pandangan kritis Rasyid Ridha tentang Hadits, menurutnya, Ridha sangat menghargai kedudukan sunnah dan kodifikasinya dalam literature Hadits. Akan tetrapi dia tidak bersandar pada kritik Hadits klasik. Ia memandang sunnah sebagai akar kedua dari agama, dan karena itu, Hadits sebagai registrasi sunnah harus diteliti secara cermat untuk dipisahkan antara yang otentik dan tidak. Kemudian, pada Bab IV dikemukakan, setelah menguji enam koleksi Hadits secara mendalam, Mahmud Abu Rayyah yakin bahwa banyak Hadits shahih yang direkam dalam koleksi tersebut. Ia menyesalkan para ulama Hadits yang terlalu percaya pada metode kritik Hadits seperti halnya para ulama abad pertengahan. Menurutnya, para ahli Hadits tidak memperhatikan kritik teks (Kritik matan), dan tidak pernah mempertimbangkan apakah sebuah matan Hadits layak diterima atau tidak.
Sedangkan pada Bab V, Juynboll membicarakan perdebatan para ulama, seputar persoalan penulisan dan pembukuan Hadits (tadwin). Rafiq al-Azm, misalnya, berpendapat bahwa pada masa hidup nabi, beberapa sahabat membuat daftar sebagian besar sabda nabi dalam bentuk tulisan yang disebut Shaha’if. Sambil menyebutkan sejumlah Hadits yang mengijinkan dilakukannya sejumlah Hadits yang mengijinkan dilakukannya penulisan Hadits, ia juga menyimpulkan bahwa penulisan Hadits pada saat itu tidak dilarang. Ridha mengkritik pendapat Rafiq seraya menyatakan bahwa ia hanya menyebutkan Hadits-Hadits yang memperbolehkan penulisan Hadits. Selanjutnya, Ridha menjelaskan seluruh Hadits yang melarang penulisan Hadits.
Persoalan ‘adalah (keadilan) sahabat dijadikan pokok bahasan bab VI. Berbeda dengan ahli hadits abad pertengahan, Rasyid Ridha mengatakan bahwa keadialan Seorang riwayat tidak dapat dijadikan jaminan untuk menerima apa saja yang diriwayatkannya. Lebih jauh, juynboll mengeksplorasikan pendapat kaum modernis yang menyatakan bahwa kritik isnad klasik dipandang tidak memadai. Mereka juga menolak pernyataan,  ash-shahabah kulluhum ‘udul (semua sahabat berstatus adil). 18Sebagai konsekuensinya, keadilan abu hurairah juga diragukan, sebagaimana dikaji pada bab VII. Diantara para penulis kontemporer, Abu Rayyah adalah orang yang paling keras menyerang pribadi Abu Hurairah.  Bersama dengan Ahmad Amin, Abu Rayyah mempertanyakan iktsar Abu Hurairah. Dalam waktu yang sangat singkat, sekitar tiga tahun atau dua puluh satu bulan, tampaknya tidak masuk akal jika Abu Hurairah meriwayatkan sedemikian banyak hadits. Hal ini membuat Ridha mengemukakan sejumlah pendapat dikalangan ulama ortodok. Dikatakan olehnya, Abu Hurairah mengumpulkan hadits dengan maksud untuk disebarkan, sementara sahabat lain memperbincangkan hadits  bila diperlukan, seperti ketika mengambil keputusan.19
Dalam bab VIII, Juyboll lebih menekankan pembahasannya pada persoalan betapa pemalsuan hadits secara besar-besaran telah terjadi sehingga menimbulkan kerusakan terhadap keseluruhan materi hadits. Pemalsuantersebut dilakukan oleh lima golongan, yakni (1) orang-orang zindiq, (2) para teolog dan ahli hukum, (3) orang-orang yang lemah daya ingatannya, (4) para qushashash (para tukang cerita), dan (5) orang-orang yangh ingin mendapatkan kedudukan dari penguasa.20
Sedangkan bab IX membicarakan riwayat hadits, khususnya periwayatan hadits secara maknawi (ar-riwayah bil al-ma’na). Semua penulis modern sepakat bahwa telah terjadi periwayatan Hadits. Hnya saja, mereka berbeda pendapat mengenai konsekuensi periwayatan secara ma’nawi tersebut. Rasyid Ridha, memandang bahwa Hadits-Hadits kanonik adalah otentik, menghawatirkan riwayah bi al-ma’na karena menurutnya kebanyakan periwayat hanya meriwayatkan Hadits yang mereka pahami. Padahal menurutnya, pemahaman mereka tentang Hadits yang diriwayatkannya terkadang kurang memadai. Lebih tegas lagi Abu Rayyah berpendapat bahwa periwayatan secara ma’nawi telah menyebabkan hilangnya kata-kata nabi yang asli, karena para periwayat Hadits sering kali mengubah materi (matan) Hadits.
Adapun bab X membicarakan masalah isra’iliyyat, Hadits-hadits yang mengandung unsur-unsur yahudi. Dalam hal ini, Rasyid Ridha, memandang israiliyat secara negatip. Menurutnya, orang-orang sejamannya harus berpegang pada ajaran islam yang sesuai dengan para leluhur yang shaleh (as salaf as shaleh). Mereka tidak memperhatikan kisah-kisah orang yahudi dan persia yang masuk islam, tetapi menjaga kebersihan agama dari pengaruh luar.
Sedangkan pada bab terakhir ( Bab XI), penulis membicarakan Hadits-Hadits tentang pengobatan yang diragukan otentisitasnya, seperti Hadits lalat yang membuat heboh para teolog dan ilmuan pengobatan. Riwayat Abu Hurairah mengatakan bahwa nabi di duga pernah mengatakan,  “bila lalat jatuh kedalam kendimu, tenggelamkan sepenuhnya terlebih dahulu, kemudian buanglah karena salah satu sayapnya membawa obat, sedangkan yang satunya lagi membawa penyakit. Sama dengan sidqi, Ridha melihat adanya keganjilan adanya keganjilan dalam matan Hadits lalat tersebut. Akan tetapi, ia juga memberikan pertimbangan mengenai dualitas pada binatang yang mungkin saja sesuai dengan realitas.
  1. Teori Common Link Sebelum G.H.A. Juynboll
G.H.A. Juynboll bukanlah orang pertama yang membicarakan fenomena Common Link dalam periwayatan Hadits. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan bukan penemu dari teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk kepada Schacht seraya menyetakan bahwa dialah pembuat istilah Common Link dan yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins. Meski demikian, Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai.
Sejak awal, fenomena Common Link ini sudah dikenal oleh para ahli hadits di kalangan Islam. At-Tirmidzi dalam koleksi Haditsnya menyebut Hadits-Hadits, yang menunjukan adanya seorang periwayat tertentu. Si a misalnya, sebagai Common Link dalam Isnadnya, dengan “Hadits-Hadits si A”. Istilah tekhnis yang dipakai at-Tirmidzi untuk menggambarkan gejala seperti itu adalah Imadar (poros). Hadits-Hadits itu membentuk sebagian besar Hadits gharib, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat tunggal pada thabaqah (tingkatan) isnad tertentu. Akan tetapi, kelihatannya para ahli Hadits dikalangan islam tidak menyadari sepenuhnya implikasi dari gejala tersebut terhadap problem penanggalan Hadits.
Schacht mengatakan bahwa teori Common Link dapat dipakai untuk memberikan penanggalan terhadap Hadits-Hadits dan dontrin-doktrin para ahli fiqh. Penjelasan mengenai kepalsuan isnad bagian atas seharusnya mengubah sikap penerimaan yang tidak kritis terhadap keaslian isnad. Selain itu, ada kemungkinan bahwa nama Common Link hanya digunakan oleh orang lain yang tidak dikenal, dan dengan demikian kemunculannya hanya sebatas sebagai terminus a quo, khususnya pada periode tabiin. Lebih jauh mengatakan bahwa penomena semacam ini juga terjadi pada Hadits-Hadits yang terkait dengan sejarah.
Robson menilai teori ini sebagai sumbangan yang sangat bernilai terhadap studi perkembangan Hadits karena metode itu tidak hanya memberikan penanggalan terhadap Hadits yang disandarkan kepada nabi, tetapi juga menjelaskan nilai jalur isnad secara pasti bahwa bagian isnad yang timbul belakangan adalah otentik, sementara isnad bagian awal yang kembali kepada nabi adalah palsu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Juynboll ingin mengembangkan dan menerapkan teori ini dalam skala lebih luas.
  1. Cara kerja teori Common Link: metode rekonstruksi dan analisis Isnad
Setelah diketahui secara umum bahwa setiap Hadits terdiri dari dua bagian. Dibagian pertama terdapat rangkaian (silsilah) nama-nama periwayat dari otoritas yang paling tua, yang dalam berbagai koleksi Hadits mewujud dalam pribadi nabi saw. yang mengarah kepada para periwayat yang termuda, yaitu para penghimpun Hadits, seperti al-Bukhari (w. 256 H/870 M), Muslim (w. 261 H/ 875 M), Abu Dawud (w.275 H/889 M). At-Turmudzi (w.279 H/892 M), an-Nasai (w. 303 H/915 M), Ibnu Majah (w. 273 H/887 M). Rangkaian yang berisi sejumlah nama periwayat yang menjembatani masa antara nabi dan para pegnhimpun Hadits ini disebut dengan sanad atau isnad. Dalam berbagai Hadits, jalur isnad tersebut rata-rata berisi lima, enam, atau tujuh nama periwayat, tetapi dalam kitab al-Muwatha’ Malik (w.179 H/795 M). Misalnya, jalur itu hanya terdiri dari tiga nama. Sementara bagian kedua, yang berisi susunan kata aktual tentang apa yang dianggap pernah dikatakan atau dilakukan oleh nabi disebut matan, teks Hadits.
Matan Hadits itu dapat dinyatakan otentik jika rangkaian para periwayat dalam isnad memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam metode kritik Hadits. Oleh karena itu, tidak salah bila dikatakan bahwa dalam meneliti laporan atau Hadits, para ulama Hadits lebih menekankan penelitian isnad daripada matan. Jika isnad sebuah Hadits terdiri dari orang-orang yang dapat dipercaya maka Hadits itu dinyatakan shahih, dan sebaliknya, jika isnad Hadits terdiri dari orang-orang yang tidak dapat dipercaya maka Hadits itu tidak dappat diterima. Dalam sejarah periwayatan Hadits memang telah terjadi pemalsuan sejumlah Hadits. Akan tetapi Hadits-Hadits yang dianggap lemah dan palsu itu telah dipisahkan dari yang otentik oleh para ahli dengan menggunakan metode kritik isnad. Oleh karena itu, Hadits nabi secara keseluruhan sudah berhasil dihimpun dalam koleksi Hadits pada abad III H/IV M. Dengan demikian proses penyeleksian antara Hadits otentik dan Hadits lemah maupun Hadits palsu. Menurut para ahli Hadits sudah dianggap final.
Dari berbagai tulisan Juynboll mengenai Hadits, khususnya yang menggunakan teori Common Link dan metode analisis isnad, penulis dapat menyimpulkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menerapkan metode tersebut secara rinci. Langkah-langkah itu adalah:
1. Menentukan Hadits yang akan diteliti
2. Menelususri Hadits dalam berbagai koleksi Hadits
3.  Menghimpun seluruh isnad Hadits
4.  Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad
5.  Mendeteksi Common Link, periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran Hadits
Dalam kasus Hadits yang merendahkan martabat perempuan, Juynboll juga menerapkan analisis matan. Secara umum, langkah-langkah metode analisis matan yang diajukan olehnya adalah:
1.  Mencari matan yang sejalan
2.  Mengidentifikasi Common Link yang terdapat pada matan yang sejalan
3.  Menentukan Common Link yang tertua
4.  Menentukan bagian teks yang sama dalam semua Hadits yang sejalan
Metode analisi isnad cum matan, menurut Motzki, terdiri dari beberapa langkah:
1.  Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang dilengkapi dengan isnad.
2. Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi Common Link dalam generasi periwayat     yang berbeda-beda. Dengan dua langkah ini, hipotesis mengenai sejarah periwayatan Hadits mungkin diformulasikan. Akan tetapi, hal ini belum cukup dan harus dilanjutkan dengan langkah selanjutnya
3. Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan katanya..langkah ini juga memungkinkan untuk membuat suatu rumusan tentang sejarah periwayatan dari Hadits yang dibicarakan
4.  Membandingkan hasil analisis isnad dan matan
  1. Teori-teori terkait
Selain teori common link, masih ada lagi dua teori lain yang memiliki kaitan erat dengan teori common link dan bahkan tidak bisa dipisahkan darinya. Yaitu teori backward projection dan teori argumenta e silentio. Hanya saja Juynboll kurang memberikan perhatian yang cukup memadai untuk mengelaborasi kedua teori ini. Hal itu barangkali karena ia merasa bahwa schacht telah mengkajinya secara luas dan terperinci sehingga ia tidak perlu mendiskusikan kembali teori-teori tersebut. Meski demikian, keterkaitan kedua teori ini dengan teori common link menyebabkan setiap pengkaji Hadits merasakan sesuatu yang hilang jika tidak membicarakannya, walaupun secara ringkas.
1.  Backward Projection
Backward Projection adalah upaya, baik dari aliran fiqh klasik maupun dari para ahli Hadits untuk mengaitkan berbagai doktrin mereka kepada otoritas yang lebih tinggi di masa lampau, seperti para tabiin, sahabat, dan akhirnya nabi sendiri. Upaya ini perlu dilakukan agar doktrin-doktrin mereka dipercaya oleh generasi berikutnya karena dianggap sebagai berasal dari tokoh-tokoh yang terpercaya.
2.  Argumenta e silentio
Teori lain yang berhubungan erat dengan teori common link adalah argumenta e silentio. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa. Cara terbaik untuk membuktikan bahwa sebuah Hadits tidak ada pada masa tertentu adalah dengan cara menunjukan bahwa Hadits itu tidak pernah dipergunakan sebagai argumen hukum dalam diskusi yang mengharuskan untuk merujuk kepadanya, jika Hadits itu memang ada. artinya, sebuah Hadits dinyatakan tidak ada pada saat tertentu jika ia tidak dipakai sebagai argumen hukum –dalam kitrab-kitab fiqh awal yang ditulis oleh imam malik, as-syafi’i dan Abu Dawud-yang mengharuskan merujuk kepadanya.
Menurut Zafar Ishaq Ansari, asumsi dari Argumenta e silentio dapat dibenarkan jika seseorang terlebih dahulu mengakui validitas asumsi-asumsi berikut ini:
1. Selama dua abad pertama, ketika berbagai doktrin hukum mulai dihimpun, Hadits-Hadits yang dipakai sebagai argumen untuk mendukungnya juga disebutkan secara konsisten.
2. Hadits yang diketahui oleh seorang ahli hukum atau ahli Hadits diketahui pula oleh ahli hukum dan ahli Hadits pada masanya
3.  Semua Hadits yang beredar pada masa tertentu dihimpun dan dipublikasikan secara luas serta  dipelihara sedemikian rupa hingga jika seseorang tidak menemukan sebuah Hadits dalam karya-karya para ulama terkemuka maka hal itu merupakan bukti ketiadaannya pada masa itu, di daerahnya dan juga di duni Islam.
  1. Sumber dan Asal Usul Hadits
Implikasi yang pertama dan utama dari teori common link adalah menyangkut sumber Hadits, siapa yang menjadi sumber Hadits yang terhimpun dalam berbagai koleksi Hadits, khususnya koleksi Hadits kanonik: apakah nabi, sahabat, tabiin, atau tabiit tabiin? Mayoritas ahli Hadits dikalangan umat islam berpendapat bahwa sebagian besar materi Hadits, setidak-tidaknya yang terdapat dalam koleksi Hadits kanonik, adalah otentik dan dengan demikian, bersumber dari nabi saw. pendapat ini hampir dapat dikatakan sebagai sebuah konsensus ahli Hadits, seperti dalam koleksi al-Bukhari dan Muslim.
Memang ada pendapat dikalangan ahli Hadits yang menyatakan bahwa sumber Hadits tidak hanya nabi, tetapi juga para sahabat dan tabiin. Akan tetapi, karena Hadits sahabat (mauquf) dan tabiin (maqhtu’) tidak memenuhi kriteria marfu’ (disandarkan kepada nabi) maka Hadits-Hadits dalam kategori tersebut tidak dijumpai dalam koleksi Hadits kanonik karena koleksi Hadits tersebut merupakan hasil koreksi dari berbagai Hadits untuk menghimpun Hadits-Hadits nabi yang otentik. Adalah benar bahwa dalam kitab-kitab sunan ada sejumlah Hadits hasan dan dhaif, namun Hadits-Hadits ini adalah Hadits marfu’ dan bukan Hadits mauquf maupun maqhtu’. Selain itu, para penghimpunnya juga menunjukan kualitas Hadits yang dianggap tidak shahih.
Menurut Juynboll, gejala single trand dibawah Common Link dan kenyatan dibawah sebagian besar common link terjadi terjadi pada generasi ketiga atau keempat dan tidak terjadi pada generasi pertama dan kedua sebenarnya bisa dipahami jika seseorang memahami kronologi kelahiran isnad secara cepat. Perdebatan mengenai persoalan tersebut muncul karena adanya perbedaan interpretasi sejarah atas pernyataan ibnu sirrin (w. 110 H) sebagai mana termuat dalam muqaddimah shahih Muslim berikut ini :
“Dulu orang-orang tidak bertanya tentang isnad, ketika telah terjadi fitnah (perang sipil), mereka berkata, “jelaskan nama-nama isnad kalian! Jika berasal dari ahli as-sunah maka Hadits kalian diterima dan jika berasal dari ahl al-bida’ maka Hadits kalian diabaikan”
Berdasar pernyataan tersebut, lahirlah beberapa teori tentang kelahiran isnad. Pertama, sebagian besar ahli Hadits dikalangan islam dari abad pertengahan hingga masa sekarang sepakat bahwa yang dimaksud dengan fitnah dalam pernyataan ibnu sirrin adalah perang sipil pertama yang ditandai  dengan terbunuhnya khalifah Utsman pada 35 H. Sebagai awal perkembangan isnad. kedua, schacht berpendapat bahwa fitnah yang disebut oleh ibnu sirrin adalah perang sipil ketiga yang dimulai dengan terbunuhnya khalifah bani umayah, Walid bin Yazid, pada 126 H.  ketiga, J. Robson yang mendasarkan pendapatnya pada data-data dan bukti-bukti baru yang berada diantara dua teori diatas dan menyatakan perang sipil kedua adalah titik tolak bagi kelahiran dan perkembangan isnad. Perang sipil itu terjadi pada 63 H. Dengan diploklamirkannya Abdullah bin Zubair sebagai khalifah tandingan di Mekkah yang menantang kekuasaan Umayyah di Damaskus dan berakhir pada 73 H
Dari tiga teori ini, Juynboll memilih teori ketiga sebagai titik tolak bagi penyelidikannya mengenai kronologimkelahiran isnad. Dia tidak mengingkari bahwa para sahabat sudah membicarakan Hadits nabi pada dekade-dekade setelah nabi meninggal sudah ada dalam bentuk periwayatan formal dan terstandarisasi. Sebab, menurutnya, standarisasi Hadits baru dimulai dengan diperkenalkannya isnad sebagai alat untuk membuktikan kelahiran Hadits padaakhir abad I H. Dengan demikian, pemakaian isnad sebagai alat untuk memisahkan antara Hadits yang otentik dan palsu tidak lebih awal dari akhir abad pertama hijriah. Hal ini juga sangat cocok dengan kronologi dari Common Link tertua dalam Hadits.

  1. Metode Kritik Hadits Konvensional
Dalam rangka menghadapi gerakan pemalsuan Hadits, para ahli Hadits telah mengembangkan sebuah kritik untuk membedakan antara Hadits Hadits otentik dengan Hadits yang lemah dan palsu. Metode tersebut berpijak pada lima kriteria:
1. Persambungan sanad (ittishal as-sanad)
2. Keadilan periwayat (‘adalah arruwat)
3. Ke-dhabith-an periwayat (dhabth ar-ruwat)
4. Keterhindaran dari syudzudz
5. Keterhindaran dari ‘illat.


Belakangan ini syuhudi ismail mencoba menyistematisasi kriteria itu dengan membaginya menjadi dua kategori:
1. Unsur-unsur kaidah mayor
2. Unsur-unsur kaidah minor
Selain itu dia juga meringkas lima kriteria keshahihan Isnad Hadits menjadi tiga unsur mayor, yakni:
1. Persambungan sanad
2. Keadilan periwayat
3. Ke-dhabitannya
Sementara kriteria kesahihan matan dia ringkas menjadi dua unsur mayor, yakni:
1. Terhindar dari syudzudz
2. Terhindar dari ‘illat
Metode studi Hadits ini sudah dianggap mapan dan baku oleh para ahli Hadits. Metode ini menurut mereka, telah terbukti kehandalannya dan mampu menyingkirkan Hadits-hdais yang lemah dan palsu. Bahkan, keunggulan metode ini tidak dapat digantikan oleh metode apapun, termasuk oleh para sarjana barat modern. Setidak-tidaknya, seperti itulah yang dikatakan Azami dan Iftikharuz zaman. Lebih lanjut dikatakan bahwa materi Hadits yang terdapat dalam berbagai koleksi Hadits lebih tepat bila dipahami dan dikaji dengan menggunakan metode tersebut. Pemakaian metode yang lain justru akan mengakibatkan kesalahan.
  1. Teori Mutawatir dalam Hadits
Hadits jika dilihat dari sudut kualitas periwayatnya, terbagi atas tiga bagian, yakni shahih, hasan dan dhaif. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut kuantitas periwayatnya, ia terbagi menjadi dua bagian, yakni mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat (dan mereka juga memperolehnya) dari sejumlah periwayat dari awal hingga akhir sanad yang menurut nalar dan kebiasaan mereka tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Hanya saja, para ulama Hadits berbeda pendapat mengenai jumlah periwayat Hadits mutawatir. Pendapat mereka bervariasai dari empat, lima, sepuluh, dua belas, dua puluh, hingga empat puluh, tujuh puluh, dan bahkan tiga ratus tiga belas periwayat laki-laki dan dua orang periwayat perempuan. Semua pendapat itu sebenarnya didasarkan pada ayat al-qur’an, namun seluruhnya tidak berdasarkan ayat yang jelas kandungannya (sharih ad-dhalalah), oleh karena itu, Ibnu Hajar berpendapat bahwa definisi mengenai Hadits mutawatir tidak perlu disertai dengan ketentuan mengenai jumlah periwayatnya.
Hadits mutawatir terbagi menjadi dua, yakni mutawatir lafdzi, dan mutawatir maknawi, mutawtir lafdzi adalah Hadits yang diriwayatkan dengan cara seperti disebutkan diatas, dengan lafadz dan bentuk yang sama. Sedangkan mutawatir maknawi adalah Hadits yang diriwayatkan dengan cara seperti diatas, yang maknanya mutawatir, namun versinya berbeda-beda. Jika dalam mutawatir lafdzi disyaratkan adanya kesesuaian lafadz (muthabaqah Lafdziyah) maka dalam mutawatir maknawi hal itu tidak disyaratkan.
  1. Posisi Syu’bah bin Hajjaj dalam perkembangan Hadits
            Dalam buku biografi periwayat Hadits, seperti al-jarh wa at-ta’dil Abu Harim Ar-Razi dan Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hazar al-Atsqolani. Syu’bah bin Hajjaj menduduki posisi yang terhormat diantara para ahli Hadits lainnya, khususnya di Basrah. Dalam beberapa hal ia ditempatkan di tempat yang lebih tinggi daripada al-‘Amasy dan Sufyan at-Syauri. Pada puncaknya, sufyan at-syauri menyebutnya sebagai amir al-mu’minin fi al-Hadits.
Selanjutnya Syu’bah terlibat dalam perkembangan Hadits anti Khadzib (anti kebohongan), sebuah Hadits populer dan menurut para ahli Hadits pada abad pertengahan ia berstatus mutawatir. Hadits yang berbunyi man Khadzaba ‘alayya muta’ammidan falyatabawwa maq’adahu min nar tersebut bersumber dari Syu’bah. Dalam beberapa bundel isnad yang mendukung matan Hadits yang dianggap berasal dari nabi ini, Syu’bah adalah Common Link tertua dan dianggap paling teruji kebenarannya. Hadits tersebut muncul karena syu’bah marah karena semakin maraknya pemalsuan Hadits yang dilakukan oleh para ahli Hadits yang sezamannya. Khususnya para Khushah (para tukang cerita) yang suka menambah-nambah Hadits, seperti Abban bin Abi Ayyas. Bahkan, dilaporkan karena begitu marahnya Syu’bah kepada Abban Bin Abi Ayyas, suatu hari Syu’bah pernah menyeretnya kehadapan Qhadi dan memintanya untuk menghukum Abban bin Abi Ayyas.
Untuk menghentikan gerakan pemalsuan Hadits yang dirasakan membahayakan ajaran islam. Syu’bah membuat matan Hadits yang mencaci kebohongan dalam Hadits desertai dengan ancaman api neraka. Sayangnya, kata Juynboll, Hadits anti khadzib yang diciptakan oleh Syu’bah ini tidak terdeteksi oleh para ahli Hadits hingga saat ini. Hal ini menunjukan paradoks yang sangat luar biasa dalam periwayatan Hadits
Untuk meneliti keterlibatan Syu’bah dalam penyebaran Hadits ini, Juynboll meneliti enam Hadits berikut:
1. Syu’bah menyebarkan laporan yang didukung oleh sebuah jalur dengan isnad: Jami bin Syaddad-Amir bin Abdullah bin az-Zubair yang menghubungkan laporan tersebut kepada ayahnya, abdullah bin az-Zubair yang bertanya kepada ayahnya, az-Zubair bin al-Awwam
2.  Versi dari sebuah jalur berdasarkan isnad al-hakam bin Utaibah-Abd ar-Rahman bin Abi Laila-Samurah bin Jundab yang berdasar pada perkataan nabi: “siapa saja yang meriwayatkan sebauh hadits dariku, sementara ia tahu bahwa ia adalah sebuah kebohongan maka ia sendiri adalah seorang pendusta.
3.  Versi yang sama dengan jalur yang lain (berbeda), yang kembali kepada nabi melalui seorang sahabat, Mughirah bin Syu’bah
4. Versi dengan sebuah jalur berdasarkan isnad manshur bin almu’tamir- Rib bin Hirasy- Ali yang bersandar pada perkataan nabi:”jangan berdusta atas namaku karena siapa saja yang melakukannya akan masuk neraka”
5. Versi lain dengan sebuah jalur berdasarkan isnad Yazid bin Khumair-Sulaim bin Amir-Awsath bin Ismail al-Bajali sebagai bagian dari sebuah Hadits panjang yang sangat menyerupai Hadits anti khazib yang disandarkan kepada A’masy:”.....kalian harus berkata jujur karen kejujuran akan membawa kepada kebajikan dan kebajikan akan membawa ke surga, namun jauhilah kebohongan karena kebohongan akan membawa kepada kejahatana dan kejahatan akan menggiring ke neraka
6.  Versi yang berstatus spider (laba-laba) dengan isnad Hammad bin Sulaiman (dan Qhatadah serta Sulaiman bin Tharkan)-Anas, versi man khadzaba Klasik lengkap dengan kata-kata Muta’ammidan pada versi ini, Syu’bah juga ditemukan sebagai tokoh kunci.

  1. Isnad Keluarga: Historisitas Isnad Malik–nafi-Ibn Umar
Sejak awal sejarah periwayatan hadits, tidak sedikit Hadits yang diriwayatkan melalui isnad-isnad keluarga. Kata keluarga disini mencakup tidak hanya hubungan darah, yakni, hubungan anak dengan orangtuanya, tetapi juga hubungan Mawali, hubungan budak dengan tuannya. Beberapa contoh isnad semacam itu adalah: Ma’mar bin Muhammad dari ayahnya,
Isa bin Abdullah dari ayahnya
Katsir bin Abdullah dari ayahnya
Musa bin mathir dari ayahnya
Yahya bin Abdullah dari ayahnya
Nafi dari tuannya, Ibn Umar, dan
Muhammad bin Sirih dari tuannya, Anas bin Malik
Analisis atas isnad-isnad di atas, kata schact, membuktikan bahwa isnad keluarga adalah palsu dan dengan demikian ia bukan merupakan indikasi bagi otentitas hadits, melainkan lebih sebagai alat untuk menjamin kemunculannya. Berbeda dengan schacht, Abbott berpendapat bahwa isnad keluarga memiliki hubungan langsung, dan sejak awal, dengan periwayatan hadits secara tertulis selama beberapa generasi. Fenomena isnad keluarga, menurutnya, semakin memperkuat teorinya yang menyatakan bahwa terdapat kesinambungan dalam periwayatan hadits secara tertulis dari masa nabi hingga munculnya beberapa koleksi hadits Kanonik.
  1. Beberapa Isu Penting Dalam Hadits
1. Hadits tentang pembangunan Kota Baghdad
Salah satu hadits yang dikaji oleh juynboll dengan metode common link adalah hadits tentang pembangunan kota baghdad dan kekhawatiran originator-nya atas masa depan kota baghdad dan para penguasanya, para khalifah Abbasiyah. Hadits tersebut terdapat dalam Tarikh Baghdad, karya al-Khatib al-Baghdadi dan kitab al-Maudhu’at, karya Ibn al-Jawzi.


2. Hadits tentang mengecat rambut dan janggut
Hadits lain yang dikaji oleh Juynboll dengan menggunakan teori common link adalah hadits tentang mengecat rambut kepala dan janggut, suatu kebiasaan bersolek yang terdapat dalam berbagai sumber islam kuno, seperti koleksi hadits, kumpulan biografi, dan naskah-naskah sejarah. Tujuan utama pengkajian hadits ini, bagi Juynboll, tiada lain adalah untuk menelusuri kronologi, asal-usul dan sumber hadits tersebut. Dari ketiga masalah ini, persoalan kedua lebih dapat dikaji secara cermat, meskipun masalah pertama dan ketiga tetap saja bisa diselidiki. Tentu saja, jika dilihat dari perkembangan tulisannya dibidang hadits, anlisis Juynboll tentang hadits ini dapat dikatakan sebagai upayanya untuk memperkenalkan teori common link.
Hasil analisi Juynboll menunjukkan bahwa hadits-hadits yang disandarkan kepada nabi dan para tokoh awal islam yang membicarakan masalah mengecat rambut itu pada dasarnya berasal dari tiga tempat: Hijaz, Syria, dan Irak. Menurutnya, ada laporan penting yang terkait dengan Hijaz, yang berasal dari Hasan al-Bashri (w. 110H./728M). Diberitahukanbahwa Hasan al-Basri pernah mengatakan:”saya melihat perempuan-perempuan madinah tertentu melakukan shalat dengan rambut bercat wasmah”. Kata-kata ini selanjutnya di ikuti dengan cerita tentang percakapan antara asy-sya’bi, ahli fiqh Kufah (w. 103-110 H./721-728 M.) dengan Ibn Umar (w.74 H./693 M.) tentang mengecat dengan wasmah, yang terjadi tidak lama menjelang Ibn Umar meninggal, namun tampaknya Ibn Umar tidak tahu hal itu.
Oleh karena itu, lanjut Juynboll, nama Ibn Umar dalam cerita ini hanya disisipkan saja untuk memberikan penegasan. Pada kenyataannya, Ibn Umar telah mendengar kombinasi hinna dengan katam. Dilaporkan pula bahwa Ibn Umar tertarik dengan masalah ini. Akan tetapi, analisis isnad menunjukkan bahwa hadits tersebut berasal dari waktu yang relatif lebih belakangan dan bahkan mungkin. Pula berasal dari luar Hijaz.
3. Hadits merendahkan martabat perempuan (misoginis)
Pada bab II subbab ketiga buku ini, hadits yang merendahkan martabat perempuan telah didiskusikan dalam kaitannya dengan cara kerja teori common link: metode rekonstruksi dan analisis isnad. Agar tidak mengakibatkan pengulangan pembahasan yang tidak perlu, disini, pembicaraan mengenai hadits tersebut dilakukan secara singkat saja dan hanya menitikberatklan pada materi haditsnya yang kurang dibahas sebelumnya.
Pada awalnya, Juynboll tampak curiga atas berbagai generasi tentang perempuan yang terdapat dalam berbagai literatur hadits karena generalisasi itu dianggap telah merendahkan martabat perempuan. Apakah hadits itu benar-benar berasal dari nabi atau tidak, karena menurutnya, meskipun suatu hadits tertentu yang berkaitan dengan nabi dapat ditemukan di berbagai koleksi hadits kanonik, hal itu tidak berarti bahwa penyadarannya telah terjamin secara historis. Dengan asumsi ini, ia mencoba menelusuri hadits-hadits yang merendahkan martabat perempuan hingga para pencetus (originator)nya.
  1. Keimpulan
Verifikasi teori common link membuktikan bahwa teori ini dapat diterima kebenarannya sebagai sebuah metode untuk menelusuri asal-usul hadis. Teori tersebut dapat memberi jawaban yang lebih akurat dan memadai mengenai kapan, di mana, dan oleh siapa sebuah hadis mulai disebarkan secara publik. Namun berbeda dengan Juynboll yang menganggap common link sebagai seorang pemalsu (fabricator) hadis yang bertanggung jawab atas perkembangan isnad dan matan hadis dan bahwa hampir tidak pernah seorang sahabat memainkan peranan sebagai common link, studi ini membuktikan bahwa common link adalah seorang periwayat yang menjadi titik pindah dari periode periwayatan hadis secara publik dan massal. Common link bukanlah seorang pemalsu hadis. Ia adalah orang yang pertama yang meriwayatkan hadis dengan kata-katanya sendiri, tetapi subtansi maknanya tetap memiliki kesinambungan dengan tokoh yang lebih tua dari pada dirinya, baik sahabat maupun Nabi saw. studi ini juga menunjukkan bahwa seorang periwayat yang menduduki posisi common link dalam sebuah bundel isnad berasal dari generasi yang beragam: generasi sahabat kecil, tabin atau tabiit tabiin walaupun sebagian besar periwayat yang menduduki posisi tersebut berasal dari generasi tabiin.




Daftar Pustaka
Masrur, Ali, Teori common link, (Yokyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara, 2007.


No comments:

Post a Comment