Ibu tiriku nasibku
Cerita ini berawal dari konon adalah kisah nyata dari sebuah keluarga dari suku Semenda Pajar Bulan Sum-Sel. Dalam cerita berikut, yang berjudul Ibu Tiri Berakhir Karena Labu ini, kami ingin mengisahkan sebuah keluarga yang pada awalnya bahagia, namun pada saat yang lain berbalik menyakitkan dikarenakan, sang Umak (Ibu : bahasa Suku Semenda) meniggal sehabis melewati proses bersalin dikediaman salah satu bidan terdekat dalam desa Remantai (nama salah-satu desa yang ahir-ahir ini tahun 2011 tampak lebih maju dalam bidang pendidikan). Meninggalnya sang Umak, tentu sangatlah tidak bisa diterima oleh si Bak (Bapak : bahasa suku semenda) betapa tidak, bayi perempuan yang telah dilahirkan, adalah anak pertama dari pasangan Juharman dan Siti Zulaikha ini, yang telah menikah jauh sepuluh tahun yang lalu. Isak tangis tidak dapat dipungkiri baik dari pihak Juharman dan Leha (nama panggilan Zulaikha), terutamanya pihak ibu mertua dari Leha yang terlanjur mengidam-idamkan untuk segera menimang cucu. Maklum, Siti Zulaikha adalah anak pertama dari tujuh bersaudara dalam keluarga besar Bapak Muhaimin dan Siti Maryam yang sudah berkeluarga. Hal ini berbeda terasa bagi pihak Juharman, walau keluarga ini bersedih sekalian menangis, tak ditampik bahwa kewafatan menantu perempuan itu, merupakan sebuah anugrah dari Sang Kuasa bagi Ibu Mertua (ibu Juharman). Perlu diketahui, layaknya Leha, Juharman juga adalah anak pertama dari pasangan Datuk (sebutan untuk orang yang cukup berpengaruh di wilayah Melayu khususnya Semenda) Sholihin Munajad dan Siti Mutayyam. Sudah menjadi maklum dari kedua keluarga besar Bapak Muhaimin dan Datuk Sholihin pernikahan kedua anak mereka awalnya tidak dikehendaki kejadiannya, tetapi berdasarkan kekuatan cinta keduanya (Juharman dan Zulaikah) yang bersikukuh ingin melangsungkan pernikahan, keluarga besar masing-masing pihak pada akhirnyapun mengamini terlaksananya acara sakral pernikahan itu.
Nama-nama pemeran dalam cerita ini :
1. Juharman (Direktur Utama PT. Kopi Semenda)
2. Yunita (anak perempuan Juharman yang cantik, mempesona para pemandangnya, cerdas, giat, lagi patuh akan titah orang tua)
3. Asmirah (janda ditinggal mati suami yang nantinay menjadi istri kedua Juharman ini ia cantik, tubuh dan penampilan bak artis, sekaligus ibu tiri yang selalu iri akan segala yang dimiliki anak tirinya Yunita. Satu lagi, dia bersedia dipersunting oleh Juharman tidak lain berdasarkan kekayaan Juharman yang berhasil menyilaukan cinta Asmira)
4. Eka (pembantu yang patuh, dan pembantu ini sangat sayang dengan Yunita)
5. Putri Mirah (anak satu-satunya dari suami Asmirah, Putri anak yang pintar, namun sulit baginya untuk memikirkan kualitas (dalam bidang keilmuan) melainkan hanya kuantitaslah (Penampilan fashion, dan sejenis dengan itu) yang menjadi prioritasnya. Belum lagi ia selalu menginginkan apa yang kakak tirinya (Yunita) miliki)
6. Nining (nenek : bahasa suku Semenda) Rudiah (seorang nenek, yang kelak membebaskan Yunita dari kemalangannya sebagai anak tiri).
Semeniggal sang Umak tidak mematahkan semangat Juharman untuk membesarkan anak semata wayangnya itu. Sebab ia telah berjanji dengan dirinya sendiri akan merawat buah cinta mereka berdua ini walau hanya sendiri.
Hari-hari melajang masih dilalui oleh Juharman dengan bertiga karena di rumah yang megah miliknya, hanya dia (juharman) Yunita (anak putri tercinta), dan satu orang pembantu yang bernama Eka.
Dengan jadwal jam kerja menggemuk tentu sangatlah melelahkan bagi Juharman sang direktur utama PT. Kopi semenda ditambah, harus dia selalu harus mendengarkan pengaduan si kecil Yunita, yang sudah mulai masuk sekolah tingkat SD (karena saat itu belum ada yang namanya sekolah TK : taman kanak-kanak) walaupun telah ditemani oleh seorang pembantu (karena Juharman memang mencukupkan hanya satu pembantu, dan ia sedikit paranoit kelak pendidikan Yunita akan condong layaknya idiologi pembantu pula) yang selalu siap melayani segala bentuk kebutuhan Yunita, ternyata membuat kualahan Juharman.
Pada akhirnya, Juharman menyerah untuk memilih menikah lagi dengan anggapan, mampu mengurangi beban keluarga, sehingga ia mampu berkonsentrasi dalam pekerjaan, toh ada istri yang nantinya merawat Yunita “pikir Juharman”. Tak dapat disangkal rupanya Juharman juga telah gerah, dari banyaknya kalangan teman dan keluarganya yang menawarkan nama-nama calon istri pendamping baik untuk Juharman dan Yunita.
Berawal dari perkenalan dengan janda cantik beranakkan satu perempuan, “dan hal itu cocok pikir Juharman sebagai teman main Yunita kelak” perkenalan ini, dimotori seorang teman bisnis, yang kelak mendapat izin keluarga besarnya ditambah Yunita yang memang juga mendambakan seorang Umak yang menemaninya, ketika mengerjakan PR, atau sekedar mendapatkan teman yang selalu menyanjungnya “ oi, cacam, anak umak ni belagak nian,..” (duh, anak ibu yang ini cantik bener sih,) ketika mengenakan pakaian dan menyisir rambutnya yang panjang, lurus nan hitam (sebagaimana kita ketahui, Yunita anak piatu semenjak ia melihat dunia yang gelamour ini) sinyal baik ini tidak dilewatkan oleh Juharman selanjutnya ia mengiyakan atas kesanggupannya untuk menikah lagi.
Pernikahan pun berlangsung dengan mengharukan, dan meriahnya.
Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa yang namanya ibu atau ayah tiri itu, tidaklah sebaik ibu atau ayah kandung, namun hal ini ditampik oleh Juharman, yang selalu menyakinkan Yunita anaknya, agar menerima Umak baru dan Ading (adik : yang bernama Putri) baru pula.
Berbagai upaya bujuk dan rayu yang dilancarkan Juharman mebuahkan hasil, yaitu Yunita mampu menerima, mencintai dan menyayangi dua orang baru dalam rumah itu. Hari-hari berlalu begitu mudah nan cepatnya, sekitar satu bulan sudah keluarga ini berjalan.
Bak roda yang selalu berputar, waktu pun menunjukkan kodratnya (karena hidup itu tidak selamanya senang, sedih, dan terkadang, harus keatas, kadang pula harus kebawah), nah hal ini pulalah yang dialami Yunita, lambat-laun dirasakan olehnya sifat asli dari sang Umak dan Ading (Putri) nya bahkan tampak semakin jelas sifat-sifat buruknya.
Mulai dari perlakuan sang Umak, yang selalu memojokkan Yunita yang dianggapnya terlalu memonopoli kasih sayang Juharman, dan tak diragukan sering kali Yunita jadi sasaran kecemburuan buta dan kekesalan yang mendalam si Umak itu ialah dengan jalan selalu memerintah Yunita untuk melakukan pekerjaan rumah yang seharusnya hal itu layaknya dikerjakan oleh seorang pembantu, mulai dari mengepel lantai, mencuci piring, mencuci pakaian pribadi, maupun pakaian satu keluarga. Pekerjaan itu, ia kerjakan tentunya pada tiap-tiap kali sang Bak (Ayah) keluar kota untuk urusan pekerjaan.
Semua tindakan Asmira diam-diam membuat pembantu Eka mulai marah (karena Eka tidak tega anak cantik majikannya itu diberlakukan layaknya seorang pembantu) walau pun sebenarnya ia telah mendapatkan penjelasan atas semua perintah nyeleneh sang majikan baru itu diberikan kepada Yunita hanya dalam rangka pendidikan dan sebagai bekal kelak ketika menghadapi kehidupan berkeluarga (padahal tidak lah demikian adanya, setiap perintah dari sang ibu itu tentunaya bertujuan agar keadaan Yunita yang seperti itu mampu mengalihkan pandangan masyarakat yang selalu mengelu-elukan Yunita beralih ke pada anaknya si Putri). Lalu bagaimana sikap Yunita sendiri yang mengalami langsung semua titah sang Umak tiri yang kejam itu? Dengan kata-kata yang manis yang merayu Yunita dari Umak dalam melakukan segala pekerjaan rumah sebagai bentuk pendidikan, membuat Yunita berfikir panjang, tapi terkadang terlintas di benaknya, lah kok aku saje, yang diajung begawi, ading kok di’de,,,,? Pembantu juge diliburkannye nggak umak ni, seharusnye dik ma’ itu,,oi,, “keluh Yunita” (lah kok bisa-bisanya, aku aja, yang ngerjain pekerjaan rumah adik lho tidak begitu adanya? Belum lagi pembantu, tidak membantu saya, dia diliburkan oleh ibu ini, seharusnya kan tidak begitu,,aduh.,).
Sepuluh tahun kemudian, Yunita kecil semakin dewasa dan semakin tampaklah aura kecantikan paras wajah dan budi pekertinya, dan tubuhnya yang tumbuh kembang indah bagaikan putri dari kayangan ini, mungkin karena Yunita selalu berolah raga dengan ngepel, nyapu, dll? sehingga membuat banyak orang pengguna jalan tersihir untuk melirik acapkali berpapasan dengannya di tengah jalan
“ai, ade, au, betine luk die ,? Belagak, akhlaqnye juge iluk,,nian...cukah die tu anak ku, dik lah ku ajung die tu keluar khumah, apelagi nggawikah gawian yang beghat-beghat luk itu..”
(wah, ada ya, wanita seperti dia? Sudah cantik, sopan sekali...cobak dia itu anak ku, pastinya tidak akan aku suruh dia keluar ruamah apalagi ngerjain pekerjaan rumah yang berat kayak gitu...) (ingat, yang melakukan seluruh pekerjaan rumah adalah Yunita sedangkan pembantu rumah itu hanya sesekali membantunya itu pun seperginya Leha (ibu majikan).
Usut punya usut, ternyata sang Bak paham betul atas apa yang terjadi dalam keluarga besarnya itu, hal ini diketahuinya lantaran pengaduan sang pembantu (Eka) terutama atas apa yang dilakukan oleh sang istri terhadap anaknya. Namun untuk menghindari terjadinya cekcok, dia (Juharman) memilih untuk diam, dengan pertimbangan, toh itu tidak membuat anak nya tampak begitu sengsara, dan walaupun anaknya (Yunita) sering kali mengadu akan hal serupa, ke pada sang Bak yang anehnya, sang Bak seakan tutup telinga, dan selalu seolah tidak mendengar.
Tadi kita membahas perbuatan sang Umak, sekarang belum lagi pebuatan sang Ading (Adek yaitu Putri) yang selalu merasa apa yang ia miliki belum sepenuhnya melebihi sang Kakang (Kakak Yunita), bisa kita tebak pastilah Putri, tidaklah secantik Yunita baik paras wajah, tubuh dan hingga dalam hal pendidikan pun, tidaklah secemerlang Yunita. Yunita adalah anak yang bukan hanya cantik wajah, namun hati dan otak nya juga cantik dan cemerlang sehingga, tidak ayal lagi, Yunita secara kualitas, dan kuantitas, tentu terbaik ketimbang sang Ading yang hanya sibuk akan keirian yang tidak jelas arahnya.
Sampai pada puncaknya dari keburukan dua orang ini (ibu tiri dan adik tiri Yunita), karena mereka berdua merasa telah kehabisan cara dalam menghukum Yunita, maka mereka berdua segera mengatur rencana untuk sedapat mungkin dapat mencelakakan Yunita supaya keberadaanya tidak lagi dapat merepotkan “pikir keduanya”.dan apapun yang mereka rencanakan dalam rangka mencelakakan Yunita itu, berimbas nanti nya kasih sayang Juharman akan berbalik arah, yang semula merujuk banyak hanya pada sang anak (Yunita) seratus delapan puluh derajat berbalik arah hanya terfokus, ke pada kedua orang ini.
Suatu hari, Yunita seperti biasa diperintahkan mencuci pakaian di sungai tetapi, kali ini sungai yang biasa ditempati untuk mencuci, tidak diperbolehkan untuk digunakan lantaran aliran air sungai sedang mengalir terlalu deras dari kebiasaan, dan dikhawatirkan akan memakan korban. Dengan keadaan ini, Yunita tidak ingin mengecewakan Umak dan Adingnya yang tidak memiliki pakaian cukup yang masih bersih untuk dikenakan seminggu kedepannya.
Dengan sedikit terpaksa ia mencuci pakaian tersebut di sungai yang terletak di desa tetangga (Pajar Bulan). Sesampai di sana, ia langsung mencuci semua pakaian, dan bergegas hendak pulang tapi celakanya ia terpeleset, dan keranjang pakaian yang ia bawak terlempar ke sungai yang aliran airnya lumayan deras, dengan cekatan ia mengambil satu-persatu pakaian tersebut, selesai sudah apa yang ia usahakan, namun ternyata, setelah diteliti lagi baju kesayangan Umak tidak diketemukan. Penelusuraspun ia lakukan hingga tanpa terasa, ia telah sampai ke pada batas akhir jalur alir sungai.
Di akhir dari sungai itu ia tetap tidak dapat menemukan bajunya, melainkan ia menemukan sebuah rumah yang keberadaannya di pinggir sungai, dengan penuh hormat ia memberanikan mengetuk rumah tersebut, sampai yang ke kali ketiga, terbukalah rumah mungil itu dengan pemiliknya yang sudah tua baya ia adalah seorang nenek. Yunitapun memberanikan untuk bertannya,
ning, aku jeme dusun seberang, aku nak nanye, ape kamu nemukah baju alab di’de? Ndai ayik ini?
(nek, saya orang seberang, yang nyuci disini, kalo boleh nanya, apakah nenek menemukan pakaian yang bagus hanyut hingga kesini?)
nenek pun menjawab,
au aku nemuka nye, ame dengah nak ngambiknye tandang kudai di khumah ku, galak di’de?
(iya, saya temukan, kalau mau mengambil baju tersebut, kamu harus nginep di rumah saya dulu, apa kamu bersedia?)
Yunita pun menyanggupi persyaratan dari sang nenek, lalu menginap disana.
Yunita mencuci pakaian nenek tanpa dimintak, membantu memasak, merapikan prabotan rumah dll. Hingga malam tiba, Yunita mohon pamit ke pada sang nenek namun sayangnay si nenek tidak memerkenankan Yunita pulang dengan alasan sudah malam dan pastinya di perjalanan sangatlah berbahaya bagi wanita cantik seperti dirinya.
Malam itu Yunita terpaksa harus tidur di rumah si nenek dan tidur berdampingan dengan si nenek, dikarenakan, rumah itu selain mungil juga hanya memiliki satu buah kamar. Kurang legih sudah dua menit Yunita berbaring namun matanya tidak bisa terpecam juga padahal ia sangat lelah dan ngantuk seharian menelusuri sungai, dan hal itu bukan tanpa alasan, bagi Yunita ia belum terbiasa tidur dalam keadaan sempit dan kumuh seperti yang ia alami saat itu, dan tiba-tiba,
Tuuuuuttt............!!!
(suara angin yang dibuang oleh sang nenek terdengar nyaring dan menghantam) tak ayal, tubuh Yunita terpental ke pintu depan rumah si nenek,
aduhh....! “keluh Yunita”.
Eh, si nenek keluar dengan tersenyum, kenapa kamu di sini? Ayo masuk ke kamar, dan tidur sama nenek,
(ternyata si nenek hanya ingin menguji kesabaran Yunita saja)
“au ning, aku ngina’i duaghe kudai ape lah tekunci ape belum,”
(oh, iya nek, aku hanya memeriksa pintu, apakah sudah terkunci rapat apa belum,) “jawab Yunita”.
Setelah kejadian itu, si nenek merasa bahwa Yunita telah lulus ujian, dan si nenek dan Yunita melanjutkan tidur kembali.
Pagi harinya, lagi-lagi Yunita sudah bangun pagi sekali dan mamasak, menyiapkan makanan dan membersihkan rumah dan halaman sekitar, dan tidak lama dari itu si nenek terbangun dari tidur dan memuji apa yang telah dilakukan Yunita pagi itu
“ai dengah ni rajin pule, cukah anak ku yang betine masih gi ade, pasti die luk dengah belagak, sopan, duk oi,,!!”
(wah kamu ini rajin sekali, cobak anak perempuan saya masih hidup “kenang si nenek”, pasti dia kayak kamu, cantik, sopan, cobak kayak gitu yah,,,!! “keluh si nenek”). Dengan tersipu malu, Yunita terperanjat sadar, bahwa dia harus bergegas pulang, lantaran baju yang masih dengan nenek sudah bisa dibawak pulang dan tentu seluruh orang di rumah mencemaskan dirinya.
Yunita pun memohon pamit untuk pulang sembari meminta baju yang masih dengan si nenek, sebelum memberikan baju si nenek menghadiahi Yunita sebuah labu dengan harapan semoga labu itu kelak dapat dimanfaatkan, lalu setelah mendapatkan baju tersebut ia pun berlalu dari hadapan si nenek dengan tidak lupa mengucapkan terima kasih
“teriring senyum kemenangan” dan si nenek pun demikian “sambil mengangguk dan tersenyum tanda rela dan bangga”.
Sesampai di rumah Yunita mendapati seluruh keluarga dan beberapa masyarakat sekitar sedang berkumpul di ruang tamu yang sepertinaya mereka sedang berbincang soal kehilangan dirinaya, dan tampak di sana kepala desa setempat dan orang-orang kampung yang tidak dikenal olehnya. Setelah mohon untuk masuk Yunita langsung memohon maaf kepada semua pihak, yang mamang tampaknya sedang bingung apalagi setelah ia datang, semua nampak kaget
“nah...ini die anak dengah Asmirah..”
(nah...ini anakmu datang Asmirah) “celetuk kepala desa sepontan karena dia yang kali pertama melihat Yunita berlari masuk sambil menangis”
Asmira tertegun sebentar, lalu berucap
“lah ternyate masih idup dengah...?!” (lah masih hidup dirimu?!) “salah bicara” “cecangkah..! diputus oleh Bapak Juharman “ngumung ape dengah ni?” (ngawur : bahasa jawa. Bicara apa sih kamu ini?)
sejurus kemudian, para tamu berpamitan dengan perasaan lega karena Yunita telah kembali tanpa harus dicari terlebih dahulu.
Yunita pun memberikan labu yang diperolehnya dari sang nenek yang bertempat tinggal di pinggir sungai desa tetangga dengan antusias sang Umak dan Ading membelah labu tersebut dan ? Umak, Ading dan seisi rumah terkaget tak ketinggalan Yunita sendiri pun yang membawa labu itu sendiri terkaget bukan kepalang sebab labu yang dibelah, bukan berisikan labu yang biasa mereka nikmati sebelumnya, melaikan berisikan emas, intan dan sejenisnya...
Bertambahlah sayang sang Bak terhadap Yunita setelah kejadian itu. Namun jauh dari harapan sang Umak dan Adik tiri semakin dengki dan irinya sehingga ia (Umak) menginginkan melakukan tandingan “Yunita saje pacak, ngape Putri di’de pacak? Pagi dengah ke aik itu juge, ngga’ temui pule jeme tue itu, udim itu, mintak pule labu ndai nye suteik atau lebih labu pule..!” (Yunita saja bisa, kenapa Putri tidak? Kalau begitu, besok kamu Putri pergi ke sungai itu lalu temukan sang nenek dan mintaklah padanya sebuah atau lebih labu) “sinis”.
Sebagaimana yang dilakukan Yunita, Putripun melakukan hal yang sama dengan berpura mencuci pakaian ke sungai desa tetangga. Belum sempat ia mencuci pakaian ia dengan sengaja menghanyutkan semua pakaian dan mengikuti alur aliran air sungai hingga akhirnya samapailah ia pada ujung sungai dan ia pun dengan penasaran mencari-cari rumah di tepi sungai. Tak lama kemudian ia mendapati nenek paruh baya yang sedang meniti jalan menuju rumah yang tampak kumuh dan mungil.
“ning nemukah baju ku yang hanyut ke sini di’de?”
(nek apakah nenek menemukan baju saya yang hanyut hingga ke daerah ini) kata Putri ”penasaran”
“au, ame nak ngambiknye, tandang kudai ke khumah”
(iya, kalau mau mengambilnya, menginaplah dulu ke rumah) “jawab nenek sambil berlalu”
“tape? Betandang ke khumah kutur luk ini? Di’kundak ah!!”
(apa? menginap dirumah yang kotor kayak begini? Tidak mau ah!!) “Putri : dalam hati” “au dik ngape ning” (eh iya, nek tidak apa-apa) “putri melanjutkan”.
Malam tiba, Putri tidak lah melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Yunita yang memasak tanpa dimintak, malahan ia nyeletuk memintak si nenek untuk memasakkan makanan malam, karena Putri beralasan tidak lah pernah mencoba untuk memasak di rumah sehingga si nenek berpesan ke pada Putri untuk belajar memasak karena dia adalah wanita yang akan mendampingi suaminya kelak setelah menikah. Selanjutnya si nenek menyapu, hingga matahari “membenamkan diri tanda malu”
Di malam yang mulai dingin, Putri memintak ke pada si nenek untuk ia mendapatkan tempat tidur karena perjalanan pulang sangatlah jauh dan melelahkan “sepertinya Putri ingat betul akan instruksi dari sang kakak berkenaan apa saja yang telah sang kakak lakukan di keseharian dalam pencarian baju tersebut”.
Tanpa disadarinya, atau mungkin sang kakak tidak menceritakan prihal buruk yang dilakukan si nenek saat tidur, yaitu buang angin dengan kerasnya “tiba-tiba” “Tuuuuuuttt...!!!” (suara angin yang dibuang oleh nenek terdengar nyaring dan menghantam) tak ayal Putri terpental tepat pada tempat di mana Yunita saat itu terpental” oh no....!!!(oh tidak : bahasa Inggris) nining kurang ajar pule...!!” (nenek kenapa kurang ajar sekali..!!) “teriak dan mencemooh”
Si nenek semakin paham, ternyata wanita (Putri) yang ada bersamanya saat ini jauh berbeda dengan wanita yang ia temui sebelumnya (Yunita). Setelah malam berlalu, nenek terjaga dari tidur berkat teriakan ayam jantan milik si nenek saat pagi membuka mata di pagi hari.
Selepas bangun dan memasak sembari menunggu matahari bangun (terbit) si nenek menyapu dan membangunkan putri yang masih terlelap tidur, dengan terperanjat Putri bangun dari tidur lalu pergi ke sungai dan mandi. Sebentar dari mandi Putri memintak baju yang ditemukan sang nenek, sebab ia ingin segera pulang dan dengan beraninya ia memintak ke pada si nenek sebuah labu.
Mendapatkan pakaiannya kembali dan dengan labu yang telah ia proleh dari si nenek dengan senangnya iapun meningalkan nenek, sembari meniti lagi jalan semula untuk pergi dan pulang.
Kedatatang Putri ternyata telah ditunggu-tunggu oleh sang Umak dan sekelompok masyarakat yang sengaja ditatangkan khusus untuk menyaksikan keberhasilan anak nya itu, tidak ketinggalan pula Yunita dan Sang Bak ikut menyertai dalam penantian.
“nah, baliek lah gale kamangan kamu ni,, anak ku lah nyampai, di’de nak lame-lame ige di sini! Empuk kamangan kamu nak lame-lame di’ lah kah ku enjuk,,,!!”
(nah, sudah pulang saja kalian karena anak saya telah pulang tidak usah lama-lama di sini dan walau kalian tidak pulang, saya juga tidak akan memberi ) “membalikkan badan dengan cuek dan bersegera masuk rumah” tanpa dikomando mereka para masyarakat yang saat itu hadir, berhamburan pulang dengan masing-masing menggerutu.
Bersamaan dengan itu, kebingungan yang sangat dirasakan oleh Juharman dan anaknya yang semakin tidak mengerti akan tingkah laku istri kedua nya itu.
Asmirah dan Putri anaknya, menuju kamar dan menguncinya sesaasat kemudian membelah labu yang dibawak oleh Putri dengan semangat empat limanya..!!, “tiba-tiba” terdengar teriakan mintak tolong
Tolong...!! “
bersamaan dan bersaut-sautan” dari dalam kamar dan suara itu sangatlah memilukan sehingga para tetangga dan warga sekitar berdatangan dengan niatan membantu atau sekedar menengok dari dekat ada apakah gerangan yang terjadi.
Dengan sepontan, seluruh warga mengusulkan untuk tidak menolong serta mereka menghalangi tiap kali Juharman dan Putri berusaha ingin mendobrak dan menolong ibu dan anak itu.
Namun apa daya mereka berdua tak kuasa mendobrak benteng petahanan warga yang membentuk tembok kuat seakan menahan segala bala bantuan apapun dari luarnya agar tidak bisa mendobrak masuk melalui pintu kamar yang dipastikan orang yang berada di dalam kamar itu sungguh membutuhkan pertolongan.
Dengan hitungan menit, teriakan dari dalam kamar itu lambat-laun meredup dan hilang. Setelah beberapa saat, warga bergantian menerobos masuk dan?
apa yang mereka lihat adalah sebuah pemandangan yang sangat menjijikan. Tubuh ibu maupun anak itu tidak berbungkuskan apa-apa melainkan hanya sobekan-sobekan pakaian yang membaluti tulang tanpa daging, sungguh mengenaskan, konon tubuh mereka berdua digrogoti sejenis rayap pemakan daging yang keluar dari labu. Sayangnya, tidak satu pun orang yang tahu persis bentuk hewan-hewan pemakan daging tersebut serta entah kemanakah pergi nya hewan ganas itu.
Dua minggu dari kejadian, Bapak Juharman sakit-sakitan lalu meninggal. Yunita pun entah kemana konon gadis cantik itu sengaja kabur karena malu. Semoga Tuhan menjaganya.
The End
No comments:
Post a Comment