Thursday, June 23, 2011

8 SHIGAT TAHAMMUL ‘ADA AL-HADITS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERSAMBUNGAN SANAD

I. Pendahuluan

Periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang perawi dari gurunya, dan setelah dipahami, dihafal, dihayati, diamalkan (dhabith) ditulis di tadwin (tahrir) dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.
Hadits bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang disebut Shahih al-Riwayah, diwurudkan kepada sahabat sebagai rawi pertama atau thabaqah pertama, kemudian thabaqah tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan seterusnya, akhirnya ditadwin oleh mudawwin sebagai rawi terakhir pada diwan/kitab hadits.
Kini hadits terhimpun pada kitab Mushannif hasil tadwin pada masa pertama diawal abad I Hijriyah, pada kitab musnad hasil tadwin kualifikasi diakhir abad II Hijriyah, pada kitab sunan dan shahih hasil tadwin seleksi di akhir abad III Hijriyah.
Esensi periwayatan adalah tahammul, naql, dhabith, tahrir, dan ada’ al-Hadits, atau disingkat tahammul wa al-ada’. Suatu thariqah atau cara penerimaan dan penyampaian hadits.

II. Pembahasan
1. Pengertian tahammul al-hadits dan ada’ al-hadits menurut bahasa dan istilah:

Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah:
التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru.
Sedangkan pengertian ada’ al-hadits menurut bahasa, ada’ (الأداء) adalah masdar dari
أَدَّى-يُؤَدٍّى- أَدَاءً:
إيصال الشيئ إلى المرسل إليه
“menyampaikan sesuatu pada orang yang dikirim kepadanya”.
أدى-تأدية الشيئ : أوصله
“Menyampaikannya”.
Bararti ada’ al-hadits menurut bahasa adalah menyampaikan hadits. Sedangkan ada’ al-hadits menurut istilah adalah:
الأداء : رواية الحديث وإعطاؤه الطلاب
“Meriwayatkan hadits dan memberikannya pada para murid”.

Kaifiyah Tahammul wa al-ada’ ini termasuk kajian ilmu Hadits Dirayah karena berupa system yang analitik, dan walaupun tidak menjadi persyaratan dasar dalam penentuan maqbul-mardudnya hadits, namun mempengaruhi pengamalan hadits dalam thariqah tarjib, yakni bila ada dua hadits maqbul yang saling bertentangan (tanakud).


2. 8(delapan) Macam Shigat Kaifiyah Tahammu Wa al-Ada’ atau system cara Penerimaan dan Penyampaian Hadits, sebagai berikut:
1. “Sama’ min lafazh al-Syaikh”, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dibaca dari tulisannya, walaupun mendengar dari balik hijab, asal berkeyakinan bahwa suara yang didengar adalah suara gurunya, kemudian ia sampaikan kepada orang lain.
Cara sama’ ini tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayah. Lafazh-lafazh yang digunakan oleh rawi dalam menyampaikan hadits atas dasar sama’ adalah:
a. حدثنا : حدثني
“Seseorang telah bercerita kepadaku/kami”
b. سمعنا : سمعت
“Saya telah mendengar, kami telah mendengar”
2. Al-Qira’ah ‘ala Syaikh (aradh) yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik ia sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar yang meriwayatkannya.
a. قرآت عليه
“Saya telah membacakan dihadapannya”
b. قرئ عحفلان وأنا أسمع
“Dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang saya mendengarkan”.
c. حدثنا او أخبرنا قرأة عليه
“Telah menceritakan kepadaku secara pembacaan dihadapannya”.
Dan metode ini merupakan praktik yang sangat umum semenjak awal abad kedua Hijriyah.
3. Ijazah, yaitu pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits darinya atau dari kitab-kitabnya:
a. Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin: izin untuk meriwayatkan untuk sesuatu yang tertentu kepada oaring tertentu:

جزت لك رواية الكتاب الفلاني
“Aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan si fulan dari saya”.
b. Ijazah fi ghairi mu’ayyanin, yaitu izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang tertentu:
جزت لك جمبع مسموعاتي
“Saya ijzahkan kepada seluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan”.
c. Ijazah fi ghairi mu’ayyanin li ghairi mu’ayyanin, izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu:
أجزت للمسلمين جميع مسموعاتي
“Saya ijazahkan kepada seluruh kaum muslimin apa yang saya dengar semuanya”.
Sampai abad ketiga, sukar ditemukan suatu indikasi system ijazah, tetapi metode ini dipakai cukup luas. Ada perbedaan opini tentang keabsahan metode ini.
4. Munaawalah. yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan :
a. Diberi ijazah:
هذا سماعي أومن روايتي عن فلان فاروه
“Ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah”
Lafazh periwayatannya:
أنبأني , أنبأ نا

b. Tidak diberi ijazah:
هذا سماعي أومنروايتي
“Ini adalah hasil pendengaranku atau hasil dari periwayatanku”
Lafazhnya:
ناولني , ناولنا
“Seseorang telah memberikan kepadaku/kami”
Munawalah (memberikan buku kepada seorang murid). Praktik ini sudah dilakukan pada paruh kedua abad pertama hijrah, seperti Zuhri (51 –124 H) memberikan manuskripnya kepada sejumlah ahli seperti al-Tsauri, al-Awza’I, dan Ubaidillah ibn Umar. Dan cara ini bukanlah suatu praktik yang umum dipakai di awal masa kelahiran Islam.
5. Mukatabah, yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain atau ada yang dihadapannya Kitabah (korespondensi), yaitu seorang hadis menuliskan hadis yang diriwayatkanya untuk diberikan kepada orang tertentu untuk diriwayatkan. praktik metode ini sudah cukup dikenal pada masa-masa awal kelahiran Islam dan diduga cara ini digunakan paling pertama sekali. Hal ini dapat dilihat dari surat-surat kenegaraan khulafaur rasyidin memuat sejumlah hadis yabg diriwayatkan oleh para ahli. Disamping beberapa sahabat, sejumlah ahli menulis hadis-hadis dan mengirimkanya kepada murid-murid mereka, seperti halnya Ibn Abbas yang menulis kepada Abu Mulaikah dan Najdah.

a. Dibarengi ijazah:
اجزت لك ما كتبته إليك
“Saya izinkan apa-apa yang telah saya tulis kepadamu”
b. Tidak dibarengi ijazah:
قال حدثنا فلان
“Telah memberikan seseorang kepadaku”
Lafazhnya:
حدثني فلان كتابة
“Seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat menyurat”
اخبرني فلان كتابة
“Seseorang telah mengabarkan kepadaku dengan melalui surat”



6. Wijadah, yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’, qira’ah maupun selainnya, dari pemilik hadits maupun tulisan tersebut.
Lafazhnya:
قرأت بخط فلان
“Saya telah membaca khat/tulisan seseorang”
وجدت بخط فلان , حدثنا فلان
“Saya dapati khot/tulisan seseorang, bercerita pada kami”
Cara ini tidak diakui keberadaanya dalam pengajaran hadis, akan tetapi praktik ini dapat ditemukan pada masa awal Islam, sebagi contoh adalah buku Sa’ad ibn ubaidah (w.15).

7. Washiyah, yaitu pesan seseorang dikala akan meninggal atau bepergian dengan sebuah kitab tulisannya supaya diriwayatkan.
Lafazhnya:
اوصى الي فلان بكتاب قا ل فيه حدثنا الى أخره
“Seseorang telah berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu; telah bercerita padaku si fulan”
Sebagai contoh Abu Qilabah (w.104 H) yang mewariskan buku-buku hadisnya kepada Ayyub al-Syaukani.

8. I’lam, yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya.
Lafazhnya:
اعلمني فلان قا ل حدثنا
“Seseorang telah memberitahukan padaku, ujarnya, telah berkata padaku”.

Memperhatikan cara di atas, maka ada dua tipe periwayatan, yakni:
1. Rawi mendengar langsung dari gurunya, dengan demikian murid bertemu dengan gurunya, dan diketahui betul tentang pertemuannya itu.
Lafazh-lafazh periwayatannya:
a. سمعنا : سمعت
b. حدثنا : حدثني
c. اخبرني : اخبرنا
d. أنبأني , أنبأ نا
e. قال لي (لنا) فلان
f. ذ كرلي (لنا) فلان
g. قال حدثنا : قال حدثني
2. Rawi yang belum pasti tentang pertemuan-pertemuannya dengan guru, mungkin mendengar sendiri dengan langsung, atau tidak mendengar sendiri.
Lafazh-lafazh periwayatannya:
a. روي ; diriwayatkan oleh,
b. حكي ; dihikayatkan oleh,
c. عن ; dari,
d. أن ; bahwasannya,

Hadits yang diriwayatkan dengan lafazh tamrid ini tidak dapat untuk menetapkan bahwa Nabi SAW atau guru benar-benar menyabdakan, kecuali dengan adanya qarinah lain.

System periwayatan atau kaifiyat tahammul wa al-ada dari hadits tersebut, dapat dipahami dalam teks dibawah ini.
حدثنا عبد الله بن مسلمة قال قرأت على ما لك ابن أنس عن نافع عن بن عمر أنه قال أن اليهود جائو إلى النبي صلى الله عليه وسلم فذكروا له أن رجلا منهم وامرأة زنا فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم ما تجدون فى التوراة فى شأ ن الزنا ؟ فقالوا نفضحهم ويجلدون عبد الله ابن سلام كذبتم أن فيها الرجم فأ تؤا بالتوراة فنشروها فجعل أحدهم يده على أية الرجم ثم جعل يقرأ ما قبلها وما بعدها فقال صدق يا محمد فيها أية الرجم فأمر بهما رسول الله صلى الله عليه وسلم فرجم قال عبد الله إبن عمر فرأيت الرجل يجنأ على المرأة بقيها الحجارة (رواه أبو داود)

Dari hadits tersebut sanadnya adalah:

حدثنا عبد الله بن مسلمة قال قرأت على ما لك ابن أنس عن نا فع عن إبن عمر
Dalam sanad tersebut lafazh sanad, yakni lafazh yang digunakan untuk menulis sanad tersebut menunjukan kaifiyat tahammul wa al-ada’nya.
Lafazh sanadnya adalah: حدثنا, عن, قرأت على
Lafazh حدثنا menunjukkan kaifiyat riwayah “sama’ min lafazh al-syaikh”, maksudnya Abu Daud sebagai mudawwin menerima dari gurunya (‘Abdullah ibn Maslamah) dengan cara sama’ secara oral muhaddatsah.
Lafazh قرأت على artinya saya membaca dihadapan, menunjukan bahwa ‘Abdullah bin Maslamah menerima hadits dari gurunya (Malik ibn Anas) dengan cara qira’ah. Maksudnya ‘Abdullah membaca hadits Malik di hadapan Malik.
Lafazh عن, artinya “dari” hal ini menunjukkan bahwa tidak diketahui dengan cara apa hadits itu diterima murid dari guru, yakni Abu Daud sebagai mudawwin tidak tahu (lupa, atau tidak ada penjelasan dari gurunya karena juga lupa) bagaimana Malik menerima hadits dari gurunya Nafi’. Begitu pula tentang kaifiyat penerimaan Nafi’ dari ibn ‘Umar (‘Abdullah ibn ‘Umar al-Khattab).
Dari berbagai macam cara atau sistem periwayatan tersebut terlihat bahwa proses periwayatan hadits ditekankan pada superioritas penyampaian hadits secara langsung, pribadi, dan lisan, sedangkan tulisan hanyalah untuk membantu mengingat. Menurut argumen umum, penyampaian hadits secara lisan tidak hanya dapat dipercaya tetapi juga lebih baik daripada dokumen-dokumen yang tersebar. Lebih jauh lagi, keandalan penyampaian hadits secara lisan ini juga dijamin dengan daya ingat orang-orang Arab yang luar biasa. Hal ini berbeda dengan catatan tertulis yang memiliki sedikit nilai karena tanpa dibuktikan kebenarannya oleh saksi yang hidup.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa awal, terlepas dari banyak sedikitnya, telah terjadi 2 cara penyampaian hadits yang disandarkan kepada Nabi, yaitu secara lisan dan juga melalui media tulisan.
Namun demikian, kenyataan yang terjadi penyampaian dengan lisan tampaknya lebih populer. Contoh kongrit adalah apa yang disampaikan oleh Umar bin Khaththab dan al Bara’ bin ‘Azib yang berkata, “Tidak semua hadits kami mendengarnya dari Rasulullah SAW secara langsung. Ketika para shahabat menyampaikannya kepada kami, pada waktu itu kami sibuk dengan menggembala onta. Dalam hal ini, langkah yang kami ambil adalah meminta kepada para shahabat yang pernah mendengarnya untuk mengulang kembali, terutama dari mereka yang kuat hafalannya.”
Lebih populernya sistem periwayatan secara lisan bila dibandingkan dengan periwayatan secara tulisan mungkin disebabkan jumlah antara sahabat yang menulis dan yang tidak menulis masih jauh lebih banyak yang tidak menulis tentang segala hal yang disandarkan kepada Nabi. Padahal, dengan lebih ditekankannya pada penyampaian secara lisan, maka tidak menutup kemungkinan terjadi penyampaian yang tidak sama persis redaksinya karena sahabat sendiri tidak semua menulis ketika bersama Nabi, juga secara sadar tidak menghafal kata per kata Nabi. Disini hal terbaik yang dapat mereka lakukan adalah menyampaikan yang mereka ingat. Dalam hal ini tentunya para muhadditsun tidak punya pilihan lain kecuali menerima penyampaian semacam ini meskipun akan menimbulkan akibat, yaitu pada saat kata berubah, maknanya pun berubah.
Hal demikian dapat kita lihat pada hadits Nabi tentang suatu peristiwa, namun disampaikan shahabat dengan redaksi yang berbeda-beda, misalnya hadits Nabi:
أ‌. أَهْرِيقُوا عَلَيْهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ دَلْوًا مِنْ مَاءٍ
ب‌. أَهْرِيقُوا عَلَيْهِ ذَنُوبًا أَوْ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ
ت‌. أَهْرِيقُوا عَلَيْهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ دَلْوًا
Dengan kenyataan seperti ini, memunculkan pendapat bahwa sebenarnya riwayat hadits pada periode shahabat sampai dengan periode kodifikasi kitab-kitab hadits adalah riwayat hadits bil ma’na, dan hal demikian memang biasa terjadi. Namun begitu, bukan berarti riwayat hadits bil alfaadz tidak ada sama sekali, malah merupakan suatu yang lumrah.
Tetapi walaupun demikian, Jumhur ulama’ telah membolehkan riwayat hadits bil ma’na dengan beberapa persyaratan yang begitu ketat dengan maksud agar yang diriwayatkan itu benar-benar sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya.
Kembali pada masalah munculnya bias makna - saat kata berubah, maknanya pun berubah- yang ditimbulkan dari sistem periwayatan, serta jauhnya masa Nabi dengan masa kodifikasi hadits, maka untuk mengeliminir keraguan-keraguan bahwa hadits benar-benar berasal dan bersandar pada apa yang diucapkan, dilakukan dan ditetapkan oleh Nabi, maka generasi selanjutnya mengembangkan disiplin ilmu hadits, dimana dalam salah satu kajiannya memunculkan konsep hadits shahih, hasan, ataupun dlaif. Salah satu contoh misalnya kriteria tentang hadits shahih, yaitu rawi-nya harus ‘adl, dlabith, sanad-nya bersambung, matan-nya marfu’, tidak ada ‘illat, dan tidak janggal.
Disamping itu, satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa dalam memahami hadits sangat banyak diperlukan disiplin ilmu pengetahuan yang harus dimiliki, disamping beberapa aspek lain yang perlu diperhatikan.
Dalam kenyataannya, yang kita lihat atau metode pemahaman hadits yang digunakan masih berupa generalisasi, artinya semua hadits dipahami secara sama, tanpa membedakan struktur dari hadits, riwayat bil alfaadz atau bil ma’na, bidang isi hadits yang muthlaq atau muqayyad, yang menyangkut akidah, ibadah, atau muamalah. Dengan kata lain mayoritas umat Islam memahami hadits dengan pendekatan tekstual dan baru sebagian kecil yang mengembangkannya melalui pendekatan kontekstual, baik konteks histories, psikologis, sosiologis maupun konteks antropologis.

III. Kesimpulan
Periwayatan hadits adalah proses pemerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang perawi dari gurunya, dan setelah dipahami, dihapal, dihayati, diamalkan (dhabith) ditulis di tadwin (tahrir) dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.
Esensi periwayatan adalah tahammul, naql, dhabith, tahrir, dan ada’ al-Hadits, atau disingkat tahammul wa al-ada’. Suatu thariqah atau cara penerimaan dan penyampaian hadits.
Kaifiyah Tahammul wa al-ada’ ini termasuk kajian ilmu Hadits Dirayah karena berupa system yang analitik, dan walaupun tidak menjadi persyaratan dasar dalam penentuan maqbul-mardudnya hadits, namun mempengaruhi pengamalan hadits dalam thariqah tarjib, yakni bila ada dua hadits maqbul yang saling bertentangan (tanakud).

Daftar Pustaka
Khotib, Muhammad Ijajil, 1989, Ushul al-Hadits, Beirut: Daar Fikr.
Nasir, Shidiq Basir, 1992, Dhowabitu ar-Riwayah, Beirut: Daar Fikr.
Soetari, Endang, 2008, Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah, Bandung: CV. Mimbar Pustaka.
Thohan, Mahmud, 1985, Musthalah al-Hadits, Jeddah: Al-Haramain.
http//blog_The Second Reform of Islamic Tought di akses tgl 28-02-2011
//http//Sistem Periwayatan Hadits[Pendidikan Agama Islam[Tafsir[Psikologi~Artikel Agama Islam. di akses tgl 28-02-2011

No comments:

Post a Comment