Makalah ‘ulum
al-hadits
Oleh: M Ainul Mustofa
Nimko :
09.04.007.0001.1.00105.
Kajian
hadits dha’if
I.
Pendahuluan.
Dengan rahmat Alloh SWT ahirnya sampailah pada
giliran saya untuk membahas dan mempresentasikan tentang kajian hadits
dha’if yang meliputi :
a. Pembagian hadits dha’if sebab diluar tidak ada persambungan sanad,
Pengertian dan contohnya masing-masing.
b. Kekuatan hadits dha’if.
Namun sebelum jauh membahas hal tersebut penulis
akan sedikit menguraikan tentang definisi hadits dha’if baik secara etimologi maupun terminology
sebagai berikut :
Sehingga
dalam konteks ilmu hadits dapat dikatakan bahwa hadits dha’if
adalah hadits yang lemah, namun pada perihal tersebut dalam
pendeskripsiannya terdapat heterogenisme para ulama’ al-hadits untuk
memberikan makna terminologinya misalnya :
·
ما
لم يو جد فيه شروط الصحة ولا شروط الحسن ( hadits dha’if menurut an-Nawawi).
·
ما
فقد شرطا من شروط الحديث المقبول (hadits dha’if menurut Nur ad-Din ‘athr).
·
كل
حديث لم يجتمع فيه صفات القبول (hadits dha’if menurut ulama’ lain).
Dari berbagai deskripsi tersebut dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa hadits dha’if adalah sebuah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shohih maupun hasan sehingga tidak bisa
diterima adanya karena mungkin tidak bersambung sanadnya, kualitas perowinya,
karena ada pertentangan dalam matan dengan hadits yang lebih tsiqah dsb,
namun yang lebih menonjol dalam penentuan hadits dha’if adalah terkait
pada sanad dan matan.
Kemudian
bila dalam pembahasan yang sudah maupun belum terdapat pelbagai kesalahan
ataupun kerancuan bahasan penulis hanya dapat meminta kritikan dan saran yang
bersifat membangun dan tidak menerima saran dan kritikan yang bersifat menjatuhkan
dan atas partisipasinya penulis ucapkan terima kasih dan mohon maaf atas
segala kesalahan.
II.
Pembahasan.
2.1
Pembagian hadits dha’if sebab diluar tidak adanya persambungan sanad.
Dalam pengaplikasian pembagian hadits dha’if selain dari pada persambungan sanadnya adalah
karena adanya cacat pada pribadi rawi itu sendiri yang kemudian dapat dibagi
atas dua kategori yaitu:
a.
Dha’if sebab cacat keadilan.
1.Hadits
matruk.
§ Pengertian.
Kemudian
orang arab menyebut kulit telur setelah mengeluarkan anak ayam juga dengan
sebutan تريكه : tertinggal tidak ada faedahnya.jadi hadits matruk maksudnya
bahwa hadist ini tidak didengar, tidak dianggap, tidak dipercaya oleh karena
menyangkut pribadi perawi yang kurang baik. Dalam istilah, hadist matruk
adalah :
الحديث
الذي يكون احد رواته متهم با الكدب
Hadist
yang salah satu periwayatnya seorang tertuduh dusta.
Diantara sebab-sebab
tertuduhnya seorang perawi, ada beberapa kemungkinan yaitu sebagai berikut :
1. Perawi yang meriwatkan hadist tersebut
tunggal ( tidak ada orang lain yang meriwayatkan hadist tersebut melainkan dia
).[3]
2. Rawi hadits disepakati kedhaifannya oleh
para ulama hadits.[4]
3. Perawi terkenal pembohong atau pendusta.
4. Fasik atau suka menyepelekan ibadah.
Contoh
hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan ‘Amr bin Syamr, dari Jabir al-luthfi dari Haris dari Ali.
Dalam hal ini ‘Amr termasuk orang yang haditsnya ditinggalkan.[5]
2.
Hadits Majhul.
§ Pengertian.
Dalam
bahasa arab kata لا
اعلام بها ) مجهول )[6] artinya tidak diketahui. Jadi secara
istilah bahwa hadits matruk adalah hadits yang tidak jelas siapa yang
merawikannya dalam konteks yang dimaksud adalah jati diri sang prawi( jahalah).Ada
beberapa faktor penyebabnya diantaranya :[7]
1.Seseorang
memiliki banyak nama (mungkin nama julukan).
2.
perowi yang hanya memiliki sedikit periwayatan hadits, sehingga sedikit pula orang yang menerima hadits darinya.
§
Pembagian.
a. Majhul al-ain :
Perawi disebut dalam sanad tetapi tiada yang menerima atau mengambil
periwatannya selain satu orang saja.[8]
Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh tirmidli dari
hakim melalui jalan Hisyam bin Yusuf dari Abdullah bin Sulaiman an-Nufali dari
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dari Ayahnya dari Kakeknya secara
marfuk.
Dalam periwayatan ini Abdullah bin Sulaiman
an-Nufail tidak diketahui jatidirinya karena tidak ada yang meriwayatkan dari
padanya melainkan Hisyam bin Yusuf.
b. Majhul al-Hali
: Periwayatan diambil dari dua orang atau lebih, tetapi tidak ada yang tsiqoh.
Misalnya hadits yang diriwayatkan Ibnu Majjah
melalui Itsam bin Ali dari al-‘Amasyi dari Abu Ishaq dari Hani’bin Hani’.
Ternyata Hani’bin Hani’tidak diketahui identitasnya karena tidak ada orang yang
menerangkan bahwa ia atau orang yang meriwayatkan hadits darinya itu tsiqoh.
3. Hadits Mubham.
§
Pengertian.
Dalam bahasa arab mubham berarti samar atau tidak jelas. Yaitu Perawinya tidak disebutkan namanya baik dalam
sanad atau matan melainkan hanya disebutkan identitas secara umumnya saja misalnya
kata fulan atau fulanah.
Hadits mubham ini
terbagi menjadi dua macam yaitu : [9]
1. Mubham dalam sanadnya : dalam
persambungan sanadnyanama dari sebagian perawinya. Missal : “Dari Sufyan, dari fulan”.dan hokum
kemubhamannya sampai pada status dha’if.
2. Mubham dalam matannya : dalam matan
hadits tidak ada kejelasan dalam menerangkan subyek hadits. Missal : “bahwa seorang laki-laki perempuan bertemu dengan Nabi saw”.namun
statusnya tidak membayakan kedudukan hadits.
b.
Dha’if
sebab cacat ke-dhabith-an.
1.
Hadits
Munkar.
Kata munkar berarti inkar yaitu : menolak atau tidak menerima. Jadi secara istilah
adalah ada kesalahan, kelupaan atau bahkan kefasikan yang parah pada sanadnya.
Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah
melalui Usamah bin zaid al-madani dari ibnu syihab dari abu salamah bin
Abdurrahman bin auf dari ayahnya secara marfuk. Yang indikasinya bahwa hadits
itu bertentangan dengan hadits periwayatan Ibnu abi Abi Dzibin yang tsiqoh
krena mauquf pada Abdurrahman bin Auf.
2.
Hadits
Mu’allal.
Kata mu’allal berasal dari kata ‘illah : penyakit. Jadi yang dimaksud
yaitu bahwa hadits yang didalamnya terdapat ‘illah yang menimbulkan kecacatan
pada status keshahihannya[10].
Dan ‘illah bias terjadi pada matan atau sanad.
Misalnya
hadits yang diriwayatkan tirmidzi dan Abu Daud dari qutaibah bin Sa’id memberi
tahukan kepada kami Abdussalam bin Harb al-Mala’I dari al-Amasy dari anas.
3.
Hadits
Mudraj.
Kata mudraj berasal dari kata idraja : memaukkan, menghimpun dan menyisipkan.
Mudraj
dibagi dua[11] :
a. Mudraj
Matan (sebagian rawi memasukkan kata-kata lain pada matan hadits). Misalnya
hadis yang diriwayatkan Aisyah ra tentang tahannus, yang dalam matannya
diselikan kata ta’abbudu.
b. Mudraj
Sanad ( beda sanad diahir atau dicampur dengan jalur periwayatan lain).
Misalnya hadits yang diriwayatkan Anas tentang larangan saling benci,mendengki
yang kemudian disisipkan oleh sa’id bin
Abu Maryam, sehim\ngga menjadi satu bentuk sejalur periwayatannya.[12]
4.
Hadits
Maqlub.
Kata
maqlub berasal dari akar kata qalaba
yang artinya : mengubah, mengganti,
berpindah atau membalik. Jadi maksudnya ialah hadits yang terbalk pada
redaksinya baik sanad maupun matannya.
Misalnya
yang terbalik sanad adalah hadits yang diriwayatkanKa’ab bin Murrah diucapkan
Murrah bin ka’ab. Dan yang terbalik pada matannya seperti yang diriwayatkan
Ibnu Umar tentang Nabi yang duduk menghadap qiblat dan membelakangi syam
terbalik menjadi menghadap syam membelakangi qiblat.
5.
Hadits
Mudhtharib.
Kata
mudhtharib artinya gncang atau getar seperti ombak., karena ada dua hadits yang
bertentangan ( dalm segi yang berbeda) yang sama kualitasnya.[13]
Misalnya
hadits Abu Bakar yang bertanya seutar berubannya rambut Rosulullh saw yang
diklaim mudhtharib oleh ad-Daruquthni.
6.
Hadits
Mushahhaf dan Muharraf.
Kata mushahhaf
memiliki arti salah baca ada tulisan.[14]baik
karena salah melihat atau mendengar sehingga memiliki makna istilahhadits yang
terdaat perbedaan pada titik hurufnya. sedangkan kata muharraf memiliki artimengubah atau mengganti sehingga maknanya
perbdaan hadits karena bbeda harakat saja.
Misalnya (mushahhaf ) hadits tentang puasa Ramadan yang kemudian diikuti enam
hari puasa syawal yang redaksinya kata sittan
dibaca syaian. Contoh dari (muharraf) adalah hadits tentang Ubai
yang terkena panah pada lengannya, yang kemudian kata Ubay dibaca Abii.[15]
7.
Hadits
Syadz.
Kata syadz berarti ganjil yang maksudnya
adalah perowi meriwayatkan haditsnya hanya sendirian baik parawinya tsiqah
ataupun tidak.
Misalnya
hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari at-Tirmidli melalui Abdulwahid bin
Zayyad dari al-Amasy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah tentang tidur miriring
pada lambung kanan setelah sholat fajar dua rokaat yang menurut Baihaqi
periwayatan Abdul wahid bin zayya menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkan
melalui segi perbuatan Nabi.[16]
2.2
Kekuatan hadits dha’if.
Kehujjahan
hadits dhaif , maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani[17]
menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
a. Level
Kedhaifannya Tidak Parah Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak
jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati
shahih atau hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang
bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum
halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh
digunakan untuk perkara fadahilul a'mal (keutamaan amal).
b. Berada di bawah Nash
Lain yang Shahih. Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai
dasar dalam fadhailul a'mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan
hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok,
tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
c. Ketika
Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
Selain itu Al-Imam An-Nawawi[18]
rahimahullah, juga mensyaratkan hadits dha’if dapat diterima jika :
• Hadits dhaif itu
tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha'if yang perawinya sampai
ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan
hafalannya tetap tidak bisa diterima.
• Hadits itu punya asal
yang menaungi di bawahnya.
• Hadits itu hanya
seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam
masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
• Ketika mengamalkannya
jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar
berhati-hati. Semua keterangan di atas, jelas bukan pendapat kami. Semua itu
adalah pendapat para ulama pakar ilmu hadits. Kami ini bukan berada dalam
posisi untuk mengkritisi salah satunya. Sebab beda maqam dan beda posisi.
III.
Penutup.
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun
matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang
masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham,
hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi
rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat
sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi
pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya. Sehingga dalam
pengklasifikasiannya seperti yang telah tertulis dalam makalah ani dan
selanjutnya penulis hanya dapat mengcakan mohon maaf yang sebesar-besrnya atas
segala kekurangan.
Daftar Pustaka
Abu fadli.lisan al-arab.1997.dar al-shadar.Beirut.
Alwi al-Maliki
Muhammad.Ilmu Ushul Hadits.2009.Pustka
Pelajar.Yogyakarta.
Thahhan, Mahmud.Taisir Mushthalah al-Hadits.1985.Haramain.Sankapura
Jeddah Indonesia.
Majid khon,Abdul.Ulum al-hadits.2009.Amzah.Jakarta.
Syarakh al-Nukhbah.
Al-Taqrib.
[1] Thahhan, Mahmud.Taisir Mushthalah al-Hadits.1985.Haramain.Sankapura
Jeddah Indonesia.hlm.63
[2] Abu fadli.lisan al-arab.1997.dar al-shadar.Beirut.hal.405
[3] Alwi al-Maliki Muhammad.Ilmu Ushul Hadits.2009.Pustka
Pelajar.Yogyakarta.hlm.140
[4] Ibid.hal.139
[5] Ibid.hal.140
[6] Abu fadli.Opcit.hal.130
[7] Majid,Abdul.Ulum al-hadits.2009.Amzah.Jakarta.hlm.185
[8] Ibid.
[9] Alwi al-Maliki Muhammad.Opcit.hlm.105
[10] Majid,Abdul.Opcit.hlm.189
[11] Alwi al-Maliki Muhammad.Opcit.hlm.126
[12] Ibid.
[13] Majid,Abdul.Opcit.hlm.194
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Syarakh al-Nukhbah.
[18] Al-Taqrib.
No comments:
Post a Comment