KRITIK HADITS
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Matakuliah Studi Hadits
Dosen
Pengampu:
Dr. Hj.
Sulalah, M. Ag
Oleh:
Akhmad Pandu Setiawan
(13770030)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Juli,
2014
KRITIK HADITS
A. Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Kitab-kitab hadis
yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam
dalam hubungannya dengan hadis sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab
yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama Nabi wafat. Dalam jarak waktu
antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadis tersebut telah terjadi
berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadis tersebut menyalahi apa yang
sebenarnya berasal dari Nabi. Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya.
Dengan demikian,
untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab
hadis tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih dahulu
perlu dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadis tidak hanya ditujukan
kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadis itu saja, yang biasa dikenal
dengan masalah matan hadis, tetapi juga kepada berbagai hal yang berhubungan
dengan periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian para periwayat
yang menyampaikan matan hadis kepada kita.
Penelitian kualitas
hadis perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadis Nabi Muhammad SAW, tetapi
melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia, yang adakalanya melakukan
kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu.
Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad
maupun kualitas matan hadis. Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian
dan kajian mendalam untuk mengetahui mana yang dapat diterima dan mana yang
ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan patokan sebagai acuan
melakukan studi kritik Hadis. Di dalam makalah ini, penulis akan mengkaji
seputar kritik hadis, ditinjau dari sisi sejarah muncul, perkembangan, urgensi,
cakupan, tokoh-tokohnya dan indikasi mayor dan minor sanad dan matan shahih.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji oleh penulis
adalah:
1.
Bagaimana
sejarah muncul dan perkembangan ilmu kritik hadis?
2.
Apa urgensi dan
cakupan ilmu kritik hadis?
3.
Siapa saja
tokoh-tokoh kritikus hadis dan apa karyanya?
4.
Apa indikasi
mayor dan minor sanad hadis shahih?
5.
Apa indikasi
mayor dan minor matan hadis shahih?
3.
Tujuan Pembahasan
Melihat rumusan masalah dari uraian latar belakang
di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
menjelaskan sejarah muncul dan perkembangan ilmu kritik hadis
2.
Untuk
menjelaskan urgensi dan cakupan ilmu kritik hadis
3.
Untuk mengetahui
tokoh-tokoh kritikus hadis dan karyanya
4.
Untuk mengetahui
indikasi mayor dan minor sanad hadis shahih
5.
Untuk mengetahui
indikasi mayor dan minor matan hadis shahih
B. Pokok Pembahasan
1.
Sejarah Muncul, Perkembangan,
Urgensi dan Cakupan
a.
Sejarah Muncul
1)
Kritik Sanad Hadis
Kritik sanad hadis sebagai salah satu bagian
terpenting dalam jajaran ilmu hadis muncul dan berkembang seiring dengan
perkembangan hadis itu sendiri, terutama ketika muncul aktivitas para ulama
pengumpul hadis dengan memilah-milah serta membuat kategori hadis-hadis
tersebut.
Aktivitas ini marak terjadi pada abad ke-3 H. Namun
demikian, bukan berarti bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi kegiatan
yang demikian ini. Jika telah disepakati bahwa kritik dipahami sebagai sebuah
upaya untuk memilah-milah atau membedakan antara yang benar dan yang salah atau
antara yang sahih dan yang tidak, maka dapat dipahami bahwa kegiatan
kritik hadis telah ada sejak zaman Rasulullah, meski disadari bahwa kegiatan
tersebut masih dilakukan dalam bentuk yang sangat sederhana. Kritik hadis di
masa Rasulullah dilakukan dalam bentuk konfirmasi, yakni para sahabat yang
tidak secara langsung mendengar sebuah hadis dari beliau, tetapi dari sahabat
lain yang mendengarkannya, mereka mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah.[1]
Sebagaimana diketahui bahwa di era Rasulullah
agaknya terdapat semacam aturan khusus yang tidak tertulis dan telah mereka
sepakati, yakni setiap sahabat yang telah mendengar hadis atau mengikuti majlis
ta’lim Rasulullah memiliki kewajiban moral untuk mentransmisikannya kepada
sahabat lain yang tidak mengikutinya. Di saat mereka meriwayatkan kembali
sebuah hadis yang didengarnya dari Rasulullah, mereka menyandarkannya kepada
beliau, bahkan jika berupa hadis qudsi sering pula terjadi penyandaran hadis
kepada Allah, jika Rasulullah sendiri menyebutkan demikian. Adapun yang tidak
mendengarkan secara langsung, mereka selalu menyandarkannya pula kepada orang
yang meriwayatkan hadis tersebut kepadanya. Demikianlah proses transmisi hadis
yang kemudian berkembang. Namun kondisi semacam ini tidak selamanya mampu
berjalan seperti pada era Rasulullah meski pascawafat beliau, metode transmisi
yang demikian ini terus berlanjut. Buktinya hingga tahun 40 Hijriyah, tepatnya
di saat umat Islam tertimpa fitnah peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bi
Affan serta peperangan Ali dan Mu’awiyah yang kemudian berekses pada perpecahan
kaum muslim, model transmisi hadis yang dikenal selama ini mengalami banyak
cobaan.
Fitnah yang menimpa kaum muslimin tersebut, di
samping berimplikasi negatif dengan terkotak-kotaknya pada garis-garis
kepentingan politik yang kemudian masing-masing mencari legitimasi syar’i yang
mendukung kepentingan politiknya itu, ternyata juga memiliki implikasi positif
bagi pengembangan ilmiah kritik sanad hadis. Bahkan momentum tersebut merupakan
tonggak sejarah bagi pengembangan model kritik sanad yang pada tahap berikutnya
mulai diefektifkan penggunaannya. Menanggapi hal ini, Ibn Sirin (33-110 H)
berkomentar bahwa pada mulanya kaum muslim tidak begitu menanyakan sanad, namun
setelah terjadinya fitnah mereka selalu mempertanyakan dari siapa hadis itu
diriwayatkan. Jika berasal dari ahlussunnah, maka hadis tersebut diterima, dan
jika berasal dari bid’ah, maka hadis tersebut ditolak.[2]
Berpijak pada beberapa argumentasi di atas, agaknya
dapat dipahami sikap yang pilih-pilih para ulama untuk kemudian mempertanyakan
sanad hadis yang mereka terima itu dimotivasi oleh sikap kehati-hatian dan
tanggung jawab mereka untuk mampu menjaga otentisitas dan orisinalitas hadis.
Karena bagaimanapun juga, fitnah tragis yang menimpa kaum muslimin di atas
telah menstimuli muncul dan berkembangnya berbagai kasus manipulasi dan
pemalsuan hadis. Oleh karena itu, sikap yang diambil oleh para ulama tersebut
merupakan upaya kehati-hatian mereka agar umat Islam tidak terjebak pada
sesuatu yang dapat memutarbalikkan kebenaran agama.
Dengan demikian, dalam tataran inilah letak urgensi
sanad hadis. Oleh karena itu, layaklah ungkapan ibn al-Mubarak (w. 181 H)
sebagaimana dikutip Muslim, bahwa sistem sanad merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari agama Islam, karena tanpa adanya sanad setiap orang bisa
mengaku dan mengatakan apa saja sesuai dengan kehendaknya, dengan
mengatasnamakan Rasulullah. Padahal sikap yang demikian itu, diancam oleh
Rasulullah dalam hadis beliau yang mengatakan bahwa setiap orang yang dengan
sengaja memanipulasi ajaran beliau, akan mendapatkan balasan setimpal berupa
neraka.
Dalam rangka mengaktualisasikan obsesinya untuk
menjaga otentisitas dan orisinilitas hadis tersebut, para ulama mengajukan
beberapa persyaratan ketat dan kriteria perawi yang dapat diterima hadisnya.
Sehingga pada gilirannya melahirkan berbagai rumusan konseptual tentang
kriteria-kriteria tentang kesahihan hadis tersebut.
2)
Kritik Matan Hadis
Secara praktis, aktivitas kritik matan ini telah
dilakukan oleh generasi sahabat. Oleh karena itu, sangat tidak tepat pernyataan
yang dimajukan oleh para orientalis semisal Ignaz Goldziher (1850-1921), A.J.
Wensinck (1882-1939) dan Joseph Schacht (1902-1969), yang mengatakan bahwa di
dalam upaya meneliti hadis, para ulama hanya memperhatikan kritik sanad dan
mengesampingkan kritik matan hadis. Argumentasi mereka adalah banyak
ditemukannya hadis-hadis yang semula diklaim sahih, namun setelah diteliti
lebih lanjut – tentu dengan kriteria dan standar mereka – ternyata terdapat
satu atau beberapa syarat yang dinilai tidak memenuhi kriteria mereka.[3]
Para orientalis menyadari bahwa umat Islam memiliki
sejumlah khazanah intelektual yang terkemas dalam sejumlah kitab, yang disebut
sebagai al-masadir al-asliyyah. Sebagian besar para orientalis, untuk
tidak menyebutkan seluruhnya, berupaya menumbuhkan sikap keraguan pada diri
umat Islam terhadap ajaran dasarnya. Upaya itu pertama kali dilakukan melalui
al-Quran. Setelah tidak mendapatkan celah di dalam al-Quran, dilanjutkanlah
upaya tersebut pada hadis yang secara historis “rentan” terjadi manipulasi.
Untuk tujuan itulah, para orientalis mengarahkan kritikannya pada hadis-hadis
yang terakumulasi dalam berbagai kitab hadis yang ada. Sasaran kritikan mereka
adalah matan hadisnya, karena dinilai banyak yang tidak sahih ditinjau dari
segi sosial, politik, sains dan lain-lain, bahkan hadis-hadis yang terdapat
dalam kitab sahih al-Bukhari sekalipun.
Terlepas dari kritikan para orientalis terhadap
hadis di atas, yang jelas bahwa “embrio” kritik matan, telah dilakukan oleh
para sahabat. Mereka menolak berbagai riwayat hadis yang tidak sesuai dengan
kaedah-kaedah dasar keagamaan.[4]
Al-Adlabi membuat klasifikasi besar tentang nama-nama sahabat yang terlibat pada
aktivitas kritik matan ini, yakni kritik matan yang dilakukan (menurut) Umm
al-Mu’minin, ‘Aisyah, dan kritik matan yang dilakukan oleh para sahabat selain
‘Aisyah. Untuk kritik ‘Aisyah ditujukan kepada hadis-hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, Umar, Ibn ‘Umar, Jabir dan Ka’b al-Akhbar. Sedangkan para
sahabat selain ‘Aisyah, dapat disebut misalnya kritik matan yang dilakukan
‘Umar Ibn Khatab, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah Ibn Mas’ud dan Abdullah ibn
Abbas. Dengan adanya berbagai bukti sejarah di atas, tesis yang dimajukan oleh
para orientalis bahwa para ulama hanya mementingkan kritik sanad dan
mengesampingkan kritik matan hadis, tidak benar adanya.[5]
b.
Perkembangan
1.
Kritik Hadis Di Era Rasulullah Saw. Masih Hidup
Kritik hadis pada
saat Rasulullah masih hidup sangat mudah dilakukan para sahabat, karena para
sahabat secara langsung dapat mengetahui valid dan tidaknya hadis yang mereka
terima itu melalui jalan konfirmasi kepada Rasulullah Saw.[6]
Pola konfirmasi
sebagai cikal bakal kritik hadis pada masa Rasulullah bukanlah disebabkan oleh
rasa kecurigaan mereka terhadap pembawa beritanya bahwa ia telah berdusta.
Tetapi hal tersebut mereka lakukan adalah dimotivasi oleh sikap mereka yang
begitu hati-hati dalam menjaga kebenaran hadis sebagai sumber hukum Islam
disamping Alquran,[7] juga untuk mengokohkan hati mereka dalam mengamalkan
hadis yang langsung mereka yakini kebenarannya dari Rasulullah Saw.[8] Para ulama sepakat bahwa konfirmasi hadis di era
Rasulullah ini dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya ilmu kritik hadis.[9]
Sebagai contoh
kegiatan konfirmasi di era Rasulullah Saw ini dapat ditunjukkan oleh riwayat
hadis berikut:
حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ بُكَيْرٍ النَّاقِدُ حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ أَبُو النَّضْرِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ فَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ فَيَسْأَلَهُ وَنَحْنُ نَسْمَعُ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَتَانَا رَسُولُكَ فَزَعَمَ لَنَا أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَكَ قَالَ صَدَقَ قَالَ فَمَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ قَالَ اللَّهُ قَالَ فَمَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ قَالَ اللَّهُ قَالَ فَمَنْ نَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ وَجَعَلَ فِيهَا مَا جَعَلَ قَالَ اللَّهُ قَالَ فَبِالَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ وَخَلَقَ الْأَرْضَ وَنَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ آللَّهُ أَرْسَلَكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِنَا وَلَيْلَتِنَا قَالَ صَدَقَ قَالَ فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا قَالَ نَعَمْ قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا زَكَاةً فِي أَمْوَالِنَا قَالَ صَدَقَ قَالَ فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا قَالَ نَعَمْ قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ فِي سَنَتِنَا قَالَ صَدَقَ قَالَ فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا قَالَ نَعَمْ قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا حَجَّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا قَالَ صَدَقَ قَالَ ثُمَّ وَلَّى قَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَزِيدُ عَلَيْهِنَّ وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُنَّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ هَاشِمٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ ثَابِتٍ قَالَ قَالَ أَنَسٌ كُنَّا نُهِينَا فِي الْقُرْآنِ أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ وَسَاقَ الْحَدِيثَ بِمِثْلِهِ. (رواه المسلم/ الايمان:۱۳).
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Amru bin Muhammad bin Bukair an-Naqid telah
menceritakan kepada kami Hasyim bin al-Qasim Abu an-Nadlr telah menceritakan
kepada kami Sulaiman bin al-Mughirah dari Tsabit dari Anas bin Malik dia
berkata, “Kami terhalangi untuk bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tentang sesuatu, yaitu kekaguman kami terhadap kedatangan seorang
laki-laki dari penduduk gurun yang berakal (cerdas), lalu dia bertanya,
sedangkan kami mendengarnya, lalu seorang laki-laki dari penduduk gurun datang
seraya berkata, ‘Wahai Muhammad, utusanmu mendatangi kami, lalu mengklaim untuk
kami bahwa kamu mengklaim bahwa Allah mengutusmu.’ Rasulullah menjawab: ‘Benar’.
Dia bertanya, ‘Siapakah yang menciptakan langit?’ Rasulullah menjawab: ‘Allah.’
Dia bertanya, ‘Siapakah yang menciptakan bumi?’ Rasulullah menjawab: ‘Allah.’
Dia bertanya, ‘Siapakah yang memancangkan gunung-gunung ini dan menjadikan
isinya segala sesuatu yang Dia ciptakan?’ Beliau menjawab: ‘Allah.’ Dia
bertanya, ‘Maka demi Dzat yang menciptakan langit, menciptakan bumi, dan
memancangkan gunung-gunung ini, apakah Allah yang mengutusmu?’ Beliau menjawab:
‘Ya.’ Dia bertanya, ‘Utusanmu mengklaim bahwa kami wajib melakukan shalat lima
waktu sehari semalam, (apakah ini benar)?’ Beliau menjawab: ‘Benar’. Dia
bertanya, ‘Demi Dzat yang mengutusmu, apakah Allah menyuruhmu untuk melakukan
ini?’ Beliau menjawab: ‘Ya’. Dia bertanya, ‘Utusanmu mengklaim bahwa kitab
wajib melakukan puasa Ramadlan pada setiap tahun kita, (apakah ini benar)?’
Beliau menjawab: ‘Ya’. Dia bertanya, ‘Demi Dzat yang mengutusmu, apakah Allah menyuruhmu
untuk melakukan ini?’ Beliau menjawab: ‘Ya’. Dia bertanya, ‘Utusanmu mengklaim
bahwa kami wajib melakukan haji bagi siapa di antara kami yang mampu menempuh
jalan-Nya, (apakah ini benar)?’ Beliau menjawab, ‘Ya benar’. Kemudian dia
berpaling dan berkata, ‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan
menambah atas kewajiban tersebut dan tidak akan mengurangi darinya.’ Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Jika benar (yang dikatakannya), sungguh
dia akan masuk surga.” Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Hasyim
al-Abdi telah menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami
Sulaiman bin al-Mughirah dari Tsabit dia berkata, Anas berkata, “Kami
terhalangi untuk bertanya tentang sesuatu dari al-Qur'an kepada Rasulullah.”
Lalu dia membawakan hadits dengan semisalnya.” (HR. Muslim/Iman/No.
13).
Aktivitas konfirmasi tersebut
dilakukan para sahabat sepertinya persis dengan apa yang telah dicontohkan nabi Ibrahim As.
sebagaimana terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 260.
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ
الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى
كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ
أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٢٦٠)
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku,
perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah
berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya,
akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau
demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah
berfirman): “Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari
bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu
dengan segera.” dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Al-Baqarah: 260).
Penjelasan ayat di
atas menunjukkan bahwa pertanyaan Nabi Ibrahim As. tentang bagaimana Tuhan
dalam menghidupkan orang-orang mati bukanlah karena didasari keraguan Nabi
Ibrahim As. terhadap kekuasaan Tuhan. Sebab mustahil bagi seorang Nabi
meragukan kekuasaan Allah Swt., Begitu pula halnya pertanyaan sahabat terhadap
Nabi tentang kebenaran riwayat yang disampaikan oleh sahabat yang lain adalah
bukan karena dia meragukan sahabat tersebut, melainkan didorong oleh sifat
kehati-hatian dan ketelitian para sahabat Nabi Saw. dalam menerima hadis-hadis tersebut sehingga hati
mereka semakin kokoh dalam mengamalkannya.
2.
Kritik
Hadis Di Era Sahabat (Abad 1)
Pada era sahabat,
metode penelitian hadis mulai berkembang dengan pola yang bersifat komparatif (perbandingan). Pada masa ini, setelah
wafatnya Rasulullah Saw. para sahabat seperti Abu Bakar Siddiq, Umar Bin
Khattab dan Ali bin Abi Thalib kemudian mulai membuat suatu rambu-rambu atau
syarat diterimanya suatu hadits, antara lain misalnya dengan mengharuskan
kesaksian sahabat yang lain untuk membenarkan periwayatan hadis tersebut.
Sebagai contohnya
adalah sebagaimana kisah yang dijelaskan oleh riwayat hadis berikut:
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ إِسْحَقَ بْنِ خَرَشَةَ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ
قَالَ
جَاءَتْ الْجَدَّةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ
الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى
شَيْءٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِي سُنَّةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
شَيْئًا فَارْجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيرَةُ
بْنُ شُعْبَةَ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهَا
السُّدُسَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ
فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَأَنْفَذَهُ لَهَا أَبُو بَكْرٍ
ثُمَّ جَاءَتْ الْجَدَّةُ الْأُخْرَى إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَيْءٌ
وَمَا كَانَ الْقَضَاءُ الَّذِي قُضِيَ بِهِ إِلَّا لِغَيْرِكِ وَمَا أَنَا بِزَائِدٍ
فِي الْفَرَائِضِ وَلَكِنْ هُوَ ذَلِكَ السُّدُسُ فَإِنْ اجْتَمَعْتُمَا فِيهِ فَهُوَ
بَيْنَكُمَا وَأَيَّتُكُمَا خَلَتْ بِهِ فَهُوَ لَهَا. (رواه ابو داود/ باب وارث :۲۵۰۷).
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Al Qa’nabi, dari Malik dari Ibnu Syihab,
dari Utsman bin Ishaq bin Kharasyah, dari Qabishah bin Dzuaib, bahwa ia
berkata; telah datang seorang nenek kepada Abu Bakar Ash Shiddiq, ia bertanya
kepadanya mengenai warisannya. Kemudian ia berkata; engkau tidak mendapatkan sesuatupun
dalam Kitab Allah Ta’ala, dan aku tidak mengetahui sesuatu untukmu dalam sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kembalilah hingga aku bertanya kepada
orang-orang. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada orang-orang, lalu Al Mughirah
bin Syu’bah berkata; aku menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
telah memberikan kepadanya seperenam. Kemudian Abu Bakar berkata; apakah ada
orang (yang menyaksikan) selainmu? Kemudian Muhammad bin Maslamah berdiri dan
berkata seperti apa yang dikatakan Al Mughirah bin Syu’bah. Lalu Abu Bakar
menerapkannya dan berkata; engkau tidak mendapatkan sesuatupun dalam Kitab
Allah Ta’ala, dan keputusan yang telah diputuskan adalah untuk selainmu, dan
aku tidak akan menambahkan dalam perkara faraidl, akan tetapi hal itu adalah
seperenam. Apabila kalian berdua dalam seperenam tersebut maka seperenam itu
dibagi di antara kalian berdua. Siapapun di antara kalian berdua yang
melepaskannya maka seperenam tersebut adalah miliknya.” (HR. Abu Daud/
Bab Waris: 2507).
Berdasarkan kasus
tersebut, Abu Bakar terkesan sangat berhati-hati dalam menerima kebenaran sebuah
hadis. Sikap yang demikian ini terkait dengan posisinya
sebagai pemimpin besar umat Islam yang mengharuskan beliau untuk memberikan
suatu teladan bagi umat Islam dalam menjaga kemurnian dan keaslian hadis nabi
Muhammad Saw.
Dalam kutipan Suryadi dan Muhammad Alfatih,
Azmillah al-Damani
menyimpulkan metode penelitian hadis di
era sahabat terbagi kepada tiga pilar utama, yaitu dengan kriteria bahwa hadis tersebut tidak
bertentangan dengan Alquran, tidak bertentangan
dengan hadis lain,
dengan cara membandingkan antar riwayat sesama sahabat, dan melalui penalaran
akal sehat.[10]
Contoh Hadis yang
bertentangan dengan firman Allah Swt. dan sabda Rasul Saw. yang lebih sahih
sebagaimana berikut:
أنا
خاتم النبين لا نبي بعدي إلا أن يشاء الله
Artinya:
“Saya adalah penutup para Nabi,
tidak ada Nabi setelahku kecuali dikehendaki Allah Swt.”
Hadis ini
bertentangan dengan firman Allah Swt. berikut:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ
أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ
اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (٤٠)
Artinya:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara
kamu., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40).
Dan sabda Rasul Saw. yang lebih sahih sebagaimana berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ
رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ
فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ
هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ
(HR. Bukhari/ No. 3271).
Artinya:
“Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah
bercerita kepada kami Isma’il bin Ja’far dari ‘Abdullah bin Dinar dari Abu
Shalih dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: “Perumpamaanku dan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang
yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali
ada satu labinah (tempat lubang batu bata yang tertinggal belum diselesaikan)
yang berada di dinding samping rumah tersebut, lalu manusia mengelilinginya dan
mereka terkagum-kagum sambil berkata; “Duh seandainya ada orang yang meletakkan
labinah (batu bata) di tempatnya ini”. Beliau bersabda: “Maka akulah labinah
itu dan aku adalah penutup para nabi”. (HR. Bukhari/ No. 3271).
Contoh Hadis yang bertentangan dengan logika akal:
Artinya: “Barangsiapa yang berkata suatu perkataan, kemudian dia bersin,
maka perkataannya itu adalah benar.” (Hadis Maudhu’).
Hadis ini palsu
karena hal tersebut bertentangan dengan logika manusia. Karena tidak mustahil
orang yang bersin itu selalu jujur. Oleh karena
itu bersin tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk bahwa orang tersebut
jujur. Sebab bisa saja orang pura-pura bersin.
Selanjutnya pada
masa khalifah Ali, perjalanan sejarah hadis semakin digoyah oleh berbagai kasus
manipulasi. Antara lain disebabkan peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman ibn ‘Affan
pada tahun 35 H., serta peperangan Ali dan Muawiyah yang kemudian berakibat
pada perpecahan kaum muslim. Oleh karena hal
tersebut maka pola tradisional penelitian
hadis yang dikenal selama ini mengalami banyak cobaan
disebabkan munculnya berbagai hadis palsu
yang mereka ungkapkan untuk tujuan atau kepentingan politik atau kepentingan
membela golongan.[11]
Namun walaupun perpecahan umat
Islam memberikan dampak negatif bagi
persatuan kaum muslimin tetapi
ternyata peristiwa tersebut juga memiliki implikasi positif bagi pengembangan struktur
ilmiah metode kritik hadis. Bahkan menurut Umi Sumbulah, momentum tersebut
merupakan tonggak sejarah bagi pengembangan sistem kerja penelitian hadis, karena hal tersebut telah memberikan motivasi positif
kepada para ahli hadis agar lebih efektif mengkaji kriteria-kriteria hadis yang
sahih ditinjau dari kondisi sanad dan matan hadisnya.[12]
3.
Penelitian Hadis Era Tabi’in dan Atba al-Tabi’in Hingga
Kodifikasi Hadis (Abad II-III).
Sebagaimana
penulis, sebutkan di atas bahwa konflik sosial politik yang memicu perpecahan
umat muslimin telah mengancam kemurnian dan keaslian hadis. Sebab pada masa ini
telah terdapat para pemalsu hadis yang dengan sengaja memanipulasi hadis dengan
alasan-alasan yang bersifat personal atau kepentingan golongan, seperti
ungkapan Usman Sya’rani bahwa pada masa ini telah muncul hadis palsu tentang
kelebihan empat khalifah, kelebihan ketua-ketua kelompok, kelebihan
ketua-ketua partai, memuliakan dan mencaci kelompok-kelompok agama tertentu.
Disamping pemalsu hadis tersebut dilakukan oleh orang Islam, Orang-orang non
muslim juga melakukan pemalsuan hadis karena keinginan untuk meruntuhkan Islam.[13]
Munculnya pemalsuan
hadis kemudian menuntut para ulama yang hidup pada masa tabi’in dan
sesudahnya untuk lebih bersikap ekstra ketat dalam melakukan penelitian hadis.
Hal tersebut antara lain dapat dibuktikan dengan semakin ramainya aktivitas
perjalanan ilmiah ke berbagai pelosok daerah yang bermaksud mempelajari hadis
Rasulullah Saw.
Pada masa tabi’in
ini, para ulama semakin aktif dalam merumuskan rambu-rambu yang dijadikan
sebagai standar kesahihan hadis, Hal tersebut terbukti dari lahirnya
pemikiran-pemikiran tokoh kritik hadis yang terkenal dalam memelihara kemurnian
dan keaslian hadis.[14]
Adapun rambu-rambu
yang mengindikasikan adanya aktivitas kritik hadis pada abad ke
II dan ke III antara lain adalah sebagaimana ungkapan
Malik dalam kutipan Umi Sumbulah berikut:
a.
Tidak
meriwayatkan hadis dari orang yang selalu memperturutkan ambisi pribadinya
(hawa nafsu).
b.
Tidak
meriwayatkan hadis dari orang yang bodoh, yang dengan kebodohonnya itu ia
kemudian membuat kebohongan atas nama Rasulullah.
c.
Tidak
meriwayatkan hadis dari seseorang yang sebenarnya baik amal ibadahnya, namun
hadis yang diriwayatkannya itu tidak dikenal (umum).[15]
Kritik hadits pada masa tabi’in dan
setelahnya (abad ke-II dan ke-III) telah mencakup kepada penelitian sanad dan matan hadis.
Kegiatan penelitian tersebut telah menjalar
ke seluruh pelosok
negeri Islam seperti: Makkah, Yaman, Irak, Mesir, Syam, Khurasan, Bukhara,
Merv, Kufah, Naisabur dan sebagainya.[16]
Selanjutnya berkat
kegiatan kritik hadis tersebut bermunculan-lah
di berbagai negeri ini para peneliti hadis sepanjang masa. Mereka
senantiasa mengorbankan waktu hanya untuk membersihkan hadis-hadis dari
kepalsuan, kelemahan dan cacat lainnya. Setelah abad ketiga berakhir, aktifitas
penelitian hadits ini mulai terlihat lebih metodologis dan sistematis yang
ditandai dengan lahirnya karya-karya besar ulama mengenai hadits ditinjau dari
segala aspeknya. Sehingga sampai saat ini karya-karya fenomenal itulah yang
menjadi referensi utama dalam menilai sebuah hadits.[17]
Selanjutnya dilihat
dari sisi sejarah pembukuan sistem penelitian hadis, pada awalnya metode
penelitian hadis tersebut hanya ditulis
di pinggiran buku-buku hadits seperti terdapat pada kitab Musnad, Jawami’, Sunan
dan lainnya. Ulama yang mencoba memberikan komentar atau kritik terhadap
beberapa hadits, hanya meletakkan komentarnya di bagian akhir atau
catatan kaki dalam berbagai buku induk hadis. [18]
Kemudian cara yang pertama ini dirasakan kurang efektif dan tidak cukup luas
untuk mengupas kelemahan dan cacat yang terdapat dalam hadis, sehingga para
ulama hadits kemudian berinisiatif menuliskan komentar-komentar
mereka dalam satu kitab tersendiri, yang
memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh masing-masing perawi agar penilaan atas
hadits benar-benar objektif. Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Imam
Ahmad dalam karyanya: Kitabul ‘Ilal fi Ma’rifatil Rijal, atau Musnad
al-Mu’allal karya Ya‘qub bin Syaibah.[19]
Pada tahap selanjutnya,
penulisan kitab rujukan kritik hadits menjadi lebih sistematis lagi setelah
dilakukannya pengkajian yang terpisah antara penelitian sanad dengan
penelitian matan hadis. Hal ini
digagas oleh pakar peneliti hadits seperti Ibnu Abi Hatim dalam bukunya:
al-Jarh wa Ta’dil dan’Ilal yang begitu
detail dalam melacak keabsahan hadits dari aspek matan dan perawinya.[20]
c.
Urgensi kritik hadis
Kritik
hadits penting dilakukan berdasarkan pertimbangan teologis, historis-dokumenter,
praktis, dan pertimbangan teknis. Sebagai salah satu sumber ajaran Islam,
hadits menempati posisi sentral dan sekitarnya hadits Nabi hanya sebagai
sejarah tentang kehidupan Nabi, niscaya perhatian para ahli terhadap
periwayatan hadits berdasarkan dengan yang telah berlangsung dewasa ini.
Meskipun
fakta historis menunjukan munculnya gerakan inkar
al-sunnah yang pada zaman al-Syafi’i (w. 204 H/820 M) sudah ada dan ia
dengan gigih berusaha mematahkan argumentasi mereka sehingga mendapatkan
julukan sebagai pembela hadits dan pembela sunnah. Di samping itu juga, Nabi
melarang kepada sahabatnya untuk menulis hadits dikarenakan khawatir akan
tercampur dengan ayat al-Qur’an dan pada kesempatan lain ia membolehkannya.
Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan
seandainya Nabi tidak pernah melarangpun tidak mungkin hadits dapat ditulis.
Karena menurut M. Syuhudi
Ismail Nabi melarang mencatat hadist pada waktu itu karena:
1.
Hadits
disampaikan tidak selalu dihadapan sahabat yang pandai menulis hadits
2.
Perhatian
Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada al-Qur’an
3.
Meskipun
Nabi mempunyai beberapas sekretaris tetapi mereka hanya diberi tugas menulis
wahyu yang turun dan surat-surat Nabi
4.
Sangat sulit
seluruh pertanyaan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal orang yang masih hidup
dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan peralatan yang sangat
sederhana.[21]
Secara
praktis, argumen yang mendasari pentingnya penelitian hadis ini dapat ditinjau dari dua
sisi utama, yaitu: pertama, terkait dengan posisi hadis sebagai sumber
hukum Islam setelah al-Quran. Kedua, terkait dengan historisitas hadis
yang mengalami banyak ancaman.[22] Dari dua sisi tersebut kemudian para muhadditsin
mengemukakan beberapa alasan yang mendasari pentingnya melakukan kritik hadis.
Pada tabel di bawah
ini, penulis akan memetakan beberapa urgensi kritik hadis ditinjau dari sisi
perjalanan sejarah kritik hadis, yaitu sebagai berikut:
No.
|
Periode
|
Urgensi Kritik Hadis
|
1.
|
Masa
Hidup Nabi Saw.
|
1.
Memberikan
perhatian khusus kepada sumber agama Islam.
2.
Mengokohkan
hati sahabat dalam mengamalkan ajaran Islam.
|
2.
|
Masa
Sahabat-Abad 1
Hijriyah
|
3.
Tidak
seluruh hadis tertulis pada masa Nabi Saw.
4.
Kedudukan
hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam mengharuskan sahabat untuk
bersikap hati-hati dalam menerimanya.
5.
Terjadi
proses transformasi hadis secara makna.
6.
Terjadi
pemalsuan hadis.[23]
|
3.
|
Abad
2-14 Hijriyah
|
7.
Penghimpunan
hadis secara resmi terjadi setelah berkembangnya pemalsuan hadis.
8.
Terkadang
kitab-kitab hadis hanya menghimpunn hadis, maka hal ini perlu diteliti lebih
lanjut.
9.
Muncul
redaksi hadis yang bertentangan. [24]
|
4.
|
Abad
15-Sekarang
|
10.
Memelihara
khazanah keilmuan Islam.
11.
Meminimalisir
perbedaan pendapat dalam kawasan produk hukum syari’at.
12.
Mendeteksi
hadis dha’if dalam kitab-kitab Islam yang terkadang dijadikannya
sebagai dalil tuntunan amal ibadah.
13.
Mengembangkan
metodologi penelitian hadis ke arah yang lebih baik agar umat muslim dapat
menghadapi tuduhan orientalis terhadap otentisitas hadis secara adil.
14.
Membangun
sikap kehati-hatian dalam memakai hadis yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan sebagai landasan ibadah sehari-hari atau bahkan sebagai landasan
dalam menetapkan suatu hukum.
|
d.
Cakupan
Adapun kawasan
kritik hadis adalah meliputi penelitian sanad dan matan hadis,
sebab kualitas kedua hal tersebut menjadi tolak ukur sahih atau tidaknya
sebuah hadis.
Sanad menurut bahasa berarti sandaran atau pegangan (al-mu’tamad).
Sementara pengertian sanad menurut istilah
ilmu hadis adalah jajaran orang-orang orang-orang yang membawa hadis dari
Rasul, Sahabat, Tabi’in, Tabi’ At-Tabi’in, dan seterusnya sampai kepada
orang yang membukukan hadis tersebut.[25]
Sebagian orang terkadang keliru
dalam menyebutkan urutaan sanad dan rawi-nya (periwayat).
Oleh karena itu, penulis merasa penting menjelaskan perbedaan urutan sanad
dan rawi pada tabel berikut:
No. Urut
|
Sanad
|
Rawi (Periwayat)
|
1.
|
البخاري
|
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
|
2.
|
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ
الْجُعْفِيُّ
|
أَبِي صَالِحٍ
|
3.
|
أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ
|
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ
|
4.
|
سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ
|
سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ
|
5.
|
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ
|
أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ
|
6.
|
أَبِي صَالِحٍ
|
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ
الْجُعْفِيُّ
|
7.
|
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
|
البخاري
|
Pada tabel di atas
dapat dilihat bahwa tingkatan periwayat hadis dengan tingkatan sanad hadis
adalah bertolak belakang. Karena orang yang menjadi sanad pertama dalam
hadis tersebut adalah disebut sebagai periwayat terakhir. Misalnya pada riwayat
hadis di atas sebagaimana telah diuraikan pada tabel bahwa Al-Bukhari adalah sanad
pertama atau periwayat terakhir.
Di samping kata sanad,
ada kata lain yang maknanya berdekatan dengan sanad, yaitu
kata isnad dan musnad. Menurut Al-Thibi
sebagaimana dikutip oleh Usman Sya’roni, kata isnad mempunyai arti yang
sama dengan sanad. Tetapi Usman Sya’roni kemudian menunjukkan perbedaan
di antara
keduanya, yaitu isnad lebih menunjukkan kepada proses periwayatan hadis,
sedangkan sanad ialah susunan orang-orang yang berurutan meriwayatkan
sebuah materi hadis.[26]
Sementara arti musnad ada
empat, yaitu: Pertama, hadis yang disandarkan kepada orang yang
meriwayatkannya. Kedua, nama kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan
sistem penyusunannya berdasarkan nama-nama sahabat, seperti kitab musnad
Ahmad bin Hambal. Ketiga, kumpulan hadis yang diriwayatkan dengan
menyebutkan sanad-sanadnya secara lengkap, seperti kitab musnad
al-Syihab dan musnad al-firdaus. Keempat, nama bagi hadis marfu’
(disandarkan kepada nabi) yang sanad-nya muttasil
(bersambung).[27]
Selanjutnya, pengertian matan (al-matn)
dari sisi bahasa adalah tanah yang meninggi, ada pula yang mengartikan matan
dengan kekerasan, kekuatan dan kesangatan.[28] Dengan
demikian, pengertian matan dari sisi bahasa adalah menunjukkan nama bagi segala
sesuatu yang sifatnya keras, kuat, dan menjadi bagian inti.
Dengan demikian
maka yang dimaksud dengan matan al-hadits adalah materi/berita/pembicaraan
yang diperoleh sanad terakhir, baik isi pembicaraan itu tentang
perbuatan Nabi Saw, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi
Muhammad Saw.
Contoh hadis:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ
صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ,
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِينَ (رواه البخاري:14).
Artinya:
“Telah
menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada
kami Ibnu ‘Ulayyah dari Abdul ‘Aziz bin Shuhaib dari Anas dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam Dan telah menceritakan pula kepada kami Adam berkata, telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qotadah dari Anas berkata, Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah beriman seorang dari kalian
hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan dari manusia
seluruhnya” (HR. Bukhari: 14).
Pada hadis di atas, sanad
pertamanya adalah Ya’qub bin Ibrahim dan sanad terakhirnya adalah Anas.
Maka adapun materi berita yang disampaikan Anas adalah disebut sebagai matan
hadis, yaitu kalimat:
“قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ”
Selanjutnya, adapun
unsur-unsur yang menjadi perhatian kritikus hadis dalam sanad dan
matan hadis dapat diketahui melalui beberapa aspek yang menjadi syarat
kesahihan hadis menurut mereka, karena tujuan utama kritik hadis adalah untuk
membedakan antara hadis yang sahih dengan yang tidak sahih.
Abu ‘Amr Usman bin
Abdirrahman bin as-Salah asy-Syahrazuri yang biasa disebut Ibnu As-Salah (w.
577 H/1245 M) telah merumuskan syarat kesahihan hadis sebagai berikut :
اماالحديث الصحيح فهو
الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط إلى منتهاه ولايكون شاذا ولا
معللا.
Artinya:
“Hadits
Shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi SAW),
diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir
sanad (di dalam hadits itu) dan tidak terdapat kejanggalan (Syudzudz)
dan cacat (‘illat).”[29]
Berdasarkan rumusan
tersebut, maka dapat dikeluarkan beberapa indikasi yang menjadi kawasan
penelitian hadis, yaitu untuk sanad hadis maka hal-hal yang perlu
diteliti adalah: a) kualitas personal sanad hadis yang mencakup kualitas
kesalehan sanad (keadilannya) dan kapasitas tingkat intelektualnya (kedhabitannya),
b) ketersambungan seluruh sanad hadis, dan c) terhindarnya sanad dan
matan hadis dari sifat sudzudz dan illat.
2.
Tokoh-tokoh
kritikus hadis
Perjalanan sejarah
perkembangan kritik hadis telah diuji oleh berbagai cobaan dari internal dan
eksternal umat Islam. Namun berbagai peristiwa yang mencoba menguji otentisitas
dan orisinalitas hadis tersebut malah menyadarkan kaum muslimin untuk menetapkan rambu-rambu,
standarisasi dan metode penelitian hadis. Dari hasil kajian tersebut maka terlahirlah para
kritikus hadis yang populer di masanya, yang antara lain adalah sebagai berikut:
a.
Kritikus Hadis Pada Masa
Sahabat (abad 1 H)
Adapun para kritikus hadis yang dapat disebutkan di masa
sahabat di antaranya adalah sebagai berikut:
Abu Bakar as-Siddiq
(w. 13 H=634 M), Umar bin Khattab (w. 234 H=644 M) Ali bin Abi Thalib (w. 40
H=661 M), Abdullah Ibn Hushain (w. 52 H), ‘Imran ibn Hushain (w. 52 H), Abu
Hurairah (59 H), Abdullah ibn Amar ibn al-‘Ash (w. 65 H), Abdullah ibn ‘Umar
(w. 83 H), Abu Sa’id al-Khudzri (w. 79 H), dan Anas ibn Malik (w. 92 H).[30]
b.
Kritikus Hadis Pada Masa Tabi’in
(Abad 2 H.)
Adapun tokoh
penelitian hadis pada masa tabi’in (abad
II) dan pusat aktivitas mereka adalah sebagai berikut:
a.
Kufah dengan tokohnya Sufyan al-Thauri (97-161 H), Walid ibn al-Jarrah
(wafat 196 H).
b.
Madinah dengan tokohnya Malik ibn Anas (93-179 H).
c.
Beirut dengan tokohnya al-Awza’i (88-158 H).
d.
Wasith dengan tokohnya Syu’bah (83-100 H).
e.
Basrah dengan tokohnya Hammad ibn Salamah (wafat 167 H), Hammad ibn Zaid (wafat
179 H), Yahya ibn ibn Sa’id al-Qaththan (wafat 198 H) dan Abd al-Rahman ibn
Mahdi (wafat 198 H).
f.
Mesir dengan tokohnya al-Laits ibn Sa’d (wafat 175 H) dan al-Syafi’i (wafat
204 H).
g.
Makkah dengan tokohnya Ibn ‘Uyainah (107-198 H).
c.
Kritikus Hadis Pada Abad Ke 3
H.
Tokoh-tokoh
kritikus hadis yang telah disebutkan pada abad ke II kemudian melahirkan tokoh-tokoh peneliti penerus mereka
di abad ke III H., di antaranya adalah:
a.
Baghdad dengan tokohnya Yahya ibn Ma’in (wafat 233 H), Ibn Hambal (wafat 241 H) dan Zuhair ibn Harb (wafat 234 H)
b.
Basrah dengan tokkohnya Ali ibn al-Madini (wafat 234 H) dan Ubaid Allah ibn
Umar (Wafat 235 H).
c.
Wasith dengan tokohnya Abu Bakr ibn Abi Syaibah (wafat 235 H).
Dari tokoh-tokoh
kritik hadis abad ketiga ini kemudian melahirkan ilmuwan-ilmuwan hadis
sekaliber seperti:
1. Malik bin Anas (97-179 H), nama lengkapnya adalah Abu
‘Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir al-Asbahiy al-Himyari
al-Madaniy.
2. Asy-Syafi’i (150-204 H), nama
lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah
Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Syafi’i
bin as-Saibbin’Ubaid bin ‘Abdu Yaziz bin Hasyim bin ‘Abdul Mutholib bin ‘Abdul Manaf
al-Muttolib al-Qurisyiy.
3. Ahmad bin Hanbal (164-241H) nama
lengkapnya Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin As’ad Asy-Syaibani
al-Marwaziy dari Maru.
4. Ad-Darimi (181-255 H) nama lengkapnya
adalah Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdur Rohman bin Fadl bin Bahrum at-Tamimiy
ad-Darimi.
5. Al-Bukhori (194-256H), nama lengkapnya, Abu
‘Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mugiroh al-Ja’fi, kakeknya
Majusi.
6. Muslim (206-261H), nama
lengkapnya adalah Abul
Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi.
7. Abu Daud (202-275 H), nama lengkapnya
adalah Abu Daud Sulaiman bin Asy’ast bin Syidad bin ‘Amar bin ‘Amir Assijistani
8. Ibn Majah (209-273 H), nama lengkapnya
adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Robi’i al-Qozwani.
9. Abu Hatim Ar Rozi (195-227 H), nama
lengkap Abu Hatim Ar-Razi adalah Muhammad bin Idris Al-Mundzir bin Dawud bin
Mahran Al-Hanzhali Al-Hafizh.
10. At-Tirmidzi (209-279 H) nama lengkapnya
adalah Abu ‘Isa Muhammad bin Sauroh bin Musa bin Dohhar bin Sulami al Bugi
at-Tirmidzi
11. An-Nasa’i (214-303 H) nama
lengkapnya adalah Abu ‘Abdur Rohman Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Bakar bin
Sinan an-Nasai.[33]
d.
Kritikus Hadis Pada Abad Ke 4-7 H.
Tokoh-tokoh kritikus hadis yang terdapat pada abad ke 4, 5, 6, 7 adalah
sebagai berikut:
a.
At-Tobroni
(260-360 H), lahir di Syam, wafat di Hamamah ad-Dausi.
b.
Al-
Hakim (321-405 H), lahir di Naisabur pindah ke Iroq
c.
Ibn
Khuzaimah (223-313 H), lahir di Khurosan
d.
Ibn
Hibban (w.
354), dia orang Samarqand.
e.
Ad-Daruqutni
(306-385 H), dia orang Bagdad
f.
At-Tohawi
(238-321 H),
dia orang Mesir
g.
Al-
Baihaqi (w. 458 H), wafat di Naisabur, belajar hadis ke Iroq dan Hijaj.
h.
An-Nawawi
(631-676 H), lahir
di Nawa, beliau pensyarah hadis seperti kitab riyadus solihin.
i.
Al-Imam
Adz-Dzahabi (673-748 H), Nama lengkap Al-Imam Adz-Dzahabi adalah
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah at-Turkimani
al-Fariqi, Ad-Dimasyqi
Asy-Syafi’i,
Syamsuddin Abu Abdillah Adz-Dzahabi.[34]
e.
Kritikus Hadis Pada Abad Ke 14 H.
a. Ahmad
Amin (1304-1373 H), lahir dan wafat di Kairo, Mesir. Nama lengkapnya adalah
Ahmad Amin bin al-Syikh Ibrahim al-Thabbakh. [35]
Karya beliau di antaranya adalah Fajr al-Islam; di antara isi karya ini
telah ditanggapi oleh Mushthafa al-Siba’i dalam sebagian isi kitab al-Sunnahnya.[36]
b. Mushthafa
al-Siba’i (1333-1385 H), Lahir Homs, Syria. Nama lengkapnya ialah Mushthafa bin
Husni Abu Hasan al-Siba’i.[37]
Karya beliau di antaranya adalah al-Sunnah wa Makanatuha fa al-Tasyri’
al-Islami, sebagai karya fundamentalnya yang telah cukup dikenal di
kalangan Muslim Indonesia. Pada tahun 1993, karya ini telah diterjemahkan oleh
Dja’far Abd. Muchith dan diterbitkan CV. Diponegoro di bawah judul al-Hadits
sebagai Sumber Hukum; kemudian dalam bentuk terjemah ringkas, karya ini
juga telah diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sunnah
dan Penerapannya dalam Penetapan Hukum Islam Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, dan
sekaligus diberi pengantar, oleh Nurcholish Madjid.[38]
Adapun mengenai profil, kapasitas intelektual,
guru dan murid, kelompok sosial, dan
karya-karya para tokoh kritikus hadis ini dapat ditelusuri pada kitab yang
mengkaji kritikus hadis seperti kitab tahzib al-kamal.
3.
Indikasi mayor dan
minor sanad hadis shahih
Ulama hadis telah sepakat bahwa dua
hal yang harus diteliti pada diri periwayat hadis adalah keadilan dan kedhabitannya.
Keadilan adalah sesuatu yang berhubungan dengan kualitas pribadinya, sedangkan
kedhabitannya
adalah hal-hal yang berhubungan dengan kapasitas intelektualnya. Apabila kedua
hal itu (adil dan dhabit)
dimiliki oleh periwayat hadis, maka periwayat hadis tersebut dinyatakan
periwayat yang tsiqah.
a.
Meneliti
Keadilan Perawi
Kata adil dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
berarti “tidak berat sebelah (tidak memihak) atau “sepatutnya; tidak
sewenang-wenang”.[39]
Sementara pengertian adil yang dimaksud dalam ilmu hadits masih terjadi
perbedaan pendapat diantara ulama hadis. Sebagaimana Syuhudi Ismail menyebutkan
dalam kutipan Umi Sumbulah bahwa para ulama telah berselisih pendapat mengenai
defenisi adil. Namun dari berbagai perbedaan pendapat itu dapat
dihimpunkan bahwa kriteria sifat adil pada umumnya adalah 4 hal berikut: [40]
1)
Beragama
Islam
Dengan demikian seorang periwayat hadis ketika
mengajarkan/ menyampaikan
hadis tersebut sudah dalam keadaan Islam. Berbeda dengan kondisi orang yang
menerima hadis tidak disyaratkan beragama Islam.
2)
Mukallaf
Seorang perawi hadis juga harus mukallaf, karena
persyaratan ini sudah jelas tertera didalam hadis Nabi bahwa orang gila, orang
lupa, dan anak-anak terlepas dari tanggung jawab.[41]
Tetapi dalam kondisi menerima hadis, para ulama jumhur menyetujui hadis
seseorang yang ketika menerimanya (tahammul) ia masih anak-anak yang
telah mumayyiz (umur ±5 tahun), dengan syarat bahwa ketika ia
meriwayatkan hadis tersebut ia telah dewasa.
3)
Melaksanakan
ketentuan agama (tidak berbuat fasik)
Dengan demikian seorang periwayat harus orang yang
taat melaksanakan ketentuan syari’at Islam.
4)
memelihara
moralitas (muru’ah)
Muru’ah merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Muru’ah adalah: tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertaqwa,
menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa kecil,
terlebih-lebih berdusta, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang
menodai muru’ah.[42]
Dengan demikian, maka para ahli hadis sepakat bahwa
kriteria muslim dan dewasa adalah khusus bagi orang yang menyampaikan riwayat
hadis, dan tidak mensyaratkan keduanya saat ketika seseorang menerima hadis.
Contoh hadis yang diterima dari Jubair, padahal
Jubair masih non muslim saat menerima hadis tersebut:
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ وَذَلِكَ أَوَّلَ مَا
وَقَرَ الْإِيمَانُ فِي قَلْبِي (رواه البخاري: 3719).
Argumentasi pendapat ini adalah berangkat dari sikap
kehati-hatian ulama hadis akan terjadinya kehilangan hadis nabi, sebab sudah
menjadi sebuah fenomena bahwa nabi Saw. sendiri telah bergaul dengan anak-anak
dan orang kafir. Oleh karena demikian maka mungkin saja hadis yang mereka
dapatkan ketika mesih anak-anak atau kafir tidak terdapat dalam riwayat para
sahabat yang sudah dewasa atau yang sudah muslim.[43]
Dengan demikian maka para ulama sedikit memberikan kelonggaran bagi syarat
penerimaan hadis (tahammul) dan tetapi mereka memperketat syarat
periwayatannya (ada’).
Secara umum ulama telah mengemukakan cara penetapan
keadilan periwayat hadits yaitu berdasarkan:
1)
Popularitas
keutamaan periwayat dikalangan ulama hadits; periwayat yang terkenal keutamaan
(kesalehan) pribadinya, misalnya Malik bin Anas dan Sufyan Ats-Tsauri, tidak
lagi diragukan keadilannya.
2)
Penilaian
dari para kritikus (peneliti) periwayat hadits; penilaian ini berisi
pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadits.
3)
Penerapan
kaidah al-Jarh wa at-Ta’dil ; cara ini ditempuh bila para peneliti
(kritikus) periwayat hadits tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat
tertentu.[44]
Khusus mengenai perawi hadits pada tingkat sahabat,
jumhur ulama sunni mengatakan bahwa seluruh sahabat rasulullah adalah adil,
jadi tidak perlu diteliti lebih lanjut lagi. Sedangkan golongan Mu’tazilah
menganggap bahwa sahabat-sahabat yang terlibat dalam pembunuhan Ali dianggap
fasiq, dan periwayatannya ditolak.[45]
Jadi, untuk mengetahui adil atau tidaknya seorang
periwayat hadis haruslah diteliti terlebih dahulu kualitas pribadinya dengan
kesaksian para ulama, dalam hal ini adalah dapat dilakukan dengan merujuk
kepada kitab-kitab karya para tokoh peneliti hadis (disebut juga krtikus hadis)
yang secara khusus mengkaji perihal periwayat hadis. Misalnya kitab tahzib
al-kamal.
b.
Meneliti
Kapasitas Intelektual Periwayat (Dhabith)
Pengertian dhabit dari sisi bahasa berarti
kokoh, kuat, dan hafal dengan sempurna.[46]
Sementara dari sisi istilah pengertian dhabit masih dalam perselisihan
ulama. Namun perbedaan pendapat itu dapat dipertemukan dengan memberikan
rumusan berikut:
1)
Hafal
dengan sempurna hadis yang diterimanya.
2)
Mampu
menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya kepada orang lain.
3)
Mampu
memahami dengan baik hadis yang dihafalnya. [47]
Dalam rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur
pokok dhabit adalah terletak pada keistiqomahan dan konsitensi seorang
perawi menjaga kemurnian hadis mulai dari proses penerimaan hadis hingga sampai
penyebarannya, dan juga mampu memahami hadis tersebut dengan baik, karena hadis
tersebut tidak semuanya diriwayatkan secara lafdzi (redaksional), tetapi ada
juga dengan makna. Sehingga dengan demikian maka tidak terdapat kesalahan dan
penambahan atau pengurangan pada hadis yang diriwayatkannya.[48]
Adapun cara penetapan kedhabitan seorang
periwayat menurut pendapat Subhi al-Shalih adalah sebagai berikut :
1)
Kedhabitan
periwayat dapat diketahui berdasarkan persaksian para ulama. Dalam hal ini,
peneliti harus menelusurinya pada kitab-kitab yang menjelaskan kedhabithan
periwayat. Seperti kitab tahzibut –tahzib.
2)
Kedhabitan
periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat
yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal kedhabitannya.
Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat makna atau mungkin ke
tingkat harfiah. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari hadis lain (dengan
riwayat yang tsiqah) yang berkaitan dengan hadis yang bersangkutan. Dan
kemudian membandingkan kesesuaian teks hadisnya.
3)
Apabila seorang periwayat
sekali-sekali mengalami kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai
periwayat yang dhabit.
Tetapi apabila kesalahan itu sering
terjadi maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi sebagai periwayat yang dhabit.[49]
Karena kapasitas intelektual perawi berbeda-beda
sifatnya maka kualitas sifat dhabit seorang perawi pun diklasifikasi
kepada dua bagian, yaitu: [50]
a)
Dhabit sadri,
yakni terpeliharanya hadis yang diterimanya
dalam hafalan, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada
orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja
diperlukan dan dikehendaki, dan mampu meriwayatkannya dengan sempurna.
b)
Dhabit kitab
yaitu terpeliharanya periwayatan melalui tulisan yang dimilikinya dengan
mengingat betul hadis yang ditulis, menjaga dengan baik dan meriwayatkannya
kepada orang lain dengan benar.
2.
Meneliti
Persambungan Sanad (ke-muttasil-an)
Adapun yang dimaksud dengan sanad yang
bersambung adalah bahwa tiap-tiap
periwayat dalam sanad hadits berjalinan erat dalam menerima riwayat
hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian
sampai akhir sanad hadits itu.[51]
Tidak semua peneliti hadis melakukan penelitian
terhadap perihal persambungan sanad. Sebab sebahagian mereka berpikiran
bahwa keadilan dan kedhabitan sanad hadis cukup untuk
menunjukkan bersambungnya sanad hadis. Dengan demikian mereka hanya
memperketat penelitian perihal keadilan
dan kedhabitan sanad hadis saja. Di antara tokoh yang
berpendapat demikian adalah Sekh Muhammad Al-Ghazali.[52]
Adapun kriteria persambungan sanad di
kalangan ahli hadits terjadi perbedaan pendapat yaitu sebagai berikut:
a.
Imam
al-Bukhari mengklaim bersambungnya sanad apabila memenuhi dua kriteria,
yaitu:
1)
Al-Liqa’,
yakni adanya pertautan langsung antara
satu perawi dengan perawi berikutnya, yang ditandai adanya suatu pertemuan
langsung antara murid yang memperoleh hadis dari gurunya.
2)
Al-Mu’asharah,
yakni apabila terjadi persamaan masa
hidup antara seorang guru dengan muridnya.[53]
b.
Sementara
Imam Muslim memberikan kriteria yang sedikit lebih longgar, menurutnya sebuah
hadis telah dikatakan bersambung sanadnya apabila antara satu
perawi dengan perawi berikutnya sampai seterusnya ada kemungkinan bertemu
karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama, dan tempat tinggal mereka
tidaklah terlalu jauh bila diukur dengan kondisi saat itu.[54]
Dengan demikian Imam muslim tidak mensyaratkan liqa’ sebagai salah satu
syarat dari bersambungnya sanad.
Jika dilihat perbedaan yang dipatok oleh Bukhari dan
Muslim sebagaimana di atas, dapat dikatakan bahwa kriteria al-Bukhari yang layak menduduki peringkat pertama. Oleh
karena demikian, maka dengan mengacu
kepada kriteria kebersambungan sanad inilah salah satu yang membuat posisi
al-Bukhori menduduki peringkat pertama di bandingkan dengan kitab hadist karya
Muslim maupun kitab-kitab hadist lainnya, bahkan jumhur ulama juga sepakat
menjadikan sahih al-Bukhari sebagai
hadis paling utama.[55]
Di samping al-liqa’ dan al-mu‘asharah sebagai
kajian penelitian hadis yang berkenaan dengan bersambungnya sanad,
lambang-lambang atau kata-kata yang dipilih sebagai metode periwayatan juga
menjadi objek perhatian para peneliti hadis.
Dalam kitab ilmu hadits ada 8 macam cara-cara
periwayatan yaitu: as-sima’, al-qira’ah, al-Ijazah, al-munawalah, al-mukatabah,
al I’lam, al-wasiyyah dan al-wijadah. Kedelapan metode periwayatan
tersebut memiliki lambang-lambang yang menunjukkan perbedaan dalam tingkat akurasi
persambungan sanad hadis tersebut.[56]
Tingkat akurasi tertinggi dalam metode periwayatan
hadis menurut jumhur ulama adalah metode al-sima’ dan al-qira’ah.
Lambang-lambang yang di disepakati penggunaannya dalam periwayatan hadis dengan
metode al-sima adalah:
1) اخبرني dan
اخبرنا. Artinya seseorang telah memberitakan kepadaku/ kami.
2) حدثني dan
حدثنا. Artinya seseorang telah bercerita
kepadaku/kami.
3) سمعت dan سمعنا . Artinya saya mendengar dan kami
mendengar.
Sedangkan lambang-lambang yang
tidak disepakati dalam periwayatan hadis dengan menggunakan metode al-sima’ adalah: qala lana (قال لنا) dan
dzakara lana (ذكر لنا).[57]
Selanjutnya lambang-lambang yang
disepakati penggunaannya dalam periwayatan hadis dengan metode al-qira’ah
adalah:
1) قرأت عليه (qara’tu
‘alaihi)
2) قرأت عليه (quri’at
‘alahi)
3) حدثنا عليه (haddatsana
‘alaihi)
4) اخبرنا عليه (akhbarana
‘alaihi)
5) قرأت عليه (qara’tu
‘alaihi)
Sedangkan lambang-lambang yang
tidak disepakati penggunaannya dalam metode al-qira’ah
adalah: sami’tu, haddatsana, akhbarana, qala lana dan dzakara lana.[58]
Adapun langkah-langkah operasional
untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis, biasanya
ulama hadis menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a.
Mencatat
nama semua periwayat dalam sanad yang diteliti.
b.
Mempelajari
sejarah hidup masing-masing periwayat untuk mengetahui kesesuaian zaman atau
hubungan guru-murid dalam periwayatan hadits tersebut.
c.
Meneliti
kata-kata atau lambang-lambang yang menghubungkan antara suatu periwayat dengan
periwayat yang terdekatnya dalam sanad sehingga diketahui cara
periwayatannya apakah metode al-sima’ atau al-qira’ah atau
yang lainnya. Hal tersebut dapat diketahui dengan melihat lambang-lambangnya
apakah ia memakai kataسمعت, سمعنا, حدثني
حدثنا atau yang lainnya.[59]
3.
Meneliti
Keselamatan Sanad dari Syadz
Mahmud Thahan dalam kitab ‘Taisir Mushthalah
al-Hadits” memberikan defenisi Syudzuz sebagai berikut:
الشذوذ
هو مخالفة الثقة لمن هو أوثق منه
Artinya:
“Syudzudz ialah
berbeda dengan hadits yang tsiqāt atau berbeda dengan yang lebih tsiqāt
daripadanya.”[60]
Pengertian Sadz telah dalam suatu hadis telah
mengalami perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Namun dalam konteks ini, Imam Syafi’i (w. 204 H. / 820 M.) telah
merumuskan syadz sebagai hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah,
tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak
perawi yang tsiqah juga. Pendapat ini yang banyak diikuti oleh ulama
hadits sampai saat ini.
Metode penelitian untuk mengetahui keadaan sanad
yang terhindar dari syadz suatu hadis dapat diterapkan dengan cara
berikut:
1) Semua sanad yang memiliki matan
hadis yang pokok masalahnya sama dikumpulkan menjadi satu dan kemudian
dibandingkan.
2) Para perawi dalam setiap sanad diteliti
kualitasnya.
3) Apabila dari seluruh dari perawi tsiqah
ternyata ada seorang perawi yang sanadnya menyalahi sanad-sanad yang
lain, maka itulah dimaksudkan sebagai hadis syadz.[61]
4.
Meneliti
Keselamatan Sanad Hadis Dari ‘Illat
Mahmud Thahan mendefenisikan ‘illat menurut
istilah adalah sebagai berikut :
العلة
سبب غامض خفي يقدح فى صحة الحديث مع أن الظاهر السلامة منها.
Artinya:
“’Illat ialah
sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadits. Keberadaannya menyebabkan
hadits yang pada lahirnya tampak berkualitas shahih menjadi tidak shahih.”[62]
Menurut Yusuf dalam kutipan Umi Sumbulah, kriteria illat
dalam sebuah sanad hadis dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.
Sanad yang
tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mauquf.
2.
Sanad yang
tampak muttashil dan marfu’ ternyata muttashil dan mursal.
3.
Terjadi percampuran
hadis dengan bagian hadis yang lain.
4.
Terjadi
kesalahan menyebutkan perawi, karena adanya rawi-rawi yang punya kemiripan
nama, sedangkan kualitasnya berbeda dan tidak semuanya tsiqah.[63]
Adapun cara meneliti ‘illat suatu sanad hadits
adalah dengan cara membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan
yang isinya semakna.
4.
Indikasi mayor dan
minor matan hadis shahih
Setelah selesai melakukan penelitian terhadap sanad
hadis, maka aktivitas selanjutnya adalah kritik/penelitian matan hadis.
Adapun unsur-unsur yang perlu diteliti pada matan hadis mengacu
kepada kaedah kesahihan matan hadis sebagai tolok ukurnya adalah
terhindar dari syadz dan ‘illah.[64]
Adapun kriteria syadz menurut Umi Sumbulah adalah; terdapat sisipan
ucapan perawi pada matan hadis, pembalikan teks hadis, dan kesalahan ejaan.[65]
Menurut jumhur ulama hadits, karakteristik matan
hadits yang memiliki syadz dan ‘illah adalah:
1)
Susunan
bahasanya rancu. Rasulullah SAW yang sangat fasih dalam berbahasa Arab dan
memiliki gaya bahasa yang khas mustahil menyabdakan pernyataan yang rancu
tersebut.
2) Kandungan pernyataannya bertentangan
dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterprestasikan secara rasional.
3)
Kandungan
pernyataannya
bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam, misalnya berisi ajakan untuk
berbuat maksiat.
4) Kandungan pernyataanya bertentangan
dengan sunnatullah (hukum alam).
5)
Kandungan
pernyataanya bertentangan dengan fakta sejarah yang mutawatir.
6)
Kandungan
pernyataanya bertentangan dengan petunjuk Al-Quran
ataupun hadits mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti.
Contohnya:
أنا
خاتم النبين لا نبي بعدي إلا أن يشاء الله
7)
Kandungan
pernyataanya berada di luar jalur kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran
Islam; misalnya amalan yang tidak seberapa tetapi diiming-iming dengan
balasan pahala yang sangat luar biasa.[66]
Dengan mengetahui karakteristik syadz
dan ‘illah pada matan hadis maka dapat disimpulkan bahwa matan hadis
yang sahih adalah matan hadis yang terhindar dari tujuh point di atas.
C. Kesimpulan
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa
kritik hadis adalah suatu upaya untuk menyeleksi kehadiran hadis, memberikan
penilaian dan membuktikan kemurnian dan keaslian sebuah hadis. Upaya ini juga
berarti mendudukkan hadis sebagai hal yang sangat penting sebagai sumber hukum
Islam kedua, itulah bukti kehati-hatian kita. Upaya ini juga sebagai upaya
untuk memahami hadis dengan tepat dalam mengamalkan isi dari hadis tersebut.
Munculnya kegiatan penelitian/koreksi terhadap hadis
sejak masa Rasulullah Saw. masih hidup adalah menjadi bukti sejarah bagi
terjaganya kemurnian dan keaslian hadis sampai masa sekarang ini. Namun untuk
mengantisipasi kepalsuan hadis atau ketidak murniannya akibat diriwayatkan oleh
orang yang rendah kapasitas intelektualnya, kurang kesalehannya (fasik), dan dipalsukan non Islam maka menjadi suatu
keharusan bagi kita untuk bersikap hati-hati dalam menerima hadis dengan
melakukan kritik atau penelitian terhadap kualitas sanad dan matan hadis
tersebut berdasarkan metode penelitian hadis yang tepat dan akurat.
Saran penutup dari penulis adalah seharusnya setiap
muslim (khususnya pendidik atau kaum intelektual) mengkritisi atau meneliti
hadis-hadis yang akan digunakannya sebagai hujjah. Sebab apabila kualitas hadis
yang digunakannya adalah lemah atau bahkan palsu maka hal tersebut akan
berimplikasi terhadap kebenaran hukum Islam yang dilahirkannya.
DAFTAR
RUJUKAN
al-Adlabi,
Salahuddin bin Ahmad. 1983.Manhaj Naqil Matn. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah.
al-‘Azhimi,
Muhammad Musthafa. 1990. Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa
tarikuhu. Riyad: Maktabat al-Kausar.
al-Khatib, Muhammad
‘Ajjaj. 1963. Ushul al-Hadits Ulumuhu wa mushthalahuhu. Beirut: Dar
al-Fikr.
al-Shalih,
Subhi. 1977. Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu. Beirut: Dar al-‘Ilm li
al-malayin.
Bustamin,
dkk. 2004. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Farid,
Ahmad. 2006. 60 Biografi Ulama Salaf,
Penerjemah: Masturi Irham & Asmu’i Taman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Isma’il,
Syuhudi. 1992. Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan
Bintang.
Isma’il,
Syuhudi. 1995. Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Sejarah. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Jumantoro,
Totok. 2002. Kamus Ilmu Hadist. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Poerwadarminta,
W.J.S. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Smeer,
Zeid B. 2008. Ulumul Hadis: Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang: UIN
Malang Press.
Soebahar,
Erfan. 2003. Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah. Jakarta: Prenada Media.
Sumbulah,
Umi. 2008. Kritik Hadis: Pendekatan Historis dan Metodologis. Malang: UIN
Malang Press.
Sumbulah,
Umi. 2008. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Malang Press.
Suparta,
Munzier. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sya’rani,
Usman. 2002. Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Wahid,
Ramli Abdul. 2005. Studi Ilmu Hadits.
Bandung: Cita Pustaka Media.
[1] Umi Sumbulah, Kritik Hadis:
Pendekatan Historis dan Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm.
32
[2] Ibid., hlm. 34
[3] Ibid., hlm. 94
[4] Ibid., hlm. 96
[5] Ibid., hlm. 97
[6] Ibid., hlm. 33
[7] Umi Sumbulah, Kajian Kritis
Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 183
[8] Ali Mustafa Yaqub, Kritik
Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 2
[9] Jalal al-Din Al-Syuyuti, Tadrib
al-Rawi ‘ala Taqrib al-Nawawi, (ttp.: Dar al-Kutub al-Haditsah, t.t.), juz II, hlm. 45
[10] Suryadi dan Muhammad Alfatih
Suryadilaga, Metodologi Penelitian hadis, (Yogyakarta: T-H Press, 2009),
hlm. 144-145
[11] Muhammad Musthafa Al-‘Azhimy, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun
wa tarikuhu, (Riyad: Maktabat al-Kausar, 1990), hlm. 8
[12] Umi Sumbulah, Kritik Hadis:
Pendekatan Historis Metodologis, Op. Cit., hlm. 34
[13] Usman Sya’rani, Otentisitas
Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002), hlm. viii
[14] Umi Sumbulah, Kritik Hadis:
Pendekatan Historis Metodologis, Op.Cit., hlm. 40-41
[15] Ibid., hlm. 43
[17] Muhammad Ali Qasim
al-Umri, Dirasat fi Manhaji An-Naqdi ‘Indal Muhadditsin, (Yordan:
Dar An-Nafais, 2000), hlm. 11
[18] Ibid., hlm. 17
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] M. Syuhudi
Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1995), hlm. 101-102
[22] Umi Sumbulah, Kajian Kritis
Ilmu Hadis, Op. Cit., hlm. 183
[23] Ibid.
[24] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits Ulumuhu wa mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1963),
hlm. 43.
[25] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, (Bandung: Cita
Pustaka Media, 2005), hlm. 23-27
[28] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu
Hadist, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), hlm. 121
[29] Usman Sya’rani, Otentisitas
Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Op. Cit., hlm. 19
[30] Umi Sumbulah, Kritik Hadis:
Pendekatan Historis dan Metodologis, Op. Cit., hlm. 40
[31] Muhammad Musthafa Al-‘Azhimi,
Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu, Op. Cit.,
hlm. 9
[32] Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis
Metodologis, Op. Cit., hlm. 42
[35] Erfan Soebahar, Menguak Fakta
Keabsahan Al-Sunnah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 80
[36] Ibid., hlm. 86
[37] Ibid., hlm. 16
[38] Ibid., hlm. 21
[39] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 16.
[40] Umi Sumbulah, Kajian
Kritik Hadis: Pendekatan Historis
Metodologis, Op. Cit. hlm. 63
[41] Ibid.
[42] Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm.
43.
[43] Umi Sumbulah, Kajian Kritis
Ilmu Hadis, Op. Cit., hlm. 116.
[44] Syuhudi Isma’il, Kaedah
Kesahehan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah¸(Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1995), hlm. 134
[45] Munzier Suparta, Ilmu Hadits,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 131-132
[46] Syuhudi Isma’il, Metodologi
Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 69
[47] Suryadi dan Muhammad Alfatih
Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, Op. Cit., hlm. 104
[48] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Op. Cit., hlm.
117
[49] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits Ulumuhu wa mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1963), hlm. 232.
[50] Usman sya’roni, Otentisitas
Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Op. Cit., hlm. 36
[51] Subhi al-Shalih, Ulum
al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-malayin, 1977), hlm.
145
[52] Bustamin, dkk, Metodologi Kritik Hadis, Op. Cit., hlm.
102
[53] Umi Sumbulah, Kajian Kritis
Ilmu Hadis, hlm. Op. Cit., 113-114
[54] Ibid., hlm. 114
[55] Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis
Metodologis, Op. Cit., hlm. 46
[56] Ibid., hlm. 67-76
[57] Ibid.,hlm. 68
[58] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Op. Cit., hlm. 70
[59] Syuhudi Isma’il, Metodologi
Penelitian Hadits Nabi, Op. Cit., hlm. 128
[60] Mahmud Thahan, Taisir
Mushthalahul hadits, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t), hlm. 30
[61] Umi Sumbulah, Kajian Kritis
Ilmu Hadis, Op.Cit., hlm. 185-186
[62] Mahmud Thahan, Taisir
Mushthalahul hadits, Op. Cit., hlm. 30
[63] Umi Sumbulah, Kajian Kritis
Ilmu Hadis, Op. Cit., hlm. 186
[64] Umi Sumbulah, Kritik Hadis,
Pendekatan Historis Metodologis, Op. Cit., hlm. 103
[66] Salahuddin bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj
Naqil Matn, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), hlm. 237 – 238
No comments:
Post a Comment