PascaSarjana UIN Maliki Malang-Batu
MatKul: Filsafat dan Tasawuf
Eko Nazrul
A.
Latar Belakang
Manusia di abad 21 ini sangat maju peradabannya. Kemajuan
peradaban manusia saat ini tidak terlepas dari sumbangan filsafat yang telah
berkembang dimasa lalu. Bermula dari filsafat manusia kemudian menghasilkan
ilmu-ilmu tertentu. Keilmuan dari zaman ke zaman mengalami perkembangan secara
terus menerus. Hingga keilmuan menghasilkan teknologi-teknologi baru di
berbagai bidang.
Filsafat dala bahasa inggris yaitu: philosophy, adapun
istilah filsafat berasal dari Yunani: philosopha, yang terdiri atas dua kata:
philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, intelegensi).
Jadi secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love
wisdom). Orangnya disebut filosof yang dalam bahasa arab disebut failasuf.[1]
Filsafat telah banyak menghasilkan banyak pengetahuan.
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang
kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk didalamnya adalah ilmu. Dengan
demikian ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia
disamping sebgai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama.[2]
Islam adalah agama Allah SWT yang berisikan ajaran-ajaran dan tuntunan-tuntunan
yang harus dipegangi dan dipedomani oleh pemeluknya untuk kebahagiaan didunia
maupun di akhirat. Sudah barang tentu ajaran islam tersebut harus dipahami dan
dimengerti melalui belajar atau pencarian ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan
bagian dari agama itu sendiri, ia menempati posisi atau kedudukan sebagai
bagian dari agama dan memiliki fungsi sebagai alat/sarana untuk memperoleh
tujuan agama yaitu memperoleh
kebahagiaan dunia maupun diakhirat.[3]
Jiwa, Akal dan hati sebagai karunia yang telah di
titipkan oleh Allah kepada manusia merupakan anugerah yang tak ternilai bagi
manusia. Dengan akal manusia dapat berpikir. Dan dengan hati manusia dapat
mengimani Allah. Hati memunculkan Perasaan sayang, hormat, kagum, cinta,
menghargai, toleransi. Apa sebenarnya jiwa dan akal itu? Bagaimana pendapat
seorang filosof Al-kindi mengenai jiwa dan akal?
B.
Pembahasan
1.
Filsafat Jiwa
Tidak mengherangkan bahwa pembahasan tentang jiwa menjadi
agenda yang penting dalam filsafat Islam, hal ini disebabkan, karena jiwa
termasuk unsur utama bagi manusia, bahka
menjadi intisari dari manusia.[4] Kaum filosof muslim
memakai kata jiwa ( al-nafs) sesuai apa yang diistilahkan dalam al quran dengan
al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk nafsu atau
nafas dan roh. Akan tetapi kata nafsu dalam pemakaian sehari-hari berkonotasi
dengan dorongan untuk melakukan perbuatan yang kurang baik, sehingga kata ini
sering dirangkaikan menjadi satu dengan kata hawa, yakni hawa nafsu.
Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Tidak menjelaskan
secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan al quran sebagai sumber ajaran islam
menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu
adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia.[5] Justru itu kaum filosof
muslim membahas jiwa berdasarka pada filsafat jiwa yang dikemukakan oleh para
filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan dengan ajaran islam.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi
mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar).
Jiwa mempunyai arti penting dan sempurna, dan mulia. Subtansi jauhar-nya berasal dari subtansi Allah.
Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungannya cahaya dengan matahari.[6] Jiwa mempunyai wujud
tersendiri, terpisah dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani
dan llahy.[7] Sementara itu jisim, jisim
mempunyai hawa nafsu dan amarah.
Argumen Al-Kindi tentang bedanya jiwa dengan badan, Al-Kindi mengemukakan bahwa kenyataan jiwa menentang
keinginan nafsu yang berorientasi kepentingan badan. Marah mendorong manusia
untuk berbuat sesuatu, maka jiwa akan melarang dan mengontrolnya, seperti
penunggang kuda yang hendak menerjang terjang. Jika nafsu syahwat muncul
kepermukaan, maka jika berpikir bahwa ajakan syahwat itu salah dan membawa pada
keerendahan, pada saat itu jiwa akan menentang dan melarangnya. Hal ini
menunjukkan bahwa jiwa itu lain dari nafsu yang dimiliki badan.[8] Hal ini dapat
dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan
hawa, nafsu sebagai yang dilarang.
Al-kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan
bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersususn dari dua unsur, materi
dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia. Hubungan jiwa
dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi atau jiwa tidak bisa
mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau
badan tidak pula bisa wujud tanpa bentuk atau jiwa. Pendapat ini mengandung
arti bahwa jiwa adalah baru karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa
wujud tanpa materi, keduanya membentuk
satu kesatuan yang bersifat esensial, dan kemusnahan badan membawa kemusnahan
jiwa.
Dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih dekat dengan
pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah
kesatuan accident, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa, namun ia
tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea
Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa, jika padanya berkumpul
beberapa spesies, maka ia adalah aqilah bia al-fi’l, namun ketika spesies itu
belum menyatu, maka jiwa itu aqilah bi al-quwwah. Segala sesuatu pada posisi
potensi (bi al-quwwah), sedang untuk mengeluarkannya dari potensi menjadi aksi,
meniscayakan adanya sesuatu yang lain. Dan yang mengeluarkan jiwa, yang aqilah
bi al-quwwah hingga menjadi aqilah bi-al fi’l adalah bersatunya beragam spesia
dan genus, yakni totalitasnya. Ketika semua ini menyatu dengan jiwa, maka nafsu
menjadi’aqilah artinya ia memiliki akal tertentu yang berarti memiliki kulliyat
al-asya’.[9] Al-Kindi dalam tulisannya
juga menjelaskan bahwa Pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu
(al-quwwat al-syahwaniyyat) yang terdapat di perut, daya marah (al-ghadhabiyyat)
terdapat di dada, dan daya pikir (al-aqliyyat) berpusat pada kepala.[10]
Manusia menurut al-Kindi, apabila meninggalkan segala
yang berbentuk empiris atau benda dan memusatkan pandangan pada hakikat-hakikat
sesuatu, niscaya akan terbuka baginya pengetahuan tentang yang gaib dan
mengetahui rahasia-rahasia ciptaan. Akan tetapi, apabila tujuan manusia hidup
di dunia ini ingin mendapatkan kelezatan makan dan minum atau materi semata,
maka akan tertutup jalan bagi daya pikirnya untuk mengetahui hal-hal yang mulia
dan tidak mungkin sifatnya mencapai kualitas kesempurnaan atau kemuliaan
menyerupai sifat kesempurnaan dan kemuliaan Allah.
Al-Kindi membandingkan daya bernafsu pada manusia dengan
babi, daya marah dengan anjing, dan daya pikir dengan malaikat. Jadi, orang
yang dikuasai oleh daya bernafsu, tujuan hidupnya seperti yang dimiliki oleh
babi, siapa yang dikuasai oleh nafsu marah, ia bersifat seperti anjing, dan
siapa yang dikuasai oleh daya pikir, ia akan mengetahui hakikat-hakikat dan
menjadi manusia utama yang hampir menyerupai sifat Allah, seperti bijaksana,
adil, pemurah, baik, mengutamakan kebenaran dan keindahan.[11]
Jiwa yang bersih setelah terpisah dengan badan pergi ke
alam kebenaran atau alam kekal, diatas bintang-bintang di dalam lingkungan
cahaya Allah, dekat dengan Allah dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak
kesenangan abadi dari jiwa.[12]
Jadi, hanya jiwa yang sucilah yang dapat sampai ke alam
kebenaran itu. Jiwa yang masih kotor dan belum bersih harus mengalami penyucian
terlebih dahulu. Mula-mulanya ia harus pergi ke bulan, kemudian setelah
berhasil membersihkan diri di sana, dilanjutkan ke merkuri, dan seterusnya.
Naik setingkat demi setingkat sampai akhirnya, sesudah benar-benar bersih
kemudian mencapai alam akal, dalam lingkungan cahaya Allah dan melihat Allah.[13] Disini terlihat bahwa
al-Kindi tidak percaya pada kekekalan hukum terhadap jiwa, tetapi meyakini
bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke alam akal.
Alhasil, bagi al-Kindi, jiwa adalah, sesuai terminologi Al-Qur’an Khalidina
fiha yang dalam bahasa indonesia sering diterjemahkan dengan kekal, namun
kekalnya berbeda dengan Allah karena kekalnya dikekalkan Allah.[14]
2. Filsafat Akal
Al-kindi dalam risalahnya menjelaskan akal. Ia
menggambarkan akal sebagai suatu potensi sederhana yang dapat mengetahui
hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda.[15] Selanjutnya Al-Kindi
membagi akal pada empat macam; satu berada di luar jiwa manusia dan yang tiga
lagi berada di dalamnya.
1. Akal yang
selamanya dalam aktualitas (al-‘aql al-lazi bi al-fi’il Abadan). Akal pertama
ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam
aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat
akal bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini
ialah sebagai berikut:
1.
Ia merupakan Akal Pertama
2.
Ia selamanya dalam aktualitas
3.
Ia merupakan species dan genus
4.
Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir.
5.
Ia tidak sama dengan akal potensial tetapi lain dari
padanya.[16]
2. Akal
bersifat potensial (al-aql bi al-quwwah), yakni akal murni yang ada dalam dalam
diri manusia yang masih berupa potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi
dan yang akali.
3. Akal yang bersifat perolehan (acquired intellect). Ini adalah
akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai
memperlihatkan pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan
dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang
bagaimana cara menulis penamaan perolehan, agaknya dimaksudkan oleh al-Kindi
untuk menunjukkan bahwa akal dalam bentuk ini diperoleh dari akal yang berada
diluar jiwa manusia, yakni akal pertama yang membuat akal potensial keluar
menjadi akan aktualitas.
4. Akal yang
berada dalam keadaan actual nyata, ketika ia nyata, maka ia disebut akal “yang
kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua
dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses penulisan kalau seseorang
sunguh-sungguh melakukan penulisan.[17]
C.
Kesimpulan
Jiwa menurut Al-Kindi adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar).
Jiwa mempunyai arti penting dan sempurna, dan mulia. Subtansi jauhar-nya berasal dari subtansi Allah. Jiwa
mempunyai wujud tersendiri, terpisah dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa
bersifat rohani dan llahy. Jiwa mempunyai daya terdapat tiga daya: daya bernafsu
(al-quwwat al-syahwaniyyat) yang terdapat di perut, daya marah
(al-ghadhabiyyat) terdapat di dada, dan daya pikir (al-aqliyyat) berpusat pada
kepala. Sedangkan akal menurut Al-Kindi adalah suatu potensi sederhana yang
dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda yang terbagi
menjadi empat macam.
[1] Amsal Bakhtiar,
filsafat ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 4
[2] M. Zainuddin,
filsafat ilmu perspektif pemikiran Islam, (Yogyakarta: Naila Pustaka, 2011),
hlm. 23.
[3] Harun Nasution,
Falsafah dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm.13.
[4] Ibid., hlm. 87-89.
[5] Lihat : QS. Al-Isra’
(17):85.
[6] Kamal Al-Yazijy, Al-Nushus Al-Falsafiyah Al-Muyassarah,
(Beirut : Dar Al-„ilm li al-Malayin, 1963), hlm. 76.
[7] M.M. syarif, (ed.)
History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), hlm.
124-125.
[9] Ilyas Supena,
Pengantar Filsafat Islam, (semarang: Walisongo Press, 2010), hlm. 84.
[10] Harun nasution,
op.cit., hlm. 9.
[11] Kamal Al-Yazijy,
op.cit., hlm 78-79.
[12] Hana Al-Fakhry, dan
Khalil Al-Jarr, tarikh al-falsafah al-Arabiyyat dalam Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam: Filosof & filsafatnya, (Jakarta: Rajawali press,
2009),hlm.
63.
[13] Kamal Al-Yaziji,
op.cit., hlm. 79-80.
[15] George N Atiyeh,
Al-Kindi Tokoh Filsafat Muslim, terj Kasido Djojo Suwarno, (Bandung: Salman,
1983), hlm. 50-51.
[16] Harun Nasution,
op.cit., hlm. 15-16
[17] Harun Nasution, ibid.
No comments:
Post a Comment