Taman

Monday, December 17, 2012

Agama Budha.


 Makalah UIN MALIKI Malang


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Dalam alur sejarah agama-agama di India zaman agama Buddha dimulai sejak tahun 500 SM hingga tahun 300 M. Secara historis agama tersebut mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya dan yang datang sesudahnya, yaitu agama Hindu.
Sebagai agama, ajaran Buddha tidak bertitik tolak dari Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia. Untuk jangka waktu yang semestinya. Sehingga menimbulkan berbagai pertanyaa, apakah agama Buddha dapat dipandang sebagai agama atau hanya sebagai salah satu aliran filsafat saja.
Banyak orang yang belum mengerti dengan benar tentang ajaran agama Buddha, terutama tentang mereka yang bukan pemeluk agama itu. Ada yang berpendapat bahwa agama Buddha  sesungguhnya bukan agama karena tidak mengajarkan ketuhanan.
B. Rumusan Masalah
1.      Siapa pendiri atau pembawa agama Buddha?
2.      Apa saja aliran-aliran agama Buddha?
3.      Bagaimana isi ajaran-ajaran agama Buddha?
C. Tujuan Pembahasaan
1.      Untuk mengetahui pendiri atau pembawa agama Buddha
2.      Untuk mengetahui aliran-aliran agama Buddha
3.      Untuk mengetahui ajaran-ajaran agama Buddha





BAB II
TINJAUAN UMUM
A.           Asal Usul Agama Buddha

B.            Pendiri Atau Pembawa Agama Buddha
Dalam cerita-cerita yang berkembang di kalangan umat Buddha bahwa jauh sebelum zaman prasejarah, hiduplah seseorang yang bernama Sumedha. Ia mengalami berjuta-juta reinkarnasi selama ia dalam tubuh seorang manusia yang mempunyai derajat ke-buddhaan yang bernama Sidharta. Sebelum itu itu ia telah menitis berjuta-juta kali dalam bentuk binatang, manusia, dan dewa. Tidak semua makhluk dapat menjelma dalam tubuh yang mempunyai derajat dalam ke-buddhaan, sebab derajat ini hanya bisa dicapai oleh orang yang benar-benar telah mempersembahkan pengorbanan yang sebesar-besarnya dan kasih sayang yang sedalam-dalamnya terhadap sesama umat manusia.
Menurut riwayat, Sidharta dilahirkan pada kira-kira tahun 563 SM. Di daerah Kapilawastu, di kaki pegunungan Himalaya. Ayahnya seorang raja yan kaya raya, bernama Sudhodana dan ibunya bernama Maya. Riwayat tentang kelahiran Buddha diliputi cerita-cerita yang unik.
Menurut sumber dari Mahayana, seorang Bodhisattwa dalam bentuk seekor gajah putih turun dari sorga Tusita memasuki rahim Maya sehingga ia hamil. Setelah ia melahirkan, anak itu diberi nama Sidharta Gautama Sakyamuni, artinya pendeta dari suku Sakyamuni.
Menjelang kelahirannya banyak terjadi peristiwa yang luar biasa, seperti keadaan dunia tampak begitu indahnya, diliputi oleh tebaran bunga teratai, pohon-pohon mulai berbunga, orang bisu bisa berbicara, orang tuli bisa mendengar, orang buta bisa melihat,  orang lumpuh bisa berjalan, alat-alat musik berbunyi sendiri dan masih banyak keajaiban lainnya. Itu semua merupakan pertanda akan datangnya anak yang kelak akan menjadi seorang pemimpin besar.
Di waktu masih kecil, Sidharta telah menunjukkan kecerdasan pikirannya yang jauh melebihi kawan-kawannya. Bahkan ia sudah bisa menulis sebelum diajarkan oleh gurunya. Lagi pula, ia memilki sifat-sifat yan terpuji. Oleh ayahnya yang berkedudukan raja, ia hendak dimanjakan. Segala keinginannya akan dikabulkan asalkan ia mau menetap di istana dan kelak bersedia menggantikan ayahnya menjadi raja. Namun ia menolak hidup yang diliputi serba kemewahan bahkan ia tertarik untuk hidup sederhana sebagai petapa. Kemudian ia bertekad untuk meninggalkan istana. Riwayat hidup Sidharta termuat dalam buku: Lalitavistara dan Jatakamala Aryasur serta digambarkan dengan visual pada dinding candi Borobudur.
Setelah ia menginjak usia 29 tahun, terbitlah keinsafan batinnya, bahwa hidup kedunia dalam suasana kemewahan di istana tidaklah dapat memberi ketenangan batinnya. Timbulnya keinsafan demikian karena ia melihat beberapa peristiwa yanf mengesankan. Ia melihat seorang tua yang sangat lemah tubuhnya, sehingga hidupnya penuh penderitaan. Ia berpikir bahwa bagaimanapun juga orang hidup itu akhirnya akan mengalami tua yang mengalami tua yang penuh penderitaan itu. Ia melihat orang sakit yang merasakan penderitaan karena penyakitnya itu. Ia juga melihat orang yang mati, yang meskipun tubuhnya masih utuh akan tetapi sudah tidak memilik daya apapun. Ia harus berpisah dengan harta, tahta, dan segala sesuatu yang dicintainya. Terakhir ia melihat seorang pendeta petapa yang meskipun hidupnya miskin tapi tampak cerah wajahnya melambangkan kedamaian yang teradapat dalamm batinnya. Maka Sidharta sangat tertarik menempuh hidup orang petapa ini.
Dari beberapa peristiwa yang dijumpainya itu, ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa hidup di dunia ini penuh dengan penderitaan. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan istana ayahnya guna mencari jalan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Ia mengembara masuk keluar hutan, berpuasa, dan bertapa guna mendapatkan pengetahuan yang sejati. Akhirnya setelah ia bersemedi dibawah pohon Boddhi di Boddh Gaya tersingkaplah baginya: “pengetahuan tentang kebenaran yang sejati”. Maka sejak itu ia memakai gelar Buddha, artinya yang telah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran sejati. Dengan derajat yang dicapainya itu ia dapat melihat alam kedewaan yang orang biasa tidak dapat melihatnya, dan dapat melihat kembali rentetan perjalanan hidupnya yang dulu-dulu semenjak ia masih Sumedha dengan berbagai bentuk reinkarnasinya.[1]
C.           Sistem Ketuhanan

D.           Kitab Suci
Dalam membahas hal ini harus juga kita tegaskan bahwa para pengikut Buddha tidak mendakwakan tentang kitab-kitab yang diturunkan tetapi itu adalah didapat dari Buddha. Para pengikut Buddha menghafal kata-katanya, pidato-pidatonya, dan peribahasanya. Tetapi, sesudah kematian Buddha timbullah perselisihan di antara para pengikutnya. Begitu juga rekaan-rekaan terhadap kata-katanya ini tetapi masih terus dikatakan darinya (Buddha).
Para pengikut Buddha mengadakan suatu persidangan di Rajagaha pada tahun 483 SM untuk menghilangkan sebab-sebab perselisihan dan untuk mendekatkan atau menyatukan pengikut-pengikut dengan jalan menentukan dan menetapkan kata-kata Buddha dan teman-temannya. Tatkala semua telah berkumpul, mereka juga meminta kepada Kasyapa, seorang murid Buddha mengenai metafisika. Dia pun membacakannya kepada mereka dan mereka menerimanya dan meriwayatkan darinya. Mereka juga meminta Upali, murid yang panjang masa hidupnya untuk membacakan Surat Pesanan. Maka dia membacakannya kepada orang-orang serta menerima dan meriwayatkan darinya. Kemudian mereka meminta Ananda, murid yang paling oleh Buddha supaya membacakan apa yang didengarnya dari Buddha tentang cerita-cerita, peribahasa, perintah-perintah. Dia pun berbuat demikian, mereka menerimanya dan meriwayatkan darinya.
Riwayat-riwayat ini tinggal terpelihara di dalam dada, dan diterima oleh satu generasi ke generasi lainnya hingga ke zaman Raja Asoka (242 SM). Ketika itu penyelewengan dan perselisihan dalam riwayat-riwayat pun telah lahir. Para pemimpin dan pendeta-pendeta Buddha merasa takut kehilangan kepustakaan (sumber ajaran) ini maka mereka bersidang dan mengambil keputusan untuk menulis ketiga kumpulan riwayat itu. Tampaknya mereka telah meletakkan tiap-tiap satu kumpulan riwayat di dalam sebuah tempat khusus dan digantungkan dengan aman yang jauh dari kemungkinan rusak atau hilang, juga untuk dilakukan pemujaan atasnya. Oleh sebab itu, kumpulan-kumpulan ini dinamakan Raga yang Tiga atau Pitakas (Tri Pitaka)
Raga yang pertama mengandung akidah-akidah dan oleh sebab itu dinamakan Raga Akidah atau Abhi Dhamma Pitakas. Raga yang kedua mengandung syariat dan dinamakan Raga Syariat atau Vinaya Pitakas, dan raga yang ketiga mengandung cerita-cerita dan dinamakan Raga Cerita-cerita atau Sutta Pitakas. Semua raga yang tiga ini disebut sebagai Undang-undang  Pali yaitu mengandung ajaran Buddha yang lama dengan tidak ada perubahan sedikitpun, dan dengan sebab inilah dia menjadi kitab suci Buddha yang terpenting. Kitab ini dinamakan Undang-undang Pali karena dipadankan dengan bahasa Pali yang digunakan di dalam penyusunan riwayat-riwayatnya.[2]
E.            Mazhab Atau Sekte-Sekte Agama Buddha
Ketika Buddha Gautama wafat pada 483 SM yang tinggal hanya ajarannya atau Dharma, yang ada pada waktu itu belum dibukukan. Tahun 269 SM Asoka memerintah hingga tahun 233 SM mula-mula ia memusuhi agama Buddha, tetapi kemudian ia bertobat. Di bawah pemerintahannya agama Buddha berkembang dengan cepat, hingga sampai di luar India.[3]
Zaman kejayaan agama Buddha ini disertai juga dengan zaman perselisihan dan perpecahan. Ada banyak mazhab-mazhab yang berbeda sekali yang satu dari yang lain, di dalam hal upacara-upacara keagamaan dan di dalam soal-soal ajaran yang pokok. Yaitu, antara lain dalam hal mendasarkan perbuatan hanya pada teladan para rahib yang sudah tua, bukan kepada hukum. Dalam hal menerima dan memiliki emas dan perak dan sebagainya. Oleh karena itu dikumpulkanlah suatu muktamar yang menyalahkan para rahib di Waisali tersebut, dan memutuskan bahwa perbuatan para rahib itu bertentangan dengan dharma (ajaran pokok).
Kejadian ini menyebabkan adanya perpecahan di antara pengikut-pengikut Buddha. Golongan yang memegang teguh kepada peraturan Wiyana Pitaka (pedoman kehidupan kerahiban) menyebut dirinya Sthawirawada (Jema’at para murid), sedang golongan yang lebih besar, yang menyetujui adanya perubahan, menyebut dirinya Mahasanghika (Jema’at yang besar). Perpecahan yang terjadi di sini inilah yang agaknya menyebabkan adanya perpecahan yang agak besar, yaitu dalam Hinayana dan Mahayana.
Perpecahan yang pokok di dalam agama Buddha ialah terjadinya aliran: Hinayana dan Mahayana. Di dalam mazhab Hinayana ada dua aliran pokok yaitu Therawada yang sekarang berkembang di Langka, Burma dan Siam (Muangthai), dan Sarwastiwada yang berpusat di Mathura, Gandhara dan Kasmir. Mahayana pecah menjadi banyak aliran. Tiap-tiap aliran menekankan salah satu dari banyak jalan untuk mendapatkan kelepasan. Pada kira-kira tahun 150 M. didirikan aliran Madhyamika oleh Nagarjuna, yang mengajarkan bahwa kelepasan itu bisa dicapai dengan melaksanakan nikmat, dalam arti: merenungkan sunyata (kekosongan). Pada kira-kira tahun 400 M. Aliran yogacara didirikan oleh Asanga, yang dipengaruhi oleh falsafah sankhya. Sesudah tahun 500 M. agama Buddha dipengaruhi oleh aliran Tantra. Cabang aliran ini berkembang di Nepal, Tibet, Cina, Jepang, Jawa, dan Sumatra.     
1.    Aliran Hinayana
Pada pokoknya ajaran Hinayana mewujudkan suatu perkembangan yang logis dari dasar-dasar yang terdapat di dalam kitab-kitab yang kanonik. Jika ajaran itu diikhtisarkan, dapat dirumuskan sebagai berikut:[4]
a.    Segala sesuatu bersifat fana, dan hanya berada untuk sesaat saja, serta disebut dharma. Oleh karena itu tak ada sesuatu yang tetap berada. Tak ada aku yang berpikir, yang ada hanya pikiran. Tak ada aku yang merasa, yang ada hanya perasaan, dan sebagainya.
Dharma-dharma itu adalah kenyataan atau realitas yang kecil dan pendek, yang berkelompok sebagai sebab dan akibat. Karena pengaliran dharma yang terus-menerus itu, maka timbullah kesadaran “aku” yang palsu, atau ada “perorangan” yang palsu.
b.    Tujuan hidup ialah mencapai nirwana, di mana kesadaran akan ditiadakan. Sebab segala kesadaran adalah belenggu. Hal ini disebabkan karena kesadaran tidak lain adalah kesadaran terhadap sesuatu. Apakah yang tinggal ada di dalam nirwana itu, sebenarnya tidak diuraikan dengan jelas.
c.    Cita-cita yang tertinggi ialah menjadi arhat, yaitu orang yang keinginannya, ketidaktahuannya dan sebagainya sudah berhenti, sehingga ia tidak ditaklukkan lagi kepada kelahiran kembali.
2.    Aliran Mahayana
Dua kata yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran Mahayana ialah Bodhisattwa dan Sunyata. Secara harfiah “Bodhisattwa” berarti: orang yang hakikat atau tabiatnya adalah hikmat yang sempurna. Sebelum Mahayana timbul, pengertian “Bodhisattwa” ini sudah dikenal juga, dan dikenakan juga kepada Buddha Gautama, sebelum ia menjadi Buddha. Di situ “Bodhisattwa” berarti: orang yang sedang dalam perjalanan mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan menjadi Buddha. Jadi mula-mula “Bodhisattwa” adalah gelar bagi makhluk yang ditetapkan untuk menjadi Buddha. Di dalam Mahayana Bodhisattwa adalah orang yang bukan hanya melepaskan dirinya sendiri, tetapi yang juga dapat menemukan sarana untuk membuat benih pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada orang lain.
Cita-cita tertinggi di dalam Mahayana ialah untuk menjadi Bodhisattwa. Cita-cita ini berlainan sekali jika dibandingkan dengan cita-cita Hinayana, yaitu untuk menjadi arhat. Sebab seorang arhat hanya memikirkan kelepasan sendiri.
 Berhubung dengan cita-cita tentang Bodhisattwa ini, maka di dalam aliran Mahayana ada ajaran tentang pariwarta, yaitu bahwa kebajikan itu dapat dipergunakan bagi kepentingan orang lain. Orang yang mendapatkan pahala karena kebajukannya, dapat mempergunakan pahala itu bagi kepentingan orang lain. Ajaran ini sudah pasti berlainan sekali jika dibandingkan dengan ajaran agama Buddha yang kuno, di mana diajarkan bahwa hidup seseorang itu terpisah daripada hidup orang lain.
Di dalam perjalanan hidupnya yang panjang itu seorang Bodhisattwa tidak akan dilahirkan kembali ke dalam tempat penyiksaan atau ke dalam keadaan yang tidak menyenangkan di dalam dunia ini. Demikian juga seorang Bodhisattwa tidak diharuskan menyangkal dunia ini. Ia menerima keadaan hidup sebagaimana adanya. Ia boleh beristri, memiliki kemewahan dan kekuasaan.
Hal kedua yang memberi ciri Mahayana ialah ajaran tentang Sunyata, yang artinya kekosongan. Kosong (sunyata) berarti tak ada yang mendiaminya. Sunyata berarti bahwa “tak ada pribadi”. Segala sesuatu adalah kosong, oleh karenanya tak ada yang bisa diinginkan atau dicari. Bukan hanya dunia ini yang kosong, tetapi juga Nirwana, bahkan Dharma juga kosong. Kebenaran yang tertinggi adalah kekosongan, oleh karenanya tak dapat dijadikan sasaran kepercayaan. Sebab Yang Mutlak itu tak dapat dipegang. Seandainya dapat dipegang, tak dapat dikenal. Sebab Yang Mutlak itu tidak memiliki ciri-ciri yang membedakannya dari yang lain.
Di dalam perkembangannya, Mahayana mengalami bermacam-macam pengaruh, di antaranya dari gerakan Bhakti, dan aliran Tantra. Bhakti adalah penyembahan pribadi yang berdasarkan penghormatan kepada dewa yang disembah, yang digambarkan dalam bentuk manusia. Sejak abad pertama Masehi Bhakti ini mempengaruhi agama Buddha, dan makin lama pengaruh itu makin kuat. Karena timbulnya unsur penyembahan ini, maka berubahlah keterangan tentang ajaran tempat pengungsian orang Buddhis.[5]
Di dalam agama Buddha Hinayana, Triratna, yaitu Buddha, Dharma dan Sangha menjadi tempat pengungsian. Tetapi di dalam Mahayana, tempat pengungsian itu ialah Buddha dan anak-anak Buddha atau Bodhisattwa dalam arti yang luas, dan Dharmakarya. Demikianlah timbul ajaran tentang banyak Buddha, yang diuraikan secara mitologis.
Ajaran tentang banyak Buddha itu dialirkan dari ajaran tentang lima skandha. Mula-mula diajarkan bahwa manusia itu terdiri dari lima skandha. Ajaran ini dikenakan kepada Buddha sendiri. Diajarkan, bahwa Buddha juga terdiri dari lima skandha, dan tiap-tiap skandha adalah suatu Buddha, yang disebut Tathagata (di Tibet disebut Yina). Kelima Tathagata itu ialah Wairocana. Yang menerangi atau yang bersinar, Aksobhya, Yang Tenang, tak terganggu, Ratnasambhawa, Yang dilahirkan dari Permata, Amitabha, Terang yang kekal, Amoghasiddhi, Keuntungan yang tak binasa. Para Tathagata ini berbeda sekali keadaannya dengan Buddha yang biasa. Para Tathagata ini senantiasa Buddha, tidak pernah menjadi manusia, sedang Buddha yang biasa itu menjadi manusia.
Kemudian para Tathagata ini dihubungkan dengan penjuru alam. Mereka dipandang sebagai membentuk tubuh alam semesta ini. Demikianlah Aksobhya dipandang sebagai berkuasa di surga sebelah timur, Ratnasambhawa di selatan, Amitabha di barat, Amoghasiddhi di utara dan Wairocana di tengah.
Perkembangan selanjutnya menimbulkan adanya ajaran tentang Adhi Buddha, yakni Buddha yang yang pertama, yang dipandang sebagai sudah ada pada mula pertama, yang tanpa asal, sebab ia berada karena dirinya sendiri, yang tak pernah tampak, dan berada di dalam Nirwana. Hakikat Adhi Buddha ini adalah terang yang murni. Ia timbul dari sunyata, kekosongan. Dengan lima macam tafakur (dhyana) Adhi Buddha ini mengalirkan dari dirinya lima Buddha, yang disebut Dhyani Buddha, yaitu: Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha, dan Amoghsiddhi. Dhyani Buddha ini dipandangnya sebagai menguasai daerahnya masing-masing, yang disebut Buddha-ksetra. Daerah-daerah itu ada yang digambarkan sebagai alam yang murni, dan ada yang kurang murni, sesuai dengan tugas Dhyani-Buddha itu masing-masing. Di dalam daerahnya masing-masing itu kelima Dhyani-Buddha itu mengajarkan ajarannya kepada para makhluk, dan menolong mereka untuk mendapatkan pencerahan.
Dengan daya pengetahuan serta tafakurnya para Dhyani Buddha ini mengalirkan lima Bodhisattwa, yaitu: Wairocana mengalirkan Samantabhadra, Aksobhya mengalirkan Wayrapani, Ratnasambhawa mengalirkan Ratnapani, Amitabha mengalirkan Padmapani atau Awalokiteswara, dan Amoghasiddhi mengalirkan Wispapani. Para Dhyani Bodhisattwa ini adalah pencipta alam bendawi ini. Dunia yang mereka jadikan itu dapat binasa. Ada tiga yang sudah binasa. Dunia yang sekarang ini adalah yang keempat, hasil karya Awalokiteswara, yang memiliki Amitabha sebagai pelindungnya.
Akhirnya, para Dhyani Bodhisattwa ini memantulkan diri pada lima Buddha yang dalam bentuk manusia, yang disebut Manusia-Buddha, yaitu secara berurutan: Krakuckhanda, Kanakamuni, Kasyapa, Sakyamuni dan Maitreya. Mereka ini adalah guru, utusan para Dhyani Bodhisattwa itu.
Perkembangan yang dmikian ini disebabkan juga karena pengaruh aliran Tantra. Sedangkan kesatuan ajaran tentang Buddha yang bermacam-macam itu didapatkan dalam ajaran tentang tiga tubuh Buddha, (trikaya).
Ketiga tubuh itu ialah: Dharmakaya, Sambhogakaya dan Nirmanakaya. Dharmakaya adalah tubuh kebahagiaan, tubuh hakiki, sedang Sambhogakaya adalah penjelmaannya sewaktu di surga, dan Nirmanakaya adalah tubuh penampakannya, emanasi (pengaliran), transformasi atau pemantulan tubuh surgawi, yaitu tubuh yang tampak pada tiap-tiap Manusia Buddha. Di dalam agama Hindu, Dharmakaya adalah Brahman, yang tanpa waktu dan tanpa sifat, sedang Sambhogakaya direalisasikan dalam bentuk Iswara dan Nirmanakaya adalah penampakan Iswara itu dalam awataranya atau penitisannya.
Sebutan yang lain dari Dharmakaya adalah Swabhawakaya atau tubuh yang menampakkan tabiat atau hakikatnya sendiri, jadi sama dengan swarupa, bentuknya sendiri, di dalam agama Hindu. Selanjutnya Dharmakaya juga disebut Sunya, yang kosong, Nirwana, kelepasan yang kekal, Budhi, hikmat, Prayna, hikmat ilahi, Tathagatagarbha, kandungan Tathagata, dan sebagainya. Dari sini jelas bahwa Dharmakaya itu bukan suatu dewa yang berpribadi, tetapi Dharmakaya adalah asas jiwani, yang meliputi segala sesuatu, tetapi yang tak dapat diselidiki. Kadang-kadang Dharmakaya ini dipersonifikasikan dengan Adhi-Buddha, kadang-kadang dengan wairocana, jika wairocana itu dipandang sebagai Buddha yang tertinggi.
Sebagai Buddha yang tertinggi maka Dharmakaya itu dipandang sebagai memiliki saktinya-istrinya, yaitu Praynaparamita, Hikmat Tertinggi, atau Budhi. Praynaparamita ini juga dipakai sebagai sebutan kitab, atau kelompok kitab-kitab dalam Mahayana. Akhirnya Praynaparamita ini dipersonifikasikan juga sebagai seorang dewi, seperti halnya dengan Sakti di dalam agama Hindu. Praynaparamita ini dipandang sebagai satu dengan Dharmakaya, seperti sakti itu satu dengan Siwa. Oleh karena itu maka praynaparamita ini dipandang sebagai “KeBuddhaan”, dan di dalamnya tiap-tiap Bodhisattwa dilarutkan, atau menjadi fana. Selanjutnya praynaparamita ini juga dipandang sebagai Ibu-Buddha, yang mengandung Buddha, yang menjadi sumber segala sesuatu yang ada, baik jasmani maupun rohani.
Dalam alam yang mutlak, Dharmakaya ini bisa disebut sunya atau kosong, tetapi di alam kebenaran yang relatif ini Yang Mutlak itu menjelma dalam namarupa, secara lahir dan batin, secara jasmani dan rohani. Bagi makhluk yang di surga. Dharmakaya itu menjelma sebagai Sambhogakaya, sedang bagi makhluk yang di dunia ini ia menjelma sebagai Nirmanakaya.
Sambhogakaya adalah Buddha-Buddha yang dipandang sebagai dewa-dewa di dalam surga, yang memiliki nama dan bentuk, tetapi yang maha tahu, berada di mana-mana dan maha kuasa. Buddha dalam arti ini dapat disamakan dengan Iswara di dalam agama Hindu, yang dapat disembah dengan bermacam-macam sebutan, sebagai umpamanya Siwa dan Wisnu. Di dalam agama Buddha Mahayana, Buddha-Buddha ini disebut Dhyani Buddha.
Untuk zaman sekarang ini Buddha yang berfungsi sebagai dewa yang demikian itu adalah Amitabha atau Amida. Ia memerintah di dalam surganya, Sukhawati, di sebelah barat. Sebagai Juru Selamatnya atau Dhyani Bodhisattwanya adalah Awalokiteswara, sedang Guru atau utusannya adalah Gautama. Sukhawati itu adalah suatu Firdaus yang didiami oleh jiwa-jiwa yang selamat. Di situ mereka menikmati kegirangan, kesucian dan hikmat yang abadi. Sukhawati inilah cita-cita tiap orang Buddhis.
Bagi keselamatan manusia berfungsilah Awalokiteswara, yang juga disebut Lokeswara, Tuhan dunia, atau Lokanatha, Pelindung dunia. Dialah yang memperhatikan nasib manusia yang menderita, serta menolongnya. Awalokiteswara ini digambarkan dengan bunga teratai merah di tangan kirinya, sedang tangan kanannya dikedangkannya ke bawah dengan terbuka, sebagai lambang kemurahan atau anugerah.
Akhirnya, Nirmanakaya adalah Buddha yang tampak, yang mengalir atau dipantulkan dari Sambhogakaya, Tubuh ini ditampakkan oleh Sakyamuni setelah ia menjadi Buddha.
3.    Aliran Yogacara
Kira-kira pada abad yang keempat dua bersaudara, yaitu Asanga dan Wasubandhu mendirikan suatu mazhab, yang disebut Yogacara. Sedang mazhab Madhyamika menekankan kepada hikmat, mazhab Yogacara menekankan kepada Yoga. Pandangannya terhadap dunia ini didasarkan atas pengalamannya di dalam Yoga.[6]
Menurut Yogacara, Yang Mutlak adalah cita atau pikiran (Citta). Hal ini didasarkan atas pengalaman seorang Yogin, yang jika dihadapkan dengan Yang Mutlak itu, melihat di dalam bagian hidupnya yang terdalam suatu pletikan terang. Oleh karena itu maka diajarkan, bahwa dunia ini melulu terdiri dari citta.
Kenyataan yang tertinggi tak terdapat di dalam dunia ini, oleh karenanya tidak mungkin kita alami. Pribadi yang sebenarnya itulah sasaran yang tertinggi. Akar segala kejahatan terletak pada kecenderungan kita untuk memandang segala sesuatu sebagai terpisah dari pribadi kita yang terdalam, atau sebagai berada di luar pribadi kita yang terdalam, sebagai sasaran. Sebab pada hakikatnya segala sesuatu dan segala pikiran adalah melulu citta (cittamatra). Kita hidup di dalam khayalan, karena kita menganggap apa yang kita pikirkan itu sebagai suatu dunia yang berdiri sendiri, lepas daripada pikiran kita. Padahal segala sesuatu itu sebenarnya bersumber pada pikiran kita dan terdiri dari pikiran saja.
Manusia mencapai hikmat tertinggi, jika ia sudah dapat melihat segala sesuatu sebagai khayalan. Bukankah pada tingkat yang tertinggi dari yoga itu seorang yogin dihadapkan dengan suatu perwujudan yang khayali, yang hidup, tanpa ada persamaannya di dalam dunia ini. Perwujudan itu biasanya dilihat sebagai suatu lingkaran biru, atau suatu rangka, yang melulu khayalan dan dipandang sebagai pikiran atau citta. Oleh karena itu dunia ini adalah suatu impian, yang memiliki kenyataan.  
4.    Aliran Mantrayana
 Sejak abad ketujuh agama budha dipengaruhi oleh tantra. Ciri khas dari Tantra ialah ajarannya tentang jalan kelepasan, yang dipandangnya sebagai melulu karena mantra. Dilihat dari segi ini, maka Mahayana, yang memandang kunci kelepasan dari segala belenggu hidup ini terdapat pada pengucapan mantra-mantra, disebut Mantrayana.
Di sini diajarkan kemahakuasaan mantra. Tak ada sesuatu yang tak dapat dicapai oleh mantra. Mantra itu dapat memberikan “kebuddhaan”, dan segala sesuatu yang diinginkan orang.
Mantra-mantra itu terdiri dari kata-kata, yang disusun dari banyak huruf. Agar mantra-mantra itu dapat berfungsi, harus diucapkan dengan merenungkan di dalam hati “bentuk huruf-huruf” itu, “bunyi” huruf yang bermacam-macam itu, “arti” ucapan-ucapan di dalam mantra itu. Selanjutnya harus disertai pengaturan nafas, penyajian bunga-bunga, bau-bauan dan sebagainya.
Mantrayana ini menghubungkan tiga hal menjadi satu, yaitu: keinginan rakyat akan sesuatu yang dapat disembah, praktek bersemedi dari Yogacara dan metafisika dari Madhyamika. Oleh karena itu di dalam Mantrayana ini terdapat bermacam-macam dewa, makhluk rohani, sihir dan sebagainya. Tetapi di atas itu semuanya hanya ada satu kenyataan, yaitu sunyata atau kekosongan. Segala gejala yang beraneka ragam itu sebenarnya tidak nyata, sebab semuanya itu adalah hasil khayalan kita. Demikian juga halnya dengan segala dewa itu. Sekalipun demikian para dewa itu masih lebih berguna daripada segala hal yang dialami manusia sehari-hari. Sebab dewa-dewa itu masih dapat membantu kita untuk mendapatkan kelepasan dari belenggu hidup ini.
Supaya kita dapat terlepas daripada belenggu hidup ini, kita harus merenungkan dewa-dewa itu, dengan cara demikian: bahwa mula-mula kita harus merenungkan Sunyata atau kekosongan itu. Selanjutnya kita harus mengucapkan berulang-ulang inti mantra-mantra dan menghidupkannya di dalam hati kita. Akhirnya kita harus berusaha menggambarkan di dalam angan-angan kita dewa-dewa, seperti yang dilukiskan di dalam patung-patung atau lukisan yang lain, sehingga kita dapat mengidentikkan diri dengan dewa-dewa itu. Demikianlah kita akan menjadi dewa itu sendiri. Dengan cara demikian kita “memperkembangkan kekosongan”, yaitu dengan menimbulkan gagasan, bahwa dalam hakikatku yang sebenarnya, aku bertabiatkan baja. Jika kita berhasil mengidentikkan diri dengan dewa-dewa itu, kita juga akan mendapat bagian dari kekuasaan dewa yang bersifat magis itu.
Dua aliran yang terkenal di dalam Mantrayana ini ialah Wayrajana dan Amoghawayra. Wayrajana adalah aliran kiri. Secara harfiah wayra berarti petir, yang di dalam agama Hindu berfungsi sebagai senjata Indra. Petir ini adalah senjata yang tak dapat dipatahkan, tetapi yang mematahkan segala sesuatu. Di dalam Mantrayana kata wayra ini dipakai untuk mengungkapkan suatu substansi yang luar biasa, yang keras sebagai baja atau intan, yang jernih sebagai ruang yang kosong, yang tidak terkalahkan sebagai petir. Selanjutnya wayra itu diidentikkan dengan kenyataan yang tertinggi, dengan Dharma dan pencerahan.[7]
Menurut Wayrajana, orang yang sudah mendapat kelepasan itu dikembalikan kepada tabiat sebenarnya, yaitu tabiat-intan (baja), dan memperoleh tubuh-intan (baja), dan diubah menjadi makhluk yang terdiri dari intan (baja), Wayrasattwa.
Aliran kanan dari Mantrayana ialah ajaran Amoghawayra (705-774). Aliran ini masih berkembang di Cina. Buddha yang tertinggi adalah Mahawairocana, dan diidentikkan dengan alam semesta ini. Tubuh Buddha ini terdiri dari dua bagian, yaitu anasir yang pasif, yang bersifat rohani, yang disebut anasir-kandungan, dan anasir yang aktif, yang bersifat jasmani, yang disebut anasir-intan (baja). Seluruh dunia ini mewujudkan suatu pernyataan Buddha bagi dirinya sendiri, yang digambarkan dengan dua mandala atau lingkaran, yaitu: garbha-dhatu-mandala (lingkaran kandungan), dan wayra-dhatu-mandala (lingkaran petir).
F.            Ajaran Agama Buddha
Ajaran agama Buddha disebut tiga batu permata (triratna), yaitu: Buddha, Dharma dan Sangha.
1.      Ajaran tentang Buddha
Bagi kepercayaan Buddhis, hidup Sang Buddha sebagai perorangan, sebagai Siddharta atau Gautama atau Sakyamuni, tidaklah penting. Buddha adalah suatu gelar, suatu jabatan yang sudah pernah dijabat oleh orang-orang lain. Menurut keyakinan Buddhis sebelum tahap zaman sekarang ini, sudah ada tahap zaman yang tak terbilang. Dan tiap-tiap zaman ini memiliki Buddhanya sendiri-sendiri. Oleh karena itu menurut keyakinan Buddhis ada banyak Buddha, yaitu orang yang sudah mendapatkan pencerahan Buddhi. Menurut Jema’at Selatan, sebelum Buddha Gautama sudah ada 24 Buddha yang mendahuluiNya. Tetapi menurut Jema’at Utara ada lebih banyak lagi. Walaupun dalam soal bilangan banyaknya Buddha yang sudah pernah ada, keduanya berbeda pendapat, tetapi mengenai tujuh orang Buddha yang terakhir, keduanya ada kesamaan pendapat.
Ketujuh Buddha yang terakhir, yang sudah pernah menjelma sebagai manusia adalah: Wipasyin, Sikhin, dan Wiswabhu, yang menjelma sebagai manusia pada zaman emas, Kakukhanda, dan Kanakamuni, yang menjelma sebagai manusia pada zaman perak, Kasyapa, yang menjelma sebagai manusia pada zaman tembaga, dan Sakyamuni atau Gautama yang menjelma sebagai manusia pada zaman besi.[8]
Sekalipun Siddharta dilahirkan pada 563 SM, tetapi menurut keyakinan orang Buddhis, pada tahun itu Gautama bukan untuk pertama kali datang ke dunia. Sebelum dilahirkan sebagai Siddharta-Gautama ia sudah hidup berjuta-juta abad, dengan nama Sumedha. Sama dengan nasib tiap-tiap orang, ia mengalami kelahiran kembali yang banyak sekali. Pernah ia dilahirkan kembali sebagai binatang, sebagai manusia dan sebagai dewa. Kesempurnaan, seperti yang sudah dicapai oleh Gautama ini tak mungkin dicapai dalam s`tu kelahiran saja.
Sebenarnya tokoh Buddha itu adalah suatu asas rohani, suatu                        “ke-buddha-an”, atau suatu tabiat kebuddhaan. Tabiat kebuddhaan ini sebenarnya tersembunyi di dalam tiap-tiap orang yang menjadi Buddha, juga di dalam diri Siddharta. Dan tabiat kebuddhaan inilah yang mengilhami Siddharta untuk mengerti akan kebenaran dan kemudian mengajarkannya. Jika Buddha dipandang sebagai asas rohani, maka ia disebut Tathagata.
Secara lahiriah Siddharta tampak sebagai manusia biasa, tetapi di dalam tubuhnya yang tampak itu tersembunyi pribadi yang sebenarnya, yang tak dapat dihayati oleh manusia biasa kecuali oleh mereka yang beriman. Tubuh kegirangan ini dipandang sebagai tubuh yang tingginya 18 kaki, berwarna keemasan. Di antara kedua keningnya di bagian atas terdapat suatu ikalan yang lembut seperti kapas yang disebut urns, selanjutnya di atas kepalanya terdapat usnisa, semacam serban di atas kepala. Akhirnya di sekitar kepala itu ada lingkaran sinar, yang menandai kesucian dan sifat ilahinya. 
2.      Ajaran tentang Dharma
Dharma adalah ajaran pokok. Ajaran pokok agama Buddha dirumuskan di dalam yang disebut empat kebenaran yang mulia (4 aryasatyani). Yaitu ajaran yang diajarkan oleh Buddha Gautama di Benares, sesudah ia mendapat pencerahan.
a.        Aryasatyani
Aryasatyani itu terdiri dari empat kata: yaitu dukha, samudaya, nirodha dan marga.
v  Yang disebut dukha ialah penderitaan. Hidup ini adalah penderitaan. Misalnya: kelahiran adalah penderitaan, umur tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, mati adalah penderitaan, disatukan dengan apa yang tak disukai adalah penderitaan, dipisahkan dari yang disukai adalah penderitaan, tidak mencapai yang diinginkan adalah penderitaan dan sebagainya.
v  Yang dimaksud dengan samudaya adalah sebab. Maksudnya penderitaan itu ada sebabnya. Keinginan kepada hidup itu menyebabkan orang dilahirkan kembali, dengan disertai nafsu dan keinginan, yang mencari kepuasan di sana-sini. Yaitu nafsu/keinginan kepada kesenangan, nafsu/keinginan kepada milik, nafsu/keinginan kepada kekuasaan.
v  Yang dimaksud dengan nirodha ialah pemadaman. Yaitu pemadaman penderitaan itu terjadi, bila kita mampu menghapuskan seluruh nafsu/keinginan kita secara sempurna.
v  Yang dimaksud dengan marga ialah jalan kelepasan. Yaitu jalan yang menuju kepada pemadaman penderitaan. Ini ada delapan, yakni:
1.      Percaya yang benar,                  5.   Hidup yang benar,
2.      Maksud yang benar,                 6.   Usaha yang benar,
3.      Perkataan yang benar,              7.   Ingatan yang benar,
4.      Perbuatan yang benar,              8.   Samadhi yang benar.
Yaitu konsentrasi sedemikian rupa sehingga ia menjadi satu dengan sasaran semadie, dan mendapatkan damai batiniah.
b.        Pratica samutpada
Penderitaan itu disebabkan oleh nafsu/keinginan. Untuk menerangkan hal ini diajarkan apa yang disebut Pratica Samutpada. Artinya pokok permulaan yang bergantungan. Pokok permulaan sesuatu bergantung kepada pokok permulaan yang mendahuluinya, dan ini bergantung lagi kepada pokok permulaan yang mendahuluinya dan seterusnya. Seluruhnya adalah 12 pokok permulaan yaitu:
12.  menjadi tua dan mati bergantung pada dari kelahiran
11.  kelahiran bergantung dari hidup masa lampau

10. hidup masa lampau bergantung kepada makanan, minuman dan sebagainya.
9.    makanan, minuman dan sebagainya ini bergantung kepada nafsu/keinginan
8.    nafsu/keinginan bergantung kepada emosi
7.    emosi bergantung kepada sentuhan/kontak
6.    sentuhan/kontak bergantung kepada indra dan sasarannya
5.    indra dan sasarannya bergantung kepada lahir/batin
4.    lahir/batin bergantung kepada kesadaran
3.    kesadaran bergantung kepada penafsiran yang salah
2.    penafsiran yang salah bergantung kepada .......
1.    ketidaktahuan (awidya)
c.         Ajaran tentang anica atau anicca
Kata anica berarti tidak kekal. Doktrin ini mengajarkan, bahwa di dalam dunia ini tak ada sesuatu yang kekal. Semuanya adalah fana. Tak ada sesuatu yang tetap ada, segala sesuatu itu “sedang menjadi”. Hidup ini adalah suatu rentetan dari hal-hal yang terjadi untuk sesaat dan yang segera tidak ada lagi. Hal ini digambarkan sebagai nyala api. Nyala api tampak seolah-olah tetap ada. Maka kita melihat api yang tetap menyala. Tetapi hal ini tidaklah benar. Sebab sebenarnya setiap kali ada nyala yang baru, yang kemudian hilang, disusul oleh nyala yang baru, yang kemudian hilang lagi. Begitulah individualitas, sebenarnya tidak ada.
d.        Ajaran tentang anatman atau anatta
Kata anatman atau antta berarti tak ada jiwa. Ajaran ini tak bisa dipisahkan dari ajaran tentang anica, yang mengajarkan bahwa tak ada sesuatu yang kekal yang tidak berubah. Karenanya, tak ada jiwa yang kekal. Manusia sebenarnya tidak berjiwa. Manusia adalah suatu kelompok keadaan jasmani dan rohani. Di dalamnya tak ada suatu pribadi yang tetap.         
e.         Ajaran tentang karma
Agama Buddha juga mengajarkan, bahwa karma menyebabkan kelahiran kembali. Tetapi yang dilahirkan kembali itu bukan jiwa, bukan “aku” manusia, sebab tak ada “aku” yang tetap. Yang dilahirkan kembali adalah watak atau sifat-sifat manusia, atau “kepribadian”nya, tetapi tanpa pribadi atau aku.
f.         Jalan kelepasan
Agar orang dapat lepas dari penderitaan itu orang harus melalui suatu jalan yang terdiri dari delapan tingkatan, yaitu: Percaya yang benar, Maksud yang benar, Perkataan yang benar, Perbuatan yang benar, Hidup yang yang benar, Usaha yang benar, Ingatan yang benar dan Semadi yang benar.
Delapaan macam jalan yang diajarkan di dalam arjasatyani ini seirng disingkatkan menjadi empat tingkatan. Masing-masing tingkatan ditandai dengan pemutusan ikatan-ikatan yang mengikat kepada dunia ini. Keempat tingkatan itu ialah: (1) Srotapana atau pertobatan, yaitu tingkatan orang yang sudah ditempatkan pada arus yang benar. (2) Sakrdagamin, yaitu tingkatan orang yang masih harus dilahirkan kembali sekali lagi. Sesudah itu ia akan mencapai kelepasan yang sempurna. (3) Anagamin, yaitu tingkatan orang yang sudah tidak akan dilahirkan kembali, dan yang sudah mendapat kelepasan di dalam hidup sekarang ini. (4) Arhat, yaitu tingkatan orang yang sudah bebas dari dilahirkan kembali, baik di dalam dunia berbentuk maupun di dalam dunia yang tidak berbentuk. Dalam tingkatan ini orang mencapai nirwana.    
g.        Ajaran tentang Nirwana
Kelepasan di dalam agama Buddha diungkapkan dengan bermacam-macam ungkapan. Ungkapan yang paling terkenal ialah nirwana. Secara harfiah kata nirwana berarti pemadaman atau pendinginan. Yang dipadamkan ialah keinginan, api dari nafsu, kebencian dan sebagainya.
Orang di dalam nirwana itu mengalami suatu keadaan yang penuh damai. Suatu keadaan yang jauh lebih baik daripada segala keadaan di dunia ini.
Baik bagi arhat maupun Buddha Gautama, di dalam hidupnya di dunia ini sudah mencapai nirwana. Maka dapat ditentukan, bahwa keselamatan atau kelepasan yang dicapai oleh seorang arhat itu tidak berarti, bahwa sesudah itu ia akan langsung mati.
Nirwana itu dibedakan dalam dua macam, yaitu upadhisesa dan anupadhisesa. Upadhisesa ialah status orang yang sudah mendapat kelepasan atau nirwana, tetapi yang hidup lahiriahnya masih terus berjalan. Dan anupadhisesa ialah status orang yang mendapat kelepasan, yang hidup lahiriahnya sudah tak ada lagi, jadi yang dicapai sesudah mati.
Orang yang masuk ke dalam nirwana bukannya jiwanya campur atau dilarutkan ke dalam jiwa yang maha agung, tetapi ia mendapat ketenangan sebagai lautan yang tanpa ombak.
3.      Ajaran tentang Sangha
Pengikut agama Buddha dibagi menjadi dua bagian, yaitu para Bhiksu atau para rahib dan para Upasaka atau para kaum awam.
Inti masyarakat Buddhis sebenarnya hanya terdiri dari para rahib. Sebab hanya hidup kerahiban itulah yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan orang untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi. Seluruh persekutuan para rahib disebut sangha atau jema’at.
Kehidupan kerahiban diatur di dalam kitab Winaya Pitaka. Dari kitab ini kita dapat mengetahui, bahwa para rahib itu ditandai oleh tiga hal, yaitu: kemiskinan, hidup membujang dan ahimsa (tanpa kekerasan).
Pertama-tama seorang rahib harus hidup di dalam kemiskinan. Ia tidak diperkenankan memiliki sesuatu, kecuali jubahnya, yang harus dibuat dari kain lampin, tempurung sebagai alat mengemis, sebuah jarum untuk menisik jubahnya, sebuah tasbih, sebuah pisau cukur untuk mencukur rambutnya, yang harus dilakukan tiap dua minggu sekali, dan sebuah penyaring air minumannya supaya dibersihkan dari binatang-binatang kecil.
Semula seorang rahib diharuskan hidup tanpa rumah atau tanpa tempat berlindung yang tetap. Oleh karena itu barang siapa hendak menjadi rahib, harus meninggalkan rumahnya, ia harus hidup dari iman saja. Mereka biasanya hidup mengembara dan kemudian dikumpulkan di dalam biara.
Makanan mereka harus didapatkan dari mengemis. Di dalam mengemis itu mereka tidak diperkenankan menerima uang. Dengan mengemis itu para rahib memberi kesempatan bagi para kaum awam untuk berbuat baik.
Selanjutnya seorang rahib harus hidup membujang. Ia tidak diperkenankan berhubungan dengan wanita. Sebab hubungan seks dipandang sebagai sumber dosa. Akhirnya seorang rahib harus hidup dengan ahimsa, tanpa kekerasan. Emat dosa yang benar-benar harus dijauhi rahid ialah hidup mesum, mencuri, membunuh makhluk yang hidup dan meninggikan diri karena kecakapannya membuat mukjizat.
Kesusilaan rahib dicantumkan di dalam dasasila, atau sebenarnya sepuluh larangan, yaitu larangan untuk membunuh, mencuri, hidup mesum, berdusta, minum-minuman keras, makan pada waktu terlarang, mengunjungi tempat keramaian duniawi, bersolek, tidur pada tempat tidur yang enak dan menerima hadiah.
Siapa saja dapat menjadi rahib, baik lelaki maupun perempuan, asal ia tidak dikuasai oleh orang lain. Juga orang yang memiliki penyakit menular dan yang bercacat besar tidak diperkenankan. 
Golongan kedua dari pengikut Buddha ialah para upasaka atau para awam. Mereka itu adalah orang, baik lelaki maupun perempuan, yang mengakui Buddha sebagai pemimpin keagamaan-Nya, menerima ajarannya, tetapi yang tetap hidup di dalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada hakikatnya para upasaka tak dapat mencapai nirwana di dalam hidupnya. Mereka boleh melaksanakan kelima larangan yang pertama dari dasasila yang diharuskan bagi para rahib, yaitu tidak membunuh, tidak mencuri, tidak hidup mesum dalam arti tidak berzina, tidak berdusta dan tidak minum-minuman keras.
Tugas para upasaka itu selanjutnya diuraikan umpamanya sebagai berikut: para orang tua harus mengendalikan anak-anaknya dari perbuatan yang jahat, melatih mereka kepada perbuatan baik, mengajarnya pengetahuan dan kesenian. Para anak harus membantu orang tuanya, merawat miliknya, melayakkan diri untuk menjadi warisnya dan sebagainya. Para murid harus menghormati gurunya, para guru harus memberi pelajaran kepada muridnya dan sebagainya.[9]

BAB III
PRAKTEK KEAGAMAAN BUDDHA

a.             Ritual Keagamaan dalam Buddha
b.             Upacara Keagamaan dalam Agama Buddha
Pada dasarnya agama Buddha tidak mengajarkan bahwa untuk mencapai Nirwana diperlukan adanya upacara keagamaan seperti persembahyangan atau sesajian. Bagi kelompok Buddha awwami yang berlaku adalah seperti :
1.        Mengucapkan mantra-mantra dari kitab suci
2.        Mengikuti ceramah atau wejangan keagamaan
3.        Menghaturkan sesajian yang bermanfaat bagi umat Buddha
Tujuan sikap dan perilaku amalan tersebut adalah untuk lebih memperkuat jiwa dan kepercayaan diri sendiri agar semakin tebal keyakinan.
Jadi upacara tersebut hanya cetusan hati nurani umat Buddha awami terhadap suatu keadaan yang berguna bagi umat yang awam, sedangkan bagi para Puggala (orang-orang suci) upacara tersebut tidak atau kurang diperhatikan dan diperlukan. Dari macam-macam upacara umat Buddha terkandung beberapa macam prinsip:
1)        Untuk menghormati dan merenungi sifat-sifat luhur Sang Triratna
2)        Untuk memperkuar keyakinan
3)        Untuk membina batin yang luhur
4)        Untuk mengulang dan merenungkan khotbah-khotbah sang Budha
5)        Untuk melakukan annumodhana atau membagi perbuatan baik kepada orang lain.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka upacara yang dilakukan umat Budha pada umumnya berisi pembacaan Paritta’, Khotbah agama Budha yang diselingi lagu-lagu rohani. Upacara tersebut dilaksanakan secara harian, mingguan, setiap hari upashota yaitu setiap tanggal 1 dan 15 berdasarkan penanggalan bulan dan pada hari raya agama Buddha.
a.        Hari-hari raya Buddha
Hari-hari raya agama Buddha adalah seperti Hari Raya Waisak, Asadha, Kathina dan Magha Puja.
1.      Hari Raya Waisak
Hari raya ini jatuh pada bulan purnama sidhi, bulan Mei-Juni, untuk memperingati tiga kejadian penting yaitu:
a)      Saat kelahiran Sidharta Gautama
b)      Saat sang Petapa Sidharta mencapai pencerahan
c)      Saat Sang Budha Gautama wafat dan mencapai Nirwana
2.      Hari Raya Asadha
Hari raya ini jatuh pada bulan sidhi bulan Juli-Agustus untuk memperingati hari ketika Sang Budha mengajar dharma pertama kali kepada kelima muridnya yang disebut “pemutaran roda dharma”. Pada hari ini pula Sang Budha pada pertama kalinnya membentuk Sangha. Bagi para Bhikku hari ini adalah hari dimulainya menetap di satu tempat tertentu selama tiga bulan selama musim hujan.
3.      Hari Raya Kathina
Hari raya ini dirayakan tiga bulan setelah hari Asadha sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para Bhikku yang telah melaksanakan “vassa”, berdiam di suatu tempat tertentu di daerah mereka.
4.      Hari Raya Magha Puja
Hari raya ini jatuh pada bulan purnama Februari-Maret untuk memperingati dua kejadian penting:
a)      Berkumpulnya 2500 orang Arahat di Wihara Veluvana di kota Rajagraha untuk menghormati Sang Budha, setelah mereka kembali dari tugas menyebar dharma
b)      Tahun terakhir kehiudpan Sang Budha sewaktu ia di Cetiya Pavala (Vesali) setelah memberi khotbah Inddipadadarma kepada para muridnya lalu membuat keputusan  untuk meninggalkan dunia tiga bulan kemudian.[10]
b.        Upacara Perkawinan
Menurut keputusan Sangha Agung Indonesia di Lembah Cipandawa tahun 1978 dinyatakan bahwa perkawinan sebaiknya dilaksanakan di Vihara atau Cetya, atau jika tidak ada di hadapan Altar Suci Sang Budha atau Bodhisatva atau terlebih dahulu Altar disucikan dengan memanjat Paritta-Paritta Vandana, Trisarana, Pancasila dan Puja. Kemudian yang berhak untuk melaksanakan Upacara Perkawinan ialah Pandita Agama Budha mulai dari Upasaka Balu Anu Pandita, Upasaka Anu Pandita, Upasaka Pandita dan Maha Pandita. Jalannya upacara sebagai berikut :
1)      Ketika kedua mempelai memasuki ruang upacara seyogianya dinyanyikan lagu ”Aku Berlindung” bait 1.3.5.7.
2)      Kedua mempelai langsung menuju altar lalu membakar dupa dan melakukan namaskara tiga kali. Setelah selesai maka upacara perkawinan dimulai dengan memanjatkan Paritta Vandana dan Trisarana. Upacara dipimpin Pandita dan para hadirin mengikuti.
3)      Pandita memberikan wejangannya tentang kata-kata Sang Budha tentang perkawinan....,
4)      Pandita bertanya kepada calon suami ...calon istri ...; kemudian mengikuti kata-kata Pandita;
Seseudah itu petugas mengikat benang kuning atau pita kuning atau kain kuning pada tangan kanan pria dan tangang kiri wanita sebagai lambang persatuan dalam Dharma dan lalu memasang kerudung kain warna kuning muda sebagai lambang kebijaksanaan dalam lindungan dharma.
5)      Pandita berkata, setelah saya mendengar pernyataan saudara berdua, bahwa ingin agar perkawinan saudara berdua disahkan...maka dengan ini saya... menyatakan bahwa saudara berdua sebagai suami istri yang sah, atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangha Semoga Cinta Kasih (Metta) Kasih Sayang (Karuna) dan Rasa Sepenanggungan (Mudita) yang tiada akhir, selalu meliputi anda berdua, mulai dari sekarang hingga tercapai Nirwana.
6)      Pemberkahan, kalau ada Bhikkhu atau Bhikkhuni atau Samanera atau Samaneri, mereka memberkahi kedua mempelai dengan memercikkan air suci kepadanya. Kalau tidak ada Anggota Sangha boleh pandita dan kemudian diikuti orang tua mereka kedua pihak.
7)      Kata sambutan, diberikan sesepuh sebagai petuah-petuah........ selanjutnya disusul dengan pemberian selamat.....
8)      Upacara diakhiri dengan melagukan Jaya Manggala Manavaka Gatta’ bait pertama dan bait terakhir, atau ‘Chatta Manavaka Vimana Gatta atau Perkawinan Bahagia, kemudian kedua mempelai dipersilahkan meninggalkan ruangan.[11]
c.         Upacara kematian
Upacara ini dipimpin oleh seorang Pengacara atau Pemmpin Upacara dengan pelaksanaan sebagai berikut:
1)      Untuk memberkahan jenazah disediakan satu gelas air putih bersih.
2)      Pemimpinn upacara membawa 2 atau 4 atau 6 batang dupa yang diikuti beberapa peserta mengadakan prosesi mengelilingi jenazah hingga tiga kali (bila tenpat tidak mengizinkan cukup pemimpin upacara memasang dupa saja).
3)      Selesai prosesi baru dimulai membaca paritta-paritta dengan tenang dan tentram, serta selalu mengikuti pemimpin, jangan mendahului pemimpin upacara. Paritta-paritta yang dibaca ialah:
a.       Namo Sanghyang Adi Buddhaya (3x)
b.      Vandana ditambah dengan Namo Sabbe Buddhaya dan Namo Sabbe Boddhisatvaya-Mahasattvaya.
c.       Trisarana
d.      Pancasila (khusus untuk upa dan upi)
e.       Budha Nussati
f.       Dhamma Nussati
g.      Sangha Nussati
h.      Karaniya Metta Sutta
i.        Vijaya Sutta
j.        Maha Karuna Dharani
k.      Amitabha Sutra
l.        Ettavata.[12]
c.              Tempat-Tempat Suci
d.             Perbandingan agama Buddha dengan agama Islam

BUDDHA
ISLAM
Tuhan
Brahma
Allah
Kitab Suci
Tripitaka
Al-Qur’an
Pembawa ajaran
Nabi Muhammad SAW
Pemimpin Umat
Rahib/Bikhsu
Kyai/ulama
Waktu Ibadah Ibadah
Minggu serta setiap tanggal 1, 8, 15, dan 23 penanggalan Chandra Sengkala
Sholat 5 waktu  tiap hari
Tempat Ibadah
Vihara
Masjid, musholla
Aliran/Madzhab
Hinayana, Mahayana, Yogacara dan Mantrayana
Imam Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki,
Keimanan
Empat kebenaran yang mulia (4 aryasatyani)
Rukun Iman yaitu ada 6
Hari Raya
Hari Raya Trisuci Waisak, Kathina, Asadha, Magha Puja
Idul Fitri dan Idul Adha

BAB IV
PENUTUP
a.             Kesimpulan
b.             Saran










DAFTAR PUSTAKA
Mudjahid, Abdul Manaf. 1994. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Shalaby, Ahmad. 2001. Agama-agama Besar di India. Jakarta: Bumi Aksara.
Hadikusuma, Hilman. 1983. Antropologi Agama Bagian I. Lampung: PT Citra Aditya.
Mansur, Sufa’at. 2011. Agama-agama Besar Masa Kini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://id.wikipedia.org/wiki/Siddhartha_Gautama, di akses tanggal 10 September 2012, 15:13 wib
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Agama_Buddha, di akses tanggal 10 September 2012, 15:13 wib
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, di akses tanggal 10 September 2012, 15:13 wib




[1] Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 24-26
[2]Ahmad Shalaby, Agama-agama Besar di India (Jakarta: Bumi Aksara, 2001) hlm. 170-172
[3]Sufa’at Mansur, Agama-agama Besar Masa Kini (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 91
[4] Ibid., hlm. 93
[5] Ibid., hlm. 96
[6] Ibid., hlm. 101
[7] Ibid., hlm. 104
[8] Ibid., hlm. 78
[9] Ibid., hlm. 90
[10] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama Bagian I (Lampung: Citra Aditya, 1983),             hlm. 240-241
[11]  Ibid, hlm 242-243
[12] Ibid, hlm 243-244

No comments:

Post a Comment