Taman

Saturday, January 5, 2013

Hubungan Agama dan Ideologi, Budaya, Politik

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Peran agama dalam kehidupan sosial tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Di mana tatanan kehidupan tersebut memiliki hubungan satu dengan yang lainnya. Selain itu agama pulalah memberikan kepada manusia agar menjalankan kehidupan sosialnya sesuai dengan norma yang berlaku dalam setiap negara yang telah diatur baik secara tertulis berupa atauran-aturan yang dibuat dalam pemerintahan.
Sehingga agama nantinya memberikan harapan kepada kehidupan sosial dengan terjadinya perdamaian di antar umat manusia. Oleh karena itu agama dalam lingkup sosioolgi tidak bisa lepas dari ideologi, budaya, serta politik. Karena ketiga hal itulah yang membangun paradigma masyarakat serta melakukan tindakan sesuai norma yang berlaku yang terdapat di suatu negara. Pentingnya mengetahui hubungan antara agama dengan ideologi, budaya dan politik inilah, maka perlu dibahas dalam makalah ini hubungan agama dengan ideologi, budaya dan politik.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hubungan agama dengan ideologi?
2.      Bagaimana hubungan agama dengan budaya?
3.      Bagaimana hubungan agama dengan politik?
1.3 Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui hubungan agama dengan ideologi
2.      Untuk mengetahui hubungan agama dengan budaya
3.      Untuk mengetahui hubungan agama dengan politik


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Agama dengan Ideologi
Bagaimanakah peranan agama dalam menentukan sebuah ideologi sebuah negara? Apakah agama benar-benar menjadi suatu dasar landasan dalam membuat suatu aturan bagi sebuah negara? Nah, inilah beberapa pertanyaan yang menjadi pertanyaan besar bagi kita, khususnya di negara kita yang mayoritas islam.
Pada hakikatnya pemikiran mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran menyeluruh (fikrul kulliyah) tentang alam semesta, manusia, kehidupan, dan tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia serta hubungan antara kehidupan dunia dan sesudahnya.[1] Oleh karena itu, pembahasan hubungan agama dan negara harus berdasar pada hal tersebut sebagai pemikiran cabang yang lahir dari pemikiran mendasar tersebut. Berikut ini adalah Ideologi-ideologi yang ada didunia yang digunakan sebagai dasar negara.
1.Ideologi Materialisme
Ideologi materialisme (Al Maaddiyah) menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada Tuhan, tidak ada ruh, atau aspek-aspek kegaiban lainnya. Materilah asal usul segala sesuatu. Materi merupakan dasar eksistensi segala macam pemikiran (Ghanim Abduh, 1964).          Atas dasar paham materialisme itu, dengan sendirinya agama tidak mempunyai tempat dalam sosialisme. Sebab agama berpangkal pada pangkuan eksistensi Tuhan, yang jelas-jelas diingkari oleh materialisme. Bahkan agama dalam pandangan kaum sosialis-matrealis hanyalah ciptaan manusia yang tertindas dan merupakan candu yang membius rakyat yang harus dimusnahkan dari muka bumi (lihat Karl Heinrich Marx, Contribution to the critique of Hegel Philosophi of right).
2.Ideologi Kapitalisme         
Ideologi kapitalisme adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin ‘anil hayah), atau sekularisme. Paham ini tidak menafikan agama secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Keberadaan agama memang diakui walaupun hanya sebagai formalitas, namun agama tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Agama hanya mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya sedangkan untuk hubungan antara manusia itu diatur oleh manusia itu sendiri Zallum, 1993). 
Berdasarkan paham kapitalisme, formulasi hubungan antara agama-negara dapat disebut dengan hubungan yang separatif, yaitu suatu pandangan yang berusaha memisahkan agama dari aspek kehidupan. Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dengan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia.
3.Aqidah Islamiyah  
Aqidah islamiyah adalah iman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari akhir dan Taqdir (Qadar) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah islamiyah menetapkan bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap hukum syara’, yang cakupannya adalah segala aspek kehidupan, dan bahwa pengingkaran sebahagian saja dari hukum islam (yang terwujud dalam sekulerisme) adalah suatu kebatilan dan kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman :
Ÿxsùy7În/uurŸwšcqãYÏB÷sãƒ4Ó®Lymx8qßJÅj3ysãƒ$yJŠÏùtyfx©óOßgoY÷t/§NèOŸw(#rßÅgsþÎûöNÎhÅ¡àÿRr&%[`tym$£JÏiB|MøŠŸÒs%(#qßJÏk=|¡çur$VJŠÎ=ó¡n@ÇÏÎÈ
Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[2]
`tBuróO©9Oä3øts!$yJÎ/tAtRr&ª!$#y7Í´¯»s9'ré'sùãNèdtbrãÏÿ»s3ø9$#ÇÍÍÈ
Artinya: “Barangsiapa yang tidak memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”[3]
Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum islam tanpa kecuali harus diterapkan kepada manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah Islamiyah. Dan karena hukum-hukum islam ini tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya institusi negara, maka keberadaan negara dalam islam adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan agama-negara dalam pandangan islam dapat diistilahkan sebagai hubungan yang positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama. Agama tak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Imam Al Ghazali dalam kitabnya AL Iqtishad fil I’tiqad halaman 199 berkata :“Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga nicaya akan hilang lenyap.” Begitu pula dengan Ibnu Taimiyah juga dalam Majmu’ul Fatawa juz 28 halaman 394 menyatakan :“Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.”
2.2 Hubungan Agama dengan Budaya
1.      Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sanserkerta yang terdiri dari dua perkataan yaitu A dan Gama. A berarti tidak, Gama berarti kacau.[4] Kedua kata itu kalau digabung berarti tidak kacau. Hal ini mengandung pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Menurut inti maknanya yang khusus, kata agama dapat disamakan dengan kata religion dalam bahasa Inggris, religie dalam bahasa Belanda-keduanya berasal dari bahasa Latin, religio, dari akar kata religare yang berarti mengikat.[5]
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan  Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din yang berarti agama adalah bersifat umum. Artinya, tidak ditunjukkan kepada salah satu agama; ialah nama untuk kepercayaan yang ada di dunia ini.[6] Seperti yang dimaksudkan dalam surat Al-Kafirun ayat 7. Pengertian agama menurut Mukti Ali, agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan  hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Adapun agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala sosial yang umum dam dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa kecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat.[7] Agama juga dapat dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat di samping unsur-unsur yang lain, seperti kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, sistem peralatan, dari sistem organisasi sosial.
2.      Pengertian Budaya
Menurut Koentjaraningrat, kata kebudayaan berasal dari kata Sanserkerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Maka kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “ daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa. Dalam arti disiplin ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu artinya sama saja.[8]
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata Latin colore. Artinya mengolah atau mengerjakan. Adapun menerut E,B Tylor kebudayaan adalah komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Jadi kebudayaan merupakan hasil yang diperoleh masyarakat melalui beberapa kebiasaan yang ada dalam lingkungkan masyarakat. Di mana budaya menyatu dengan sisi yang lain sebagai akibat adanya pengetahuan dan kepercayaan yang di anut dalam membuat sistem kehidupan sosial. Sehingga kebudayaan yang dipercayai oleh suatu masyarakat itu memiliki ke khasan di setiap tindakan sosial yang terwujudkan dengan adanya nilai-nilai sosial.
Namun manusia sebenarnya mempunyai dua segi dalam kehidupannya yakni segi materiil dan segi spriritual. Segi materiil mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda maupun lainnya yang berwujud benda. Sedangkan segi spiritual manusia mengandung cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan, karsa yang menghasilkan kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, dan hukum, serta rasa yang menghasilkan keindahan. Manusia pada dasarnya berusaha untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan menyerasikan diri terhadap perilaku kaidah-kaidah melalui etika serta mendapatkan keindahan melalui estetika.
3.      Agama dengan Budaya
Kebudayaan bukan hanya tatanilai atau suatu suprastruktur yang merupakan cerminan dari infrastruktrur. Kebudayaan merupakan totalitas dari obyek (kebudayaan “intelektual”) yang didukung oleh subjek (individu, kelompok, kelas, sektor-sektor masyarakat). Oleh karena itu ada keanekaragaman budaya; dapat konfrontasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya dan dominasi satu kebudayaan terhadap kebudayaan lainnya. Cf. P. Ricoeur membedakan beberapa lapis budaya:[9]
1.      Lapisan pertama adalah alat-alat, yaitu segala sesuatu yang diciptakan manusia untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, termasuk segala bentuk teknologi dari yang sederhana sampai yang canggih, dan ilmu pengetahuan. Kebudayaan dalam lapis ini bersifat komulatif dan dapat dialihkan dari satu masyarkat kepada masyarakat lainnya.
2.      Lapis kedua adalah etos masyarakat, yaitu kompleks kebiasaan, sikap-sikap terhadap masa lampau, alam dan kerja.
3.      Lapis ketika adalah inti, hati atau menurut Dussel adalah inti-etiko-mistis dari suatu kebudayaan, yaitu pemahaman diri masyarakat, cara bagaimana masyarakat menafsirkan dirinya, sejarahnya, tujuan-tujuannya. Tanpa inti ini, suatu kebudayaan, tidak memiliki kesatuan atau integritas.
Lapisan-lapisan itu bukan merupakan susunan yang statis, tetapi ada interaksi antara lapis-lapis itu, antara budaya yang satu dengan yang lainnya. Karena plapisan ini memiliki hubungan antar lapisan satu dengan yang lapisan lainnya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan.[10]
Lebih tegas dikatakan Geertz, bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.[11]
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Mengenai hubungan agama dengan kebudayaan, seorang ahli agama Prof. G. Van der Leeuw melihat ada empat tingkat dalam hubungan antara agama atau agama-agama dengan kebudayaan. Yaitu (1) agama dan kebudayaan menyatu (2) agama dan kebudayaan mulai renggang (3) agama dan kebudayaan terpisah bahkan saling bertentang, seperti yang terdapat dalam sekularisme (4) hubungan antara agama dengan kebudayaan dipulihkan kembali atas landasan yang baru.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa hubungan antara agama atau agama-agama dengan kebudayaan tidak bersifat statis, tetapi berkembang secara dinamis dalam sejarah.
Sebelum tahun 1908 ada beberapa lapisan yang hubungannya dengan mengambangkan kehidupan nasional dan modren dalam agama dan kebudayaan nasional. Lapisan pertama yakni Indonesia asli, mengandung persamaan pokok juga memperlihatkan perbedaan-perbedaan di berbagai daerah, merupakan lapisan keagamaan dan kebudayaan tertua, yang menaruh pengaruhnya masih  tetap dirasakan di seluruh tanah air.
Lapisan kedua berupa pengaruh kebudayaan dan keagamaan Hindu dan Budha yang berasal dari India, telah mentransformasikan kehidupan kebudayaan dan keagamaan sejak awal tarikh Masehi di pulau Jawa dan Bali. Tercemin dengan banyaknya nama-nama  yang terdapat di kedua pulau tersebut, seperti Subroto, Sukarno,Wibisono, dan seterusnya.
Lapis keagamaan dan kebudayaan yang tiba dengan agama Islam telah mentransformasikan kehidupan keagamaan dan kebudayaan di beberapa daerah, seperti tercermin dalam nama-nama yang terdapat di Aceh,Minangkabau dan beberapa daerah yang lain. Di pulau Jawa banyak nama-nama yang mencerminkan perpaduan antara pengaruh Islam dan pengaruh pra-Islam, seperti Jusuf Wibisono serta nama-nama universitas Islam misalnya IAIN Sunan Kalijaga.
Proklamasi Kemerdekaan dan Pancasila (1945)
Pancasila merupakan suatu usaha untuk merangkum semua aspirasi dan kekuatan yang telah muncul di atas pentas politik, keagamaan dan kebudayaan sejak tahun 1908 dengan menolak pilihan antara “ini” atau “itu”.
Kerangka konsep kenegaraan yang baru dan modern itulah semboyan yang lama “Bhineka Tunggal Ika” telah dihidupkan kembali. Pendekatan itu mencakup tugas penting yang mempunyai dua segi, yaitu (1) mengembnagkan secara inovatif dan kreatif isi dan negara Pancasila yang mengatasi pertentangan-pertentangan antara negara agama dan negara sekuler (2) mengembangkan pemikiran kreatif untuk menempatkan aspirasi-aspirasi dan kekuatan-kekuatan yang mula-mula saling bertentangan menjadi bagian-bagian yang serasi dalam kerangka negara Pancasila.
Pada pihak lain Pancasila berakar kepada warisan kebudayaan dan keagamaan bangsa kita. Warisan itu terus mengalami perubahan dinamis dalam kerangka proses perubahan atau transformasi kemasyarakatan dan kebudayaan menuju Indonesia yang modern, adil, makmur, dan lestari berdasarkan pancasila.
4.      Agama dan Budaya Indonesia
Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak budaya itu  terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen.[12]
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau  lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi  bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua adalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga adalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitukasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Di samping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain tdlah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam  dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau (Philipus Tule 1994:159).
Kenyataan adanya legacy tersebut membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia telah membuat manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia untuk menjadi manusia.
2.3 Hubungan Agama dengan Politik
1.      Pengertian Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polities yang berarti warga negara, politea yang berarti berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara, dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem tersebut dan bagaimana melaksanakannya. Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi  yang sah  dan ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan yaitu kemmpuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari perilaku.
2.      Hubungan Agama dengan Politik
Hubungan agama dengan politik tidak dapat dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa politik berubah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia tidak terkecuali politik harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legimitasi adlah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legimitasi yang paling menyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent.
Agama secara hakiki berhubungan dengan politik. Kepercayaan agama dpat mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa, seperti sodomi dan incest, sering tidak legal. Seringkali agamalah yang memberi legimitasi kepada pemerintah. Agama sangat melekat dalam kehidupan rakyat dan masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga kehadirannya tidak mungkin tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah pemerintahan di seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi legimitasi pada kekuasaan politik.
Di dalam sejarah Islam, masuknya faktor agama (teologi) ke dalam politik muncul ke permukaan dengan jelas menjelang berdirinya dinasti Umayyah. Hal ini terjadi sejak perang Shiffin pada tahun 657, suatu perang saudara yang melibatkan khalifah Ali bin Abi Thalib dan pasukannya melawan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, gubenur Syiria yang mmepunyai hubungan keluarga dengan ‘Utsman, bersama dengan tentaranya. Peristiwa ini kemudian melahirkan tiga golongan umat Islam, yang masing-masing dikenal  dengan nama Khawarij, Shi’ah, dan Sunni.
Dapat terlihat bahwa pemikiran atau tindakan politik itu tidak bisa terlepas dari kepercayaan keagamaan. Hal ini disebabkan, perta,a, oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus dijiwai oleh ajarn-ajaran agama; kedua, disebabkan olehn fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legimitasi adalah bidang politik., dan hanyalah agamalah yang dipercayai mampu memberikan legimitasi yang paling menyakinkan karena sifat dan sumbernya yang trancendent. Sebaliknya, kepercayaan agama bisa juga dipengaruhin oleh pertimbangan-pertimbangan politik. Untuk tarap kenegaraan, hal ini bisa dilihat pada sikap penguasa bani  Umayyah, yang mendukung doktrin jabariyyah untuk memperoleh ketaatan penuh dari rakyat. Pada masa sekarang, ajaran-ajearan teologis yang mendukung tumbuhnya toleransi di kalangan umat beragama, dan dari sini diharapkan terciptanya kerukunan dan ketrentraman di dalam suatu masyarakat atau negara, mendapat dukungan kuat dari pemerintah. Untuk skala individu, hal ini antara lain bisa dilihat pada kasus-kasus orang-orang yang mendukung suatu doktrin agama yang tadinya ia tentang, atau orang-orang yang tersedia mengganti keaggotaannya dalam suatu organisasi keagamaan demi kedudukan politik yang dia senangi. Dan memeang pengguna dan penyalahgunaan agama adalah suatu yang inherent dalam seluruh pemeluk agama di sepanjang sejarah umat manusia.
3.      Pengaruh Hubungan Politik dan Agama
Dalam kehidupan bernegara, bidang politik sangat diperlukan. Namun semua ilmu yang berhubungan dengan politik tidak dapat dipisahkan dengan ilmu dan konsep agama yang telah ada. Pada agama suatu kalimat yang membuat dan merupakan konsep awal politik yaitu :Allah mememrintahkan kepada manusia untuk mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi (6: 151), jadi Allah melarang perbuatan jelek, perbuatan jahat dan ketidakadilan.
Ini dapat diartikan bahwa semua ilmu politik merupakan bentuk nyata dari penggunaan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh dalam ilmu politik terdapat pemilihan pemimpin berdasarkan demokrasi, konsdp itu didapat dari ilmu agama yang tidak menginginkan adanya perpecahan para pejabat yang akan menyengsarakan rakyat. Dan masih banyak lagi merupakan konsep dalam agama dan diadaptasi serta dijadikan politik dalam berbangsa dan bernegara.


BAB III
KESIMPULAN
1.      Hubungan agama dengan ideologi ada tiga yakni, pertama. Ideologi materialisme (Al Maaddiyah) menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada Tuhan, tidak ada ruh, atau aspek-aspek kegaiban lainnya. Materilah asal usul segala sesuatu. Dasar paham materialisme itu, dengan sendirinya agama tidak mempunyai tempat dalam sosialisme. Kedua, Ideologi kapitalisme adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin ‘anil hayah), atau sekularisme. Paham ini tidak menafikan agama secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Ketiga, Aqidah islamiyah adalah iman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari akhir dan Taqdir (Qadar) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum islam yang mengatur kehidupan manusia.
2.      Hubungan agama dengan kebudayaan, seorang ahli agama Prof. G. Van der Leeuw melihat ada empat tingkat dalam hubungan antara agama atau agama-agama dengan kebudayaan. Yaitu (1) agama dan kebudayaan menyatu (2) agama dan kebudayaan mulai renggang (3) agama dan kebudayaan terpisah bahkan saling bertentang, seperti yang terdapat dalam sekularisme (4) hubungan antara agama dengan kebudayaan dipulihkan kembali atas landasan yang baru.
3.      Hubungan agama dengan politik yakni, politik berubah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia tidak terkecuali politik harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan legimitasi adlah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legimitasi yang paling menyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent

DAFTAR RUJUKAN
Bashori. 2002. Ilmu Perbandingan Agama (Suatu Pengantar). Malang: Sekolah Tinggi  Agama Islam Negeri Malang.
Kahmad, Dadang. 2002. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Soelaeman, Munandar. 2007. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT Refika Aditama.
Musa Asy’arie, dkk. 1988. Agama, Kebudayaan dan Pembangunan Menyongsong Era Idustrialisasi. Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS.
Wach, Jajachim. 1984. Ilmu Perbandingan agama, Jakarta : CV Rajawali.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan & Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Andito. 1998. Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik. Bandung: Pustaka Hidayah.






[1] An-Nabhani 1953
[2] Q.S An-Nisa’ ayat 65
[3] Q.S Al-Maidah ayat 44
[4] Bashori. 2002. Ilmu Perbandingan Agama (Suatu Pengantar). Malang: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malang. Hlm. 22
[5] Dadang Kahmad. 2002. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hlm 13
[6] Ibid, hlm. 13
[7] Ibid, hlm. 14
[8] Munandar Soelaeman. 2007. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT Refika Aditama. Hlm. 22
[9] Musa Asy’arie, dkk. 1988. Agama, Kebudayaan dan Pembangunan Menyongsong Era Idustrialisasi. Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS. Hlm. 24
[10] Jajachim Wach. 1984. Ilmu Perbandingan agama, Jakarta : CV Rajawali. Hlm. 187
[11] Clifford Geertz. 1992. Kebudayaan & Agama. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 13
[12] Andito. 1998. Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik. Bandung: Pustaka Hidayah. Hlm. 77-79

No comments:

Post a Comment