PENDAHULUAN
Puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan nikmat ilmu sehingga kita bisa menjadi salah
satu dari bagian orang-orang yang berilmu. Maka dari itu sungguh beruntunglah
kita, karena orang-orang yang berilmu telah dijamin oleh Allah SWT sebagai
orang-orang yang mulia disisi-Nya.
Seperti yang kita
ketahui, ilmu hadits adalah ilmu yang sangat mulia dalam islam. Orang-orang
yang bergelut didalamnya telah menyandang gelar keharuman tersendiri dalam
sejarah. Sebut misalnya: malik bin anas, abu hanifah, al-syafi’i, ahmad bin
hambal, al-bukhori, muslim, ibnu khuzaimah, ibnu hibban, al-nawawi, ibnu hajar,
ibnu katsir, ibnu taimiyyah, ibnu qayyim, ibnu rajab, al-syaukani, dan lainnya
yang tetap berlanjut sampai saat ini. Merekalah ashhab al-hadits (para ahli hadits) dan merekalah orang-orang yang
mendapatkan pengakuan bahwa sebagai penghulu atau pemimpin al-firqah al-najiyyah (golongan yang selamat).
Oleh karena itu
alangkah baiknya jika kita mengikuti jejak mereka sebagai orang-orang yang bisa
bergelut dalam ilmu hadits dan bisa menyandang gelar serta keharuman tersendiri
sebagaimana mereka semua.
PEMBAHASAN
A. Hadist Mutawatir
Secara bahasa,
mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawwaatur yang artinya berurutan. Menurut
istilah adalah “hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan senadnya , menurut akal
tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan
hadist,, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat
dikeahui dengan indera seperti
pendengarannya dan semacamnya”
Adapun
syarat-syarat hadist bisa di katakan mutawatir ada 4. Yakni :
a. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
b. Jumlah yang banyak berada pada semua
tingkatan (thabaqat) sanan.
c. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka
bersekongkol bersepakat untuk berdusta
d. Sandaran hadist mereka dengan
menggunakan panca indera mereka . Adapun jika sandaran mereka dengan
menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadist mutawatir[1]
Hadist mutawatir di
bagi jadi 2, yakni :
a. Mutawatir lafhdhi : Mutawatir laftdhy
adalah apabila lafadh dan maknanya mutawatir.
Misalnya hadits :
من
كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku ( Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam ) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari
api neraka”.
Hadist ini telah
diriwayatkan lebih dari 70 orang sahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang
yang dijamin masuk surga.
b. Mutawatir ma’nawi : maknanya yang
mutawatir sedangkan lafadznya tudak. Contohnya.
وقال ابو موسى الاشعري دعا النبي صلى الله عليه وسلم
ثم رفع يديه ورايت بياض ابطيه
“Abu
musa al-as’ari berkata : nabi Muhammad saw berdoa, kemudian beliau mengangkat
kedua tangannya hingga aku melihat putih-putih kedua ketiaknya” hadits-hadits
tentang mengangkat tangan ketika berdo’a”.
Hadits ini telah
diriwayatkan dari nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tanganketika
berdo’a. dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain.
Sedangkan setiap kasus belum mencapai derahat mutawattir. Namun bias menjadi
mutawattir karena adnya beberapa jalan dan persamaan antara hadis-hadis
tersebut.[2]
Hadis mutawatir ini
memiliki faidah ilmu dhoruri. Yakni, suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkannya
sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut. Hingga membawa
kepada suatu keyakinan yang qat’I (pasti).
B. Hadis Ahad
Secara bahasa kata ahad
atau wahid jika dilihat dari segi bahasa berarti satu. Maka khabar ahad atau
khabar wahid berarti suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.[3]
Sedangkan menurut para ahli hadis ialah
هو ما لا ينتهي الا التواتو
“Yakni
hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir”
Dari jumlah rawi-rawi
dalam thabaqat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Hadis ahad kemungkinan
juga terdiri dari tiga orang atu lebih, dua orang atau hanya seorang. Para muhadisin
memberikan nama-nama bagi hadis ahad tersebut dengan nama:
a. Hadis Masyhur
Menurut bahasa adalah
“Nampak atau terkenal”. Sedangkan menurut istilah hadis masyhur adalah ; “Hadis
yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqat dan
melum mencapai derajat hadis mutawatir”.[4]
Hadis masyhur ini ada
kalanya berstatus hasan, sahih,dan dhaif. Sedangkan yang dimaksud hadis shahih,
hasan dan dhaif adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan
hadis shahih baik sanad maupun matannya.[5]
Istilah masyhur disini
bukan untuk memberikan sifat-sifat hadis menurut ketetapan hadis diatas. Namun,
kata masyhur disini lebih menekankan pada ketenaran suatu hadi dikalangan
ilmuan tertentu atau masyarakat ramai. Sehingga dengan demikian ada suatu hadis
yang rawi-rawinya kurang dari tiga orang, atau bahkan ada hadis yang malah
tidak bersanad sama sekali. Namun, tetap bias dikatakan mayhur karena telah
memenuhi syarat:
a) Jumlah rawi tiga orang atau lebih
b) Telah tersebar luas dikalangan
masyarakat[6]
Melihat dari ketentuan diatas maka hadis
masyhur dikelompokkan menjadi:[7]
a) Masyhur diantara para ahli hadis secara
khusus, misalnya hadis;
ان
رسو ل الله صاى الله عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع يدعو على رعل وذكوان
“Bahwasannya
Rasulullah SAW membaca do’a qunut selama satu bulan penuh setelah ruku’ untuk
memdo’akan kaum Ri’il dan Zakwan”. (HR.
Bukhori dan Muslim)
b) Masyhur dikalangan ahli hadis dan ulama
serta orang awam, misalnya;
المسلم
من المسلم المسلمون من لسا نه ويده
“seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari
lisan dan tangannya”. (HR. Bukhori dam
Muslim)
c) Masyhur diantara para ahli fiqh,
misalnya;
ابغض
الحلا ل عند الله الطلاق
“perebuatan
halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq”. (HR.
Al-hakim, namun hadits ini adalah dha’if)
d) Masyhur diantara ulama ushul fiqh,
misalnya;
رفع
عن امتى الخطا والنسيا وما استكر هوا عليه
“ telah dibebaskan dari umatku kesalahan kesalahan dan kelupaan
dan apa-apa yang dipaksa…..”. (HR. Al-hakim
dan ibnu hibban)
e) Mayhur dikalangan masyarakat umum,
misalnya;
العجلة
من الشيطان
“tergesa-gesa adalah sebagian dari perbuatan syaitan”(HR.
Turmidzi dengan sanad hasan)
b. Hadis Ghair Masyhur
Hadis ghair masyhur ini
terbagi menjadi;
1) Hadis Aziz
Menuru istilah hadis
aziz yakni: hadis yang peraowinya kurang dari dua orang dalam setiap
thabaqatnya.[8]
Penjelasan lebih lanjut tentang definisi hadis aziz ini, Mahmud at-Thahan
menjelaskan “bahwa sekalipun dalam sebagian thabaqat terdapat perawi tiga atau
lebih, hal itu tidak menjadikan masalah asalkan dari setiap thabaqat terdapat
satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang.[9]
a) Contoh Hadis Aziz
ما رواه الشيخان من حديث انس والبخاري من حديث ا بى
هريراهرضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لا يؤمن احدكم حتى أكون
أحب اليه من والده وولده
Rasulullah
SAW bersabda “tidaklah berimanseseorang dintara kamu hingga aku lebih dicintai
daripada dirinya, orang tuanya, anak-anaknya, dan semua umat manusia”.
Dalam hadis ini hadis
aziz bisa ada kalanya hadis shahih, hasan dan dhaif.[10]
2) Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa
berarti mufarridan yang berarti menyendiri di negaranya, sedangkan menurut
istilah yakni hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya sekiranya tidak ada perawi lain yang meriwayatkan hadis
tersebut. Atau dalam penyendiriannya tersebut dia menambahkan matan dalam hadis
tersebut.
Jika ditinjau dari
penyendirian seorang perawi, maka hadis gharib ini dibagi menjadi dua macam,
yaitu;
(1). Gharib Mutlaq :
yakni seorang perawi tersebut menyendiri dalam meriwayatkan suatu hadis meski
dia berada pada thabaah yang pertama.
االو
لا لحمة كلحمة النسب لا يباع ولا يوهب
“kekerabatan
dengan jalan memerdekakan sama dengan kekerabatan dengan nasab tidak boleh
dijual dan tidak boleh dihibahkan”.
Hadis ini diterima dari
Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Ibnu bin Dinar saja yang
meriwayatkannya, sedang Ibnu Umar dan Ibnu bin Dinar adalah seorang tabi’in
yang hafidz, kuat ingatannya dan dapat dipercaya.
(2). Gharib Nisbi :
Apabila
penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rowi, maka
hadis yang diriwayatkannya disebut dengan hadis gharib nisby. Penyendirian rawi
mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rowi, mempunyai
beberapa kemungkinan, antara lain:
(a). tentang sifat keadilan dan
kedhobitan seorang rowi
(b). tentang kota dan tempat tinggal
rowi
(c). tentang meriwayatkannya dari rowi
tertentu
(d). istilah muhadisin yang bersangkutan
langsung dengan hadis gharib
(e). cara-cara untuk menetapkan hadis
gharib
Salah satu contoh dari hadis gharib
nisbi yakni;
أمرنا
رسول الله صلى الله عليه وسلم أن تقرأ بفا تحة الكتاب وما تيسر منه
“Rasulallah memerintahkan kepada kami agar kami membaca
surat al-fatihah dan surat yang mudah dari al-Qur’an”
KESIMPULAN
Ada
beberapa hal yang bisa kita garis bawahi dari beberapa bab diatas yakni bahwasanya
hadits mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan
kedlabitannya, karena kwantitas rawi-rawinya sudah dijamin dari kesepakatn
bebuat dusta.
Sedangkan
hadits masyhur, aziz, dan ghorib masing-masing ada yang shahih, hasan dan
dho’if. Juga setiap hadits ghorib itu dho’if. Ia ada kalanya shahih apabila
memenuhi syaratyang dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hadits yang
lebih rajih, hanya saja pada umumnya hadits ghorib itu dho’if, dan kalau ada
yang shahih itupun hanya sedikit.
DAFTAR PUSTAKA
Drs
fachtur rahman.1974.iktishar mushtholah
al-hadits.PT Al-ma’arif.bandung
As-Sayid
muhammad bin alawi al-maliki
al-husni.1410H.minhaj al-lathif fi ushul
al-hadits al-syarif
Drs
H mudatsir.2008.ilmu hadits.pustaka
setia.bandung
As-sayid muhammad bin
alawi al-maliki al-husni.1402.al-qa’idah
al-islamiyyah fi ilmu mustholah al-hadits
No comments:
Post a Comment