A. Pengertian Fiqh Dustury dan Ruang Lingkupnya
Kata “dusturi” berasal dari bahasa
persia. Semula artinya adalah seorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang
politik maupun agama. Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini digunakan untuk
menunjukkan anggota kependetaan (pemuka agama) Zoroaster (majusi). Setelah
mengalami penyerapan ke dalam bahasa Arab, kata dustur berkembang pengertiannya
menjadi asas dasar/ pembinaan.. Secara istilah
diartikan sebagai kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama
antara sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik tidak tertulis
(konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi).Abu A’la al-Maududi menakrifkan
dustur dengan: “Suatu dokumen yang memuat prinsip-prinsip pokok yang menjadi
landasan pengaturan suatu negara.”[1]
Atjep
Jazuli mengupas ruang lingkup bidang ini, menyangkut masalah hubungan timbal
balik antara pemimpin dan rakyat maupun lembaga-lembaga yang berada di
dalamnya. Karena terlalu luas, kemudian di arahkan pada bidang pengaturan dan
perundang-undangan dalam persoalan kenegaraan.[2]
Menurut Abdul Wahab Khallaf, prinsip-prinsip yang diletakkan dalam pembuatan
undang-undang dasar ini adalah jaminan atas hak-hak asasi manusia setiap
anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di depan hukum, tanpa
membedakan status manusia.
Lebih
jauh Atjep Jazuli mempetakan bidang siyasah dusturiyah dalam persoalan; a).
imamah, hak dan kewajibannya b). rakyat, hak dan kewajibannya c). bai'at d).
waliyu al-'ahdi e). perwakilan f). ahlu halli wa al-'aqdi dan g). wuzarah dan
perbandingannya.[3]
Selain
itu ada pula yang berpendapat bahwa, kajian dalam bidang siyasah dusturiyah itu
dibagi kepada empat macam;
1. Konstitusi
Dalam
konstitusi dibahas sumber-sumber dan kaedah perundang-undangan disuatu negara,
baik berupa sumber material, sumber sejarah, sumber perundang-undangan maupun
penafsiran. Sumber material adalah materi pokok undang-undang dasar. Inti
sumber konstitusi ini adalahperaturan antara pemerintah dan rakyat. Latar
belakang sejarah tidak dapat dilepaskan karena memiliki karakter khas suatu
negara, dilihat dari pembentukan masyarakatnya, kebudayaan maupun politiknya,
agar sejalan dengan aspirasi mereka. Pembentukan undang-undang dasar tersebut
harus mempunyai landasan yang kuat, supaya mampu mengikat dan mengatur semua
masyarakat. Penafsiran undang-undang merupakan otoritas ahli hukum yang mampu
menjelaskan hal-hal tersebut. Misalnya UUD 1945.
2. Legislasi
Legislasi; atau kekuasaan
legislatif, disebut juga al-sulthah al-tasyri'iyyah; maksudnya adalah kekuasaan
pemerintah Islam dalam membentuk dan menetapkan hukum. Kekuasaan ini merupakan
salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah
kenegaraan. Disamping itu ada kekuasaan lain seperti al-sulthah
al-tanfidziyyah; kekuasaan eksekutif dan al-sulthah al-qadhaiyyah; kekuasaan
yudikatif. Di Indonesia menggunakan model trias politica (istialah ini
dipopulerkan oleh Montesquieu- Perancis, dan model kedaulatan rakyat yang
dipopulerkan oleh JJ Rousseau- Swiss; suatu model kekuasaan yang didasari oleh
perjanjian masyarakat, yang membela dan melindungi kekuasaan bersama di samping
kekuasaan pribadi dan milik dari setiap orang. Tiga kekuasaan legislatif,
yudikatif dan ekssekutif yang secara imbang menegaggkan teori demokrasi.
Unsur-unsur legislasi dalam fiqh siyasah dapat dirumuskan sebagai berikut : a).
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan
diberlakukan dalam masyarkat Islam b). Masyarakat Islam yang akan melaksnakan
c). Isi peraturan atau hukum yang sesuai dengan nilai dasar syari'at Islam.
3. Ummah
Dalam konsep Islam, ummah diartikan
dalam empat macam, yaitu a). bangsa, rakyat, kaum yang bersatu padu atas dasar
iman/sabda Tuhan b). penganut suatu agama atau pengikut Nabi c) khalayak ramai
dan d) umum, seluruh umat manusia. Orientalis Barat menganggap kata ummah tidak
memiliki kata-kata yang sebanding dengannya, bukan nation (negara) atau nation
state (negara-kebangsaan) lebih mirip dengan communuity (komunitas).
Akan tetapi Abdul Rasyid Meton,
guru besar dari Malaysia tetap menggap bahwa komunitas dengan ummah tidak sama.
Community merupakan sekelompok masyarakat yang komunal memiliki persamaan
kekerabatan, suku, budaya, wilayah dan bangsa, sedangkan ummah berlaku
universal yang didasarkan persamaan agama, sehingga menembus ras, suku, bahasa
maupun batas-batas geografis. Ummah diaktualisasikan melalui kesamaan ideologis
yang disandarkan pada ke Esaan Allah yang terarah pada pencapaian kebahagiaan
dunia akhirat.
Menurut 'Ali Syari'ati; ummah
memiliki tiga arti, yaitu gerakan, tujuan dan ketetapan kesadaran. Makna
selanjutnya adalah sekelompok orang yang berjuang menuju suatu tujuan yang
jelas. Jika dikontekstualisasikan dengan makna ummah dalam terminologi makiyyah
dan madaniyyah mempunyai arti sekelompok agama tawhid, orang-orang kafir dan
manusia seluruhnya. Quraisy Shihab mengartikan ummah, sekelompok manusia yang
mempunyai gerak dinamis, maju dengan gaya dan cara tertentu yang mempunyai
jalan tertentu serta membutuhkan waktu untuk mencapainya.
Dalam jangkauannya makna ummah juga
berbeda dengan nasionalisme. Nasionalisme sering diartikan ikatan yang berdasar
atas persamaan tanah air, wilayah, ras-suku, daerah dan hal-hal lain yang
sempit yang kemudian menumbuhkan sikap tribalisme (persamaan suku-bangsa) dan
primodialisme (paling diutamakan).
Makna ummah lebih jauh dari itu.
Abdul Rasyid kemudian membandingkan antara nasionalisme dan ummah.
a)
Ummah
menekankan kesetiaan manusia karena sisi kemanusiannya, sedangkan nasionalisme
hanya kepada negara saja.
b)
Legitimasi
nalsionalisme adalah negara dan institusi-institusinya, sedangkan ummah adalah
syari'ah.
c)
Ummah
diikat dengan tawhid (keesaan Allah), adapun nasionalisme berbasis etnik,
bahasa, ras dll.
d)
Ummah
bersifat universal, sedangkan nasionalisme didasarkan teritorial.
e)
Ummah
berkonsep persaudaraan kemanusiaan, adapun nasionalisme menolak kesatuan
kemanusiaan.
f)
Ummah
menyatukan ummat seluruh dunia Islam, sedangkan nasionalisme memisahkan manusia
pada bentuk negara-negara kebangsaan.
4. Syuro atau demokrasi
Kata syuro berasal dari akar kata
syawara- musyawaratan, artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Kemudian
dalam istilah di Indonesia disebut musyawarah. Artinya segala sesuatu yang
diambil/dikeluarkan dari yang lain (dalam forum berunding) untuk memperoleh
kebaikan. Dalam Al-Qur'an kata syura ditampilkan dalam beberapa ayat. Dalam QS
[2] al-Baqarah: 233 berarti kesepakatan. Dalam 'Ali 'Imran [3]:159 Nabi disuruh
untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya, berkenaan peristiwa Uhud. Adapun QS
al-Syura [42]:38 umat Islam ditandaskan agar mementingkan musyawarah dalam
berbagai persoalan.
Format musyawarah dan obyeknya yang
bersifat teknis, diserahkan kepada ummat Islam untuk merekayasa hal tersebut
berdasarkan kepentingan dan kebutuhan. Menurut Quraisy Shihab, orang yang
diajak musyawarah, sesuai hadits Nabi disaat memberi nasihat kepada 'Ali : “Hai
'Ali, jangan musyawarah dengan penakut, ia kan mempersulit jalan keluar. Jangan
dengan orang bakhil, karena dapat menghambat tujuanmu. Jangan dengan orang yang
ambisi, karena akan menutupi keburukan. Wahai 'Ali, sesungguhnya takut, bakhil
dan ambisi adalah bawaan yang sama, itu semua bersumber kepada buruk sangka
kepada Allah”.
Etika bermusyawarah bila berpedoman
kepada QS Ali-'Imran [3]: 159 kira-kira dapat disimpulan; a) bersikap lemah
lembut b) mudah memberi maaf, jika terjadi perbedaan argumentasi yang sama-sama
kuat dan c) tawakkal kepada Allah. Hasil akhir dari musywarah kemudian
diaplikasikan dalam bentuk tindakan, yang dilakukan secara optimal, sedangkan
hasilnya diserahkan kepada kekuasaan Allah swt.
Demokrasi, berasal dari bahasa
Yunani demos artinya rakyat, kratein berarti pemerintahan. Kemudian dimaknai
kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Abraham Lincoln selanjutnya
mengartikan demokrasi adalah bentuk kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat.
Ciri ini mensyaratkan adanya
partisipasi rakyat untuk memutuskan masalah serta mengontrol pemerintah yang
berkuasa. Menurut Sadek J. Sulaiman demokrasi memiliki prinsip kesamaan antara
seluruh manusia, tidak ada diskriminasi berdasarkan ras- suku, gender, agama
ataupun status sosial.
B. Hukum Mendirikan Negara
Sebagai
sebuah ideologi bagi negara, masyarakat serta kehidupan, islam telah menjadikan
negara beserta kekuasaannya sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
dari eksistensinya. Dimana Islam telah memerintahkan kaum muslimin agar
mendirikan negara dan pemerintahan, serta memerintah berdasarkan hukum Islam.
Dan telah berpuluh-puluh ayat yang menyangkut masalah pemerintahan dan
kekuasaan itu diturunkan. Dimana ayat-ayat tersebut memerintahkan kaum muslimin
agar menjalankan pemerintahan berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah SWT.
Allah berfirman:
“Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang
kepadamu”. (Q.S. Al-Maidah :48)
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu Mengetahui”.(Q.S.
Al-Baqarah : 188)
Mengingat pentingnya
sebuah kepemimpinan dalm Islam, maka sebagian besar ulama menghukumi pendirian
negara sebagai sebuah Fardlu kifayah .Karena negara adalah sebuah thatiqah
(tuntunan operasional) satu-satunya yang secara syar’i dijadika oleh Islam
untuk menerapkan dan memberlakukan hukum0\-hukumnya dalam kehidupan secara
menyeluruh.
C. Sebab-Sebab Timbulnya Aliran Politik
Dalam Islam
Pemikiran tokoh-tokoh dalam politik Islam dapat
dikategorikan menjadi dua periodfe yakni periode pra modern dan modern. Kedua
masa itu pada hakikatnya para pemikir politik Islam bergulat pada upaya untuk
mencari basis intelektual dari hubungan politik dan Islam. Pada masa pra modern
pemikitan politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran yunani, melalui kajian
filsafat. Sedangkan pada masa modern pengaruh politik barat terhadap politik
Islam sudah masuk melalui imperalisme. Upaya-upaya dalam pencarian basis
intelektual tersebut bertujuan untuk mendapatkan aspek-aspek yang baru dari
relasi antara Islam dan politik diantaranya. Pertama, upaya untuk mencari
sistem (the nature of autority). Kedua, upaya untuk mencari format
pemerintahan. Ketiga, mencari rekonsiliasi atau titik temu antara realitas
Islam dan realitas politik.
Dikalangan Umat Islam sampai sekarang terdapat tiga
aliran tentang hubungan antara Islam dan politik. Alitan pertama berpendapat
bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pegertian Barat, yakni hanya
menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama
yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan manusia,
termasuk kehidupan bernegara. Tokoh utama aliran ini antara lain Syekh Hasan
al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridla dan Abul A’la al-Maududi.
Aliran kedua berpendapat bahwa Islam adalah agama
dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.
Menurut aliran ini Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya
Rasul-Rasul yang lain, dengan tugas utama mengajak (dakwah) manusia kepada
jalan Tuhannya dengan menjunjung tinggi nilai moral, dan Nabi tidak dimaksudkan
untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Pendapat ini dalam khazanah
pemikiran Islam kontemporer diwakili oleh seorang ulama Mesir, Ali Abd
ar-Raziqq, dalam risalahnya yang sangat ramai diperdebatkan, al-Islam wa Ushul
al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Kekuasaan), pernah mengemukakan bahwa Muhammad
hanyalah seorang rasul dan juru dakwah, bukan seorang pemimpin negara.
Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah
suatu agama yang serba lengkap. Tetapi aliran ini pula menolak anggapan bahwa
Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan antara
manusia dengan Tuhannya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak
terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara. Salah satu tokoh yang mendukung pendapat ini diantaranya adalah
Mohammad Husein Haekal, Fazlur Rahman dan di Indonesia tokohnya Nurcholish
Madjid.
Konsekuensi dari aliran ketiga itu, melahirkan
pemahaman bahwa istilah Islamic State atau Negara Islam tidak ada dalam
al-Qur’an maupun dalam Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam
untuk menegakkan negara Islam. Yang ada adalah khilafah, yaitu suatu misi kaum
Muslimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan
petunjuk dan peraturan Allah SWT, maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaannya,
al-Qur’an tidak menunjukkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja.
D. Imamah, Khilafah, dan Syarat-Syaratnya
Imamah
menurut bahasa berarti “kepemimpinan”. Imama yang memiliki arti “pemimpin”, ia
laksana ketua yang memimpin bawahanya. Imamah sering juga disebut khalifah,
yaitu penguasa atau pemimpin tertinggi rakyat. Kata imam juga digunakan untuk
orang yang mengatur kemaslahatan sesuatu, untuk pemimpin pasukan, dan untuk
orang dengan fungsi lainnya. [4]
Di
dalam Al-Qur’an tidak disebutkan kata imamah, yang ada hanya kata imam (pemimpin)
dan aimmah (pemimpin-pemimpin), seperti;
öNßg»uZù=yèy_ur
Zp£Jͬr& crßöku
$tRÌøBr'Î/ !$uZøym÷rr&ur
öNÎgøs9Î)
@÷èÏù
ÏNºuöyø9$# uQ$s%Î)ur Ío4qn=¢Á9$# uä!$tFÎ)ur Ío4q2¨9$# ( (#qçR%x.ur
$oYs9 tûïÏÎ7»tã
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka
mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya
kepada kamilah mereka selalu menyembah,”(Q.S.
Al-Anbiyaa : 73)
* ÏÎ)ur #n?tFö/$# zO¿Ïdºtö/Î) ¼çm/u ;M»uKÎ=s3Î/ £`ßg£Js?r'sù ( tA$s% ÎoTÎ) y7è=Ïæ%y` Ĩ$¨Y=Ï9 $YB$tBÎ) ( tA$s% `ÏBur ÓÉLÍhè ( tA$s% w ãA$uZt Ïôgtã tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÊËÍÈ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa
kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia".
Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah
berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".(Q.S.
Al-Baqarah : 124)
Dengan
demikian, (berdasarkan tinjauan arti imamah secara epistimologi), kata imam
berarti “pemegang kekuasaan atas umat islam”. Syekh Abu Zahrah mengatakan bahwa
“imamah itu berarti juga khalifah, sebab orang yang menjadi khalifah adalah
penguasa tertinggi (pimpinan tertinggi) bagi umat islam setelah Nabi wafat”.[5]
Dalam arti lain khalifah adalah orang yang mewakili umat
dalam urusan pemerintaan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum-hukum
syara’. Oleh karena itu tidak ada seorang khalifah pun kecuali setelah ia di
bai’at oleh umat. Dan pengangkatan jabatan khilifah untuk seorang khalifah
dengan bai’at itu berarti telah memberikan kekuasaan kepada khalifah, sehinga
umat wajib mentaatinya.
Bai’at yang dilakukan terhadap seorang khalifah mempunyai
syarat-syarat tertentu yaitu syarat
in’iqad dan syarat afdlaliyah. syarat in’iqad diantaranya mencakup; a) muslim.
b) laki-laki. c) baligh. d) berakal. e) adil. f) merdeka. g) mampu melaksanakan
amanat khilafah. Sedangkan syarat afdlaliyah dari bai’at khilafah adalah; a)
tidak disyaratkan harus seorang mujtahid. b). tidak disyaratkan harus seorang
yang pemberani dan politikus yang hebat dalam mengatur urusan rakyat dan
kepentingan-kepentingan lain. c) tidak disyaratkan harus seorang keturunan
Quraisyi. d) tidak disyaratkan harus seorang keturunan bani hasyim atau
keturunan ali.[6]
Adapun
yang dimaksud dengan khilafah ialah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum
muslimin didunia untuk menegakkan hokum-hukum syari’at islam dan mengemban
dakwah islam kesegenap penjuru dunia. Seperti halnnya dengan pengangkatan
khilafah, dalam ke-khilafahan pun terdapat beberapa syarat yang harus
terpenuhi, yaitu :
1. Kekuasaan negeri itu haruslah mandiri
(otonom penuh), yaitu hanya bersandar kepada kaum muslimin, bukan kepada salah satu
Negara kafir atau berada di bawah pengaruh Negara-negara kafir.
2. Keamanan bagi kaum muslimin dinegeri itu
adalah keamanan islam bukan keamanan kufur .
3. Negeri tersebut segera menerapkan islam
secara serentak dan menyeluruh, serta segera mengemban dakwah islam.
4. Khilafah yang dibai’at harus memenuhi
syarat-syarat in’iqad, meskipun tidak memenuhi syarat afdlaliyah (keutamaan).[7]
E. System Pemilihan Khilafah
Khilafah
adalah akad yang dibangun atas dasar kerelaan dan kebebasan memilih, karena
akad tersebut merupakan bai’at untuk mentaati seseorang yang mempunyai hak
ditaati dalam kekuasaan (pemerintahan). Jadi dalam hal ini harus ada kerelaan
dari yang dibai’at untuk memegang tampuk kekuasaan dan kerelaan dari yang
membai’atnya. Idealnya, khalifah yang menjadi pemimpin masyarakat adalah
seseorang yang terpilih di antara beberapa calon setelah melalui proses
pemilihan yang melibatkan konsultasi pendahuluan. Bila nominasi itu ditentukan
kepada orang tertentu, maka permasalahannya dikembalikan kepada seluruh jajaran
ummah yang berhak membeerikan konfirmasi atau ratifikasi terakhir. Proses yang
kedua ini disebut bai’at.
Ketika
pelaksanaan akad bai’at telah sempurna dilaksanakan oleh orang-orang yang
memenuhi syarat untuk membai’at, maka akad bai’at tersebut telah sah. Dalam hal
ini orang yang dibai’at telah menjadi waliyul amri, pemegang tampuk kekuasaan,
yang harus dita’ati. Status bai’at yang diberikan kepadanya setelah itu menjadi
bai’at keta’atan, bukan lagi bai’at untuk mengangkat khalifah. Pada saat itu
seorang waliyul amri boleh memaksa orang-orang yang belum berbai’at untuk
berbai’at kepadanya.
F. Bai’at
Bai’at
adalah suatu kewajiban bagi seluruh kaum muslimin, sekaligus merupakan hak
setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Bai’at dinyatakan sebagai hak
kaum muslimin, karena fakta bai’at itu sendiri menunjukan hal semacam itu.
Sebab, bai’at diberikan oleh kaum muslimin kepada khalifah bukan dari khalifah
kepada kaum muslimin. Banyak hadis Rasulullah yang banyak menjelaskan terjadinya
bai’at kaum muslimin kepada Rasulullah SAW. Seperti hadist Bukhari yang
diriwayatkan dari ubadah bin shamit, berkata :
“Kami
telah membai’at Rasulullah SAW. Untuk setia mendengarkan dan mentaati
perintahnya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun tidak kami senangi,
dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, juga agar kami
menegakkan atau mengatakan yang haq dimanapun kami berada dan kami tidak takut
karena Allah terhadap celaan orang-orang yang mencela”.
Selain
itu masih banyak lagi hadits yang menerangkan bahwa bai’at berada ditangan kaum
muslimin bukan detangan pemimpin. Jadi, bai’at kepada khalifah berada ditangan
kaum muslimin dan menjadi hak mereka. Kaum muslimin lah yang melakukan
pembai’atan, dan hanya dengan bai’at merekalah akad khilafah tersebut bisa
terwujud bagi seorang khalifah.
Sedangkan
bai’at dapat dilkukan dengan secara langsung, yaitu dengan berjabat tangan atau
secara tertulis melalui surat. Diperbolehkan pula bai’at dilaksanakan dengan
cara lain dan sarana yang memungkinkan (misalnya telepon, faksimil, telegram
dan lain-lain).
Hanya
saja disyaratkan agar bai’at itu dilaksanakan oleh orang yang sudah baligh.
karena itu, berarti bai’at yang dilakukan oleh anka kecil hukumnya tidak sah.
Adapun lafadz bai’at tidak disyaratkan terikat dengan lafadz-lafadz tertentu.
Akan tetapi harus mengandung makna “mengamalkan kitabullah dan sunah Rasulnya”
bagi khalafah, dan harus mengandung makna “sanggup mentaati dalam keadaan sudah
ataupun senang, sulit ataupun lapang” bagi kaum muslimin yang membai’at..
G. Ahlul Halli wa Al Aqdi
Ahlul
Halli wa Al Aqdi dianggap sebagai kelompok yang mencerminka ridlo kaum muslimin
atau sebagai perwakilan kaum muslimin dalam tataran pemerintahan yang membawa
aspirasi kaum muslimin. Seperti dalam hal pembai’atan, Ahlul Halli wa Al-Aqdi
dapat membai’at calon khalifah yang telah memenuhi syarat. Karena ahlul halli
dianggap telah mewakili ridlo kaum muslimin itu sendiri.
Maka
ketika kita tarik pengertian allul halli wa al-aqdi tersebut kepada sistem pemerintahan
di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa MPR dan DPR merupakan Ahlul Halli wa
Al-Aqdi bagi segenap lapisan masyarakat.
H. HAM Dalam Kajian Fiqh Siyasah[8]
Islam memandang bahwa manusia adalah
obyek yang dimuliakan Allah swt. Semua manusia dengan sifat kemanusiaannya akan
memperoleh kemuliaan yang sama, walaupun mereka berbeda tanah air dan berbeda
keturunan. Dan hal ini juga sama antara pria dan wanita, tidak ada perbedaan,
semuanya memperoleh kemuliaan.
Dalamhal ini Allah berfirman: “Dan
Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami
ciptakan”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa
manusia menjadi mulia karena Allah memuliakannya dan memberi anugerah
kepadanya. Dan pemberian itu erat kaitannya dengan peribadatan yang dilakukan
manusia terhadap Allah. Dan peribadatan manusia kepada Allah adalah suatu
pilihan manusia itu sendiri berdasarkan kehendak dan keinginannya dan bukanlah
merupakan suatu tabi'at atau sifat bawaan yang telah ada sejak lahir.
Lafaz Hak dalam bahasa Arab, dapat
diartikan sebagai salah satu sifat asma Allah SWT, yakni al-Haq. Dapat pula
berarti kebenaran. Dalam terminologi islam umat adalah sebuah konsep yang unik
dan tidak ada padanannya dalam bahasa-bahasa Barat. Umat bersifat universal,
meliputi seluruh kaum muslim, dan disatukan oleh ikatan ideologi yang kuat dan
komperhensif, yaitu islam.
Umat dibutuhkan dalam rangka
menaktualisasikan kehendak-kehendak Allah dalam lingkup, ruang, dan waktu agar
tercapai kebahagiaan hidup manusia, dunia dan akhirat. Dalam Piagam Madinah
kata Umat mencakup seluruh kalangan baik muslim maupun non-muslim dalam arti
rakyat warga negara. Umat merupakan warga negara Islam yang cakupannya sangat
luas, meliputi muslim maupun non-muslim (kafir zimmy), yang dalam Islam
mempunyai sekian banyak hak yang harus dihormati, dihargai oleh orang lain.
Agar hak-hak tersebut benar-benar
dapat dilindungi oleh pemerintah. Dengan demikian perlu adanya sebuah
Undang-Undang Dasar yang mengaturnya. Sebab hak-hak umat/rakyat merupakan tanggung
jawab Kepala Negara/Imam.
Hak-hak manusia dalam Islam dijaga dan dibatasi oleh hak dan kewajiban tertentu. Hak dijaga oleh kewajiban, Seperti hak tetangga yang lapar, diimbangi oleh kewajiban orang kaya untuk membagikan makananya. Hak orang yang dizalimi dijaga dengan menentang kezaliman oleh orang yang menyiksanya. Dan hak-hak itu juga ditegakkan melalui kekuasaan Islam yang merupakan penegak keadilan dan pencegah kezaliman.
Hak-hak manusia dalam Islam dijaga dan dibatasi oleh hak dan kewajiban tertentu. Hak dijaga oleh kewajiban, Seperti hak tetangga yang lapar, diimbangi oleh kewajiban orang kaya untuk membagikan makananya. Hak orang yang dizalimi dijaga dengan menentang kezaliman oleh orang yang menyiksanya. Dan hak-hak itu juga ditegakkan melalui kekuasaan Islam yang merupakan penegak keadilan dan pencegah kezaliman.
Secara lebih rinci perlindungan
terhadap diri manusia terbagi menjadi beberapa hal berikut:
1. Perlindungan
terhadap keturunan manusia
2. perlindungan
terhadap akal
3. perlindungan
terhadap kehormatan
4. perlindungan
terhadap jiwa
5. perlindungan
terhadap harta
6. perlindungan
terhadap agama
7. perlindungan
terhadap rasa aman
8. perlindungan
terhadap batas negara.
Adapun mengenai hak-hak rakyat
menurut Abu al-‘ala al-Maududi, adalah sebagai berikut:
1. Perlindungan
terhadap hidupnya, hartanya dan kehormatannya
2. Perlindungan
terhadap kebebasan pribadi
3. Kebebasan
menyatakan pendapat dan berkeyakinan
4. Terjamin
kebutuhan pokok hidupnya, dengan tidak membedakan kelas dan kepercayaan.
5. Adanya
jaminan kesamaan dalam hukum
6. Hak
mendapatkan pendidikan
Akibat hak-hak yang diterima oleh
rakyat, maka warga mempunyai tugas tertentu atas hak-hak Negara. Tugas warga
Negara yang harus dan wajib ditunaikan menurut Abu al-a‘la al-Maududi adalah:
1) patuh dan taat kepada pemerintah dalam batas yang tidak bertentangan dengan
agama, 2) setia kepada negara, 3) rela berkorban untuk membela Negara dari
bermacam ancaman, 4) bersedia memenuhi kewajiban materil yang dibebankan
padanya oleh Negara.
Demikian kewajiban rakyat dan menyerahkan pelaksanaannya pada Negara untuk menjamin keseimbangan antara dua pihak yakni rakyat dan Negara, agar masing-masing hak tidak terlanggar atau mendominasi fihak lainnya.
Demikian kewajiban rakyat dan menyerahkan pelaksanaannya pada Negara untuk menjamin keseimbangan antara dua pihak yakni rakyat dan Negara, agar masing-masing hak tidak terlanggar atau mendominasi fihak lainnya.
[1] Drs. F. Aminuddin Aziz, MM., dalam http://www.aminazizcenter.com/2009/artikel-62-September-2008-kuliah-fiqh-siyasah-politik-islam.html,
diakses, 18 October 2011.
[4] Ali Ahmad As-Salus. Aqidah
al-Imamah ‘Inda as-Syi’ah Al-Isna ‘Asyariyah.Tjmh (Jakarta: Gema Insani
Prees, 1997). Hal 15.
[6] Taqiyuddin
An-Nabhani. Sistem Pemerintahan Islam “doktrin, sejarah dan realitas
empirik”. (AL-Izzah, 1996). Hal 66-72.
[8] Syaikh Syaukat
Hussain. Human Right In Islam. (Jakarta : Gema Insani Press, 1996) hal.
59-95
No comments:
Post a Comment