A. Pendahuluan.
Allah
menurunkan al-Quran kepada umat manusia sebagai petunjuk kepada seluruh umat
manusia agar tercipta kedamaian dan tata kehidupan yang harmonis antara satu
dengan yang lainnya. Dalam suatu Negara pasti terdapat hukum dan undang-undang
yang telah disahkan oleh pemerintah Negara tersebut. Akan tetapi dalam membuat
atau menggunakan hukum beserta peraturan yang lain harus berdasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan yang sangat signifikan dengan realita Negara
tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap Negara pasti memeiliki
peraturan yang berbeda dengan Negara yang lain. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa dalam membuat hukum dan peraturan tidak semena-mena tanpa melakukan
pertimbangan.
Dalam
realita Negara kita yang sebagian besar penduduknya adalah orang muslim maka
sangat dibutuhkan suatu sumber dalam membuat hukum yang sumber tersebut tidak
lain adalah al-Quran dan hadist. Meskipun demikian teks-teks al-Quran tidak
dapat difahami secara fulgar akan tetapi harus secara mendalam. Dengan demikian
posisi siyasah syari`yah sangat besar dalam membuat suatu aturan agar peraturan
tersebut dapat terealisasi baik dari segi ritual maupun dari segi sosial
kemasyarakatan dalam hal ini berbagsa dan bernegara dengan tujuan mencapai
kemaslahatan secara komprehensif.
B. Pengertian Fikih Siyasah
Kata
siyasah secara etimologis merupakan bentuk masdar dari sasa, yasusu
yang artinya “mengatur, mengurus, mengemudikan, memimpin dan memerintah”.[1]Di
samping arti tersebut kata siyasah juga berarti “politik dan penetapan
suatu bentuk kebijakan”. Kata sasa bersinonim dengan kata dabbara (mengatur),
to lead (memimpin), to govern (memerintah), dan policy of government
(kebijakan pemerintah).[2]
Secara
etimologis kata siyasah mengakomodasi beberapa arti sebagaimana tersebut di
atas. Agar tidak keliru dalam menentukan arti dari siyasah, maka langkah awal
adalah melihat konteks kalimat yang mengikuti kata siyasah. Misalkan
kata sasa al-amra harus diartikan “mengurus atau mengatur sesuatu” sebab
konteks kalimat tersebut merujuk pada makna yang demikian sehingga tidak bisa
diartikan dengan makna yang lain.
Secara
terminologis mengenai definisi siyasah banyak perbedaan pendapat
menurut para yuris Islam di antaranya :
Menurut
Ibnu Mansur (ahli bahasa di mesir ) siyasah berarti mengatur sesuatu
dengan cara membawa kepada kemaslahatan. Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khalaf siyasah
adalah undang-undang yang dibuat untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan
serta untuk mengatur berbagai hal. Adapun menurut Abdurrahman, siyasah
adalah hukum dan kebijakan yang mengatur berbagai urusan umat atau masyarakat dalam
hal pemerintahan hukum dan peradilan, lembaga pelaksanaan dan administrasi dan
hubungan luar dengan negara lain.
Dari
ketiga definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa fikih siyasah adalah
suatu konsep yang berguna untuk mengatur hukum ketatanegaraan dalam bangsa dan
negara yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan dan mencegah kemudharatan.
Adapun
yang di maksud dengan siyasah syar’iyah ialah nama bagi hukum yang
digunakan untuk mengatur alat perlengkapan negara dan urusan masyarakat yang
sejalan dengan jiwa dan prinsip dasar syariat yang universal guna
merealisasikan cita-cita kemasyarakatan meskipun hal tersebut tidak dijelaskan
oleh nash secara terperinci baik dari al-Quran maupun as-Sunnah.
Menurut
Ibnu Aqil (ahli fikih di Baghdad) siyasah syar’iyah adalah suatu
tindakan yang secara praktis membawa kepada kemaslahatan dan terhindar dari
kerusakan meskipun rasulullah sendiri tidak menetapkannya dan wahyu mengenai
hal itu tidak ada. Adapun menurut Muhammad Syarif menjelaskan pengertian fikih siyasah
syar’iyah adalah setiap perbuatan yang sesuai dengan maqasiduh
as-syariah al-ammah.[3]
C. Perbedaan Fikih Siyasah dengan Siyasah
Syar’iyyah
Pengertian
di atas mengindikasikan bahwa antara pengertian fikih siyasah dengan siyasah
syar`iyah terdapat perbedaan. Meskipun dari redaksional pengertian tersebut
berbeda akan tetapi esensi dari redaksi tersebut adalah sama yaitu mencapai
kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Akan tetapi yang paling urgen dalam hal
ini adalah di mana letak perbedaan tersebut? Apabila kita amati perbedaan
antara fikih siyasah dan siyasah syar`iyah adalah dari segi pembentukan dan
tujuannya.
Sumber
utama dari fikih siyasah adalah manusia dan lingkungannya. Peraturan yang
bersumber dari lingkungan manusia sendiri meliputi pandangan para ahli, hukum
adat, pengalaman manusia, dan warisan budaya, yang mempunyai tujuan untuk
mencapai kebahagian dunia semata.
Bila kita pahami dari definisi syar’iyah di
atas maka sangat jelas, bahwa sumber primer dari siyasah syar’iyah
adalah al-Qur’an, as-Sunnah, manusia dan lingkungannya. Karena siyasah
syar’iyah mengajarkan pada semua manusia untuk mencapai kemaslahatan baik dunia
dan akhirat dengan berpegangan pada al-Quran dan as-Sunnah (sumber vertical)
serta manusia dan lingkungannya sebagai sumber horizontal.[4]
D. Kedudukan fikih siyasah dalam
sistematika hukum Islam, ruang lingkup, sumber-sumber dan pembanding.
Fikih
siyasah yang tidak lain merupakan bagian dari siyasah syar’iyah yang
berlandaskan al-Quran dan al-hadist, memiliki kedudukan yang sangat besar dan
berperan aktif dalam sistematika hukum Islam. Karena fikih siyasah tidak lain
memiliki ciri khas yakni sangat memperhatikan segi kemanusiaan seseorang, baik
mengenai diri, jiwa, akal maupun akidahnya; atau selaku perorangan ataupun
sebagai anggota masyarakat baik berbangsa dan bernegara serta tujuan utama yang
tidak jauh berbeda dengan hukum Islam dalam mencapai suatu kemaslahatan umat
baik di dunia atau di akhirat kelak.[5]
Dalam
sejarah Islam sejak masa Nabi SAW. sampai pada abad modern ini sangat spektakuler
bagi semua umat manusia bahwa Islam tidak dapat terlepaskan dari suatu negara
dalam arti Islam harus mempunyai pemimpin. Pada dasarnya Islam sangat
memperhatikan pada semua aspek baik dari segi ritual maupun aspek sosial. Oleh
karena itu memandang kemaslahatan kepada semua umat sangat di perhatikan di
dalam sistematika hukum Islam. Mengacu pada definisi siyasah yang telah di
jelaskan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam mentukan suatu hukum
dalam Islam maka harus mendahulukan pada kemaslahatan yang ungkapan tersebut
sangat sesuai dengan kaidah fikih yang
artinya menolak sesuatu yang mendatangkan bahaya lebih di prioritaskan
dari pada mendatangkan suatu hal yang manfaat.[6]
E. Ruang Lingkup
Beberapa
ahli kenegaraan Islam membagi ruang lingkup fikih siyasi atas beberapa
bagian:
a. Imam al-Mawardi, ahli fikih Madzhab
Syafi’i dan negarawan pada masa Dinasti Abbasiyah, dalam bukunya al-Ahkam
al-Sulthaniyah mengatakan bahwsannya ruang lingkup fikih siyasi
mencakup lima bagian, yakni politik perundang –undangan (siyasah dusturiyah),
politik moneter (siyasah maliyah), politik peradilan (siyasah
qadla’iyah), politik peperangan (siyasah harbiyah), dan politik
administrsasi (siyasah idariyah).
b. Sementara Ibnu Taimiyyah dalam bukunya asy-syiyasah
al-Syar’iyyah fi Aislah al-Ra’I wa al-Ra’iyyah membagi fikih siyasi
atas tiga bagian ,yakni politik administrasi, politik moneter, dan politik luar
negeri.
c. Dan Hasbi al-Siddieqy, ahli hukum
Indonesia membaginya atas delapan hukum, yaitu politik perundang-undangan,
penetapan syariah atau hukum, peradilan, moneter, administrasi, luar negeri,
pelaksanaan undang-undang, dan peperangan.[7]
Setelah
kita mengetahui tentang ruang lingkup dari fikih siyasah di atas maka yang
terpenting untuk kita ketahui adalah sumber atau dasar pokok fikih siyasah.
Adapun sumber pokok bagi siyasah adalah wahyu. Yang mana wahyu tidak lain
diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia di dunia dan di
akhirat agar tercipta suatu kehidupan yang harmonis dan tentram di antara umat Islam.
Untuk
pengembangan fikih siyasah beberapa metode yang dapat diaplikasikan dalam
mengembangkannya sebagai sumber penggalian hukum yakni : qias, istihsan,
istishab, maslahah mursalah, az-zari’ah, dan urf. Cara penggalian
pengembangan, dan penetapan hukum melalui pembuatan dan penggunaan
kaidah-kaidah fikih untuk lebih jelasnya banyak dijelaskan dalam bab ushul
fikih.
Sedangkan
pembanding dari fikih siyasah itu sendiri adalah UUD 1945 yang merupakan aturan
ketatanegaraan yang telah disepakati oleh banyak kalangan ahli yang memahami
betul tentang ilmu ketatanegaraan khususnya di Indonesia, begitu juga hukum perdata dan hukum pemerintah yang
masih sesuai dengan sumber fikih siyasah di atas yakni al-quran, hadist, dan
beberapa metode yang dipakai dalam pengembangan fikih siyasah yaitu, Qias,
Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah, Az-Zari’ah, Dan Urf.[8]
Daftar
referensi
Ensiklopedi
Hukum Islam/editor, Abdul Azis Dahlan [et
al]_Cet. 1._ 1996. Ichtiar Baru van Hoeva,
Jakarta.
Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, t.t. PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, jilid 3.
Jindan,
Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam, 1999, Risalah Gusti, Surabaya.
Mahfudz,
Sahal, Fiqih Sosial Antara Konsep dan Implementasi, 2007, Khalista Surabaya.
Thoimah,
Shobir, Dirosatu Fi Nidhomih Islam,
t.t. Dar al-Ajil, Beirut.
[1] Ensiklopedi tematis
dunia Islam, PT. ichtiar Baru Van Hoeve, jilid 3. t.t. hlm. 192
[4] Ibid., hlm.191
[5] Ensiklopedi hukum
Islam/editor, Abdul Azis Dahlan [et al]_Cet. 1._Jakarta : Ichtiar Baru van
Hoeva, 1996. Hlm. 577.
[6] Sahal Mahfudz Fiqih Sosial antara konsep dan
implementasi 2007 Khalista Surabaya.
[8] Khalid Ibrahim
Jindan, Teori Politik Islam, , 1999, Risalh Gusti, Surabaya.
No comments:
Post a Comment