Friday, November 4, 2011

Pengertian Fiqh Dustury, ruang lingkup, hukum Mendirikan Negara, Sebab-sebab Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam, Imamah, Khilafah, beserta Syarat-syaratnya, System Pemilihan Khilafah, HAM dalam kajian Fiqh Siyasah, Bai'at, Ahlul Halli wa Al Aqdi..


A.  Pengertian Fiqh Dustury dan Ruang Lingkupnya
Kata “dusturi” berasal dari bahasa persia. Semula artinya adalah seorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik maupun agama. Dalam perkembangan selanjutnya, kata ini digunakan untuk menunjukkan anggota kependetaan (pemuka agama) Zoroaster (majusi). Setelah mengalami penyerapan ke dalam bahasa Arab, kata dustur berkembang pengertiannya menjadi asas dasar/ pembinaan.. Secara istilah diartikan sebagai kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik tidak tertulis (konvensi) maupun yang tertulis (konstitusi).Abu A’la al-Maududi menakrifkan dustur dengan: “Suatu dokumen yang memuat prinsip-prinsip pokok yang menjadi landasan pengaturan suatu negara.”[1]
Atjep Jazuli mengupas ruang lingkup bidang ini, menyangkut masalah hubungan timbal balik antara pemimpin dan rakyat maupun lembaga-lembaga yang berada di dalamnya. Karena terlalu luas, kemudian di arahkan pada bidang pengaturan dan perundang-undangan dalam persoalan kenegaraan.[2] Menurut Abdul Wahab Khallaf, prinsip-prinsip yang diletakkan dalam pembuatan undang-undang dasar ini adalah jaminan atas hak-hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di depan hukum, tanpa membedakan status manusia.
Lebih jauh Atjep Jazuli mempetakan bidang siyasah dusturiyah dalam persoalan; a). imamah, hak dan kewajibannya b). rakyat, hak dan kewajibannya c). bai'at d). waliyu al-'ahdi e). perwakilan f). ahlu halli wa al-'aqdi dan g). wuzarah dan perbandingannya.[3]
Selain itu ada pula yang berpendapat bahwa, kajian dalam bidang siyasah dusturiyah itu dibagi kepada empat macam;
1.      Konstitusi
Dalam konstitusi dibahas sumber-sumber dan kaedah perundang-undangan disuatu negara, baik berupa sumber material, sumber sejarah, sumber perundang-undangan maupun penafsiran. Sumber material adalah materi pokok undang-undang dasar. Inti sumber konstitusi ini adalahperaturan antara pemerintah dan rakyat. Latar belakang sejarah tidak dapat dilepaskan karena memiliki karakter khas suatu negara, dilihat dari pembentukan masyarakatnya, kebudayaan maupun politiknya, agar sejalan dengan aspirasi mereka. Pembentukan undang-undang dasar tersebut harus mempunyai landasan yang kuat, supaya mampu mengikat dan mengatur semua masyarakat. Penafsiran undang-undang merupakan otoritas ahli hukum yang mampu menjelaskan hal-hal tersebut. Misalnya UUD 1945.
2.      Legislasi
Legislasi; atau kekuasaan legislatif, disebut juga al-sulthah al-tasyri'iyyah; maksudnya adalah kekuasaan pemerintah Islam dalam membentuk dan menetapkan hukum. Kekuasaan ini merupakan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan. Disamping itu ada kekuasaan lain seperti al-sulthah al-tanfidziyyah; kekuasaan eksekutif dan al-sulthah al-qadhaiyyah; kekuasaan yudikatif. Di Indonesia menggunakan model trias politica (istialah ini dipopulerkan oleh Montesquieu- Perancis, dan model kedaulatan rakyat yang dipopulerkan oleh JJ Rousseau- Swiss; suatu model kekuasaan yang didasari oleh perjanjian masyarakat, yang membela dan melindungi kekuasaan bersama di samping kekuasaan pribadi dan milik dari setiap orang. Tiga kekuasaan legislatif, yudikatif dan ekssekutif yang secara imbang menegaggkan teori demokrasi. Unsur-unsur legislasi dalam fiqh siyasah dapat dirumuskan sebagai berikut : a). Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarkat Islam b). Masyarakat Islam yang akan melaksnakan c). Isi peraturan atau hukum yang sesuai dengan nilai dasar syari'at Islam.
3.      Ummah
Dalam konsep Islam, ummah diartikan dalam empat macam, yaitu a). bangsa, rakyat, kaum yang bersatu padu atas dasar iman/sabda Tuhan b). penganut suatu agama atau pengikut Nabi c) khalayak ramai dan d) umum, seluruh umat manusia. Orientalis Barat menganggap kata ummah tidak memiliki kata-kata yang sebanding dengannya, bukan nation (negara) atau nation state (negara-kebangsaan) lebih mirip dengan communuity (komunitas).
Akan tetapi Abdul Rasyid Meton, guru besar dari Malaysia tetap menggap bahwa komunitas dengan ummah tidak sama. Community merupakan sekelompok masyarakat yang komunal memiliki persamaan kekerabatan, suku, budaya, wilayah dan bangsa, sedangkan ummah berlaku universal yang didasarkan persamaan agama, sehingga menembus ras, suku, bahasa maupun batas-batas geografis. Ummah diaktualisasikan melalui kesamaan ideologis yang disandarkan pada ke Esaan Allah yang terarah pada pencapaian kebahagiaan dunia akhirat.
Menurut 'Ali Syari'ati; ummah memiliki tiga arti, yaitu gerakan, tujuan dan ketetapan kesadaran. Makna selanjutnya adalah sekelompok orang yang berjuang menuju suatu tujuan yang jelas. Jika dikontekstualisasikan dengan makna ummah dalam terminologi makiyyah dan madaniyyah mempunyai arti sekelompok agama tawhid, orang-orang kafir dan manusia seluruhnya. Quraisy Shihab mengartikan ummah, sekelompok manusia yang mempunyai gerak dinamis, maju dengan gaya dan cara tertentu yang mempunyai jalan tertentu serta membutuhkan waktu untuk mencapainya.
Dalam jangkauannya makna ummah juga berbeda dengan nasionalisme. Nasionalisme sering diartikan ikatan yang berdasar atas persamaan tanah air, wilayah, ras-suku, daerah dan hal-hal lain yang sempit yang kemudian menumbuhkan sikap tribalisme (persamaan suku-bangsa) dan primodialisme (paling diutamakan).
Makna ummah lebih jauh dari itu. Abdul Rasyid kemudian membandingkan antara nasionalisme dan ummah.
a)         Ummah menekankan kesetiaan manusia karena sisi kemanusiannya, sedangkan nasionalisme hanya kepada negara saja.
b)        Legitimasi nalsionalisme adalah negara dan institusi-institusinya, sedangkan ummah adalah syari'ah.
c)         Ummah diikat dengan tawhid (keesaan Allah), adapun nasionalisme berbasis etnik, bahasa, ras dll.
d)        Ummah bersifat universal, sedangkan nasionalisme didasarkan teritorial.
e)         Ummah berkonsep persaudaraan kemanusiaan, adapun nasionalisme menolak kesatuan kemanusiaan.
f)         Ummah menyatukan ummat seluruh dunia Islam, sedangkan nasionalisme memisahkan manusia pada bentuk negara-negara kebangsaan.
4.      Syuro atau demokrasi
Kata syuro berasal dari akar kata syawara- musyawaratan, artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Kemudian dalam istilah di Indonesia disebut musyawarah. Artinya segala sesuatu yang diambil/dikeluarkan dari yang lain (dalam forum berunding) untuk memperoleh kebaikan. Dalam Al-Qur'an kata syura ditampilkan dalam beberapa ayat. Dalam QS [2] al-Baqarah: 233 berarti kesepakatan. Dalam 'Ali 'Imran [3]:159 Nabi disuruh untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya, berkenaan peristiwa Uhud. Adapun QS al-Syura [42]:38 umat Islam ditandaskan agar mementingkan musyawarah dalam berbagai persoalan.
Format musyawarah dan obyeknya yang bersifat teknis, diserahkan kepada ummat Islam untuk merekayasa hal tersebut berdasarkan kepentingan dan kebutuhan. Menurut Quraisy Shihab, orang yang diajak musyawarah, sesuai hadits Nabi disaat memberi nasihat kepada 'Ali : “Hai 'Ali, jangan musyawarah dengan penakut, ia kan mempersulit jalan keluar. Jangan dengan orang bakhil, karena dapat menghambat tujuanmu. Jangan dengan orang yang ambisi, karena akan menutupi keburukan. Wahai 'Ali, sesungguhnya takut, bakhil dan ambisi adalah bawaan yang sama, itu semua bersumber kepada buruk sangka kepada Allah”.
Etika bermusyawarah bila berpedoman kepada QS Ali-'Imran [3]: 159 kira-kira dapat disimpulan; a) bersikap lemah lembut b) mudah memberi maaf, jika terjadi perbedaan argumentasi yang sama-sama kuat dan c) tawakkal kepada Allah. Hasil akhir dari musywarah kemudian diaplikasikan dalam bentuk tindakan, yang dilakukan secara optimal, sedangkan hasilnya diserahkan kepada kekuasaan Allah swt.
Demokrasi, berasal dari bahasa Yunani demos artinya rakyat, kratein berarti pemerintahan. Kemudian dimaknai kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Abraham Lincoln selanjutnya mengartikan demokrasi adalah bentuk kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Ciri ini mensyaratkan adanya partisipasi rakyat untuk memutuskan masalah serta mengontrol pemerintah yang berkuasa. Menurut Sadek J. Sulaiman demokrasi memiliki prinsip kesamaan antara seluruh manusia, tidak ada diskriminasi berdasarkan ras- suku, gender, agama ataupun status sosial.
B.  Hukum Mendirikan Negara
Sebagai sebuah ideologi bagi negara, masyarakat serta kehidupan, islam telah menjadikan negara beserta kekuasaannya sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensinya. Dimana Islam telah memerintahkan kaum muslimin agar mendirikan negara dan pemerintahan, serta memerintah berdasarkan hukum Islam. Dan telah berpuluh-puluh ayat yang menyangkut masalah pemerintahan dan kekuasaan itu diturunkan. Dimana ayat-ayat tersebut memerintahkan kaum muslimin agar menjalankan pemerintahan berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah SWT. Allah berfirman:
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu”. (Q.S. Al-Maidah :48)
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui”.(Q.S. Al-Baqarah : 188)
Mengingat pentingnya sebuah kepemimpinan dalm Islam, maka sebagian besar ulama menghukumi pendirian negara sebagai sebuah Fardlu kifayah .Karena negara adalah sebuah thatiqah (tuntunan operasional) satu-satunya yang secara syar’i dijadika oleh Islam untuk menerapkan dan memberlakukan hukum0\-hukumnya dalam kehidupan secara menyeluruh.
C.  Sebab-Sebab Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam
Pemikiran tokoh-tokoh dalam politik Islam dapat dikategorikan menjadi dua periodfe yakni periode pra modern dan modern. Kedua masa itu pada hakikatnya para pemikir politik Islam bergulat pada upaya untuk mencari basis intelektual dari hubungan politik dan Islam. Pada masa pra modern pemikitan politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran yunani, melalui kajian filsafat. Sedangkan pada masa modern pengaruh politik barat terhadap politik Islam sudah masuk melalui imperalisme. Upaya-upaya dalam pencarian basis intelektual tersebut bertujuan untuk mendapatkan aspek-aspek yang baru dari relasi antara Islam dan politik diantaranya. Pertama, upaya untuk mencari sistem (the nature of autority). Kedua, upaya untuk mencari format pemerintahan. Ketiga, mencari rekonsiliasi atau titik temu antara realitas Islam dan realitas politik.
Dikalangan Umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan politik. Alitan pertama berpendapat bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pegertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh utama aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridla dan  Abul A’la al-Maududi.
Aliran kedua berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-Rasul yang lain, dengan tugas utama mengajak (dakwah) manusia kepada jalan Tuhannya dengan menjunjung tinggi nilai moral, dan Nabi tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Pendapat ini dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer diwakili oleh seorang ulama Mesir, Ali Abd ar-Raziqq, dalam risalahnya yang sangat ramai diperdebatkan, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Kekuasaan), pernah mengemukakan bahwa Muhammad hanyalah seorang rasul dan juru dakwah, bukan seorang pemimpin negara.
Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Tetapi aliran ini pula menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Salah satu tokoh yang mendukung pendapat ini diantaranya adalah Mohammad Husein Haekal, Fazlur Rahman dan di Indonesia tokohnya Nurcholish Madjid.
Konsekuensi dari aliran ketiga itu, melahirkan pemahaman bahwa istilah Islamic State atau Negara Islam tidak ada dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Yang ada adalah khilafah, yaitu suatu misi kaum Muslimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah SWT, maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaannya, al-Qur’an tidak menunjukkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja.
D.  Imamah, Khilafah, dan Syarat-Syaratnya
Imamah menurut bahasa berarti “kepemimpinan”. Imama yang memiliki arti “pemimpin”, ia laksana ketua yang memimpin bawahanya. Imamah sering juga disebut khalifah, yaitu penguasa atau pemimpin tertinggi rakyat. Kata imam juga digunakan untuk orang yang mengatur kemaslahatan sesuatu, untuk pemimpin pasukan, dan untuk orang dengan fungsi lainnya. [4]
Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan kata imamah, yang ada hanya kata imam (pemimpin) dan aimmah (pemimpin-pemimpin), seperti;
öNßg»uZù=yèy_ur Zp£Jͬr& šcrßöku $tR̍øBr'Î/ !$uZøŠym÷rr&ur öNÎgøs9Î) Ÿ@÷èÏù ÏNºuŽöyø9$# uQ$s%Î)ur Ío4qn=¢Á9$# uä!$tFƒÎ)ur Ío4qŸ2¨9$# ( (#qçR%x.ur $oYs9 tûïÏÎ7»tã 
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,”(Q.S. Al-Anbiyaa : 73)
* ÏŒÎ)ur #n?tFö/$# zO¿Ïdºtö/Î) ¼çmš/u ;M»uKÎ=s3Î/ £`ßg£Js?r'sù ( tA$s% ÎoTÎ) y7è=Ïæ%y` Ĩ$¨Y=Ï9 $YB$tBÎ) ( tA$s% `ÏBur ÓÉL­ƒÍhèŒ ( tA$s% Ÿw ãA$uZtƒ Ïôgtã tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÊËÍÈ  
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".(Q.S. Al-Baqarah : 124)
Dengan demikian, (berdasarkan tinjauan arti imamah secara epistimologi), kata imam berarti “pemegang kekuasaan atas umat islam”. Syekh Abu Zahrah mengatakan bahwa “imamah itu berarti juga khalifah, sebab orang yang menjadi khalifah adalah penguasa tertinggi (pimpinan tertinggi) bagi umat islam setelah Nabi wafat”.[5]
            Dalam arti lain khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintaan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum-hukum syara’. Oleh karena itu tidak ada seorang khalifah pun kecuali setelah ia di bai’at oleh umat. Dan pengangkatan jabatan khilifah untuk seorang khalifah dengan bai’at itu berarti telah memberikan kekuasaan kepada khalifah, sehinga umat wajib mentaatinya.
            Bai’at yang dilakukan terhadap seorang khalifah mempunyai syarat-syarat tertentu yaitu  syarat in’iqad dan syarat afdlaliyah. syarat in’iqad diantaranya mencakup; a) muslim. b) laki-laki. c) baligh. d) berakal. e) adil. f) merdeka. g) mampu melaksanakan amanat khilafah. Sedangkan syarat afdlaliyah dari bai’at khilafah adalah; a) tidak disyaratkan harus seorang mujtahid. b). tidak disyaratkan harus seorang yang pemberani dan politikus yang hebat dalam mengatur urusan rakyat dan kepentingan-kepentingan lain. c) tidak disyaratkan harus seorang keturunan Quraisyi. d) tidak disyaratkan harus seorang keturunan bani hasyim atau keturunan ali.[6]
Adapun yang dimaksud dengan khilafah ialah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin didunia untuk menegakkan hokum-hukum syari’at islam dan mengemban dakwah islam kesegenap penjuru dunia. Seperti halnnya dengan pengangkatan khilafah, dalam ke-khilafahan pun terdapat beberapa syarat yang harus terpenuhi, yaitu :
1.      Kekuasaan negeri itu haruslah mandiri (otonom penuh), yaitu hanya bersandar kepada kaum muslimin, bukan kepada salah satu Negara kafir atau berada di bawah pengaruh Negara-negara kafir.
2.      Keamanan bagi kaum muslimin dinegeri itu adalah keamanan islam bukan keamanan kufur .
3.      Negeri tersebut segera menerapkan islam secara serentak dan menyeluruh, serta segera mengemban dakwah islam.
4.      Khilafah yang dibai’at harus memenuhi syarat-syarat in’iqad, meskipun tidak memenuhi syarat afdlaliyah (keutamaan).[7]

E.   System Pemilihan Khilafah
Khilafah adalah akad yang dibangun atas dasar kerelaan dan kebebasan memilih, karena akad tersebut merupakan bai’at untuk mentaati seseorang yang mempunyai hak ditaati dalam kekuasaan (pemerintahan). Jadi dalam hal ini harus ada kerelaan dari yang dibai’at untuk memegang tampuk kekuasaan dan kerelaan dari yang membai’atnya. Idealnya, khalifah yang menjadi pemimpin masyarakat adalah seseorang yang terpilih di antara beberapa calon setelah melalui proses pemilihan yang melibatkan konsultasi pendahuluan. Bila nominasi itu ditentukan kepada orang tertentu, maka permasalahannya dikembalikan kepada seluruh jajaran ummah yang berhak membeerikan konfirmasi atau ratifikasi terakhir. Proses yang kedua ini disebut bai’at.
Ketika pelaksanaan akad bai’at telah sempurna dilaksanakan oleh orang-orang yang memenuhi syarat untuk membai’at, maka akad bai’at tersebut telah sah. Dalam hal ini orang yang dibai’at telah menjadi waliyul amri, pemegang tampuk kekuasaan, yang harus dita’ati. Status bai’at yang diberikan kepadanya setelah itu menjadi bai’at keta’atan, bukan lagi bai’at untuk mengangkat khalifah. Pada saat itu seorang waliyul amri boleh memaksa orang-orang yang belum berbai’at untuk berbai’at kepadanya.
F. Bai’at
Bai’at adalah suatu kewajiban bagi seluruh kaum muslimin, sekaligus merupakan hak setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Bai’at dinyatakan sebagai hak kaum muslimin, karena fakta bai’at itu sendiri menunjukan hal semacam itu. Sebab, bai’at diberikan oleh kaum muslimin kepada khalifah bukan dari khalifah kepada kaum muslimin. Banyak hadis Rasulullah yang banyak menjelaskan terjadinya bai’at kaum muslimin kepada Rasulullah SAW. Seperti hadist Bukhari yang diriwayatkan dari ubadah bin shamit, berkata :
“Kami telah membai’at Rasulullah SAW. Untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun tidak kami senangi, dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, juga agar kami menegakkan atau mengatakan yang haq dimanapun kami berada dan kami tidak takut karena Allah terhadap celaan orang-orang yang mencela”.
Selain itu masih banyak lagi hadits yang menerangkan bahwa bai’at berada ditangan kaum muslimin bukan detangan pemimpin. Jadi, bai’at kepada khalifah berada ditangan kaum muslimin dan menjadi hak mereka. Kaum muslimin lah yang melakukan pembai’atan, dan hanya dengan bai’at merekalah akad khilafah tersebut bisa terwujud bagi seorang khalifah.
Sedangkan bai’at dapat dilkukan dengan secara langsung, yaitu dengan berjabat tangan atau secara tertulis melalui surat. Diperbolehkan pula bai’at dilaksanakan dengan cara lain dan sarana yang memungkinkan (misalnya telepon, faksimil, telegram dan lain-lain).
Hanya saja disyaratkan agar bai’at itu dilaksanakan oleh orang yang sudah baligh. karena itu, berarti bai’at yang dilakukan oleh anka kecil hukumnya tidak sah. Adapun lafadz bai’at tidak disyaratkan terikat dengan lafadz-lafadz tertentu. Akan tetapi harus mengandung makna “mengamalkan kitabullah dan sunah Rasulnya” bagi khalafah, dan harus mengandung makna “sanggup mentaati dalam keadaan sudah ataupun senang, sulit ataupun lapang” bagi kaum muslimin yang membai’at..  
G.  Ahlul Halli wa Al Aqdi
Ahlul Halli wa Al Aqdi dianggap sebagai kelompok yang mencerminka ridlo kaum muslimin atau sebagai perwakilan kaum muslimin dalam tataran pemerintahan yang membawa aspirasi kaum muslimin. Seperti dalam hal pembai’atan, Ahlul Halli wa Al-Aqdi dapat membai’at calon khalifah yang telah memenuhi syarat. Karena ahlul halli dianggap telah mewakili ridlo kaum muslimin itu sendiri.
Maka ketika kita tarik pengertian allul halli wa al-aqdi tersebut kepada sistem pemerintahan di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa MPR dan DPR merupakan Ahlul Halli wa Al-Aqdi  bagi segenap lapisan masyarakat.
H.     HAM Dalam Kajian Fiqh Siyasah[8]
Islam memandang bahwa manusia adalah obyek yang dimuliakan Allah swt. Semua manusia dengan sifat kemanusiaannya akan memperoleh kemuliaan yang sama, walaupun mereka berbeda tanah air dan berbeda keturunan. Dan hal ini juga sama antara pria dan wanita, tidak ada perbedaan, semuanya memperoleh kemuliaan.
Dalamhal ini Allah berfirman: “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia menjadi mulia karena Allah memuliakannya dan memberi anugerah kepadanya. Dan pemberian itu erat kaitannya dengan peribadatan yang dilakukan manusia terhadap Allah. Dan peribadatan manusia kepada Allah adalah suatu pilihan manusia itu sendiri berdasarkan kehendak dan keinginannya dan bukanlah merupakan suatu tabi'at atau sifat bawaan yang telah ada sejak lahir.
Lafaz Hak dalam bahasa Arab, dapat diartikan sebagai salah satu sifat asma Allah SWT, yakni al-Haq. Dapat pula berarti kebenaran. Dalam terminologi islam umat adalah sebuah konsep yang unik dan tidak ada padanannya dalam bahasa-bahasa Barat. Umat bersifat universal, meliputi seluruh kaum muslim, dan disatukan oleh ikatan ideologi yang kuat dan komperhensif, yaitu islam.
Umat dibutuhkan dalam rangka menaktualisasikan kehendak-kehendak Allah dalam lingkup, ruang, dan waktu agar tercapai kebahagiaan hidup manusia, dunia dan akhirat. Dalam Piagam Madinah kata Umat mencakup seluruh kalangan baik muslim maupun non-muslim dalam arti rakyat warga negara. Umat merupakan warga negara Islam yang cakupannya sangat luas, meliputi muslim maupun non-muslim (kafir zimmy), yang dalam Islam mempunyai sekian banyak hak yang harus dihormati, dihargai oleh orang lain.
Agar hak-hak tersebut benar-benar dapat dilindungi oleh pemerintah. Dengan demikian perlu adanya sebuah Undang-Undang Dasar yang mengaturnya. Sebab hak-hak umat/rakyat merupakan tanggung jawab Kepala Negara/Imam.
Hak-hak manusia dalam Islam dijaga dan dibatasi oleh hak dan kewajiban tertentu. Hak dijaga oleh kewajiban, Seperti hak tetangga yang lapar, diimbangi oleh kewajiban orang kaya untuk membagikan makananya. Hak orang yang dizalimi dijaga dengan menentang kezaliman oleh orang yang menyiksanya. Dan hak-hak itu juga ditegakkan melalui kekuasaan Islam yang merupakan penegak keadilan dan pencegah kezaliman.
Secara lebih rinci perlindungan terhadap diri manusia terbagi menjadi beberapa hal berikut:
1.      Perlindungan terhadap keturunan manusia
2.      perlindungan terhadap akal
3.      perlindungan terhadap kehormatan
4.      perlindungan terhadap jiwa
5.      perlindungan terhadap harta
6.      perlindungan terhadap agama
7.      perlindungan terhadap rasa aman
8.      perlindungan terhadap batas negara.
Adapun mengenai hak-hak rakyat menurut Abu al-‘ala al-Maududi, adalah sebagai berikut:
1.      Perlindungan terhadap hidupnya, hartanya dan kehormatannya
2.      Perlindungan terhadap kebebasan pribadi
3.      Kebebasan menyatakan pendapat dan berkeyakinan
4.      Terjamin kebutuhan pokok hidupnya, dengan tidak membedakan kelas dan kepercayaan.
5.      Adanya jaminan kesamaan dalam hukum
6.      Hak mendapatkan pendidikan
Akibat hak-hak yang diterima oleh rakyat, maka warga mempunyai tugas tertentu atas hak-hak Negara. Tugas warga Negara yang harus dan wajib ditunaikan menurut Abu al-a‘la al-Maududi adalah: 1) patuh dan taat kepada pemerintah dalam batas yang tidak bertentangan dengan agama, 2) setia kepada negara, 3) rela berkorban untuk membela Negara dari bermacam ancaman, 4) bersedia memenuhi kewajiban materil yang dibebankan padanya oleh Negara.
Demikian kewajiban rakyat dan menyerahkan pelaksanaannya pada Negara untuk menjamin keseimbangan antara dua pihak yakni rakyat dan Negara, agar masing-masing hak tidak terlanggar atau mendominasi fihak lainnya.




[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ali Ahmad As-Salus. Aqidah al-Imamah ‘Inda as-Syi’ah Al-Isna ‘Asyariyah.Tjmh (Jakarta: Gema Insani Prees, 1997). Hal 15.
[5] Ibid. Hal 16
[6] Taqiyuddin An-Nabhani. Sistem Pemerintahan Islam “doktrin, sejarah dan realitas empirik”. (AL-Izzah, 1996). Hal  66-72.
[7] Ibid. Hal 77
[8] Syaikh Syaukat Hussain. Human Right In Islam. (Jakarta : Gema Insani Press, 1996) hal. 59-95

No comments:

Post a Comment