KEMBALI KE FITRI
Sebuah Tolok Ukur Perspektif Maqashid
al-Syari’ah
Oleh: Dr. Rosidin, M.Pd.I
Dalam Hadits Ibn Majah dinyatakan:
فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا
وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Hadits di atas dapat kita pahami bahwa
siapa saja yang berpuasa dan meramaikan bulan Ramadhan – terutama malam-malam
Ramadhan– dengan amal-amal shalih; yang didasari oleh keimanan dan mengharap
ridho Allah SWT, maka dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah SWT; sehingga pada
saat Idul Fitri ini, kita bersih dan suci layaknya bayi yang baru dilahirkan.
Sebagaimana
kita maklumi bersama, bahwa Idul Fitri bermakna “Kembali Suci”. Pertanyaannya,
apakah benar kita sudah suci atau Kembali ke Fitri? Apa tolok
ukur “kesucian” atau “kefitrian” kita?. Pada tulisan ini, salah satu alternatif
jawaban yang dapat penulis ajukan terkait pertanyaan-pertanyaan tadi adalah:
Mari kita evaluasi kualitas kesucian masing-masing dari sudut pandang Maqashid
al-Syari’ah [Tujuan-tujuan Pokok Syari’at Islam] yang digagas oleh Imam
al-Juwainy dalam al-Burhan fi Ushul al-Fiqh; kemudian dielaborasi lebih
jauh oleh Imam al-Ghazali dalam Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul, yaitu penjagaan
agama (حِفْظُ
الدِّيْنِ), penjagaan
jiwa-raga (حِفْظُ
النَّفْسِ), penjagaan akal (حِفْظُ الْعَقْلِ), penjagaan harta
(حِفْظُ الْمَالِ) dan penjagaan
anak-keturunan atau keluarga (حِفْظُ النَّسْلِ).
Pertama, dari segi penjagaan
agama (حِفْظُ
الدِّيْنِ). Keberagamaan
kita seringkali dilekati oleh noda-noda. Di antara bentuk noda yang mengotori
kualitas spiritual kita adalah:
الَّذِينَ هُمْ
يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7) (الماعون)
Orang-orang yang berbuat riya; dan enggan (menolong dengan) barang
berguna.
Yaitu dari segi ibadah ritual,
seringkali ibadah kita disusupi oleh niatan-niatan yang tidak ikhlash,
semata-mata karena Allah SWT, melainkan karena faktor di luar Allah SWT, entah
dalam wujud, beribadah demi kepentingan diri sendiri –“agar saya naik jabatan”;
“agar saya lulus kuliah”; “agar saya menjadi kaya”; dan niatan-niatan egoistis
lainnya–; maupun dalam wujud beribadah demi orang lain, inilah yang disebut riya’
yang kadar keburukannya lebih parah. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk
menyucikan niat ibadah; memurnikan ibadah kita dengan niatan ikhlash
semata-mata karena Allah SWT, bukan beribadah demi kepentingan-kepentingan
egois kita, apalagi riya’. Inilah yang diamanatkan oleh QS. al-Bayyinah:
5
وَمَا أُمِرُوا
إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
Dari segi ibadah sosial, noda yang
menempel antara lain hilangnya kepekaan sosial. Contoh orang yang ibadah
sosialnya terkena noda menurut Surat al-Ma’un di atas adalah tidak mau
menyarankan untuk memberi bantuan kepada sesama; menyarankan saja tidak mau,
apalagi bertindak untuk membantu!. Ada lagi noda yang lebih parah dari itu,
yakni berbuat sesuatu yang justru mendatangkan dampak negatif bagi orang lain.
Untuk itu, sudah seharusnya kita semai
perasaan kasih sayang dan kepekaan sosial di dalam hati, seperti yang
diperintahkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW:
الرَّاحِمُونَ
يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ.
Orang-orang yang
berkasih-sayang itu disayangi oleh Allah, Dzat Yang Maha Penyayang. Sayangilah
makhluk di bumi, nicaya kalian akan disayangi oleh makhluk yang di langit.
Perasaan kasih
sayang dan kepekaan sosial tersebut perlu dipupuk dengan sikap-sikap aktual yang
berwujud kepedulian sosial sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Ramadhan
sebagai Syahrul Muwasa’ah, bulan kepedulian sosial telah mendidik kita
untuk memiliki sikap kepekaan dan kepedulian sosial tingkat tinggi melalui
aktivitas berbagi buka puasa, sahur, shadaqah, zakat, bahkan membaca al-Qur’an
pun diformat dalam bentuk tadarrus yang berdimensi sosial, alih-alih membaca
al-Qur’an sendirian yang berdimensi individual. Satu hadits yang relevan dengan
bahasan ini:
أَحَبُّ النَّاسِ
إَِلى اللهِ اَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Manusia yang paling
dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain
Atau
setidak-tidaknya, apabila kita belum mampu memberikan manfaat bagi orang lain;
minimal perkataan dan perbuatan kita tidak sampai mengganggu, apalagi menyakiti
orang lain. Inilah salah satu kriteria seorang muslim sejati:
اَلْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Orang muslim [yang
sejati] adalah orang yang membuat muslim lainnya merasa selamat dari [gangguan]
perkataan dan perbuatannya.
Kedua, dari sisi penjagaan
jiwa-raga (حِفْظُ
النَّفْسِ). Noda yang
mendera dimensi fisik kita antara lain mengabaikan hak-hak fisik, misalnya
mengabaikan kesehatan fisik; mengonsumsi sesuatu yang dapat membahayakan fisik,
seperti minuman keras hingga berbagai jenis narkoba. Lebih dari itu, setiap
muslim harus menghindari konsumsi makanan dan minuman apapun yang tergolong
syubhat apalagi haram; bahkan seandainya mubah pun, umat Islam diperintahkan
Allah SWT agar tidak bersikap israf, yakni berlebih-lebihan atau
bermewah-mewahan.
Pembersihan noda pada dimensi fisik dapat
dilakukan dengan meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya kesehatan fisik.
Untuk itu, penting bagi kita untuk menginsafi bahwa kematian manusia –menurut
Rasulullah SAW– dikarenakan sebab dan dikarenakan ajal. Ibarat baterai,
masing-masing ada daya hidupnya, berapa lama ia bertahan hidup; jika daya
hidupnya sudah habis, berarti baterai ini mati dikarenakan ajal. Ini ibarat
orang yang menjaga kesehatan fisiknya dengan baik, sehingga kematiannya
dikarenakan oleh ajal. Di sisi lain, jika baterai tersebut sering dijatuhkan,
maka lama-kelamaan daya hidup baterai akan nge-drop, sehingga daya
hidupnya berkurang drastis, dan akhirnya cepat mati. Ini ibarat orang yang
mengabaikan kesehatan fisiknya, sehingga kematiannya dikarenakan oleh sebab.
Satu ayat penting bagi kesehatan fisik kita adalah:
وَكُلُوا مِمَّا
رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا (المائدة: 88)
Dan makanlah makanan
yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu
Sedangkan
noda yang mengotori dimensi psikis (jiwa) kita adalah ketidak-stabilan emosi
dalam menghadapi problematika kehidupan yang bertubi-tubi kita alami.
Ketidak-stabilan psikis bisa jadi mewujud dalam bentuk sikap mudah marah;
besikap tergesa-gesa (عَجُوْلاً), suka
berkeluh-kesah ketika mendapat cobaan, namun lupa daratan ketika mendapatkan
nikmat:
إِنَّ الْإِنْسَانَ
خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ
مَنُوعًا (21) (المعارج)
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah,
dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.
Noda-noda psikis tersebut juga penting
untuk disucikan melalui tazkiyyatun-nafs:
قَدْ أَفْلَحَ
مَنْ تَزَكَّى (14) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى (15) (الأعلى)
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan
beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.
Dari ayat di atas,
setidaknya ada dua hal yang dapat kita lakukan dalam upaya penyucian jiwa,
yaitu selalu berdzikir menyebut Asma Allah SWT dan rajin menunaikan shalat.
Setelah menelaah pengertian tazkiyyatun-nafs
dalam kitab tafsir Ibn ‘Ashur, Abu Zahrah, al-Mawardi dan al-Thabataba’i, penulis
menyimpulkan bahwa tazkiyyah adalah upaya untuk membersihkan jiwa dari
noda-noda maknawiyah berupa i‘tiqad, akhlaq maupun perbuatan dengan cara
melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Adapun tujuan utama dalam penyucian noda-noda
psikis ini adalah mencapai suatu ketenangan psikis yang memiliki keselarasan
makna dengan ayat:
يَا أَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (الفجر).
Hai
jiwa yang tenang.
Ketiga, dari sisi penjagaan
akal (حفظ العقل). Ada dua sisi
ekstrim yang menjadi noda bagi akal kita. Dari sisi ekstrim negatif, wujudnya
adalah pengabaian fungsi akal yang menyebabkan kebodohan. Baik kebodohan
sederhana dalam arti ‘tidak memahami sesuatu’, misalnya tidak dapat membaca
al-Qur’an sesuai dengan ilmu tajwid; maupun kebodohan kuadrat dalam arti ‘salah
paham’, misalnya menyalah-gunakan ajaran-ajaran al-Qur’an untuk kepentingan
pribadi maupun kelompok. Semoga kita terhindar dari dua jenis kebodohan ini.
Bukankah kita sering mendengar ayat al-Qur’an:
فَلَا تَكُونَنَّ
مِنَ الْجَاهِلِينَ (الأنعام: 35)
Janganlah kamu
sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.
وَأَعْرِضْ عَنِ
الْجَاهِلِينَ (الأعراف: 199)
Dan berpalinglah
daripada orang-orang yang bodoh.
Dari sisi ekstrim positif, wujudnya
adalah terlalu berlebih-lebihan memfungsikan akal, bahkan ada yang mendewakan
akal. Bentuk kongkretnya adalah sikap liberal dan rasionalis yang mengabaikan
segala sesuatu di luar akal. Bahkan agama pun, dipaksa agar tunduk kepada
akal.
Upaya penyucian noda-noda akal dapat
kita lakukan dengan cara memberdayakan akal sesuai dengan amanat al-Qur’an. Misalnya,
al-Qur’an menyeru kepada kita dengan redaksi ‘أَفَلَا تَعْقِلُون’ (apakah kalian
tidak berakal?). Setelah meneliti 13 ayat yang memuat redaksi ‘أَفَلَا تَعْقِلُون’ ini, penulis
memperoleh kesimpulan bahwa ayat-ayat yang memuat term أَفَلَا تَعْقِلُونَ mengarahkan manusia agar memberdayakan akal untuk menelaah
aneka objek. Jika objek telaahnya adalah kehidupan secara umum, maka tujuannya
adalah memperoleh keyakinan bahwa kehidupan akhirat lebih baik dibandingkan
kehidupan dunia. Jika objek telaahnya adalah perilaku manusia, maka tujuannya
adalah membenahi perilaku-perilaku yang kontradiktif [ada gap antara perkataan
dengan perbuatan]. Jika objek telaahnya adalah al-Qur’an, maka tujuannya adalah
memfungsikan al-Qur’an sebagai pengingat bagi jalan hidupnya. Jika objek
telaahnya adalah fenomena manusia dan alam, maka tujuannya adalah meraih
keimanan kepada Allah SWT dengan penuh kesadaran. Jika objek telaahnya adalah
sejarah umat terdahulu, maka tujuannya adalah mengambil teladan agar tidak
mengulangi kesalahan-kesalahan generasi masa silam yang durhaka kepada Allah SWT.
Inilah kiranya contoh penyucian dimensi akal yang dapat kita lakukan setiap
hari sekaligus sebagai bagian dari partisipasi kita dalam pendidikan seumur
hidup (lifelong education) yang digaungkan Islam bahkan dunia
internasional.
Keempat, dari sisi penjagaan
harta (حِفْظُ
الْمَالِ). Ada kalanya noda
yang menempel pada harta itu terletak pada proses pemerolehannya dan ada
kalanya terletak pada proses distribusinya. Pada proses pemerolehan harta, kita
semua sudah menyaksikan berbagai bentuk kecanggihan otak manusia yang digunakan
untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang tidak halal. Lagu klasik bernama
korupsi yang kerap menjangkiti kalangan atas; maupun manipulasi yang sering
terjadi di kalangan masyarakat umum; adalah contoh-contoh cara pemerolehan yang
menodai dimensi harta.
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ
(1) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (2) وَإِذَا كَالُوهُمْ
أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (3) (المطففين)
Kecelakaan besarlah
bagi orang-orang yang curang; (yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta
dipenuhi; dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi.
Sedangkan dari dimensi
pendistribusian, noda yang menempel pada harta adakalanya berupa sikap bakhil
yang membuat seseorang enggan untuk mengeluarkan zakat, infaq maupun shadaqah.
Pada sisi lain, ada kalanya berwujud sikap mubadzir, yaitu menggunakan
harta bukan pada tempatnya. Jadi, mubadzir itu bukan terkait kuantitas
atau jumlah yang dikeluarkan, melainkan berkaitan dengan tepat-tidaknya sasaran
yang dituju. Oleh sebab itu, tidak ada istilah mubadzir dalam zakat, infaq
maupun shadaqah, berapapun banyaknya, karena memang tepat sasaran. Namun Rp.
1000 untuk digunakan hal-hal yang dilarang agama, tergolong mubadzir, sehingga
al-Qur’an menggambarkan orang-orang yang mubadzir sebagai teman-teman syaitan.
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ
كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ (الإسراء: 27)
Sesungguhnya orang-orang
yang mubadzir itu adalah saudara-saudara syaitan.
Di antara ayat yang relevan untuk
menyucikan noda-noda harta dari segi pemerolehan maupun pendistribusian adalah
Surat al-Baqarah: 267-268
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا
لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ
بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
(267) الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ
يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (268) (البقرة)
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk
lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji. Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan
kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah
menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Kelima, dari segi penjagaan anak-keturunan
atau keluarga (حفظ النَّسْلِ). Setidaknya ada
dua noda yang melekat pada dimensi keluarga. Pertama, keluarga hanya menjadi
hiasan dan kebanggaan hidup (اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا / الكهف: 46); menjadi alat uji
keimanan (وَاعْلَمُوا
أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ / الأنفال:28); bahkan bisa
menjadi musuh (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ
عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ / التغابن: 14). Tentu saja kita semua mengidam-idamkan keluarga yang menjadi
penentram jiwa sebagaimana do’a yang setiap hari kita panjatkan kepada Allah
SWT:
رَبَّنَا هَبْ
لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ
إِمَامًا (الفرقان: 74)
Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Untuk mencapai
keluarga idaman seperti itu, tentu saja membutuhkan pendidikan yang dapat
komprehensif. Mari kita perhatikan tiga hadits atau atsar berikut: Sayyidah ‘Aisyah RA meriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
حَقُّ الْوَلَدِ
عَلَى وَالِدِهِ اَنْ يُحْسِنَ اِسْمَهُ، وَيُحْسِنَ مُرْضِعَهُ، وَيُحْسِنُ اَدَبَهُ
Hak anak terhadap orang
tuanya adalah diberi nama yang bagus, diberi ASI, dan diberi pendidikan moral
yang bagus
Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ
بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ
عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Perintahkanlah
anak-anak kalian agar (mengerjakan) shalat, ketika mereka berusia 7 tahun, dan
pukullah mereka jika meninggalkannya (shalat) ketika mereka berusia 10 tahun; dan
pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.
Ali bin Abi Thalib RA juga memberi nasehat:
عَلِّمُوْا أَنْفُسَكُمْ
وَأَهْلِيْكُمُ الْخَيْرَ وَأَدِّبُوْهُمْ
Ajarkanlah
kebaikan pada diri dan keluarga kalian; serta didiklah akhlak mereka
Dari tiga
riwayat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tugas kita sebagai pendidik
maupun orang tua adalah mengajarkan akhlak-akhlak terpuji –misalnya akhlak
tidak mudah mengeluh; akhlak gemar bersyukur–; mendidik mereka secara serius
agar berlatih menjalani syari’at Islam, terutama shalat dan puasa; serta
mendidikkan kebaikan-kebaikan secara umum –misalnya gemar bershadaqah, gemar
belajar, dan sebagainya–.
Noda kedua yang melekat pada dimensi
keluarga adalah terputusnya hubungan silaturrahim. Di sinilah pentingnya bagi
kita untuk mengoptimalkan momen Halal bi Halal dengan sebaik-baiknya. Adapun prioritas
sasaran silaturrahim ketika Halal bi Halal jika mengacu pada Surat al-Nisa’: 36
adalah:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا
بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ
وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا
فَخُورًا (36) النساء
Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri,
Secara
kontekstual, ayat di atas memberikan petunjuk kepada kita agar mendahulukan
silaturrahim dengan kedua orang tua, termasuk guru-guru kita yang rumahnya
dekat. Kemudian dilanjutnya dengan keluarga dekat kita. Tidak lupa kita tetap
harus peduli pada anak-anak yatim maupun fakir miskin yang bisa jadi terabaikan
ketika kita sedang sibuk bersilaturrahim dengan sanak famili. Selanjutnya kita
bersilaturrahim dengan tetangga yang masih memiliki ikatan keluarga – walaupun
jauh – dan diikuti silaturrahim dengan keluarga yang tidak memiliki ikatan
kekeluargaan. Setelah itu kita bersilaturrahim dengan rekan-rekan, relasi,
kenalan, dan sejenisnya. Bahkan kita pun diminta untuk bersilaturrahim dengan
pegawai-pegawai atau bawahan-bawahan kita. Di penghujung ayat kita diingatkan
agar melepaskan jubah-jubah keangkuhan dan kesombongan. Dalam bahasa al-Qur’an,
kita harus menghilangkan sikap sombong yang berbentuk (مُخْتَالاً), kesombongan yang terlihat dalam tingkah laku dan juga sombong
dalam bentuk (فَخُورًا), kesombongan yang terdengar dari ucapan-ucapan.
Kesimpulan
dari tulisan ini adalah: Pertama, mari kita sucikan dimensi keagamaan kita
dengan memurnikan niat ibadah, yakni ikhlash semata-mata karena Allah SWT, di
samping peduli kepada para hamba-Nya. Kedua, mari kita sucikan dimensi
jiwa-raga kita dengan menjaga fisik dan psikis kita dari hal-hal yang
membahayakan maupun yang merusaknya. Ketiga, mari kita sucikan dimensi akal
kita dengan memberdayakan akal semaksimal mungkin melalui kegiatan pendidikan
seumur hidup. Keempat, mari kita sucikan harta kita dengan bekerja secara halal
dan menggunakan harta tepat sasaran. Kelima, mari kita sucikan anak-keturunan
atau keluarga kita dengan memberi pendidikan yang terbaik serta menjalin
silaturrahim secara rutin, khususnya pada momen Halal bi Halal Idul Fitri tahun
ini. Semoga, kita diberi Taufiq, Hidayah dan Inayah oleh Allah SWT agar dapat
menyucikan kelima dimensi pokok di atas. Akhirnya, penulis tutup tulisan ini
dengan do’a:
جَعَلَنَا الله مِنَ الْعَائِدِيْنَ
وَالْفَائِزِيْنَ وَالْمَقْبُوْلِيْنَ
Semoga
Allah SWT menjadikan kita termasuk orang-orang yang kembali bersih dan suci
dari dosa-dosa; sekaligus orang yang meraih kemenangan, berupa kebaikan di
dunia dan di akhirat kelak; serta amal-amal ibadah kita diterima di sisi Allah
SWT dan dapat kita peroleh manfaatnya kelak di akhirat. Amin ya Rabbal
'Alamin.
*)
Penulis adalah tenaga didik di Pondok Pesantren Nurul Huda [PPHN] untuk program
pendidikan Bahasa Arab; serta Dosen UIN Maliki dan STAI Ma’had Aly Al-Hikam.
No comments:
Post a Comment