Taman

Monday, December 17, 2012

Agama dan Sekulerisme


Makalah UIN MALIKI Malang

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Ketika agama menjadi macet disebabkan etnis, nasionalisme atau modernisasi dan beberapa kesalahpahaman umum sekitar paradigma sekularisasi yang menduganya dengan penyebaran atheisme.
Para ahli sosiologi mengkaji hubungan antara agama dan perubahan sosial. Sehingga terkesan bahwa agama menghambat perubahan sosial. Pandangan ini tercermin dalam sebuah ungkapan “bahwa agama adalah candu masyarakat”, bahwa karena ajaran agamalah maka rakyat menerima begitu saja nasib buruk mereka dan tidak tergerak untuk berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Pandangan ini ditentang oleh sosiolog yang lain yang menunjukkan bahwa dalam masyarakat kaum agama merupakan kaum revolusioner yang memimpin gerakan sosial untuk mengubah masyarakat.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan ruang lingkup agama?
2.      Apa pengertian dan perkembangan sekulerisme?
3.      Bagaimana hubungan dan pengaruh agama terhadap sekulerisme?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mendeskripsikan pengertian dan ruang lingkup agama.
2.      Untuk mendeskripsikan pengertian dan perkembangan sekulerisme.
3.      Untuk mendeskripsikan hubungan dan pengaruh agama terhadap sekulerisme.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut.
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya[1].
Pemahaman sosiologi atas agama tidak ditimba dari segi “pewahyuan” yang datang dari “dunia lain, akan tetapi diangkat dari eksperiensi atau pengalaman konkret sekitar agama yang dikumpulkan dari sana-sini baik dari masa lampau (sejarah) maupun dari kejadian-kejadian sekarang. Dengan kata singkat, definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi yang evaluatif (menilai). Sosiologi angkat tangan mengenai hakekat agama, baik atau buruknya agama atau agama-agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini sosiologi hanya sanggup memberikan definisi yang deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.
Menurut aliran fungsionalis, mereka memandang agama itu sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, maupun nasional. Maka dalam tinjauannya yang dipentingkan ialah daya guna dan pengaruh agama terhadap masyarakat.
Sejarah mengungkapkan bahwa manusia itu berusaha dan bergerak pada dua bidang kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan kebahagiaan sekarang, dan kebutuhan akan kebahagiaan nanti. Dua jenis kebutuhan yang mendasar ini dapat dikatakan dengan istilah yang lebih abstrak sebagai kesejahteraan dalam dunia empiris “nyata” dan dunia supra-empiris. Yang satu terletak di sini dan kini, yang lain digambarkan sebagai di atas dunia ini, dunia transenden, yang tak terjangkau oleh pengalaman (empiris) manusia, karena ada di luar pengalaman manusia.
Jika seseorang mengikuti sejarah agama menurut teori evolusi  dari situ orang akan diperkenalkan perkembangan bentuk-bentuk keagamaan dari bentuk yang masih sederhana hingga bentuk yang modern. Melalui urutan klasik muncullah pra-animisme yang meliputi magisme, fetisyisme, animisme, hingga kemudian muncul religi atau agama. Dalam pra-animisme manusia menggunakan kekuatan “gaib” (supra-empiris) yang dipercayai berada di dalam benda-benda tak bernyawa, seperti pada batu yang aneh, besi (keris), dsb. Dalam animisme manusia berhubungan dengan dengan makhluk yang bernyawa, khususnya makhluk halus atau roh-roh yang dipercayai memiliki kekuatan lebih tinggi daripada manusia secara kategorial. Misalnya para arwah nenek moyang, roh-roh yang dipercayai menguasai sumber mata air, sungai, lautan, gunung, dsb. Dalam religi, manusia mengadakan hubungan dengan (roh yang tertinggi) yang dipercayai memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang oleh agama-agama besar disebut TUHAN, yang menciptakan dan menguasai alam semesta.
Dengan uraian di atas, maka dapat didefinisikan bahwa agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya.
Dari uraian di atas, ada beberapa unsur-unsur yang dapat kita rangkum, yakni :
1.      Agama disebut sebagai sejenis sistem sosial. Di sini menjelaskan bahwa agama adalah suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan pada tujuan tertentu.
2.      Agama berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris. Ungkapan ini menyatakan bahwa agama khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang dihuni oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh, dan roh tertinggi.
3.      Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud kepentingan (keselamatan) ialah keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan di “dunia lain” yang dimasuki manusia sesudah kematian[2].
2.2  Ruang Lingkup dan Unsur-unsur Agama
Secara garis besar ruang lingkup agama mencakup :
1.    Hubungan manusia dengan tuhannya
Hubungan dengan tuhan disebut ibadah. Ibadah bertujuan untuk mendekatkan diri manusia kepada tuhannya.
2.    Hubungan manusia dengan manusia
Agama memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan dan kemasyarakatan. Konsep dasar tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran agama mengenai hubungan manusia dengan manusia atau disebut pula sebagai ajaran kemasyarakatan.Sebagai contoh setiap ajaran agama mengajarkan tolong-menolong terhadap sesama manusia.
3.      Hubungan manusia dengan makhluk lainnya atau lingkungannya.
Di setiap ajaran agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga keharmonisan antara makluk hidup dengan lingkungan sekitar supaya manusia dapat melanjutkan kehidupannya.
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok :
1.     Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi.
2.     Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
3.     Praktek keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya, dan hubungan horizontal atau hubungan antar umat beragama sesuai dengan ajaran agama.
4.     Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
5.     Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama.
2.3  Pengertian Sekulerisme
Kata-kata “sekuler” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda, dan lain-lain).[3] Menurut kamus bahasa Indonesia “sekular” artinya bersifat duniawi kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian).[4] Kata sekuler yang diadopsi dari kata latin “Seaculum, pada mulanya berarti “masa atau “generasi“ dan juga memiliki arti konotasi rangkap ditandai dengan waktu yang tepat. Waktu menunjukkan pengertian sekarang atau pada masa kini, dan waktu menunjukkan pada pengertian dunia atau duniawi. Tekanan maknanya terletak pada suatu waktu tertentu atau periode tertentu di dunia yang dipandang sebagai suatu proses sejarah.[5]
Sekulerisasi, menurut Harun Nasution adalah proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama, dengan demikian sekulerisasi adalah proses melepaskan diri dari agama dan bisa berakibat atau mengarah kepada atheisme.[6]
Harvey Cox menerangkan perbedaan antara sekularisasi dengan sekularisme sebagai berikut:
Bagaimanapun, sekularisasi sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. Ia muncul dalam samaran-samaran yang berbeda-beda, tergantung kepada sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di mana pun ia timbul, ia harus dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah, hampir pasti tidak mungkin diputar kembali, di mana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang tertutup. Sekularisasi pada dasarnya perkembangan pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama untuk suatu idiologi, suatu pandangan  dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai “agama baru” (Sekularism is the name for an ideology, a new closed world view which fungtion very much like a new religion).
 Juga sekularisme adalah suatu paham, yaitu paham keduniawian, suatu paham yang tertutup, suatu sistem idiologi tersendiri dan lepas dari agama atau penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan duniawi ini. [7]
Dalam ensiklopedi Britama disebutkan bahwa sekulerisme merupakan gerakan kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan manusia dari kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi kepada dunia.[8]
Sebagai sebuah paham, sekulerisme mengatakan bahwa kehidupan duniawi ini adalah mutlak dan terakhir tidak ada kehidupan sesudahnya yang biasanya  agama-agama menyebutnya  dengan akhirat (hari kemudian, hari kebangkitan, dan sebagainya).[9]

2.4  Proses Lahirnya Sekularisasi dan Perkembangannya

Sekularisme atau proses sekularisasi berasal dari pengalaman sejarah eropa. Hal ini berarti pemisahan secara bertahap “hampir semua aspek kehidupan dan pemikiran dari perkumpulan-perkumpulan dan tujuan-tujuan kependetaan”, suatu proses yang berkembang di Inggris pada abad ke enam belas dengan peralihan kekuasaan politik dari arena keagamaan ke negara dan dalam kasus hukum dari kehakiman yang religius ke sekular.
Faktor lain yang menyebabkan sekularisasi di Barat tumbuh subur adalah dalam teks injil tertulis “Biarlah kaisar mengurus yang menjadi bagiannya dan Allah mengetahui apa yang menjadi tugasnya”.[10]
Dalam pengalaman sejarah Eropa yang sangat bervariasi, proses sekularisasi hidup bersamaan dengan intensifikasi keagamaan pada tingkat persolan dan rakyat. Beberapa sosiolog berpendapat bahwa variasi-variasi ini mengindentifikasikan adanya mitologi sekularisme yang mengasumsikan adanya pada abad klasik, yang kemudian di trasnformasikan ke dalam abad sekuler; mereka berpendapat bahwa aspek-aspek sekularisme dan religiusitas hidup berdampingan, dan masih tetap hingga kini. Sekularisme tidak berarti  merosotnya arti penting agama, baik pada masa praindustri maupun masa industri. Praktek dan kepercayaan agama sebagai iman, semakin tebal dan bukan semakin luntur selama sekularisari negara dan kemudian menyusul revolusi Prancis dan revolusi industri.
Sekularisasi merupakan sebuah proses yang panjang. Paradigma sekularisasi bukanlah sebuah konsep yang sederhana. Seorang sosiolog Steve Bruce dalam karyanya God is Dead: Sekularization in the West menjelaskan proses sekularisasi itu dimulai dari reformasi protestan lalu turun kepada relativisme, pembagian dalam bagian-bagian (compartmentalization) dan kebebasan pribadi (privatization). Bruce juga menyentuh kekuatan-kekuatan yang berlawanan dengan sekularisasi, ketika itu agama menjadi macet disebabkan etnis, nasionalisme atau modernisasi itu sendiri dan atas beberapa kesalahpahaman umum sekitar paradigma sekularisasi yang menduganya dengan penyebaran atheisme.
Ketegasan-ketegasan sekularisasi oleh para ahli-ahli sosiolog terkemuka terletak pada beberapa teori penting sebagai berikut :
1.    Auguste Comte (1798-1857), seorang sosiolog dari perancis mengemukakan konsep yang dikenal dengan hukum tiga tahap (the law of three stages) yang berisikan tahap-tahap perkembangan pikiran manusia: (a)  tahap teologis ialah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas  manusia (b) tahap metafisis, pada tahap ini manusia percaya bahwa gejala-gejala di dunia ini disebabkan. Manusia belum berusaha untuk mencari sebab dan akibat gejala-gejala tersebut (c) tahap positif, merupakan tahap di mana manusia telah sanggup untuk berpikir secara ilmiah. Pada tahap ini berkembanglah ilmu pengetahuan.[11]
2.    Karl Marx (1818-83), menyatakan agama sebagai candu masyarakat.
3.    Emile Durkheim (1858-1917), menyatakan agama sebagai fungsi sosial.  Ia percaya agama sebagai sistem kognitif adalah salah dan bahwa manusia mendapatkan kebenaran melalui alam dan ilmu-ilmu sosial.
4.    Max Weber (1864-1920) bahwa kemoderenan berlandaskan rasio bukan agama karena agama telah mengecewakan dunia.
5.    Bryan Wilson, seorang sosiolog modern menyatakan bahwa kemoderenan berdasarkan kepada rasional dan sosial.
Para ahli sosiologi mengkaji hubungan antara agama dan perubahan sosial. Ada yang berpendapat bahwa agama menghambat perubahan sosial. Pandangan ini tercermin dalam ucapan Marx “bahwa agama adalah candu masyarakat”, menurutnya karena ajaran agamalah maka rakyat menerima begitu saja nasib buruk mereka dan tidak tergerak untuk berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Pandangan ini ditentang oleh sosiolog yang lain yang menunjukkan bahwa dalam masyarakat kaum agama merupakan kaum revolusioner yang memimpin gerakan sosial untuk mengubah masyarakat. Contoh yang dapat diajukan untuk mendukung pendapat demikian ialah antara lain: berbagai gerakan perlawanan kaum ulama di tanah air terhadap penjajahan Belanda, kepeloporan para rohaniawan Katolik di Polandia terhadap rezim komunis dan gerakan para Ayatullah yang berhasil menjatuhkan rezim Shah di Iran.
Dalam banyak masyarakat, perubahan sosial sering diiringi dengan gejala sekularisasi, yang oleh sebagian sosiolog seperti Giddens didefenisikan sebagai proses melalui mana agama kehilangan pengaruhnya terhadap berbagai sendi kehidupan manusia dan oleh sosiolog lain seperti Light, Keller dan Calhoun didefenisikan sebagai proses melalui mana perhatian manusia dan institusinya semakin tercurahkan pada hal duniawi dan perhatian terhadap hal yang bersifat ruhaniah semakin berkurang. Para ahli sosiolog mengemukakan bahwa proses ini seringkali memancing reaksi dari kalangan agama, yang dapat berbentuk perlawanan maupun penyesuaian diri.
Banyak penyebab perubahan sosial, antara lain: ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan penggunaannya oleh masyarakat, komunikasi dan transformasi, urbanisasi, perubahan atau peningkatan harapan dan tuntutan manusia (rising demands) yang semuanya ini mempengaruhi dan mempunyai akibat terhadap masyarakat  yaitu perubahan masyarakat  melalui kejutan dan karenanyalah terjadi perubahan sosial  yang  disebut rapid social change.[12]
Akhinya yang harus kita lakukan bagaimana menggunakan seluruh infrastruktur atau fasilitas yang timbulkan oleh perubahan tadi tidak sampai menyebabkan ketergantungan kita terhadap agama putus begitu saja dan membawanya  kepada arah sekularisasi. Namun justru sebaliknya masuknya suatu budaya, menjadi khasanah penghayatan tersendiri untuk lebih mempertegas terhadap kebenaran-kebenaran agama, baik secara dogmatis maupun rasional karena memang sebagaimana disimpulkan Bruce bahwa sekularisasi tidak digerakkan oleh science  ataupun rasionalitas tetapi bagaimanapun disebabkan oleh pembedaan (diversity) dan pilihan masing-masing individu.
Beberapa Negara Islam yang sekuler adalah sebagai berikut:
1.      Kesultanan Turki Usmaniyah
Turki Usmaniyah sebagai kekuasaan birokrasi telah melembagakan otoritas sipil maupun agama dalam administrari negara dan dalam pribadi penguasa, sultan atau khalifah. Selama abad kesembilan belas, gerakan modernisari di sponsori oleh negara menciptakan institusi sekular yang bertujuan memperkenalkan  metode belajar, sistem hukum, dan teknik-teknik militer Barat. Institusi-institusi ini, dan para elit yang menjalankannya, tidak merusak organisasi-organisasi Muslim serupa sebagai penggati mereka: yang terakhir ini tetap hidup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan penduduk Muslim. Proses reformasi ini disebut Tanzimat atau proses reorganisasi mendapat perlawanan sepanjang abad. Jika  Turki tidak  menerima peradaban Eropa secara utuh, Turki tidak akan pernah memerdekakan dirinya dari intervensi dan pengawasan Eropa serta akan kehilangan harga dirinya, hak-haknya dan bahkan kemerdekaannya. 
2.      Dunia Arab
Berbagai bentuk pemerintahan berlangsung di Dunia Muslim Arab, berkisar dari Negara Arab Saudi yang beridiologi Wahhabiyah hingga rezim sosialis sekular di Irak dan Suriah. Arab Saudi karena hubungan yang sudah berlangsung dua abad antara keluarga Sa’ad dan gerakan reformis Wahhabiyah, memproklamasikan dirinya sebagai negara Islam. Secara teknis, penguasa-penguasanya merupakan pejabat-pejabat sekular yang memerintah sesuai dengan syariat sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama.
3.      Asia Selatan dan Tenggara
Mayoritas penduduk Muslim dunia tinggal di Asia Selatan dan Tenggara, terbentang dari Pakistan hingga Indonesia. Wilayah ini mempunyai kondisi giografis dan politik  yang sangat beragam serta adanya kelompok-kelompok agama dan etnis yang harus diakomodasi oleh ummat Islam itu sendiri. Hal ini khususnya terjadi di India dan Malaysia yang telah memilih untuk mengintensifkan identitas-identitas nasional keagamaan sebagai lawan terhadap idiologi sekular, terutama di India, tempat gerakan sempalan Hindu telah meningkatkan tekanan pada tahun-tahun terakhir ini. Setelah kemerdekaannya, India memproklamirkan diri sebagai negara demokrasi sekular dengan identitas keagamaan tersembunyi dalam ikatan bersama nasionalisme India.
4.      Iran
Satu-satunya masyarakat Muslim yang kini diperintah oleh petugas-petugas agama dan hukum Islam adalah Iran. Sudan secara prinsip adalah negara Islam, dan banyak oposisi terhadap pelaksanaan syariat. Pengalaman Iran menunjukkan kelemahan konsep negara-nasional sekular dalam suatu masyarakat yang penguasa-penguasa tradisional telah melaksanakan kontrol langsung terhadap seluruh negara. Bagi kebanyakan rakyat Iran, nasionalisme Iran mempunyai nuansa keagamaan. Kegagalan revolusi 1906 karena intrik Inggris, Rusia dan Syah, tidak menghapuskan ingatan ide-ide tersebut. Kemunculan Dinasti Pahlavi pada 1925 dibentuk oleh Kolonel Reza Syah yang berusaha menyamai Mustafa Kemal Atururk dan menciptakan negara sekular dari atas tidak juga dapat menghapuskan ide-ide itu. Periode Pahlevi (1925-1979) merupakan periode sekular ketika upaya-upaya untuk memaksakan tatanan modernisasi negara pada akhirnya menyulut perlawanan massa yang dimotori oleh tokoh-tokoh agama syiah yang otoritasnya belum pernah secara penuh ditumpas. Sekularisme  sebagai suatu yang diimpor dari asing dihubungkan degan Amerika yang berlangsuung secara gradual terhadap Iran dan terhadap penguasa kedua Pahlavi, Muhammad Reza Syah.[13]

2.5  Pandangan Agama Terhadap Sekularisasi

Para sejarahwan mendefinisikan sifat atau batasan sekularisme dalam suatu masyarakat atau budaya sebagai hal yang mengindikasikan “penempatan” agama dalam masyarakat atau budaya tersebut: apakah otoritas yang berkuasa bersikap religius, apakah monarki-ketuhanan atau pejabat keagamaan mengatur hukum-hukum yang dianggap bersumber dari wahyu?; apakah negara berpenampakan sekular, diperintah oleh orang-orang di luar hierarki agama, tetapi masyarakat dan budayanya bersifat agamis, dengan otoritas negara yang diperkuat oleh hierarki tersebut (sebagaimana yang terjadi dalam Kristen  pada abad pertengahan dan di Spanyol sampai abad ke-20)?’ atau apakah sanksi untuk pemerintah dan hukum-hukumnya yang di ambil dari legitimasi non-agama, dengan agama hanya sebagai persoalan keimanan pribadi?.
Di sisi lain pergolakan antara agama dan sekuler tampaknya tak akan pernah putus-putusnya, meskipun secara jelas tidak terlihat pertentangan tersebut.
Dalam agama Kristen misalnya, masyarakat sekuler tidak mengenal adanya gereja. Upaya-upaya intelektual teolog-teolog Kristen untuk mengetahui sifat Tuhan (sebagai cinta) dan misteri-misteri Trinitas hanya formalisme kosong bila dibandingkan pengalaman sufi tentang Tuhan (karena pengalaman ini paling tidak punya pengaruh yang positif dan memperkaya pembinaan kepribadian, walaupun pada umumnya bersifat individual dan asosial). Tetapi sumber keruntuhan modernitas  dalam bentuk sekularisme, adalah jauh lebih buruk dari pada sumber keruntuhan Sufisme Islam atau pun teologi Kristen zaman pertengahan, karena sekularisme menghancurkan kesucian dan universalitas (transendensi) semua nilai-nilai moral suatu fenomena yang efek-efeknya baru saja mulai terasakan, terutama paling jelas di masyarakat Barat. Sekularisme dengan sendirinya adalah atheistis. Sepanjang menyangkut  penegakan suatu tata sosial yang didasarkan pada etika.[14] Sekularisme muncul di dunia Islam di masa-masa pramodernis karena macetnya pemikiran Islam pada umumnya, dan lebih khusus lagi, karena kegagalah hukum dan lembaga-lembaga syari’ah untuk mengembangkan diri guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berubah.[15]        
Menurut seorang penulis rekonstruksi yang paling produktif, Gary North,” merupakan kewajiban moral umat Kristen untuk menguasai kembali setiap intitusi demi Yesus Kristus”, dia merasakan hal ini khususnya di Amerika Serikat, di mana hukum sekular di pandang sebagai Supreme Court (hukum tertinggi dan dipertahankan oleh para politisi liberal yang sedang bergerak ke arah apa, yang oleh Rushdoony dan yang lainnya, disebut sebagai sebuah kebijakan yang menyimpang dari ajaran Kristen. Utamanya yang menyangkut persoalan aborsi dan homoseksualitas. Namun, bagaimanapun juga, apa yang paling diinginkan oleh kalangan rekonstruksionis lebih sekedar penolakan terhadap sekularisme. Sebagaimana halnya dengan para teolog  lainnya.[16]                 
Sekali lagi, sekularisme adalah paham keduniawian. Paham itu mengatakan bahwa kehidupan duniawi ini adalah mutlak dan terakhir, tiada lagi kehidupan sesudahnya, yang biasanya agama-agama menamakan hari kemudian, hari kebangkitan, dan lain-lain. Kita semua yang hidup ini, adalah makhluk sekular, artinya kita sekarang masih berada di dalam alam sekular, duniawi, karena belum pindah ke alam akhirat, alam baka yaitu mati. Tetapi bagi penganut sekularisme, mereka adalah orang-orang sekularis, artinya orang-orang yang menjadikan sekularisme sebagai sentral keyakinannya. Dalam perspektif Islam, sekularisme adalah perwujudan modern dari paham dahriyah, seperti di isyaratkan dalam al-Quran, surat Jatsiah ayat 24:
(#qä9$s%ur $tB }Ïd žwÎ) $uZè?$uŠym $u÷R9$# ßNqßJtR $uøtwUur $tBur !$uZä3Î=ökç žwÎ) ã÷d¤$!$# 4 $tBur Mçlm; y7Ï9ºxÎ/ ô`ÏB AOù=Ïæ ( ÷bÎ) öLèe žwÎ) tbqZÝàtƒ ÇËÍÈ
“Dan mereka berkata: "Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Jatsiah: 24)
Jadi jelas, sekularisme tidak sejalan dengan agama, khususnya agama Islam.[17]     
        Sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses peduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah jadi dan terus akan terjadi dalam sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya hari kemudian dan prinsip ketuhanan.
Sekularisasi, dalam bentuk demikian, selalu menjadi keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya umat Islam, jika pada suatu saat mereka kurang memberikan yang wajar kepada aspek duniawi kehidupan  ini.                    

2.6  Agama dalam Masyarakat  Sekuler

Masyarakat sekuler tidak memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Terlalu dini untuk mengatakan bahwa masyarakat ini berfungsi tanpa agama. Masyarakat sekular dewasa ini, dimana pemikiran religius, praktek-praktek religius dan kebiasaan-kebiasaan religius mempunyai peran yang kecil saja. Bagaimanapun adalah ahli waris nilai-nilai, aturan-aturan dan orientasi keagamaan dimasa lampau hingga saat ini belum ada masyarakat yang benar-benar sekular. Masih perlu dilihat apakah masyarakat sekular akan mampu secara efektif mempertahankan ketertiban umum tanpa kekerasan institusional apabila pengaruh agama semakin kurang. Barangkali dalam beraksi terhadap institusional, impersonalitas dan birokrasi masyarakat moderen yang semakin bertambah, agama akan memperoleh fungsi-fungsinya yang baru. tetapi barangkali bukan agama yang menerima nilai-nilai institusional baru yaitu agama yang ekumenisme, melainkan agama yang bersifat sekte-sekte.
Kita mungkin dapat berkata bahwa perkembangan ini yang jelas merupakan bagian dari proses sekularisasi adalah juga bagian dari proses meningkatnya rasionalitas manusia itu sendiri, yaitu kesadarannya akan fakta-fakta yang sesungguhnya. Namun kita juga bertanya apakah kerja yang dibuat lebih pantas untuk dipikul pekerja dan pelaksanaan lebih berharga bagi masyarakat yang tidak  terdapat satu pengorbanan atau pengabdian tanpa pamrih.  Masyarakat yang tidak religius telah berusaha mencari jalan lain untuk menimbulkan motivasi bekerja, memenangkan i’tikad baik mereka yang tidak berpamrih.[18]
2.7  Pengaruh Sekularisasi dalam Kehidupan
Sekularisme menginginkan kemajuan dan kebebasan, kebebasan itu adalah; kebebasan dari agama, kebebasan pribadi, dan kebebasan masyarakat. Maka yang terjadi dari akibat kebebasa-kebebasan itu ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Pada masa saat ini banya terjadi kejahatan yang disebabkan oleh reaksi terhadap sekularisasi.
Terjadinya pemboman di mana (terorisme), seperti peledakan Oklahoma City pada tahun 1995, salah satu bagian dari The Turner Diaries oleh William Pierce.juga berbisikan pelaku pemboman seperti Eric Robert Rudolph pemboman klinik-klinik aborsi di Brimagham, Alabama dan Atlanta; Georgia, peledakan sebuah bar kaum lesbian di Atlanta, dan peledakan bom pada Olimpiade Atlanta 1996. Secara umum, peristiwa-peristiwa tersebut memiliki keterkaitan dengan apa yang oleh kebanyakan aktivis Kristen disebut sebagai immoralitas seksual; aborsi dan homoseksual. Menurut Michael Bray, kemarahan Rudolph terhadap panitia Olimpiade sebagian dikarenakan karir pembawa obor olimpiade, yang setuju dengan sebuah ordinasi yang mengatakan yang mengatakan bahwa “ sodomi tidak sesuai dengan nilai-nilai komunitas”. Rudolph menginterprestasikan jalan memutar dari perjalanan obor sebagai pandangan pro-gay dari sebafian panitia. Namun, dalam pengertian yang luas, Rudolph merasa prihatin kepermisifan otoritas-otoritas sekuler di Amirika Serikat  dan Internasionalisme Atheistik yang mengendalikan satu sisi yang Michael Bray menyebutkan “The culture war” (perang kebudayaan) dalam masayarakat modern.[19] Menurut William Pierce, upaya-upaya seperti itu diperlukan karena pola pikir sekularisme diktatorial telah diterapkan pada masyarakat Amerika, sebagai hasil dari sebuah konspirasi yang rumit, yang dirancang oleh orang-orang yahudi dan kaum liberal garis-keras berkaitan dengan pencabutan kebebasan masyarakat Kristen dan tautan-tautan spritual. Abouhalima menjelaskan bahwa keterlibatan Amerika dalam politik agama dukungannya terhadap negara Israel dan Musuh-musuh Islam”seperti Mubarak Mesir bukan hasil dari agama Kristen. Tetapi, hal itu berkaitan dengan idiologi sekularisme Amerika, yang menurut Abouhalima, tidak netral, tapi memusuhi agama, khususnya Islam.
Modernitas pencerahan memproklamirkan kematian agama. Modernitas tidak hanya menandai kematian otoritas  institusional gereja dan kontrol ulama, tapi juga hilangnya agama idiologis dan intelektual di tengah-tengah masyarakat. Penalaran ilmiah dan klaim-klaim moral dari kontak sosial sekular menggantikan agama dan gereja sebagai basis kebenaran dan identitas sosial. Kiblat dari devaluasi  agama merupakan” krisis umum dari keyakinan keagamaan”, menurut Bourdieu “krisis bahasa keagamaan dan kemampuan performatifnya adalah bagian dari kekacauan dan merupakan suatu pandangan dunia yang telah usang;”disentegrasi hubungan sosial seluruh alam semesta”. Dalam menghadapi disentegrasi ini, kebangkitan aktivitas-aktivitas keagamaan memproklamirkan kematian sekularisme. Mereka menyingkirkan upaya-upaya budaya sekular dan bentuk-bentuk nasionalismenya untuk menggatikan agama. Mereka menentang  pandangan bahwa masyarakat sekular dan negara-bangsa modern dapat memberika tabiat moral yang menyatukan komunitas-komunitas nasional atau kekuatan idiologis untuk menopang negara-negara yang diliputi oleh kegagalan etnir, ekonomi dan militer.
Apakah kebangkitan terorisme agama memiliki keterkaitan dengan perubahan-perubahan global? Kita tahu bahwa beberapa kelompok yang terkait dengan kekesaran dalam masyarakat industri memiliki sebuah agenda anti modernis. Secara ektrim, akhir dari penolakan agama terhadap modernisme Amerika Serikat oleh anggota-anggota kelompok anti-aborsi Amerika dan lain-lainnya.[20]
Akibat dari kekecewaan terhadap nilai-nilai Barat modern adalah apa yang disebut” hilangnya keyakinan” dalam bentuk idiologi kebudayaan, nasionalisme sekular.[21] Meskipun beberapa tahun lalu merupakan ide yang gemerlap, ide tersebut kini benar-benar telah menjadi tempat yang umum bagi nasionalisme sekular tersebut, prinsip bahwa pandangan yang lebih berakar dalam suatu tatanan sekular daripada sebuat identitas keagamaan ataupun etnis sedang mengalami krisis.






















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gerakan sekularisasi menjadi keharusan bagi setiap umat beragama. Sekularisasi mempunyai efek negatif seperti pemboman yang terjadi khususnya di negara-negara maju, karena ketidak puasan terhadap pemerintah yang sekular. 

























DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Madjid, Nurcholish. 1998. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
al-Attas, Muhammad al-Naquib. 1986. Dilema Kaum Muslimin, terj. Anwar Wahdi Hasi dan H.M. Mukhtar Zoemi. Surabaya: Bina Ilmu.
Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional. Bandung: Mizan,
Qardhawi, Yusuf. 2000. Sekuler Ekstrim. Terj. Daat Nuhani  Idris. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Arkoun, Muhammad. 1998. Islam Modernitas. Jakarta: Paramadina.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Abdul Fatah, Rohadi. 2004. Sosiologi Agama. Jakarta: Titian Kencana Mandiri
Fazlur Rahman. 1985. Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual, Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka.
Mark Juergensmeyer. 2002. Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama. Jakarta: Nizam Press.
Wilson, B.R. 1983. Agama di Dalam Mayarakat Sekuler. dalam Roland Robertson (ed), Sosiologi Agama, terj. Paul Rosyadi. Jakarta: Aksara Persada.




[1] Soerjono, Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1982), hlm.199
[2] Ibid.
[3]Nurcholish Madjid. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 216
[4]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), edisi kedua, hlm. 894
[5]Muhammad al-Naquib al-Attas. Dilema Kaum Muslimin, terj. Anwar Wahdi Hasi dan H.M. Mukhtar Zoemi. (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 14
[6]Harun Nasution.Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 188
[7]Nurcholish Madjid. Op. Cit., hlm. 218 dan 257.
[8]Yusuf Qardhawi. Sekuler Ekstrim. Terj. Daat Nuhani  Idris. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), hlm. 2
[9]Nurchalish Madjid. Op. Cit, hlm. 219
[10]Muhammad Arkoun. Islam Modernitas (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 78
[11] Soerjono Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 398
[12] Rohadi Abdul Fatah, Sosiologi Agama (Jakarta: Titian Kencana Mandiri, 2004), hlm.102
[13] Ibid. hlm. 134
[14]Fazlur Rahman. Islam dan Modernitas: tentang transformasi Intelektual, Terj. Ahsin Muhammad. (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 16
[15]Ibid,. hlm.50 
[16]Mark Juergensmeyer. Teror  Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global Kekerasan Agama (Jakarta: Nizam Press, 2002), hlm. 36-37.
[17]Nurcholish Madjid. Op. Cit., hlm. 258
[18] B.R.Wilson, Agama di Dalam Mayarakat Sekuler, dalam Roland Robertson (ed), Sosiologi Agama, terj. Paul Rosyadi (Jakarta : Aksara Persada, 1983), hlm. 177
[19]Mark Juergensmeyer. Op. Cit., hlm. 40
[20] Ibid., hlm. 303
[21] Ibid., hlm.305

2 comments: