Mahasiswa PascaSarjana UIN Maliki Batu Jawa Timur
Juli, 2014
A. PENDAHULUAN
Wacana yang paling fundamental dalam
kajian hadis adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas metodologi
otentifikasi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai
sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an terletak pada keraguan mereka atas
keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis.
Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil
yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan
kemungkinan verifikasi ulang.[1]
Makalah ini tidak bermaksud
menggugat posisi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Hadis bukan hanya sebagai
sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi
yang sangat berharga untuk memahami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah
masa awal Islam.
Pertanyaannya adalah: apakah
sesungguhnya hadis itu. Benarkah hadis merupakan sumber hukum yang kedua yang
harus kita jadikan pijakan dalam segala aspek kehidupan kita, Apakah buku hadis
yang paling bergengsi seperti Sahih Bukhari dan Muslim, merupakan refleksi
sunnah Nabi. Apakah metodologi yang digunakan oleh Bukari dan Muslim dan para
mukharrij yang lain untuk menyeleksi hadis Nabi sudah cukup akurat sehingga
semua hadis yang terdapat didalamnya dianggap sahih sehingga kritik sejarah
tidak perlu lagi dilakukan, Bagaimana dengan akurasi metode kritik hadis
(ulumul hadis), dan seperti apa metode yang digunakan oleh beberapa sarjana
muslim dalam menguji keotentisitasan sebuah hadits itu sendiri.
Makalah ini mencoba mendiskusikan
secara terbuka persoalan tersebut diatas guna memperoleh pengetahuan baru yang
terkait dengan metode kesarjanaan muslim dalam menentukan keotentisitasan
sebuah hadits terutama pada metode otentisitas hadits Muhammad Nashiruddin
Al-Albani. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu sumbangan keilmuan yang bersifat mendukung penulisan makalah
ini sangat penulis harapkan.
B. PEMBAHASAN
1. Biografi
Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Muhammad Nashiruddin Al-Albani
dilahirkan di Ashkodera, ibukota Albania. Pada saat masih muda, beliau hijrah
ke Damkaskus Syiria, tempat beliau menyelesaikan sekolah dasarnya. Pada umur 20
tahun, dibawah pengaruh jurnal Al-Manar, Albani menyelesaikan
karya pertamanya tentang hadits, sebuah transkirpsi dan komentar atas karya
Al-Iraqi, Al-Mughni’an Haml Al-Asfar fi Takhrij Mafi
Al-Ihya’ min Al-Akhbar.[2]
Albani tidak menyelami hadits
dilingkungan sekolah formal. Beliau mendalaminya di dalam perpustakaan sendiri,
terutama di perpustakaan Zhahiriyyah[3]. Meskipun
demikian, pada tahun 1961 Albani diangkat menjadi profesor hadits di
Universitas Islam Madinah.[4]
Sebelum beliau wafat pada hari
Jum`at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan
tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania. Albani mengabdikan sebagian besar masa
hidupnya untuk meneliti secara mendalam hadits Nabi, meskipun konon tidak
menerima sebuah otorisasi (ijazah) hadits dari salah seorang sarjana terkenal,
Albani telah meneliti sejumlah kitab hadits, termasuk Sahih Bukhari, Muslim,
Sunan At Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah. Albani juga menulis 177
buku diantaranya: Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Mawadhu’ah wa
Atsaruha As-Sayyi fi Al-Ummah, At- Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu, Tahdzir
As-Sajid min Ittikhadz Al-Qubur Masajid, Hijab Al-Mar’ah Al-Muslimah fi
Al-Kitab wa As-Sunnah.Dalam karya-karyanya ini, Albani telah
mengidentifikasi 990 hadis yang dianggap autentik oleh mayoritas sarjana
Muslim, namun oleh Albani dianggap lemah. Diantara contoh hadits yang dianggap
lemah oleh Albani adalah hadits yang berkaitan dengan berkurban.
“Berkurban itu hanya untuk sapi yang dewasa, jika ini
menyulitkanmu maka dalam hal ini kurbankanlah domba jantan” (HR. Muslim no.
1963). Al-Albani menyatakan bahwa hadis ini 'Dhoif' dalam 'Dhoif
Al-Jami' wa Ziyadatuhu', 664 no. 6222'. Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i dan Ibn Majah dari Jabir ra. “Engkau
akan naik keatas dihari kiamat dengan cahaya dimuka, cahaya ditangan dan kaki
dari bekas wudu’ yang sempurna” (Muslim no. 246). Al-Albani
menyatakan bahwa hadis ini 'Dhoif' dalam 'Dhoif Al-Jami' wa
Ziyadatuhu' 2/14 nomor. 1425 menyatakan bahwa hadits ini lemah. Walaupun
hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah.[5]
Memang, beliau menyatakan lemah (tadh’if)
sejumlah hadits yang terdapat dalam Sahih Muslim, salah satu koleksi hadits
yang paling bergengsi, namun tanpa diduga beberapa sarjana telah menulis kritik
tajam terhadapnya.[6]
2. Pemikiran
Nashiruddin Al-Albani Tentang Kedudukan Sunnah Dan Penolakan Terhadap Sunnah
a. Kedududkan
Sunnah Dalam Islam
Diantara yang telah disepakati oleh
kaum muslimin generasi pertama semuanya bahwa Sunnah Nabi merupakan
sumber hukum kedua dan terakhir didalam syari’at Islam yang mencakup semua
aspek kehidupan. Baik untuk masalah-masalah ghaib yang berkaitan dengan aqidah,
hukum amal perbuatan, politik maupun masalah pendidikan yang tidak boleh
dilanggar berdasarkan pendapat, ijtihad (upaya mencari hukum)
atauqiyas (analogi)[7],
Sunnah nabi bersifat menyeluruh mencakup semua perkara agama, tanpa membedakan
antara masalah yang berkaitan dengan masalah akidah maupun hukum dan lain
sebagainya, apabila diwajibkan kepada seorang sahabat untuk beriman ketika
sampai kepadanya dakwah Nabi atau dari sahabat lainnya, maka demikian juga
diwajibkan kepada tabi’in untuk beriman ketika sampai kepadanya dakwah sahabat.
Sebagaimana halnya juga jika seorang
sahabat tidak boleh menolak hadits Nabi yang berkaitan dengan masalah akidah
dengan alasan bahwa hadits tersebut adalahkhabar ahad yang berasal
dari sahabat seperti dirinya dari Nabi. Demikian juga halnya bagi generasi setelah
sahabat (tabi’in) tidak boleh menolak hadits tersebut dengan alasan yang sama
jika yang menyampaikan hadits itu adalah seseorang yang bisa dipercaya.[8]
b. Penolakan
Generasi Khalaf Terhadap Sunnah Yang Seharusnya Dijadikan Sebagai Dasar Hukum
Apabila menelusuri sejarah, ternyata
disamping adanya kesepakatan dari umat Islam untuk menerima hadits sebagai
dasar tasy’ri, terdapat pula pandangan problematik tentang hadits. Bahkan ada
sejumlah kecil yang menolak hadits sebagai dasar syari’at Islam yang kedua
setelah al-Qur’an.[9]
Setelah generasi salaf muncul
generasi yang mulai mengabaikan sunnah Rasulullah saw, hal ini diduga karena
munculnya beberapa ulama’ ahli retorika yang mempunyai kebiasaan bertaqlid
tanpa mengetahui dasar hukumnya[10]. Hasbi
Ash-Shidiqqiey mengatakan bahwa pandangan-pandangan ini ada yang datang dari
intern umat Islam, dan ada yang datang dari lingkungan ekstern umat Islam yang
kadangkala pandangannya juga diikuti oleh lingkungan intern[11]. Hal
ini berdampak pada generasi setelahnya yang akrab dengan sebutan generasi
khalaf (generasi terakhir), mereka mulai mengabaikan sunnah, meragukan
kesahihan banyak hadits bahkan menolak sebagian hadits yang ada. Dengan alasan
bertentangan dengan kaidah-kaidah yang dianut atau bahkan yang dibuat oleh
mereka. Generasi khalaf ini selanjutnya mulai merubah ayat yang seharusnya
mereka merujuknya kepada sunnah dan dijadikan sebagai dasar hukum. Karena frame
berfikir yang salah, mereka justru menyesuaikan sunnah dengan kaidah-kaidah
mereka, apabila sesuai, akan diterima dan jika tidak mereka akan
menolaknya. Akhirnya terputuslah hubungan antara seorang muslim dengan Nabi
Muhammad saw. Sebagai akibatnya generasi khalaf ini tidak mengenal Nabi, tidak
mengenal aqidah, sejarah dan tata cara ibadah, puasa, shalat tahajud, haji,
hukum dan fatwa-fatwanya. Ketika ditanya tentang masalah yang berkaitan dengan
hal tersebut, mereka menjawab dengan hadits dha’if atau
hadits yang tidak ada sumbernya.[12]
Wabah ini telah menyebar dan
menguasai seluruh negara Islam, kebanyakan mereka bersandar kepada salah satu
dari empat madzhab yang ada (Madzhab Hanafi, Hambali, Maliki, Syafi’i) dan
terkadang mereka menisbahkannya kepada sesuatu di luar madzhab yang empat
apabila mereka melihatnya akan menguntungkan, menurut anggapan mereka.
Sedangkan sunnah telah mereka jadikan sesuatu yang dilupakan, kecuali apabila
mereka menilai bahwa apabila menggunakannya akan mendatangkan manfaat.
3. Kaidah
Otentisitas Hadits
Para ahli hadits dalam menetapkan
dapat diterima atau tidaknya suatu hadits tidak mencukupkan diri pada
terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini
disebabkan karena hadits itu sampai kepada kita melalui mata rantai rawi yang
teruntai dalam sanad-sanadnya. Oleh karena itu, haruslah terpenuhi syarat-syarat
lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits disela-sela mata rantai
tersebut. Syarat-syarat tersebut kemudian dipadukan dengan syarat-syarat
diterimanya rawi, sehingga penyatuan tersebut dapat dijadikan ukuran untuk
mengetahui mana hadits yang dapat diterima (maqbul) dan mana yang harus
ditolak (mardud)[13]. Tampaknya
dalam menetapkan kriteria otentisitas hadits terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ahli hadits.
a. Imam
Bukhari dan Imam Muslim
Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah
dalam menilai kriteria hadits sahih memiliki perbedaan, Imam Bukhari
mengharuskan terjadinya pertemuan antara para periwayat dengan periwayat
terdekat dalam sanad walaupun pertemuan itu hanya terjadi sekali saja. Sedangkan
Imam Muslim, pertemuan itu tidak harus dibuktikan, yang penting antara mereka
telah terbukti pernah hidup dalam satu masa (se-zaman).[14]
Dapat difahami bahwa pada dasarnya
ulama’-ulama’ muhaditsin mutaqoddimin belum memberikan kriteria hadits sahih
secara tegas, sebagaimana Imam Bukhari dan Imam Muslim, mereka tidak
mengemukakan kriteria definisi kesahihan hadits secara jelas hanya saja
memberikan petunjuk atau penjelasan umum tentang kreteria hadits yang
kualitasnya sahih yang terletak pada masalah pertemuan antara periwayat dengan
periwayat terdekat dalam sanad. Oleh karena itu kemudian muncullah pendapat
beberapa muhaditsin mutaakhirin salah satunya adalah Ibnu Al- Shalah
b. Imam
Al-Khaththabi
Hadits sahih adalah hadits
yang sanadnya muttasil (bersambung) dan rawinya bersifat adil.
Definisi tersebut sempat mengundang polemik, karena dalam definisi ini
seakan-akan tidak disebutkan syarat kuatnya hafalan rawi, tidak terdapat
kejanggalan dan cacat. Padahal kuatnya hafalan rawi merupakan syarat yang harus
dipenuhi dalam hadits sahih. Hal ini disebabkan karena orang yang banyak
salahnya dalam meriwayatkan hadits, sekalipun ia bersifat adil maka haditsnya
harus ditinggalkan. Menanggapi pernyataan tersebut Imam Al Suyuthi mengutip
pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa pernyataan tersebut
secara tidak langsung telah mengisyaratkan kuatnya hafalan rawi. Maksud dari
orang yang adil adalah orang yang telah dinilai tsiqoh (terpercaya)
oleh para kritikus hadits. Dan syarat rawi disebut tsiqohadalah
apabila dalam dirinya telah terkumpul sifat adil dan dhabith.[15]
c. Ibnu Al-
Shalah
Hadits sahih adalah hadits yang
disandarkan kepada Nabi SAW, yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi
yang adil dan dhabith, diterima oleh rawi yang adil dan dhabith, tidak ada
kejanggalan, dan tidak ber’illat.[16]
Menurut beberapa literatur yang ada,
pendapat Ibnu Al-Shalah lebih banyak diikuti oleh para ahli hadits dalam
menentukan kriteria kesahihan (keautentitasan) sebuah hadits, hal ini dikarenakan
Ibnu al-Shalah dengan tegas menyebutkan bahwa kesahihan sebuah hadits adalah,
apabila sanadnya bersambung, rawinya bersifat adil, rawinya bersifatdhabit (kuat
hafalannya), tidak terdapat kejanggalan (syudzudz), dan tidak terdapat
cacat (‘illat), sehingga pendapat beliau banyak diikuti oleh beberapa
ulama’ hadits.
d. Nashiruddin
Al-Albani
Dalam menentukan kesahihan
(autentisitas) hadits dan kepalsuan sebuah hadits tertentu berdasarkan analisis
pada isnad, dengan menggunakan informasi yang terdapat pada
kamus-kamus biografi. Isnad yang tidak tsiqoh, berarti
tidak tsiqoh haditsnya. Akibatnya, ia merasa tidak penting
menafsirkan sebuah hadits yang ber-isnad tidak tsiqoh,karena
penafsiran adalah bagian dari autentifikasi[17]. Dapat
difahami bahwa hadits yang sahih adalah hadits yang isnadnya tsiqoh
(terpercaya) jika isnadnya tidak tsiqoh berarti tidak sohih haditsnya,
sedangkan untuk mengetahui tingkat ketsiqohan isnad tersebut metode yang
dipakai Albani adalah dengan menggunakan informasi atau sumber-sumber dari
kamus-kamus biografi tentang kualitas para perawi hadis. Sayangnya beliau hanya
mengikuti penilaian dari para penulis biografi mengkaji secara komprehensif
biografi tersebut. Sehingga beliau mengemukakan bahwa isnad hadis
yang tidak tsiqah (terpercaya) berarti tidak tsiqah pula
hadisnya dan karenanya harus ditolak.
Penafsiran apa
pun terhadap matan hadis dan periwayatannya tidak relevan bagi Al-Albani.
Karena menurut beliau penafsiran juga bagian dari autentifikasi hadis, sedang
Al-Albani hanya bertumpu pada ketsiqahan isnad, bukan matannya.
Caranya, di antaranya, adalah dengan mengecek terminologi isnad yang
digunakan perawi semisal ‘an(diriwayatkan dari …), sami‘a (dia
mendengar …), haddatsana, akhbarana, dan seterusnya.Hal
ini dilakukan untuk menngetahui ketsiqohan isnadnya, karena jika terdapat
hadits yang periwayatnya tidak mendengar hadits yang diriwayatkannya secara
langsung maka ketsiqohan isnadnya perlu dipertanyakan kembali.
Albani mengatakan bahwa hal ini bisa
di ketahui dengan melihat sanadnya, jika perawi tersebut menggunakan term “’an”
(diriwayatkan dari) maka isnadnya harus ditangguhkan sampai perawi tersebut
benar-benar mendengar secara langsung dari informannya. Kecuali jika perawinya
mendengar secara langsung dari informannya maka hadits ini dianggap memiliki
isnad yang tsiqoh dan haditsnya bisa digunakan sebagai hujjah, karena perawinya
dianggap muttashil (bersambung). Menurut Albani hal ini bisa
diketahui dengan melihat sanadnya apakah dalam periwayatannya menggunakan term hadatsana,
akhbarana, anba’ana, yang semuanya itu sama kualitasnya dengan term sami’a dimana
dengan term-term ini dapat diketahui bahwa periwayat hadits memiliki
ketersambungan sanad atau hubungan dengan perawi sebelumnya atau mempunyai
hubungan guru dan murid.
4. Kriteria
Otentisitas Hadits Albani
Nashiruddin Al-Albani dalam
menentukan kriteria otentisitas sebuah hadits bertumpu pada tingkat ketsiqohan
isnad pada masing-masing perawi, sebab bisa jadi dalam sanad hadits tersebut
terdapat masalah sanad, seperti sanadnya tidak bersambung atau salah satu
periwayatnya tidak tsiqoh (adil dan dhabit).
Adapun kriteria ketersambungan sanad
tersebut adalah: pertama, periwayat hadits yang terdapat dalam
sanad hadits yang diteliti semua berkualitas tsiqat Kedua, masing-masing
periwayat menggunakan alat penghubung yang berkualitas tinggi yang sudah
disepakati ulama’ yaitu (sami’a) yang menunjukkan adanya pertemuan
diantara guru dan murid. Term atau istilah yang dipakai untuk cara al-sama’ sangat
berragam diantaranya adalah: سمعت, حدثنا, حدثنى,
أخبرنا, أخبرني, قال لنا, ذكرلنا. Ketiga, adanya
indikasi kuat perjumpaan antara mereka. Ada tiga indikator yang menunjukkan
pertemuan antara mereka: (1) terjadi proses guru dan murid, yang dijelaskan
oleh para penulis rijal al haditsdalam kitabnya, (2) tahun lahir
dan wafat mereka diperkirakan adanya pertemuan antara mereka atau dipastikan
bersamaan, (3) mereka tinggal belajar atau mengabdi (mengajar) ditempat yang
sama.[18]
Albani menetapkan kriteria yang
demikian karena pada prinsipnya beberapa hadits yang telah dinilai sahih
belum tentu sahih sanadnya, sehingga hal terpenting bagi Albani ketika akan
menentukan otentisitas sebuah hadits adalah dengan meneliti atau melihat
ketsiqohan isnad hadits tersebut, oleh karena itu Albani berasumsi bahwa hadits
yang tidak tsiqoh isnadnya maka tidak tsiqoh pula haditsnya.
5. Hadits
Yang Dinyatakan Lemah Oleh Nashiruddin Al-Albani
Untuk mengilustrasikan metode
Al-Albani, Kamaruddin Amin dalam karyanya yang berjudul “Menguji
Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits”, menganalis hadits tentang
“sapi” salah satu hadits yang dilemahkan oleh Albani. Hadits tersebut ditulis
dalam salah satu kitab hadits yang sangat bergengsi yaitu Shahih Muslim[19]. Bunyi
hadits tersebut adalah:
عَنْ جَا بِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَلَ : قاَلَ رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهِ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ : لاَ تَذْ بَحُوْا أِلاَّ مُسِنَّةً, أِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ
فَتَذْ بَحُوْا جَذَ عَةً مِنَ لضَّأْ نِ.
Artinya: Dari Jabir Bin Abdullah r.a. mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda, “janganlah kamu menyembelih hewan kurban kecuali telah
dewasa. Namun, jika sulit kau dapatkan, maka sembelihlah kambing muda.”[20]
Al-Albani berpendapat bahwa hadits
ini lemah (dha’if) disebabkan oleh fakta bahwa salah seorang perawinya
adalah Abu Az-Zubair. Menurutnya riwayat Abu Az-Zubair dari Jabir tidak
bersambung (ghairu muttashil) dengan alasan bahwa (1) para kritikus
hadits menyifati Abu Az-Zubair sebagai Mudallis[21]; (2)
dia tidak mengatakan secara eksplisit apakah mendengar langsung dari Jabir,
namun menggunakan lafal “an” (atas otoritas dari).[22]
Al Albani menambahkan telah
disepakati dalam ilmu hadits, bahwa hadits yang diriwayatkan oleh perawi Mudallis tidak
bisa dijadikan sebagai hujjah, apabila dia tidak menyatakan secara eksplisit
cara penerimaan haditsnya. Hal ini terjadi pada diri Abu Az-Zubair. Al-Albani
menyimpulkan bahwa kebenaran setiap hadits yang diriwayatkan oleh Abu Az-Zubair
dari Jabir atau dari orang lain yang menggunakan lafal “an” dan sejenisnya,
harus ditunda. Dengan kata lain, ketergantungan pada hadits tersebut harus
diakhiri hingga cara penerimaannya, dimana Abu Az-Zubair mendengar hadits
tersebut secara langsung atau ditemukannya hadits lain yang menguatk perannya[23]. Hal
ini dikarenakan istilah atau term “’an” termasuk istilah yang paling
lemah dalam metode periwayatan atau penyebaran hadits, sebab hal itu tidak
menunjukkan adanya pertemjuan langsung antara seorang perawi dengan gurunya.[24]
Menurut Al-Albani, riwayat Abu
Az-Zubair dari Jabir tidak diragukan apabila diriwayatkan oleh Al-Laits bin
Sa’d, karena Al-Laits mengklaim telah menerima dari Abu Az-Zubair, hanya hadits
yang telah didengar oleh Abu Az-Zubair dari Jabir. Dari 360 hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Az-Zubair dari Jabir dalam Kutub as Sittah, hanya
27 yang diriwayatkan oleh Al-Laits bin Sa’d. Hadits ini menyatakan bahwa tidak
diizinkan menyembelih untuk kurban seekor domba yang berumur satu tahun,
kecuali dalam keadaan ketika seekor sapi yang cukup umur terlalu mahal atau
sulit didapatkan dipasar.[25]
Hadits dari Uqbah bin ‘Amir: kami
bersama Nabi menyembelih seekor domba yang berumur satu tahun. Hadits lain
adalah dari Mujasyi’ bin Mas’ud adalah:
إِنَّ
الْجَذَعَ يُوْفِي مِمَّا يُوْفِي مِنْهُ الثَّنِيَّةُ
Artinya: Sesungguhnya domba yang berumur satu tahun
sama fungsinya dengan yang berumur dua tahun.[26]
Menurut Al-Albani, dua hadits
terakhir adalah sahih, karena perawi yang terlibat dalam jaringan isnad-nya
dapat dipercaya (tsiqoh). Mengenai hadits ‘Uqbah bin ‘Amir, Al-Albani
berpendapat bahwa hadits tersebut tampak membolehkan domba yang berumur satu
tahun sebagai sembelihan untuk kurban. Akan tetapi, kebolehan itu diberikan
hanya untuk ‘Uqbah. Kebolehan ini berdasarkan atas sebuah hadits:
عَنْ
عُقْبَةَ بْنِ عَا مَرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الْجُهَنِيِّ قَالَ : قَسَمَ
رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْنَا ضَحَاياَ,
فَآَصَابَنِيْ جَذَعٌ, فَقُلْتُ: ياَرَسُوْ لَ اللَّهِ, أِنَّهُ أَصَابَنِيْ
جَذَعٌ, فَقَلَ : " ضَحِّ بِهِ ".
Artinya: Uqbah bin Amir r.a. mengatakan bahwa
Rasulullah membagi-bagikan daging kurban, lalu ia memperoleh seekor kambing
muda jenis biri-biri, kemudian ia bertanya, “ya Rasulullah, saya telah
memperoleh seekor kambing muda?” Rasulullah menjawab, “sembelihlah untuk
kurban.“[27]
Al-Albani mengutip hadits lain yang
menafsirkan hadits Mujasyi’ bin Mas’ud. Hadits ini tampaknya membolehkan
berkurban seekor domba yang berumur satu tahun yang mempunyai rambut. Menurut
Al-Albani bukan ini yang dimaksudkan. Menurut sebuah hadits dari Al-Bara’; Om
dari ibuku Abu Burdah menyembelih seekor binatang untuk kurban sebelum idul
adha. “Nabi berkata; itu adalah daging kambing (yang tidak ada kaitannya dengan
ritual kurban). Ia berkata: wahai Rasul saya memiliki.’ “ Nabi berkata;
berkurbanlah dengannya, dan hal itu tidak cocok bagi orang lain selain engkau[28].Sebagaimana
hadits dibawah ini:
عَنِ
الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ
صَلَى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " أِنَّ أَوَّلَ ماَنَبْدَأُ بِهِ فِيْ
يَوْمِنَا هَذَا نُصَلَّيْ, ثُمَّ نَرْجِعُ فَنَنْحَرُ, فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ
فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا, وَمَنْ ذَبَحَ فَأِ نَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّ مَهُ
لِأَهْلِهِ , لَيْسَ مٍنْ النُّسُكِ فِيْ شَيْ ءٍ. وَكَانَ أَبُوْ بُرْدَةَ بْنُ
نِيَارٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَدْ ذَبَحَ فَقَلَ : عِنْدِيْ جَذَعَةُ خَيْرٌ مِنْ
مُسِنَّةٍ , فَقَالَ : " اذْبَحْهَا وَلَنْ تَجْزِ يَ عَنْ أَحَدً
بَعْدَكَ."
Artinya: Al-Barra bin Azib r.a. mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda, “Pada hari raya kurban ini pertama kali yang kita lakukan
adalah shalat, kemudian kita pulang, lalu menyembelih hewan kurban. barang
siapa berbuat seperti itu, maka ia sesuai dengan ajaran kami. Dan barang siapa
menyebilih kurban sebelum shalat, maka dagingnya menjadi sedekah biasa yang dia
berikan kepada keluarganya tanpa ada nilai kurban sama sekali”. Abu Burdah bin
Nyiar r.a. menyembelih kurban. dia berkata, “saya mempunyai seekor kambing muda
yang lebih bagus daripada kambing dewasa? Rasulullah bersabda, “sembelihlah,
tetapi kambing muda seperti itu tidak cukup untuk kurban orang lain sesudah
kurbanmu itu”[29]
Al-Albani berpendapat bahwa kedua
hadits sahih tersebut dan hadits dari ‘Uqbah dan Al-Barra’ mengonfirmasikan
kelemahan hadits Abu Az-Zubair sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
6. Implikasi
Metode Nashiruddin Al-Albani
Apabila kita meragukan riwayat Abu
Az-Zubair dari Jabir seperti kasus diatas, apakah hal ini juga kita harus
meragukan jalur ini dalam 360 hadits lainnya? Berdasarkan pada metode
autentifikasi hadits Muslim tradisional, Al-Albani berpendapat bahwa apabila
seorang mudallis berkata: “saya mendengar” (sami’tu)
maka riwayatnya dianggap bersambung, tetapi apabila ia berkata ‘an (dari),
riwayatnya harus ditolak atau paling tidak penilaiannya ditunda sampai muncul
penjelasan bahwa ia benar-benar mendengarnya langsung dari informannya.[30]
Nashiruddin Albani berpendapat
demikian karena ketika periwayat hadits yang menggunakan term “sami’tu” maka
jelas perawi tersebut telah mendengar secara langsung sehingga riwayatnya
dianggap bersambung, sedangkan periwayat hadits yang menggunakan term “an” maka
sudah jelas perawi tersebut tidak mendengar secara langsung hadits yang
diriwayatkannya sehingga hadits yang demikian tidak masuk pada hadits yang
isnadnya tsiqoh, kecuali apabila perawi tersebut diketahui memiliki hubungan
guru-murid terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Pertanyaannya adalah berapa sering
Abu Az-Zubair mengunakan kata “an” dan berapa kali ia menggunakan kata “sami’tu”
dan kata-kata lainnya yang menunjukkan hubungan langsung dengan Jabir. Dari 194
hadits dengan jalur Abu Az-Zubair-Jabir yang terekan dalam sahih muslim, Abu
Az-Zubair menggunakan lafal “sami’a” dan lafal serupa yang menunjukkan
periwayatan langsung sebanyak 69 kali, istilah “an” sebanyak 125 kali.
Berikut akan dipaparkan jalur Isnad Abu Az-Zubair-Jabir dalam
Sahih Muslim.[31]
No.
|
Bab
|
Pertanyaan Ambigu Abu Az-Zubair
|
Pertanyaan Eksplisit
Abu Az-Zubair
|
Jumlah Hadits
|
1.
|
Kitab
al-buyu’
|
13
|
9
|
22
|
2.
|
Kitab
al-hibah
|
5
|
-
|
5
|
3.
|
Kitab
al-asyribah
|
16
|
1
|
17
|
4.
|
Kitab
as-salam
|
6
|
4
|
10
|
5.
|
Kitab
al-libas
|
8
|
33
|
11
|
6.
|
Kitab
al-adhahi
|
2
|
1
|
3
|
7.
|
Kitab
al-iman
|
5
|
7
|
12
|
8.
|
Kitab
az-zakah
|
5
|
3
|
8
|
9.
|
Kitab
ash-shalah
|
16
|
1
|
17
|
10.
|
Kitab
an-nikah
|
6
|
2
|
8
|
11.
|
Kitab
ath-thalaq
|
1
|
1
|
2
|
12.
|
Kitab
shifah al-jannah
|
1
|
1
|
2
|
13.
|
Kitab
al-manasik
|
18
|
9
|
27
|
14.
|
Kitab
ath-thaharah
|
1
|
2
|
3
|
15.
|
Kitab
al-adab
|
2
|
2
|
4
|
16.
|
Kitab
al-fadha’il
|
4
|
2
|
6
|
17.
|
Kitab
al-maghazi
|
-
|
1
|
1
|
18.
|
Kitab
al-hudad
|
1
|
1
|
2
|
19.
|
Kitab
al-imarah
|
2
|
3
|
5
|
20.
|
Kitab
ash-shaid
|
1
|
2
|
3
|
21.
|
Kitab
ar-ru’yah
|
4
|
1
|
5
|
22.
|
Kitab
ash-shiyam
|
1
|
1
|
2
|
23.
|
Kitab
al-janaiz
|
3
|
4
|
7
|
24.
|
Kitab adz-dzaba’ih
|
-
|
2
|
2
|
25.
|
Kitab
al-qadar
|
2
|
-
|
2
|
26.
|
Kitab
al-isti’adzan
|
2
|
2
|
4
|
27.
|
Kitab
at-taubah
|
-
|
3
|
3
|
28.
|
Kitab
al-itq
|
-
|
1
|
1
|
Jumlah
|
125
|
69
|
194
|
Kesimpulan yang dapat ditarik dari
data diatas adalah: apa maknanya jika hadits yang sama diriwayatkan dengan kata
“sami’a” didalam satu kasus, tetapi diriwayatkan dengan kata”’an”
dalam kasus yang lain. Apa signifikansi fakta bahwa Muslim menerima sepertiga
riwayat menggunakan kata “’an”. pesan apa yang disampaikan dalam pola
ini menyangkut metode yang digunakan Muslim dalam meneliti hadits. Apabila
terminologi (“sami’a”, “‘an” dan sebagainya) bukan menjadi penentu
bagi Muslim (dalam kasus Abu Az-Zubair), lantas atas dasar apa Muslim
mendasarkan penilaian sahih terhadap riwayat Abu Az-Zubair-Jabir, dengan kata
lain apakah para penghimpun hadits benar-benar berdasarkan pada
bukti-bukti isnad .[32]
Pertanyaan-pertanyaan ini memang
sulit dijawab, akan tetapi dari hasil analisis Motzki berkesimpulan bahwa
terminologi isnad (“sami’a”, “‘an” dan
sebagainya) tidak digunakan secara konsisten pada masa mereka. Begitu
pula yang terjadi pada kasusnya Abu Az-Zubair-Jabir, ini berarti Abu Az-Zubair
pun mungkin menggunakan terminologiisnad secara tidak konsisten.
Disisi lain secara faktual Imam Muslim telah menerima beberapa hadits dengan
lafal”’an”, dan beberapa lainnya menggunakan lafal “sami’a”.[33]
Dapat difahami bahwa Muslim tidak
menciptakan atau merubah kata-kata yang digunakannya, karenanya Muslim
menganggap bahwa Abu Az-Zubair (tsiqoh) atas dasar bahwa Muslim menerima
riwayat Abu Az-Zubair yang menggunakan “’an”, hal ini menunjukkan bahwa
bagi Muslim terminologi yang digunakan oleh generasi pertama (sahabat dan
tabi’in) tidak menjadi ketentuan utama dalam menentukan ke-tsiqohanseorang
perawi.
7. Analisis
Hadits “la tadzbahu illa musinnatan" Menurut Metode Ulama’ Tradisional
a. Analisis Isnad
Semua perawi hadits, dari para
penghimpun hadits hingga Zuhair bin Mu’awiyyah, mengklaim bahwa telah menerima
hadits secara langsung dari informannya masing-masing, karena dalam riwayat
mereka, mereka menggunakan term-term“haddatsana”, “akhbarana” dan “anba’ana”
(semua sama kualitasnya dengan “sami’a”). Oleh karena itu
periwayatan hadits tersebut sampai kelevel ini, dari sudut pandang sarjana
Muslim, bersambung (muttashil). Semua murid Zuhair kecuali ‘Abd Ar
Raham, melaporkan bahwa Zuhair meriwayatkan hadits tersebut langsung dari Abu
Az-Zubair, dalam hal ini Zuhair menggunakan kata “Haddatsana Abu Az
Zubair”. Zuhair sendiri dianggap terpercaya oleh para kritikus hadits. Dengan
demikian, meskipun Zuhair adalah satu-satunya perawi yang meriwayatkan hadits
tersebut dari Abu Az-Zubair, riwayatnya menurut metode kesarjanaan Islam modern
dianggap bersambung.[34]
Level berikutnya adalah riwayat Abu
Az-Zubair dari Jabir. Semua penghimpun yang merekam hadits tersebut melaporkan
bahwa Abu Az-Zubair tidak menyatakan secara jelas cara penerimaan mereka dari
Jabir. Dengan kata lain Abu Az-Zubair dilaporkan telah menggunakan kata’’an”
yang menggandung ambiguitas. Keterpercayaan riwayat seperti itu, dalam pandagan
kesarjanaan Muslim, tergantung pada keterpercayaan Abu Az-Zubair di mata para
kritikus hadits[35]. Oleh
karena itu Al-Albani memasukkan hadits tersebut dalam kelompok hadits lemah (dha’if),
karena menurutnya Abu Az-Zubair adalah seorang mudallis dan dia
tidak menyatakan secara eksplisit cara penerimaan hadits tersebut dari Jabir.
b. Abu
Az-Zubair
Abu Az-Zubair Muhammad bin Muslim
bin Tadrus adalah seorang sarjana dari Makkah yang telah meriwayatkan hadits
dari Jabir bin Abdullah, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar bin Al-‘Ash,
Abdullah bin Az-Zubair, dan Abu Thufail. Sejumlah ulama’ terkenal dilaporkan
telah meriwayatkan hadits darinya, termasuk Sufyan Ats-Tsauri, Al-Awzza’i,
Malik, Syu’bah, Az-Zuhri, dan ‘Atha’ (salah seorang guru Az-Zubair). Sebagai
seorang perawi, Abu az-zubair menerima sejumlah penilaian dari para ulama’ baik
yang positif maupun yang negatif. Syu’bah misalnya secara terang-terangan
menyampaikan ketidak senangannya yang sangat kepadanya. Ia berkata kepada Ibnu
‘Abdul ‘Aziz , “Engkau telah menerima riwayat dari Abu Az-Zubair padahal ia
tidak mengetahui cara shalat secara benar”. Syu’bah dilaporkan telah merobek
sebuah buku kepunyaan Husyaim karena Husyaim telah belajar kepada abu Az-Zubair.
As-Syafi’i berkata bahwa Abu Az-Zubair membutuhkan data pendukung. Abu Hatim
dan Abu Zur’ah tidak menganggap hadits Abu-Az-Zubair sebagai hujjah. Ayyub
menyebut haditsnya lemah. Sejumlah ulama’ memberikan julukan seorang mudallis oleh
karena itu riwayatnya hanya boleh dijadikan hujjah apabila ia secara khusus
menyatakan bahwa ia telah mendengarnya secara langsung dari informannya.[36]
Sekalipun Abu Az-Zubair dicela oleh
banyak ulama’ namun hal ini tidak menjadi masalah baginya karena beberapa
ulama’ yang lain memujinya bahkan menggolongkannya sebagai perawi yang tsiqoh
(terpercaya). Atha’ bin Abi Rabah misalnya, mengatakan bahwa “kami berada
dirumahnya Jabir untuk mendengarkan hadits-haditsnya dan Abu Az-Zubair adalah
seorang diantara kita yang paling banyak menghafal hadits. Penilaian-penilaian
seperti ini alam menentukan otentisitas sebuah hadis alangkah lebih baiknya
jika dilakukan analisis kritis terhadap kualitas masing-masing perawi.
c. Analisis
Matan
Meskipun
jalur isnad adalah kriteria yang paling menentukan
autentisitas sebuah hadits, matan tidaklah sepenuhnya diabaikan dalam
kesarjanaan hadits tradisional. Dalam hal ini, Muslim berkata dalam pengantar
kitab shahihnya:” karakteristik munkar dalam hadits-hadits
seorang perawi (tertentu) adalah setelah dilakukan perbandingan, riwayatnya
bertentangan, atau hampir tidak sesuai dengan riwayat para perawi lainnya yang
memiliki ingatan yang memuaskan. jika mayoritas hadits-hadits seorang perawi
memang demikian, yakni tidak masuk pertimbangan, maka hadits-hadits itu tidak
akan diterima, tidak pula digunakan[37]. Pernyataan
Muslim itu menyiratkan bahwa bisa saja dinilai kualitas seorang perawi dengan
membandingkan periwayatannya dengan periwayatan ulama’ lain.
Al-Khatib
Al-Bagdadi mengemukakan bahwa suatu matan hadits dapat dinyatakan maqbul
(diterima) sebagai matan hadits yang sahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut: pertama, tidak bertentangan dengan akal sehat. Kedua, tidak
bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah muhkan (ketentuan hukum yang
telah tetap). Ketiga, tidak bertentangan dengan hadits
mutawattir. Keempat, tidak bertentangan dengan amalan yang
telah menjadi kesepakatan ulama’ masa lalu (ulama’ salaf). Kelima, tidak
bertentangan dengan dalil yang telah pasti. Keenam, tidak
bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.[38]
Menurut Al-Albani
hadits-hadits ‘Uqbah dan Mujasyi’ yang secara khusus membolehkan qurban seekor
biri-biri jantan (al-jadza’) memiliki isnad-isnad yang
terpercaya. Namun alih-alih menjadikan isnad-isnad itu sebagai penguat hadits
tersebut, Albani menafsirkan dengan mengutip hadits Al-Barra’, yang dia
simpulkan bahwa pembolehan itu tidak dimaksudkan bersifat umum. Namun berbeda
dari Al-Albani, kita juga bisa menjadikan hadits-hadits yang menyatakan
pembolehan berkurban al-Jadzasebagai pendukung hadits yang sedang
kita bicarakan. Begitupula, kita bisa membantah bahwa hadits Al-Barra’ belum
tentu melarang orang lain berkurban al-jadza’. Hal itu bisa sekedar
mengisyaratkan bahwa yang dianjurkan berkurban adalah dengan menggunakan sapi
yang cukup umur.[39]
C. KESIMPULAN
Dalam melakukan autentisitas hadits
Al-Albani membuktikan kesahihan hadis lewat tradisi kritis kesarjanaan Islam
yang bertumpu pada analisis isnad untuk menguji autentisistas
hadis. Dengan bersandar sepenuhnya pada informasi kamus-kamus biografi tentang
kualitas para perawi hadis. sayangnya, beliau tidak mengkaji secara
komprehensif biografi tersebut, tetapi begitu saja mengikuti penilaian
dari para penulis biografi. Dia mengemukakan bahwaisnad hadis yang
tidak tsiqah (tepercaya) berarti tidak tsiqah pula
hadisnya dan karenanya harus ditolak, sehingga penafsiran apa pun terhadap
matan hadis dan periwayatannya tidak relevan bagi Al-Albani. Karena penafsiran,
jika diterapkan, juga bagian dari autentifikasi hadis, sedang Al-Albani hanya
bertumpu pada ketsiqahan isnad, bukan matannya.
Namun demikian metode ini terlalu
umum. Seperti pada kasus Abu Az-Zubair diatas, beliau melemahkan hadits hanya
karena Abu Az-Zubair dianggap telah melakukan tadlis dalam
periwayatannya. Padahal penilaian Al-Albani terhadap Abu Az-Zubair tidak
didasarkan pada penelitian komprehensif terhadap biografi riwayat Abu
Az-Zubair, tidak juga pada studi analisis terhadap riwayat Abu Az-Zubair
melainkan hanya berdasar pada penilaian para kritikus hadits.
Penilaian lemah Al-Albani terhadap
hadits tersebut atas dasar penilaian negatif terhadap keterpercayaan Abu
Az-Zubair, hal ini memiliki konsekuensi serius pada hadits-hadits lain yang
mungkin tidak beliau sadari. Pernyataan Al-Albani atas lemahnya hadits ini
didasarkan pada kenyataan bahwa Abu Az-Zubair menggunakan term “’an”,
dan tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa Muslim dan para penghimpun hadits
yang lain tidak menganggap terminologi yang digunakan oleh para tabi’in sebagai
kriteria yang menentukan untuk menetapkan apakah seorang perawi terpercaya atau
tidak. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Muslim, misalnya merekam riwayat
generasi tersebut bukan hanya menggunakan term“sami’a” tapi juga
menggunakan term “’an”
Dari sini dapat difahami bahwa
terminologi semacam ‘an (diriwayatkan dari..), sami‘a (dia
mendengar …), haddatsan, akhbarana, dan seterusnya
tidak harus diartikan sebagai model periwayatan yang menetukan ketsiqahan
hadis.
Menurut Kamaruddin Amin,
terminologi-terminologi tersebut tidak berlaku sebagai kriteria kesahihan hadis
bagi para ulama abad pertama hijriah. Artinya, para perawi di abad tersebut
tidak secara sengaja dan sadar menggunakan beragam terminologi tersebut
sebagai cara menentukan tingkat kesahihan dan tidaknya sebuah hadis.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Albani, M. Nashiruddin.
2005. Ringkasan Sahih Muslim. Terj. Elly Lathifah, cet
1, Jakarta: Gema Insani
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin.
2008. Berhujjah Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah dan
Hukum, terjemah Darwis. Jakarta: Darus Sunnah
Al-Sedati, Abu Mariyah. Benarkah
Syekh Albani Mendhoifkan Hadits Bukhori Muslim.(http://myquran.org/forum/index.php, diakses 10
juni 2012)
Amin, Kamaruddin. 2009. Menguji
Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadits. Jakarta: Hikmah
Amin, Kamaruddin. Problematika
Ulumul Hadits, Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif, dalam (http://www. pusat studi hadits fakultas agama
islam universitas islam makassar), diakses pada 23 maret 2012
Anonim. 1997. Problematika
Hadits Mengkaji Paradigma Periwayatan Cetakan 1.Bandung: Gunung
Djati Press
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi.
1964. Problematika Hadits Sebagai Sumber Pembiasaan Hukum Islam.
Jakarta: Bulan Bintang
H. A. Salam, M. Isa, Bustamin.
2004. Metodelogi Kritik Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
M. Isa H. A. Salam. Bustamin.
2004. Metodelogi Kritik Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Nur al-Din, Itr. Ilmu Hadits. 1994.
Alih Bahasa Mujiya. Bandung: Rosda Karya
Sya’roni, Usman. 2002. Otentisitas
Hadits Menurut Ahli Hadits dan Kaum Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus
Yusuf Al-Gharib bin, Abdul Basith.
2003. Koreksi Ulang Syaikh Albani, terjemahan Abdul Munawwir.
Jakarta: Pustaka Azzam
Zifaf, Adabuz.
2004. Panduan Pernikahan Cara Nabi Shallallaahu ‘Alaihi WasallamCetakan I Muharram 1424 H .Bandung: Media Hidayah
HR. Abu Dawud no. 2799, Ibnu
Majah no. 3140, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud ()
[1]Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadits,
Sebuah Upaya Pencarian Metodologi Alternatif, dalam (http://www.pusat studi hadits fakultas agama islam universitas
islam makassar), diakses pada 23 April 2014
[2]Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan
Metode Kritik Hadits, (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 71
[3]Salah satu perpustakaan ternama di Damaskus yang
dilengkapi dengan berbagai kitab, naskah, dan manuskrip peninggalan para ulama’
[4]Abdul Basith bin Yusuf Al-Gharib, Koreksi
Ulang Syaikh Albani, terjemahan Abdul Munawwir (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2003), hlm. 24
[5]Abu Mariyah Al-Sedati, Benarkah Syekh
Albani Mendhoifkan Hadits Bukhori Muslim,(http://myquran.org/forum/index.php, diakses 10 April 2014)
[6]Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan
Metode Kritik Hadits,... hlm. 72
[7]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Berhujjah Dengan
Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah dan Hukum, terjemah Darwis (Jakarta:
Darus Sunnah, 2008), hlm. 38
[8]Al-Albani, Berhujjah Dengan Hadits Ahad,...
hlm. 57
[9]Anonim, Problematika
Hadits, Mengkaji Paradigma Periwayatan Cetakan 1, (Bandung: Gunung
Djati Press, 1997), 78
[10]Al-Albani, Berhujjah Dengan Hadits Ahad,...
hlm. 58
[11]T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy, Problematika Hadits Sebagai Sumber Pembiasaan Hukum
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), hlm. 5-11
[12]Al-Albani, Berhujjah Dengan Hadits Ahad,...
hlm. 58
[13]Itr, Nur al-Din, Ilmu Hadits, Alih
Bahasa Mujiya, (Bandung: Rosda Karya, 1994), hlm.1
[14]Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodelogi
Kritik Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004). Hlm. 23
[15]Usman
Sya’roni, Otentisitas Hadits Menurut Ahli Hadits dan Kaum Sufi, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002), hlm.17
[16]Sya’roni, Otentisitas Hadits...19
[17]Amin, Menguji
Kembali Keakuratan...74-79
[18]Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodelogi
Kritik Hadits...53
[19]Amin, Menguji Kembali Keakuratan...73
[20]Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Sahih Muslim.
Terj. Elly Lathifah, cet 1, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 635
[21]Orang yang memiliki sifat tidak jujur
[22]Amin, Menguji Kembali Keakuratan...73
[24]M.M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 640
[25]Amin, Menguji Kembali Keakuratan...74
[26]HR. Abu Dawud no. 2799, Ibnu Majah no. 3140,
dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud
[27]Al-Albani, Ringkasan Sahih Muslim,...235
[28]Amin, Menguji
Kembali Keakuratan,...73-75
[29]Al-Albani, Ringkasan Sahih Muslim,...634-635
[30]Amin, Menguji
Kembali Keakuratan,... 76
[31]Ibid., 77
[32]Amin, Menguji Kembali
Keakuratan... hlm. 78
[38]Salah Al-Din Bin Ahmad Al-Adabi,
Dalam Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodelogi Kritik
Hadits,...62-63
[39]Amin, Menguji Kembali Keakuratan..., 85
No comments:
Post a Comment