Taman

Friday, October 7, 2011

AL-FARABI & IBNU SINA (Riwayat Hidup & Filsafatnya tentang Tuhan, Alam, dan Manusia)

AL-FARABI & IBNU SINA
(Riwayat Hidup & Filsafatnya tentang Tuhan, Alam, dan Manusia)
Oleh: A. Qomarudin & Makhrus Ali (Mahasiswa STAIMA Al Hikam Malang)
Dosen Pembimbing: Mutamakin, S.Fil, M.A

PENDAHULUAN
Islam merupakan ajaran agama yang tidak menerima pertentangan dan juga pemisahan antara kehidupan rohaniyah dengan keduaniawian atau antara akal dan hati dan juga antara ilmu dan amal. Justru antara beberapa hal di atas merupakan beberapa aspek yang memang harus dikaji dan dipelajari oleh umat manusia. Sebab dalam ruang lingkup ajaran islam memuat semua segi yang ada dalam kehidupan tanpa menafikan salah satu diantaranya.
Begitu juga dalam masalah filsafat yang menjadi perdebatan hebat antara beberapa filosof Islam pada masa lalu. Dalam islam tidak ada yang melarang dan mencegah untuk mempelajarinya. Sebab padanya akan kita ketemukan kaitan antara ilmu dengan amal. Ilmu yang kita dapatkan akan menjadi landasan bagi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan. Juga adanya keterkaitan antara akal dan hati, yang mana akal kita dituntut untuk menelusuri kebenaran yang muncul dari dalam hati kita. Dan apabila keduanya dapat dibuktikan secara empiris, tentu menjadi sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
Beberapa hal di atas yang menjadi kajian beberapa tokoh pada beberapa abad yang lalu. Dan pada waktu itu dapat dikatakan keilmuan Islam berkembang pesat dengan langkah awal menerjemahkan buku-buku induk dari bahasa-bahasa asing (Yunani, India, dan Cina) kedalam bahasa arab. Demikian yang dilakukan para tokoh pada masa itu untuk terus mengembangkan akal dan ilmu. Sehingga pada akhirnya akan muncul beberapa tokoh ternama dari lapangan filsafat yang memepengaruhi alam pikiran Islam dan selama berabad-abad juga telah mempengaruhi perkembangan pemikiran bangsa Eropa.
Dalam makalah ini penulis akan membahas sedikit tentang biografi dan pemikiran-pemikiran dari kedua filosof Islam (Al-Farabi dan Ibnu Sina) yang keduanya berasal dari Dunia Islam Timur. Dengan demikian, menjadi penting bagi kita sebagai Mahasiswa untuk mengkajinya secara sistematis.
A.    Al-Farabi
1.    Riwayat dan Karya-karyanya
Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Tarkhan bin Auzalagh, dan lebih terkenal dengan sebutan Al-Farabi. Ia dilahirkan di kota Farab (Wasij sekarang Atrar, Turkistan) 257 H/ 870 M. Di kalangan orang-orang Latin Abad Tengah, ia dikenal dengan Abu Nasr (Abunaser). Ayahnya seorang jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya seorang berkebangsaan Turki.
Pada waktu muda, ia pergi ke Iraq dan menetap di sana untuk belajar ilmu nahwu kepada Abu Bakar as-Saraj, dan belajar mantiq kepada Abu Basr Matta bin Yusuf, yang menggunakan buku Aristoteles sebagai rujukan. Kemudian ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhana bin Hailan.  Akan tetapi tidak beberapa lama, ia kembali lagi ke bagdad untuk memperdalam filsafat.
Pada tahun 330 H/ 945 M, ia pindah ke Damaskus dan bertemu dengan saif ad-Daulah al-Hamdani, sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Kemudian ia diberikan kedudukan sebagai ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar. Akan tetapi, ia lebih memilih kehidupan yang sederhana (zuhud), sehingga tunjangannya ia berikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus. Selain itu, ada sesuatu yang paling menggembirakan di tempat itu, adalah ia bertemu dengan banyak para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan kaum cendekiawan lainnya. Kurang lebih 10 tahun ia hidup di 2 kota ini, sampai akhirnya hubungan antara pengusa keduanya memburuk dan akhirnya Saif ad-Daulah menyerbu Damaskus dan dapat dikusai. Al-Farabi juga diikutsertakan dalam penyerbuan itu. Ia wafat di Damaskus pada Desember 950 M dalam usia 80 tahun.  Ia mendapat gelar kehormatan sebagai guru kedua dalam lapangan logika setelah gelar guru pertama dialamatkan pada Aristoteles. 
Beberapa karya-karyanya adalah; Syuruh Risalah Zainun al-Kabir al-Yunani, Al-Ta'liqat, Risalah fima Yajibu Ma'rifatqabla Ta'allumi al-Fasafah, Kitab Tashil al-Sa'adah, Risalah fi Otsbat al-Mufaraqah, 'Uyun al-Masail, Ara' Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Ihsha' al-'Ulum wa al-Ta'rif bi Aghradiha, Maqalat fi Ma'ani al-Aql, Fushul al-Hukm, Risalah al-Aql, Al-Siyasah al-Madaniyah, Al-Masail al-Falsafiyah wa al-Ajwibah 'anha, Al-Ibanah 'an Ghardi Aristo fi Kitabi ma ba'da at-Thabi'ah,    dan Al-Jam'u baina Ra'yain al-Hakimain .
Dalam berfilsafat, Al-Farabi dikenal dengan filsuf sinkretisme yang memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Ini dapat dibuktikan dengan melihat ilmu logika dan filsafatnya, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam etika dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Dan dipengaruhi oleh Plotinus dalam persoalan metafisika.
2.    Filsafatnya tentang Ketuhanan
Hasyimsyah Nasution dalam bukunya Filsafat Islam.2005 mengutip tulisan TJ. De Boer bahwa konsep ketuhanan yang Al-Farabi sampaikan adalah, memadukan antara filsafat aristoteles dan Neo-Platonisme, yaitu al-Maujud al-Awal (wujud pertama) sebagai sebab pertama dari segala yang ada. Sedangkan dalam pembuktian adanya Allah, ia mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud, dan tidak ada alternatif yang ketiga.
 Wajib al-Wujud adalah wujudnya harus ada (tidak boleh tidak ada) dan sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Jika wujud ini tidak ada, maka mustahil ada wujud lain, karena adanya wujud lain itu tergantung padanya. Sedangkan  Mumkin al-Wujud tidak akan menjadi wujud yang nyata tanpa adanya wujud yang menguatkan, dan itu bukan dirinya akan tetapi Wajib al-Wujud.
Dalam bukunya Filsafat Islam.2005, Hasyimsyah Nasution mengutip tulisan TJ. De Boer mengenai sifat Tuhan, Al-Farabi sejalan dengan paham Mu'tazilah, yaitu sifat Tuhan tidak berbeda dengan substansi-Nya (zat-Nya). Misalnya, seseorang boleh menyebut asma' al husna sebanyak yang diketahui, akan tetapi nama-nama tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada zat Tuhan atau sifat-sifat yang berbeda dari zat-Nya.
Sirajuddin Zar dalam bukunya Filsafat Islam.2004 mengutip tulisan Al-Farabi Ara' Ahl al-Madinah al-Fadhilah bahwa Tuhan adalah 'Aql murni. Ia esa adanya sehingga Ia menjadi pemikir substansi-Nya sendiri dan sekaligus yang menjadi obyek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya. Jadi, Tuhan adalah 'Aql,'aqil' dan Ma'qul (Akal, Substansi yang berfikir, dan substansi yang dipikirkan).
Tentang ilmu tuhan, Al-Farabi terpengaruh dengan pemikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui dan tidak memikirkan alam. Kemudian ini dikembangkannya dengan mengatakan Tuhan tidak mengetahui yang Juz'yiyah (particular). Artinya pengetahuan Tuhan tentang yang juz'i tidak sama dengan manusia menggunakan panca indra. Karena Tuhan mengetahu yang juz'i tidak secara langsung melainkan lewat kulli yang ia sebab sebagai yang juz'i.
Al-Farabi juga mengemukakan ayat al-Quran yang berkenaan dengan sucinya Tuhan dari sifat-sifat. Surat as-Soffaat: 180
سُبْحَانَ رَبِكَ رَبِ اْلعِزَةِ عَمَا يَصِفُوْنَ
3.    Konsepnya tentang Filsafat Emanasi
Teori Neo-Platonisme-monistik tentang emanasi yang digunakan olen Al-Farabi pada proses kejadian alam. Sedang menurut kebanyakan filusuf yunani mengatakan bahwa Tuhan bukan sebagai pencipta alam, melaikan sebagai pengerak pertama. Ini bertentangan dengan doktrin Mutakallimin, yang mengatakan Tuhan adalah pencipta dari yang tidak ada menjadi ada. Bagi Al-Farabi Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Maka penciptaan alam ini sudah sejak zaman azali dengan materi yang berasal dari energi yang qadim dan susunan materi yang menjadi alam ini adalah baru.
Menurut al-Farabi dunia itu azali, tanpa permulaan dan bukan ciptaan. Jelasnya, proses emanasi itu sebagai berikut:





















Terciptalah akal 1 sampai 10 di atas karena Tuhan berfikir tentang diri-Nya menghasilkan daya atau energi yang karenanya menghasilkan sesuatu.
Disebutkan juga bahwa Al-Farabi mengklasifikasikan yang wujud kepada 2 rentetan, yaitu:
a.    Rentetan wujud yang esensunya tidak berfisik; - tidak berfisik dan tidak menempati fisik (Allah, 'Aql Pertama, dan 'Uqaul al-Aflak), -tidak berfisik tetapi menempati fisik (Jiwa, bentuk, dan Materi).
b.    Rentetan wujud yang berfisik (benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda tambang, dan unsure yang 4; air, udara, tanah, dan api).
Tujuan utama Al-Farabi mengemukakan tentang teori emanasi ini adalah untuk menegaskan kemaha esaannya Tuhan.
4.    Konsepnya tentang Manusia
Seperti yang dikatakan Al-Farabi, bahwa manusia adalah termasuk dalam kategori rentetan wujud yang berfisik, yang pada dirinya terdapat jasad dan jiwa. Kesatuan antara keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya memiliki substansi yang berbeda. Ini dapat dilihat dari keadaan binasah yang dimiliki jasad tidak akan membawa kebinasahan jiwa.
Selain hal di atas, sumber antara keduanya juga berbeda, yaitu jasad berasal dari alam Khalq (berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak). Sedangkan jiwa berasal dari alam Ilahi, ia diciptakan ketika jasad sudah siap menerima kehadirannya.
Ada beberapa daya yang dimilki oleh jiwa manusia, yaitu;
a.    Daya gerak (makan, memelihara, dan berkembang)
b.    Daya mengetahui (merasa dan imajinasi)
c.    Daya berfikir (akal praktis dan akal teoritis), untuk daya teoritis dibagi dalam 3 tingkatan; akal potensial, akal aktual, dan akal mustafad.
B.    Ibnu Sina
1.    Riwayat dan Karya-karyanya
Nama lengkapnya adalah Abu 'Ali al-Husainbin Abdullah bin al-Hasan bin 'Ali bin Sina. Ia dilahirkan di Afsyanah dekat Bukhoropada tahun 370 H/ 980 M. ayahnya seorang berkebangsaan persi dari kota Balakh. Kemudian pindah ke Bughoro pada masa raja Nuh bin Mansur as-Samani, dan ia diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan (salah satu wilayah di kota Bukhoro). Di kota inilah ayahnya menikah dengan seorang wanita yang bernama Sattarah dan dikaruniai 2 anak yaitu Husain (Ibnu Sina) dan saudara besarnya Hasan.  Di dunia barat ia lebih dikenal dengan nama Aicenna atau Aristoteles Baru.
Hasyimsyah Nasution dalam bukunya Filsafat Islam.2005 mengutip tulisan Ahmad Fuad al-Ahnawi, yaitu dengan ingatan dan kecerdasannya yang luar biasa, pada usia 10 tahun ia sudah mampu menghafalkan al-Quran, sebagian besar sastra arab, dan kitab metafisika karangan Aristoteles setelah ia baca 40 kali, namun ia belum dapat memahaminya secara sempurna dan akhirnya ia lanjutkan dengan membaca ulasannya Al-Farabi.
Pada usia 16 tahun, ia telah menguasai banyak ilmu pengetahun (sastra arab, fiqih, ilmu hitung, ilmu ukur, dan filsafat. Bahkan, ilmu kedokteran ia pelajari sendiri. Di antara gurunya adalalah Abi 'Abdullah al-Natili (dalam bid. Logika) dan Ismail (seorang zahid). Dan pada usia 18 tahun ia sudah berprofesi sebagai seorang guru, penyair, filsuf, pengarang, dan seorang dokter yang terkenal. Sehingga pada suatu hari ia diminta untuk mengobati sultan Samanid di Bukhara, Nuh bin Mansyur, dan ini menjadi modal hubungan baiknya dengan sang sultan. Sehingga ia diberi kesempatan untuk menelaah buku-buku yang tersimpan diperpustakaan sultan.
Pada masa muda ia tertarik aliran Syi'ah Isma'iliyah dan aliran kebatinan. Ia mendapatkan banyak informasi alairan tersebut dari diskusi antara ia, kakaknya, dan ayahnya, namun dikatakan dalam autobiografinya ia tidak mengikuti aliran tersebut dan malah memunculkan madzhab sendiri, yakni Sinawi (madzhab Ibnu Sina). Sangat sulit untuk mengetahui secara pasti corak madzhabnya, tampaknya ia memilki pandangan tersendiri dalam usaha menemukan hakikat kebenaran, baik di bid. Filsafat maupun keagamaan.
Pada usia 22 tahun ia ditinggal wafat ayahnya. Musibah ini menjadi pukulan berat baginya dan akhirnya memaksanya untuk meninngalkan Bukhara menuju Jurjan, disana ia bertemu dengan Abu 'Ubaid al-Jurjani, yang pada akhirnya menjadi muridnya sekaligus yang menulis tentang sejarah hidupnya. Ia tidak lama bermuqim di kota ini dikarenakan adanya kekacauan politik, lalu ia pergi ke Hamadzan. Di kota ini, ia berhasil menyembuhkan penyakit Sultan Syams al-Daulah dari Dinasti Buwaihi (1015-1022), kemudian ia diangkat menjadi Wazir 'Azhim (Perdana Menteri) di Rayyan. Namun, belum beberapa lama pihak militer menangkap dan merampas hartanya dan berencana membunuhnya. Atas bantuan sang Sultan ia dikeluarkan dari penjara. Dan lagi-lagi ia berhasil menyembuhkan penyakit maagnya sultan, kemudian ia diangkat menjadi menteri yang kedua kalinya di Hamadzan. Jabatan ini ia emban sampai sultan meninggal dunia dan kemudian ia mengundurkan diri dan berniat pergi ke Isfahan untuk mengabdi kepada raja 'Ala'u al-Daulah. Namun ia ditangkap oleh Taj al-Muluk (anak Sultan Syams) dan dipenjara di benteng Fardajan selama 4 bulan. Ia dapat lari dari penjara dengan cara menyamar ke Isfahan, dan di sana ia disambut dengan baik.
Dalam bukunya Filsafat Islam.2005, Hasyimsyah Nasution mengutip tulisan TJ. De Boer tentang akhir hayatnya yaitu ia menjadi guru filsafat dan dokter di Isfahan dan meninggal di Hamadzan 428 H/ 1037 M pada usia 57 tahun.
Pada usia 20 tahun ia telah menghasilkan karya-karya cemerlang hingga mencapai 267 karangan. Di antara karangannya yang terpenting adalah Al-Syifa' latinnya Sanatio (penyembuhan), Al-Najah latinnya Salus (penyelamat), al-Isyarah wa al-Tanbihat (isyarah dan peringatan), Al-Qanun fi al-Thibb, Al-Hikmah al-'Arudhiyyah, Hadiyah al-Rais li al-Amir, Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiqiyah, dan Al-Mantiq al-Masyriqiyyin (logika timur).
2.    Filsafatnya tentang Ketuhanan
Dalam paham Ibnu sina, esensi terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat diluar akal. Jadi tanpa wujud, esensi tidak besar artinya, maka keberadaan wujud itu lebih penting daripada esensi. Esensi dan wujud dapat dikombinasikan sebagai berikut;
1)    ممنوع الوجود, contoh adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
2)    ممكن الوجود, contoh ala ini yang mulanya tidak ada menjadi ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3)    واجب الوجود, contoh Tuhan, disini esensi tidak dapat dipisahkan dari wujudnya, keduanya adalah sama dan satu.
3.    Konsepnya tentang Alam
Hasyimsyah Nasution dalam bukunya Filsafat Islam.2005 mengutip tulisan Nasution mengatakan bahwa sebagai pendiri Neo-Platonisme Arab dan tokoh utama pertama dalam gerakan filosofis sejak Proclus (tokoh terakhir dari Barat), Ibnu Sina menganut paham emanasi. Ia berpendapat bahwa Tuhan memancarkan akal pertama (sama-sama Azali). Selanjutnya ia berpendapat berbeda dengan Al-Farabi, bahwa akal pertama mempunyai 2 sifat; sifat wajib al-wujud sebagai pancaran dari Tuhan, dan sifat mumkin al-wujud  jika ditinjau dari hakikat dirinya ( واجب الوجود لذاته dan واجب الوجود لغيره ). Dengan demikian ia memiliki 3 objek pemikiran Tuhan, dirinya sebagai wajib al-wujud dan dirinya sebagai mumkin al-wujud. Dari pemikiran Tuhan muncul akal-akal, dari pemikiran tentang wajib al-wujud muncul jiwa-jiwa, dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mumkin al-wujud muncul langit-langit.
Jadi dari akal pertama muncul/ memancarkan akal kedua, jiwa, dan langit pertama; dst, hingga akal 10, jiwa, dan bumi. Dan dari akal 10 memancarkan segala apa yang ada di bumi yang berada di bawah bulan, termasuk jiwa manusia.
4.    Konsepnya tentang Manusia
Sebagai makhluk berakal, Ibnu Sina mengikuti doktri Neo-Platonisme yang menekankan pengaruh pikiran atas tubuh daripada pemikiran Aristoteles yang mengatakan sebaliknya. Lebih jauh lagi, menurutnya pengaruh pikiran atas tubuh bukanlah dipaksakan, karena itu tubuh akan mentaatinya. Ibnu Sina telah menghitung ada 4 tingkatan tentang gerak hewan, sedang Aristoteles hanya ada 3 tingkatan, yaitu; (a) Imajinasi atau penalaran, (b) keinginan, dan (c) gerak otot. Sedang Ibnu Sina membagi poin kedua menjadi; (a) keinginan dan (b) kata hati, karena tidak semua keinginan akan menimbulkan perbuatan kecuali didorong dengan kata hati, baik secara sadar atau tida sadar.
Dengan demikian sifat seseorang bergantung pada jiwa manusia dari ketiga macam jiwa, yaitu;
1)    Jiwa tumbuh-tumbuhan, dengan daya-daya; (makan, tumbuh, dan berkembangbiak)
2)    Jiwa binatang, dengan daya-daya; {gerak, menangkap (dari dalam & dari luar)}
3)    Jiwa manusia, dengan daya-daya; {Praktis (hub. dengan badan), Teoritis (hub. dengan hal-hal abstrak) meliputi akal materil, intellectus in habitu, akal aktuil, dan akal mustafad}.
SIMPULAN
Baik itu Al-Farabi maupun Ibnu Sina adalah orang-orang yang memiliki keahlian dalam banyak bidang ilmu pengetahuan dan termasuk di antara filusuf Islam terbesar yang memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh. Sehingga keduannya mampu menjadi di antara orang-orang yang mempengaruhi para pemikir-pemikir setelahnya, lebih-lebih para pemikir barat juga tidak dapat terlepas dari pemikirannya.

Daftar Rujukan
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve.
Nasution, Hasyimsyah. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Shaliba, Jamil. 1995. TarikhAl  Falsafah Al Arabiyah. Bairut: Dar al Kitab al Alimi.
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

No comments:

Post a Comment