Taman

Saturday, January 5, 2013

Aliran Pembaharuan (Barat, Islam dan Nasionalis) "Pemikiran Tokoh Islam"

Aliran Pembaharuan (Barat, Islam dan Nasionalis)

  1. Pendahuluan

      Dalam pembaharuan di kerajaan Usmani, dapat dilihat adanya tiga golongan pembaharuan. Pertama, golongan Barat yang ingin mengambil peradaban Barat sebagai dasar pembaharuan. Bagi golongan kedua, golongan Islam, dasar itu seharusnya adalah Islam. Golongan ketiga, golongan nasionalis Turki, yang timbul paling kemudian, melihat bahwa bukan peradaban Barat dan bukan Islam yang harus dijadikan dasar, tetapi nasionalisme Turki.
      Untuk dapat memahami pembaharuan yang dianjurkan oleh ketiga golongan tersebut perlu diketahui terlebih dahulu identitas masing-masing. Betulkah golongan Barat mengingini westernisasi, dalam arti meniru segala apa yang ada di Barat? Dan golongan Islam, siapakah mereka? Apakah mereka golongan yang disebut tradisionalis, yang ingin mempertahankan tradisi yang semenjak lama telah ada pada umat Islam? Ataukah mereka termasuk golongan yang disebut modernis, yang ingin kembali kepada ajaran-ajaran dasar dalam Islam seperti terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits dan mengadakan interpretasi yang sesuai dengan zaman modern? Dan golongan nasionalis Turki, apa pendirian mereka terhadap agama? Betulkah mereka mempunyai faham sekularisme?

  1. Pembahasan

Perkembangan modernisasi di Turki semakin melaju ke depan dengan membawa visi beraneka ragam sesuai kepentingan yang melatarbelakanginya. Pada gerakan sebelumnya dikenal adanya kebangkitan Usmani Muda dan Turki Muda yang banyak memberi corak atas pemikiran rakyat Turki, terutama kepada penguasa dan kaum terpelajar di sana. Pada makalah ini, dibahas warna khas dari gerakan yang ada di Turki. Sebagaimana dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa gerakan pada fase ini terbagi kepada tiga kelompok, yaitu; pertama gerakan yang berorientasi dan masih berpegang secara ketat pada prinsip Islam yang disebut Islamisme. Kedua, gerakan yang banyak mengadopsi ( mengambil ) pemikiran, sikap hidup berdasarkan pola-pola kehidupan Barat, atau terilhami oleh Barat ( terbaratkan ). Kelompok ini dinamakan Westernisme. Ketiga, gerakan yang menitikberatkan ke dalam terutama menyembulkan aspek keaslian Turkisme atau lebih tepat secara kenegaraan mereka selalu mementingkan sikap, pola pikir dan tindakan nasional. Mereka tidak mau mengambil sesuatu yang berbau Barat dan juga tidak mengambil sesuatu yang terilhami oleh perasaan keagamaan ( Islam ). Sehingga para patriotisme yang tinggi membawa mereka lebih mengutamakan nasionalitas di atas segala-galanya. Kelompok yang berpaham demikian dinamakan Nasionalisme. ( Sani, 1998:110 )
Walaupun perlu digarisbawahi bahwa dorongan tertinggi atas semua kelompok ide pembaharuan itu pada prinsipnya mengacu nilai Islam, namun ada golongan yang lebih mementingkan Baratnya daripada Islam, atau sebaliknya mementingkan Islam secara prinsip tanpa memandang enteng ( dengan merasa masih cukup penting ) peradaban Barat. Dan ada pula golongan yang mementingkan perasaan nasional Turki walaupun mereka pada dasarnya juga orang Islam.


  1. Aliran Barat

Westernisme dalam Islam ( kebarat-baratan ) golongan atau gerakan yang mengajak umat Islam untuk menerima pengetahuan Barat dan semua yang datang dari Barat.[1]
Pada golongan ini selain orang-orang Barat yang mempunyai idealisme Barat, juga tokoh intelegensia Turki sendiri yang terbaratkan dalam pemikiran dan perilakunya. Apalagi dalam hal ini Turki merupakan bagian dari Eropa Timur ( beberapa wilayah Turki pada masa itu berada di Eropa timur ), yang hanya agama saja berbeda dengan orang Barat, namun mereka berada pada posisi geografis yang memungkinkan untuk menyerapkan ide Barat secara sempurna. Dari sisi ini gagasan Barat nampak amat sesuai dengan kondisi Turki yang ingin menapak maju modern. Golongan ini karena banyak mengkonsumsi pemikiran Barat dalam semua aspeknya, maka mereka disebut golongan Westernisme.
Gerakan Westernisme, juga menggolkan ide-ide sekularisme dalam basis kekuatannya. Mereka berusaha mengadopsi pemikiran Barat secara intensif, sehingga aspek sosial kemasyarakatan selalu diteropong dengan pandangan-pandangan sekular.
Golongan terdiri dari beberapa tokoh yang dalam gerakan pembaharuan di Turki sebelumnya juga banyak mengedepankan pemikiran Barat secara intensif, namun tokoh yang dianggap paling mutakhir adalah Tawfik Fikret ( 1867-1951 ) seorang pemikir sekaligus sastrawan yang banyak mengkritik dan menentang kaum tradisional. Dan satunya lagi adalah Abdulllah Jewdat ( 1869-1932 ). Seorang intelektual bergelar Doktor yang dianggap pendiri Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan. Mereka ini merupakan orang yang cukup gigih dalam mendorong perjalanan pembaharuan Turki dengan gagasan-gagasan Barat.[2]
Tawfik Fikret banyak melontarkan  kritikan terhadap ulama tradisional yang dianggapnya telah membawa umat Islam ke dalam situasi fatalis. Umat Islam pada masa itu sangat tergantung kepada paham keagamaan tradisional. Sedangkan paham tradisional itu dalam banyak hal telah membawa kemunduran, seperti berserah total kepada nasib, memberikan gambaran tentang kekuasaan dan keadilan Tuhan selalu sewenang-wenang dan seperti seorang raja yang zalim. Pendapat ulama tradisional itu, dikecam Fikret sehingga ia banyak dimusuhi para ulama.
Dalam banyak hal pemikiran golongan Barat secara umum mempunyai kesamaan. Dapat dilihat dalam pemikiran Abdullah Jewdat. Ia menganggap bahwa kelemahan umat Islam pada saat itu bukan terletak pada ajaran Islam tapi pada sistem sosial dan kekhalifahan. Yang perlu dirubah adalah Kerajaan Usmani bukan sultan. Begitu juga tentang Islam, yang perlu dirubah adalah umatnya. Selama ini keadaan umat Islam terjangkiti sikap bodoh, malas, patuh kepada ulama secara membuta, walaupun ulamanya itu bodoh. Hal-hal yang diajarkan oleh ulama bodoh itu dianggap ajaran Islam. Mereka terperangkap dalam perilaku demikian karena menganggap benar. Akhirnya pemikiran tokoh ini pun dianggap musuh ulama dan Islam saat itu.[3]
Golongan Barat tidak setuju dengan konsep kenegaraan. Negara bagi mereka harus bersifat sekuler, dalam arti harus dipisahkan dari agama, seperti halnya di Barat. Tetapi karena masih terikat pada ajaran Islam, mereka tidak mempunyai konsep yang jelas mengenai cara pemisahan itu. Konsep din-u-devlet masih besar pengaruhnya dalam masyarakat dan disamping itu wujudnya telah diperkuat pula oleh Konstitusi 1876. oleh karena itu mereka menganjurkan supaya sekularisasi diadakan bukan terhadap negara, tetapi terhadap masyarakat.[4]
Dalam bidang pendidikan golongan Barat ingin membawa kebebasan mimbar, kebebasan berdiskusi, olahraga, pekerjaan tangan, dan sebagainya. Guru harus mengetahui ilmu jiwa dan ilmu sosial. Tujuan pendidikan ialah membina pemuda yang dapat berdiri sendiri, cerdas, jujur dan patriotis. Pendidikan agama harus dibersihkan dari supervisi dan ke dalam kurikulumnya dimasukkan logika dan ilmu pengetahuan modern.[5]
Dalam bidang ekonomi, kemunduran menurut golongan Barat disebabkan oleh keengganan orang Turki untuk menerima peradaban Barat dan tetapnya mereka berpegang pada tradisi dan institusi yang telah usang. Keadaan ekonomi dapat diperbaiki hanya dengan menerima sistem ekonomi Barat dengan corak kapitalisme, liberalisme, individualisme dan ide bekerja untuk penumpukan harta yang terdapat di dalamnya. Juga harus diterima pemikiran liberal Barat dan kemajuan teknologinya. Sikap mental ketimuran yang dipengaruhi oleh faham fatalisme dan rasa benci pada perubahan harus dihilangkan.
Beberapa pemikiran mereka yang lain adalah tentang nasionalitas. Menurut mereka, Barat saat ini maju karena menerapkan rasionalitas dalam hidupnya. Rasionalitas itu juga dianggap tiang dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitu juga terhadap agama, bangsa Barat hanya mau menganut agama rasional. Karena bangsa Barat dapat dianggap guru, maka segala yang berbau Barat mesti diambil. Murid mesti taat pada guru.[6]
Semua aspek-aspek penting yang dapat mendorong kemajuan dianggap oleh golongan Barat sebagai ideologi baru yang mampu membangkitkan modernisasi Turki dan rakyatnya. Ditilik dari segi ini, jelas bahwa mereka akan berusaha sekuat tenaga menafsirkan Islam sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan kata lain, Islam diusahakan selalu cocok dengan pemikiran modern. Kalau tidak cocok, bukan pemikiran modernnya yang keliru melainkan nilai Islamnya belum dapat diserasikan. Rasa bersimpati terhadap Barat dan semua aspeknya, bahkan bisa jadi mendorong mereka akan mengambil sesuatu yang negatif, asalkan nilai itu memang datang dari Barat.[7]
Terlepas dari itu semua, nuansa pembaharuan di Turki memang mempunyai citra tersendiri yang boleh jadi malah dianggap unik. Mengingat pertarungan ide untuk mengedepankan masing-masing kepentingan dengan tujuan yang sama yaitu menghantarkan Turki kepada kemajuan adalah dianggap hal yang wajar bagi semua negara berkembang dan bahkan pernah jaya pada masa sebelumnya. Dari sini, yang dilihat secara keseluruhan nampaknya tidak bisa dipungkiri bahwa pembaharuan atau modernisasi Turki dianggap sepenuhnya bernilai positif.

  1. Aliran Pembaharuan Islam

Kriteria Islam yang dijadikan patokan kelompok ini dalam menggagas pembaharuan tanpa membedakan latar belakang keturunan, suku bangsa. Tokoh penting yang berperan dalam mempertahankan prinsip Islam sebagai dasar pembaharuan di Turki adalah Mehmed Akif (1870-1936). Ia sangat respek terhadap nilai-nilai Islam sehingga segala sesuatu perlu dicermati dalam kacamata Islam.
Menurut pendapat Mehmed Akif, agama Islam tidak pernah menghambat kemajuan. Sebagai perbandingan menurutnya bangsa Jepang dapat maju karena mengambil kemajuan Barat. Yang mereka ambil adalah ilmu pengetahuan dan teknologinya. Bukan agama dan perilaku moralnya. Sedangkan Islam malah sebaliknya yaitu mengambil peradaban ( perilakunya ), dan ini penting menurut mereka.[8] Kaum intelegensi Turki suka sekali meniru Barat, jadi, letak kemunduran umat Islam bukan pada agamanya, melainkan pada sikap yang keliru dalam mengambil sesuatu yang datangnya dari Barat.
Menurut golongan Islam, kelemahan umat Islam selama ini tidak terletak pada syari’at. Tapi terletak pada syari’at yang tidak dijalankan oleh umat Islam terutama oleh Khalifah Usmani. Agar umat Islam tidak mundur, maka syari’at ini perlu dijalankan. Lebih lanjut, selama ini pemerintahan di Turki tidaklah dapat dikatakan pemerintahan Islam, karena nilai Islam tidak dijalankan dalam sistem kekhalifahan, jadi menurut golongan ini Kerajaan Usmani bukanlah kerajaan Islam.
Golongan Islam di sini amat kuat berpegang kepada prinsip tradisional tanpa mengadakan dan mencerna gagasan Barat. Dengan kata lain mereka kembali kepada dasar-dasar ajaran Islam baik Al-Qur’an maupun Hadits tanpa mengadakan interpretasi terhadap ajaran itu dan tidak pula mau menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. Ciri khas demikian lebih banyak mewarnai gagasan-gagasan mereka, yang dianggap mewakili Islam tradisional.
Pemikiran yang cukup aktual pada masa itu adalah tentang pakaian wanita. Golongan Islam sangat anti dengan kebebasan pakaian wanita. Terkait dengan pakaian wanita, golongan ini tidak sependapat dengan konsep Barat yang menerapkan hak dan kewajiban wanita sama dengan laki-laki, sebagaimana dalam konsep emansipasi yang didengung-dengungkan. Tinggi rendahnya martabat wanita bukan terletak pada pakaian dan kebebasannya, melainkan pada ketaatannya menjalankan syari’at. Menurut Musa Kazim, seorang tokoh golongan ini, wanita tidak dapat diberikan status dan hak yang tinggi karena ia mempunyai emosional. Kalau wanita diberikan hak yang sama dengan laki-laki, sudah dapat dipastikan tiap wanita akan pergi ke Mahkamah menuntut perceraian, hal demikian akan membuka seluruh rahasia rumah tangga yang tadinya tersimpan rapi.[9]
Walaupun golongan Islam ini dianggap tradisional menurut penilaian Harun Nasution, namun mereka tidak pernah menolak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang datangnya dari Barat. Mereka sependapat tentang masuknya pengetahuan umum dalam kurikulum sekolah madrasah. Walaupun demikian, mereka menolak konsep sekularisasi yang diterapkan melalui modernisasi pendidikan. Pendidikan yang diterapkan hendaknya mengacu kepada nilai-nilai Islam, tanpa itu kerontokan moral tidak mudah dapat dihindari. Hanya agamalah yang dapat menyelamatkan mereka dari dekadensi moral tersebut.[10]
Golongan Islam tidak menentang kemajuan ekonomi dan pemuka mereka, Ahmed Nazmi menganjurkan supaya umat Islam mempelajari dasar-dasar dan hukum ekonomi modern. Yang mereka tentang ialah faham kapitalisme dan individualisme yang terdapat di dalam sistem ekonomi Barat. Tetapi juga mereka menolak sosialisme dan komunisme, karena keduanya bersama dengan kapitalisme tergolong dalam hal-hal buruk yang ditimbulkan peradaban Barat. Bunga uang mereka samakan dengan riba, dan oleh karena itu masyarakat yang menghalalkan bunga uang, dalam pandangan mereka pasti akan runtuh dan hancur. Makin banyak praktek bunga uang dijalankan makin banyak kapital yang dimonopoli kaum kapitalis, dan makin meningkat kemiskinan dalam masyarakat demikian. Asuransi juga dianggap riba dalam bentuk lain oleh sebagian dari golongan Islam. Sebagian lain berpendapat bahwa asuransi membawa kepada kekufuran karena di dalam asuransi terdapat faham tidak percaya pada qadha dan qadhar Tuhan. Pembaharuan yang diingini golongan Islam amat terbatas. Mereka lebih banyak mempertahankan status quo daripada mengadakan perubahan dalam institusi-institusi tradisional Kerajaan Usmani.[11]
Dari uraian-uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pembaharuan yang dikehendaki golongan Islam ialah membuat Kerajaan Usmani sempurna sifat ke-Islamannya. Hukum yang dipakai di dalamnya harus hukum Islam dan pimpinan negara harus terletak di tangan kaum ulama.

  1. Aliran Pembaharuan Nasionalisme

Aliran Nasionalisme ini adalah mereka yang sudah berusaha sekuat tenaga mencoba berbagai alternatif dalam memecahkan berbagai problema kehidupan rakyat Turki, dan bahkan mereka dianggap telah mengambil sintesis antara aliran westernisme dengan islamisme. Usaha ini mereka lakukan untuk kepentingan yang lebih mendesak mengingat terpecahnya berbagai golongan di Turki karena banyaknya kepentingan di antara rakyat.. Beberapa tokoh penting yang perlu dicatat antara lain: Yusuf Akcura ( 1876-1933 ), Zia Gokalp ( 1875-1924 ), dan Mustafa Kemal Attaturk ( 1881-1938 ).
Yusuf Akcura merupakan tokoh pembaharuan yang mengedepankan pemikiran penghimpunan masyarakat Turki. Ia berusaha menyatukan visi masyarakat Turki baik yang ada di wilayah itu maupun mereka yang berada di Rusia ( Kazan ), Krimea dan Azarbaijin sebagai satu bangsa. Pada saat itu ada tiga kekuatan yang selalu berbeda di dalam kerajaan Usmani. Mereka dari golongan Islam, Rakyat Turki dan Rakyat bukan Islam. Bagi mereka ini yang terpenting menghidupkan perasaan nasional terhadap tanah airnya sendiri. Persatuan serupa hanya bisa kuat kalau mereka diikat oleh perasaan satu agama dan satu bangsa. Karena kesatuan demikian amat sulit sebab ada tantangan lain dari rakyat Rusia, maka yang perlu ditumbuhkan adalah sikap nasionalisme.
Ide demikian dikembangkan lagi oleh Zia Gokalp seorang yang dianggap pendiri Nasionalisme Turki. ia lahir di Diyabakr dan setelah menamatkan sekolah tinggi modern yang mengajarkan berbagai pengetahun umum termasuk bahasa Perancis, lalu memasuki Sekolah Dokter Hewan di Istambul. Pengetahuan agama Islam seperti bahasa Arab, filsafat, teologi dan tasawuf ia dapatkan dari pamannya.
Nasional yang dipahamkan  orang selama ini, menurutnya keliru. Perasaan nasional tumbuh selama ini hanya didasarkan atas bangsa, bukan berdasarkan kebudayaan. Kebudayaan sangat luas, dan bersifat unik, nasional dan subyektif. karena berdasarkan kebudayaan, maka Turki Usmani yang ada selama ini adalah bersifat nasional yang secara geografi terbatas pada wilayah kekuasaan Republik Turki saja.
Selama ini menurut Zia, kebudayaan Turki seperti masih kabur dan menghilang dikalahkan oleh kebudayaan Islam. Untuk dapat menumbuhkan kebudayaan Turki itu, rakyat Turki perlu mengikis tradisi-tradisi, konstitusi-konstitusi berdasarkan Islam yang selama ini dianggap banyak melahirkan kemunduran. Kebudayaan nasional pun akhirnya dapat dihidupkan.
Dalam kehidupan bernegara, Turki tidak perlu memakai syari’at Islam sebagai dasar negara. Negara hanya dapat berjalan berdasarkan perundangan negara bukan agama. Agama perlu dipisahkan secara tegas dari kepentingan negara, begitu juga sebaliknya. Secara administrasi, negara Turki perlu menata sistem pemerintahannya. Misalnya kekuasaan Syaikh Islam harus dihapuskan dan dikembalikan kepada parlemen, pemindahan Mahkamah Syari’at dari jurisdiksi Syaikh al-Islam kepada Kementerian Kehakiman, begitu juga pemindahan madrasah dari kekuasaan Syaikh itu kepada Kementerian Pendidikan. Walaupun Mahkamah Syari’at bisa diperlukan, namun fungsinya dialihkan kepada aktivitas muamalat semata. Jadi soal-soal diniah memang berada pada ulama dan soal-soal kenegaraan berada pada  umara. Dengan demikian negara mutlak berdasarkan nilai-nilai sekuler.
Golongan Nasionalis, juga menolak pendapat para ulama tradisional tentang bunga bank. Menurut Mansurizade, salah seorang tokoh golongan ini, bunga bank itu tidak riba dan haram. Yang diharamkan dalam Al-Qur’an bukanlah penyewaan uang, tetapi penjualan uang. Riba baik di dalam Al-qur’an maupun dalam Hadits digambarkan sebagai soal jual beli. Imam-imam besar dalam mazhab fiqh buka di Bab riba, tapi di Bab Ijarah ( sewa menyewa ). Jadi yang diharamkan disini menjual uang bukan penyewaan atau peminjaman. Penyewaan dan peminjaman itu halal, yang diharamkan adalah riba.
Golongan nasionalis Turki juga mengingini pembaharuan dalam status kaum wanita. Wanita menurut Zia Gokalp diikut sertakan dalam pergaulan sosial dan kehidupan ekonomi. Juga mereka harus diberi hak yang sama dalam soal pendidikan, perceraian dan warisan. Poligami juga harus dihapuskan.[12]
Dalam bidang pendidikan, mereka berusaha menciptakan sistem pendidikan yang khusus sesuai dengan kebudayaan Nasional Turki sendiri yang berasaskan nilai-nilai sekuler modern, tidak berdasarkan Islam.[13]
Berbeda dengan tokoh-tokoh nasionalisme di atas, Mustafa Kemal Attaturk merupakan tokoh nasionalis yang berusaha menggabungkan semua kepentingan, baik Islam, Barat maupun perasaan keturkian. Walaupun ide keislaman yang paling terkebelakang dalam perimbangan kepentingan dibandingkan dengan ide-ide nasionalisme dan ide Barat, namun Islam tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pemikiran Mustafa Kemal Attaturk.
Ide-ide pembaharuan Attaturk merupakan penggabungan dari nilai Islam, westernisasi, dan nasionalisme. Walaupun yang paling menonjol adalah usaha westernisasi dengan ditopang oleh nasionalisme yang kokoh. Dalam persoalan bernegara, ia memang berusaha membangun suatu konstitusi baru.
 Apa yang dilakukan oleh Attaturk dalam proyek westernisasi dan sekularisasinya, sebenarnya secara formal hanya meneruskan ide-ide para nasionalis dan westernisasi sebelumnya. Namun langkah-langkah yang diambilnya lebih praktis, karena ia memakai kekuasaan. Sebagai pemimpin tertinggi Turki pada masa itu, program pembaharuannya walaupun mendapat tantangan dari golongan ulama tradisional namun ia tetap berpegang teguh kepada rancangan yang sudah ditetapkan.
Walaupun Republik Turki berusaha menjadi negara sekuler, namun sesungguhnya ia masih belum sepenuhnya menjadi sekuler. Menurut Harun Nasution, Attaturk sungguh pun berusaha mambangun Turki modern sebagaimana negara Barat, namun ia tidak sampai menghilangkan agama. Dengan kata lain agama masih diperhatikan oleh agama.
Attaturk memang sangat melarang sesuatu yang berbau agama, terutama yang berhubungan dengan negara, seperti sebutan Turki sebagai negara Islam, para ulama yang mempunyai wewenang dan kekuasaan mengurusi negara dengan dasar keulamaannya. Selain itu, ia juga melarang partai-partai yang mengatasnamakan agama, seperti Partai Islam, Partai Kristen, dan sebagainya. Segala yang berhubungan dengan kepentingan negara mesti dibebaskan dari pengaruh dan kekuasaan agama.
Terkait dengan kedudukan Attaturk sebagai seorang perancang negara yang sekularistik, ternyata jiwanya boleh dianggap sebagai seorang yang kuat dalam memahami Islam. Menurutnya, Islam adalah agama yang rasional yang sangat diperlukan oleh umat Islam. Tapi agama yang rasional ini telah dirusak oleh umatnya. Oleh sebab itu ia melihat perlu diadakan pembaharuan keagamaan. Al-Qur’an menurutnya perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki supaya mudah dipahami.
Ide-ide yang dikemukakan Attaturk dianggap sebagai pemikiran yang radikal pada saat itu. Namun nyatanya, dalam proses  dan perkembangan eksistensi tiga golongan gerakan pembaharuan yang ada di Turki, maka dua kekuatan ( Islam dan Barat ) dianggap gagal memenuhi hasrat rakyat Turki. Kendati masyarakat Turki lebih banyak beragama Islam, namun dasar-dasar gerakan yang menamakan ”Islam” sebagai basis kekuatan nampaknya begitu kaku dan amat tradisional. Bahkan terkesan hanya sekedar label Islamnya, namun intinya berisi ”kekuatan lama” yang ditunggangi oleh kekuatan khalifah Usmani. Sedangkan kelompok Barat, dinilai tidak mengakar pada khazanah peradaban Turki, hanya lebih terfokus pada Baratnya sebagai nilai.
Dalam banyak hal Attaturk  memang mengambil dasar-dasar pemikiran Barat sebagai inspirasi pembaharuannya. Namun ia bisa menumbuhkan semangat nasionalisme ( peradaban Turki ) dalam berbagai dimensi, sehingga dengan secara sadar rakyat Turki lebih memilih model yang ditawarkan Attaturk.
Hal lain yang menguntungkan, menurut Harun Nasution, bahwa saat itu model argumen nasionalisme sebagai motivasi kebangkitan hidup bernegara di sebagian besar negara Islam dianggap trendi dan mampu menarik simpati. Sehingga manakala nasionalisme dijadikan isu gerakan berbangsa-bernegara, tentu saja membuat banyak negara Islam akan mencoba gaya baru isu kenegaraan tersebut. Selebihnya, tentu saja karena rangsangan kebangkitan nasionalisme itu didorong oleh penjajahan Barat yang saat itu dianggap maju, dari kesadaran tentang kemajuan Barat itu. Tumbuh cita-cita ingin mengambil sesuatu yang positif dari negara maju ( Barat ) tersebut. Situasi demikian sedang melanda sebagian besar negara Islam bahkan negara yang bukan Islam di Timur. Jadi, ide nasionalisme dan pembaharuan inilah yang menjadi daya tarik gagasan Attaturk sehingga mampu mengalahkan saingan-saingannya terutama di kalangan ulama dan penguasa Usmani.


  1. Kesimpulan

            Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa baik golongan Barat maupun golongan Nasionalis Turki tidaklah mengabaikan Islam dan pemikiran pembaharuan mereka. Keduanya menginginkan pembaharuan dalam Islam dan bukan di luar Islam. Dalam hal ini mereka sefaham dengan golongan Islam. Perbedaan mereka dengan golongan Islam ialah bahwa golongan Islam dalam pembaharuan bersifat tradisional, sedangkan golongan lainnya bersifat modernis, ingin mempertahankan tradisi dalam Islam.
            Golongan Barat dan nasionalis Turki, walaupun telah banyak dipengaruhi oleh ide sekuler Barat, tetapi karena masih terikat pada agama, tidak berhasil merubah Kerajaan Usmani menjadi negara sekuler. Walau pembaharuan yang mereka kehendaki bersifat radikal, tetapi dalam keradikalan itu mereka tidak berniat menentang agama. Dengan kata lain pembaharuan mereka, kendatipun kelihatan radikal, masih diusahakan supaya tidak ke luar dari Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Gibb. 1993. Aliran-aliran Modern dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Thalhas. 2002. Asal Usul Dua Kutub Gerakan Islam. Jakarta: Galura Pase.
Sani, Abdul. 1998. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Sunanto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.



[1] Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 2005, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 304

[2] Sani, Abdul, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, 1998, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 116-117

[3] Ibid.
[4] Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, 1996, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 134
[5] Ibid. hlm. 138
[6] Sani, Loc. Cit. hlm. 117-118
[7] Ibid. hlm. 119
[8] Ibid. hlm. 112
[9] Ibid. hlm. 114
[10] Ibid. hlm. 115
[11] Nasution, Harun, Loc. Cit. hlm. 140
[12] Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, 1993, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 73
[13] Thalhas, Asal Usul Dua Kutub Gerakan Islam, 2002,  Jakarta: Galura Pase, hlm. 18

No comments:

Post a Comment