Tuesday, March 5, 2013

Mustahiq Zakat

A.    Kronologi Masalah
Zakat untuk pembantu
Zakat adalah harta yang kita keluarkan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh agama dan disalurkan kepada orang-orang tertentu pula sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Ada ketentuan lain dari zakat yaitu bahwa zakat tidak boleh disalurkan kepada orang-orang yang menjadi tanggungan kita. Misalnya istri dan anak, karena mereka semua adalah tanggung jawab kita untuk memberikan nafkah kepada mereka, dalam artian, mereka adalah tanggungan kita.
Adapun orang yang bukan menjadi tanggungan kita seperti halnya pembantu, maka boleh menyalurkan zakat kepada mereka. Meskipun kebutuhan mereka semuanya ditanggung oleh majikan mereka, seperti makan minum dan tempat tinggal, tapi semua adalah bagian dari upah pembantu atas kerjanya dirumah tersebut. Karena kebanyakan orang menggaji pembantu dengan nilai tertentu, karena mereka sebelumnya sudah memperhitungkan tentang biaya makan dan lain-lain yang akan diterima pembantu dirumah tersebut.
Jadi, pada dasarnya tanggungan yang diberikan majikan atas pembantu bukan merupakan tanggungan yang sebenarnya, tapi itu adalah bagian dari gaji, karena para majikan sudah memperhitungkan semua itu sebelumnya.
B.    Substansi Kajian
1.    Pengertian Zakat
zakat menurut bahasa berarti bertambah dan berkembang. Karena itu, setiap yang bertambah jumlahnya dan berkembang ukurannya, ia bisa disebut zakat. Ada ungkapan Zakka Az-zur’u, yang berarti tanaman itu berkembang dan menjadi baik. Sedangkan pengertian zakat menurut istilah ialah beribadah karena Allah ta’ala dengan cara mengeluarkan sebagian kewajiban berupa harta tertentu secara syar’i untuk disalurkan kepada suatu golongan atau institusi tertentu. 
Adapun hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dengan pengertian zakat menurut istilah adalah, sekalipun secara tekstual zakat diihat dari aspek jumlah berkurang, baik secara maknawi maupun secara kuantitas.
Zakat juga dapat menambah keimanan kedalam hat orang yang berzakat. Karena zakat zakat termasuk amal shalih, sedangkan zakat dapat menambah keianan seseorang. Zakat juga dapat menambah akhlak terpuji bagi seseorang, karena zakat itu merupakan bentuk pengorbanan dan pemberian. 
2.    Syarat Wajib Zakat
•    Islam
Orangkafir tidak wajib membayar zakat, harta yang mereka berikan tidak diterima, sekalipun pemberian tersebut dikatakan sebagai zakat. Hal ini berdasarkan firman Allah surat At-Taubah ayat 54:
•    Orang yang merdeka
Hal ini dikarenakan bdak tidak memiliki harta. Harta yang dimiliki budak merupakan kepunyaan majikan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“barang siapa menjual budak yang memiliki harta maka harta tersebut menjadi kepunyaan penjal, kecuali pembeli tersebut mengajukan persyaratan”.
•    Harta mencapai nishab
Yakni seseorang memiliki harta yang telah mencapai nishab yang sudah ditentukan ukurannya menurut syari’at Islam. Ukuran nishab tiap-tiap harta berbeda-beda. Jika harta yang dimiliki seorang tidak mencapai nishab, ia tidak wajib mengeluarkn zakat, sebab ia hanya memiliki harta sedikit, tidak cukup untuk memberi bantuan (kepada orang lain). 
•    Harta mencapai haul (kecuali hasil pertanian)
Jika mengeluarkan zakat sudah diwajibkan sebelum harta tersebut mencapai haul, tentu orang-orang merasa dirugikan. Selain itu, jika zakat baru diberikan setelah lebih dari satu tahun, niscaya membahayakan hak orang miskin. 
Oleh karena itu, diantara hikmah syariat Islam yang terdapat dalam kewajiban zakat adalah adanya batas atau ukuran waktu pembayaran yaitu mencapai haul. Dalam ikatan waktu tersebut (adanya syarat haul) terdapat keseimbangan antara hak orang kaya dan hak penerima zakat.

3.    Asbabun Nuzul
Pada masa Rasulullah saw., mereka yang serakah tidak dapat menahan air liurnya melihat harta sedekah, mereka mengharapkan mendapat percikan harta itu dari Rasulullah, tetapi ternyata setelah mereka tidak diperhatikan oleh Rasulullah mulailah mereka mengunjing dan menyerang kedudukan beliau sebagai Nabi kemudian turun ayat al-Qur’an yang menyingkap sifat-sifat mereka yang munafiq dan serakah itu dengan menunjukkan kepalsuan mereka itu yang hanya mengutamakan kemana sasaran zakat itu harus dikeluarkan.
4.    Orang-orang Yang Berhak Menerima Zakat (Mustahiq)
Telah kami sebutkan di muka bahwa pembicaraan tentang zakat berkisar pada orang yang wajib zakat, harta yang harus dizakati, dan orang yang berhak menerimanya. QS.At-Taubah: 60: 
                         
60.  Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].

Imam as berkata,“fukara ialah mereka yang tidak meminta-minta dan yang menafkahi keluarga mereka. Bukti bahwa mereka itu orang yang tidak meminta-minta ialah firman Allah SWT, ‘Bagi orang-orang yang tercegah di jalan Allah, yang tidak mampu bepergian dibumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang dengan tanda (di wajah) mereka. Mereka tidak meminta-minta orang lain karena menjaga harga diri. ‘ Orang-orang miskin adalah orang-orang lemah. Termasuk ke dalam mereka ini lelaki, perempuan, dan anak-anak. 
Para ‘amil ialah mereka yang mengambil, mengatur, dan mengumpul zakat dan yang menjaganya hingga mereka memberikaanya kepada orang-orang yang akan membagikannya. Mu’allafah qulubuhum ialah orang-orang yang mengesakan Allah dan meninggalkan penyembahan kepada selain Allah, tetapi belum masuk kedalam hati mereka pengetahuan bahwa Muhammad adalah Rasulullah SAW. Untuk itu, Nabi melunakkan hati mereka dan mengajar mereka agar mereka tahu, dan memberi bagian untuk mereka di dalam zakat, agar mereka mau belajar dan mencintai islam. Yang dimaksud dengan fir-riqab ialah orang-orang yang terkena kewajiban kifarah karena, umpamanya membunuhorang yang tidak sengaja, atau karena berbuat zhihar, atau karena sumpah (yang ia langgar), atau karena membunuh binatang buruan pada saat ihram, sedangkan mereka tidak mempunyai biaya untuk kifarah, padahal mereka adalah orang-orang yang beriman. Maka Allah SWT memberikan bagian kepada mereka dalam zakat agar mereka dapat mengeluarkan kifarah dengan itu. Ghorimin ialah orang-orang yang memiliki hutang yang mereka belanjakan di dalam ketaatan kepada Allah tanpa menghambur-hamburkannya. Maka wajib atas Imam untuk membayar bagi mereka dari uang zakat.
Fi sabilillah, ialah orang-orang yang bepergian untuk berjihad tetapi mereka tidak memliki sesuatu apapun yang memperkuat diri mereka, atau suatu kaum mukmin yang tidak punya biaya untuk pergi haji, atau untuk melakukan segala macam bentuk usaha yang baik, maka wajib atas Islam member mereka uang dari zakat sehingga mereka mampu meneruskan jihad atau pergi haji. Ibn sabil ialah orang yang berada dalam perjalanan di dalam ketaatan kepada Allah (bukan perjalanan maksiat) lalu mereka kehabisan bekal dan uang. Maka Imam wajib mengembalikan mereka ke kampong halaman dengan uang dari zakat.
Berdasarkan keterangan yang telah disebutkan di atas, para fuqaha berpendapat bahwa mustahiq zakat (orang yang menerima zakat) itu ada delapan golongan:
1.    Fukara
2.    Masakin
3.    Para ‘amil
4.    Muallafah qulubuhum (muallaf)
5.    Fir riqab
6.    Ghorimin
7.    Fi sabilillah
8.    Ibn sabil
1.    1 dan 2 Fukara dan Masakin
Sebagian orang mengatakan bahwa kata fakir dan miskin, jika keduanya disebut bersama-sama, mka masing-masing menunjukkan makna yang tersendiri. Tetapi jika keduanya terpisah maka keduanya menunjukkan makna yang sama. Mereka mengatakan bahwa perbedaan keduanya jika keduanya bertemu ialah bahwa orang yang fakir tidak meminta-minta. Akan tetapi sesungguhnya tidak ada gunanya membahas soal ini setelah diketahui bahwa kedua-duanya memiliki dan sama-sama berhak menerima zakat karena mereka membutuhkan.
Orang fakir atau miskin yang boleh diberi zakat, menurut syariat, ialah orang yang tidak mempunyai biaya hidup selama satu tahun untuk dirinya dan keluarganya. Sedangkan orang kaya, menurut syariat, ialah orang yang benar-benar telah memiliki biaya hidup untuk satu tahun atau mampu untuk memilikinya, maksudnya bahwa dia mempunyai pekerjaan dimana hasilnya dapat mncukupi dan memenuhi kebutuhan hidupnya hari demi hari. Imam Shadiq as berkata, “zakat haram hukumnya bagi orang yang mempunyai biaya hidup satu tahun, dan orang yang mempunyai biaya hidup setahun ini wajib mengeluarkan zakat fitrah”. 
Menurut Hanafi, orang fakir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari nishab, sekalipun dia sehat dan mempunyai pekerjaan.  Menurut Syafi’i dan Hambali, orang yang mempunyai separu dari kebutuhannya, ia tidak bisa digolongkan kedalam golongan fakir, dan ia tidak boleh menerima zakat. Menurut Imamiyah dan Maliki, orang fakir menurut syara’ adalah orang yang tidak mempunyai bekal untuk berbelanja selama satu tahun dan juga tidak mempunyai bekal untuk menghidupi keluarganya. 
Yang dikatakan sebagai orang miskin menurut Imamiyah, Hanafi, dan Maliki adalah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari orang fakir. Menurut Hambali dan Syafi’i, orang fakir adalah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari pada orang miskin, karena yang dinamakan fakir adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu, atau orang yang tidak mempunyai separuh dari kebutuhannya. 
Memperkaya orang fakir
Penulis kitab Had’iq dan penulis kitab jawahir menukil dari penulis yang masyhur bahwasanya dibolehkan member zakat kepada orang fakir dengan jum;lah yang dapat mencukupi hidupnya selama beberapa tahun, bukan satu tahun saja, dengan syarat jumlah tersebut diberikan sekaligus, bukan beberapa kali. Sebab dengan diberi sekali maka ia telah memiliki biaya hidup satu tahun sehingga menurut syari’at ia sudah dianggap kaya, dank arena itu dia tidak boleh diberi zakat lagi. Mereka yang berpendapat demikian bersandar pada beberapa riwayat dari Ahlul Bait As.
Pengaku Fakir
Setiap orang yang mengaku fakir diterima pengakuannya selama tidak diketahui kebohongannya, dan dia bisa dineri apa yang ia butuhkan dari zakat. Penulis kitab jawahir berkata “tidak ada khilaf yang berarti pada yang demikian itu”. dan di alam kitab madarik di sebutkan bahwa yang demikian itu adalah populah dari madzhab ulama’ kita. 
Demikian pula sangat dikenal dari kebiasaan para ulama’, baik dahulu mauoun sekarang, bahwa mereka selalu member zakat kepada orang yang memintanya selama tidak diketahui kebohongan orang tersebut, adapun hadits masyhur yang mengatakan, “mudda’i (orang yang mengaku sesuatu atau pihak penuntut) ahrus mendatangkan bukti, sedangkan orang yang mengingkari harus bersumpah”.
Kebanyakan para fiqaha mengatakan bahwa seorang yang mampu bekerja mencari uang, tidak boleh diberi zakat, sebab dia dianggap kaya. Zurarah meriwayatkan dari Imam Baqir as, yang mengatakan , “sedekah tidak halal untuk orang yang mapu bekerja, dan tidak juga untuk orang yang sehat jasmani yang mampu menanggung jerih payah kerja.”
2.    Ke-3 Para ‘Amil
Para Amil zakat ialah, para pengumpul zakat yang ditunjuk oleh imam atau wakilnya untuk mengumpulkannya dari para pembayar zakat dan menjaganya, kemudian menyerahkannya kepada orang yang akan membagikannya kepada para mustahiq. Apa yang diterima oleh para amil dari bagian zakat itu dianggap sebagai upah atas kerja mereka, bukannya sedekah, oleh karena itu, mereka tetap diberi walaupun mereka kaya.
Semua madzhab sepakat bahwa amil zakat adalah orang-orang yang bertugas untuk meminta sedekah. 
Disyaratkan bahwa seorah ‘amil haruslah baligh, berakal, beriman, dan adil, minimal dapat dipercaya, karena Imam Aliamirul mukninin as berkata kepada seorang pengumpul zakat, “ jika engkau memiliki uang untuk disedekahkan maka janganlah engkau menunujuk wakil untuk itu kecuali seseorang yang tulus, menghendaki kebaikan, dapat dipercaya, dan dapat menjaganya,”.
3.    Ke-4  Muallafah Qulubuhum
Salah satu kelompok penerima zakat ialah orang-orang yang disebut muallafah qulubuhum, yaitu orang-orang yangdijanjikan hati mereka dan disatukan atas islam, untuk mencegah kejahatan mereka, (agar mereka tidak berbuat jahat kepada islam), atau agar mereka mau membantu kaum muslim dalam membela diri atau membela islam. Mereka ini diberikan zakat, walaupun mereka kaya.
Fuqaha’ kita berselisih pendapat tentang apakah muallaf ini khusus bagi mereka yang tidak menunjukkan keislaman mereka, ataukah termasuk orang yang menunjukkan keislaman tetapi diragukan.
Menurut sebagian madzhab islam, bagian untuk muallaf ini telah gugur, dan permasalahan ini sudah tidak ada lagi setelah islam menyebar, dan Allah Allah telah memuliakan agamanya dengan kekuatan dan jumlah kaum muslim yang banyak.
4.    Ke-5 fir Riqab
Yang dimaksud dengan riqab adalah budak. Sedangkan kata-kata menunjukkan bahwa zakat untuk bagian ini bukannya deberikan kepada mereka, tetapi digunakan untuk membebaskan mereka dan memerdekakan mereka. Inilah salah-satu pintu yang dibuka oleh Islam untuk memberantas perbudakan sedikit-demi sedikit. Seperti kita ketahui, pada masa sekarang ini sudah tidak ada lagi perbudakan.
Menurut semua madzhab riqab adalah orang yang membeli budak dari harta zakatnya untuk memerdekakannya.
5.    Ke-6 Gharimin
    Mereka ialah orang-orang yang menanggung beban hutang dan mereka tidak mampu membayarnya. Maka hutang mereka itu dilunasi dengan bagian dari zakat, dengan syarat mereka itu tidak menggunakan hutng tersebut untuk dosa dan maksiat.
    Semua madzhab berpendapat, Gharim adalah orang-orang yang mempunyai  hutang yang dipergunakan untuk perbuatan yang bukan maksiat.
    Imam as berkata, “Garimin” ialah orang-orang yang terkena hutang yang mereka gunakan di dalam ketaatan kepada Allah tanpa menghambur-hamburkannya. Maka wajib atas seorang Imam untuk melunasi hutang mereka dari uang zakat.
6.    Ke-7 Sabilillah
Sabilillah ialah segala sesuatu yang diridhai oleh Allah dan yang mendekatkan kepada Allah, apapun dia, seperti membuat jalan, membuat sekolah, rumah sakit, irigasi, mendirikan masjid, dan sebagainya. Dimana manfaatnya adalah untuk kaum muslim atau selainnya.
Menurut empat madzhab selain Imamiyah, sbilillah adalah orang-orang yang berpegang secara suka rela untuk membela Islam.
Menurut Imamiyah, sabilillah adalah orang-orang yang berada dijalan Allah secara umum, baik orang yang berperang, orang-orang yang mengurus masjid-masjid, orang yang berdinas di rumah sakit dan sekolah-sekolah, dan semua bentuk kegiatan kemaslahatan umum.
7.    Ke-8 Ibn Sabil
Imam as berkata, “ibn sabil ialah orang yang kehabisan bekal dan uang dalam perjalanan di dalam ketaatan kepada Allah (bukan menjalankan maksiat). Maka, seorang Imam harus membantu hingga dapat kembali ke rumahnya dari uang sedekah”.
Menurut semua madzhab adalah orang yang menempuh perjalanan ke negri lain dan sudah tidak punya harta lagi.
5.    Yang Tidak Berhak Menerima Zakat
Setelah kita ketahui mustahiq (penerima zakat/shadaqah) yang telah ditetapkan Allah, sekarang akan kita sebutkan orang-orang yang tidak boleh menerima zakat dan tidak boleh menerimanya, mereka adalah:
1. Orang-orang kafir dan mulhid.
Dalam hadits Muadz: "(Zakat) itu diambil dari orang kaya mereka dan di bagikan kepada orang miskinnya" yakni: diambil dari orang kaya muslimin dan diberikan kepada orang faqir yang muslim.
Ibnul Mundzir berkata: "Telah ijma' ahlul ilmu yang kami hafal ilmunya bahwa seorang kafir dzimmi tidak diberi zakat maal sedikitpun."
2. Bani Hasyim
Yang dimaksud disini adalah keluarga Ali bin Abi Thalib, keluarga 'Aqil, keluarga Ja'far, keluarga Abbas serta keluarga Harits.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya shadaqah itu tidak pantas untuk keluarga Muhammad, karena itu adalah kotoran harta manusia."
Hasan (cucu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) radiallahu 'anhu mengambil korma shadaqah, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Kuh, kuh (supaya Hasan membuangnya), Tidakkah kau tahu bahwa kita tidak memakan shadaqah." (Muttafaq alaih)
3. Bapak dan anak-anak sendiri
Telah sepakat fuqaha bahwasanya tiddak boleh memberikan zakat kepada bapak, kakek, ibu, nenek, anak, cucu, karena orang yang berzakat itu memang wajib menafkahi bapaknya, anaknya, kalaupun mereka faqir mereka tetap kaya karena anaknya, bapaknya atau cucunya kaya. Maka jika zakat disalurkan kepada mereka berarti telah mengambil manfaat sendiri dan tidak mengeluarkan zakat.
4. Istri
Para ulama telah ijma' bahwa seseorang tidak boleh memberikan zakat kepada istrinya, hal ini dikarenakan dia wajib menafkahi istrinya, sehingga tidak butuh lagi zakat, seperti dua orang tua, kecuali kalau dia terlilit hutang maka diberi dari bagian gharimin untuk melunasi utangnya.
6.    Pendapat Empat Madzhab Mengenai Mustahiq Zakat
1.    Faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan sama sekali
• Imam Hanafi : Orang faqir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari satu nishob.
• Imam Maliki : Orang faqir adalah orang yang mempunyai harta, sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk keperluannya selama satu tahun.
• Imam Syafi’i : Orang faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha atau mempunyai harta kurang dari ½ (seperdua) keperluannya dan tidak ada orang yang menanggungnya.
• Imam Hambali : Orang faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau mempunyai harta kurang dari ½ (seperdua) keperluannya
2.    Miskin adalah orang yang mempunyai sedikit harta untuk dapat menutupikebutuhannya , akan tetapi tidak mencukupi.
• Imam Hanafi : Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu apapun.
• Imam Maliki : Orang miskin ialah orang yang tidak mempunyai sesuatu apapun.
(menurut keduanya orang miskin ialah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari orang faqir )
• Imam Syafi’i : Orang miskin adalah orang yang mempunyai harta tetapi tidak mencukupi kebutuhannya.
• Imam Hambali : Orang miskin adalah orang yang mempunyai harta tetapi tidak mencukupi kebutuhannya.
3.     Amil menurut kesepakatan semua Imam Madzhab, adalah orang yang bertugas mengurus dan membagikan zakat kepada yang berhak menerimanya. Dengan syarat:
 - mengerti tentang zakat
- dapat dipercaya.
4.Muallaf adalah orang yang baru masuk islam dan asih lemah imannya.
• Imam Hanafi : Mereka tidak diberi zakat lagi sejak zaman kholifah Abu Bakar As-Shiddiq.
• Imam Maliki : Madzhab ini mempunyai dua pendapat tentang muallaf, yaitu
1. Orang kafir yang ada harapan masuk islam.
2. Orang yang baru memeluk islam.
• Imam Syafi’i : Mempunyai dua pengertian tentang muallaf,
1. Orang yang baru masuk islam dan masih lemah imannya.
2. Orang islam yang berpengaruh dalam kaumnya dengan harapan orang disekitarnya akan masuk islam.
• Imam Hambali : Muallaf adalah orang islam yang ada harapan imannya akan bertambah teguh atau ada harapan orang lain akan masuk islam karena pengaruhnya.
5. Riqob adalah memerdekakan budak, mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
• Imam Hanafi : Riqob adalah hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang atau dengan harta lainnya.
• Imam Maliki : Riqob adalah hamba muslim yang dibeli dengan uang zakat dan dimerdekakan
• Imam Syafi’i : Riqob adalah hamba (budak) yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya.
• Imam Hambali : Riqob adalah hamba yang dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang yang telah ditentukan oleh tuannya.
6. Ghorimin adalah orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya.
• Imam Hanafi : Ghorimin adalah orang yang mempunyai hutang, sedangkan hartanya diluar hutang tidak cukup satu nishob. Dan ia diberi zakat untuk membayar hutangnya.
• Imam Maliki : Ghorimin adalah orang yang berhutang sedangkan hartanya tidak mencukupi untuk membayar hutangnya. Dan diberi zakat dengan syarat hutangnya bukan untuk sesuatu yang fasad (jahat).
• Imam Syafi’i : Mempunyai beberapa pengertian tentang ghorimin yaitu,
- orang yang berhutang karena mendamaikan dua orang yang berselisih.
- orang yang berhutang untuk kepentingan dirinya sendiri.
- orang yang berhutang karena menjamin hutang orang lain.
• Imam Hambali : Mempunyai beberapa pengertian tentang ghorimin yaitu,
- orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang yang berselisih.
- orang yang berhutang untuk dirinya sendiri pada pekerjaan yang mubah atau haram tetapi dia sudah bertaubat.
7. Fisabilillah adalah orang yang berada dijalan Allah.
• Imam Hanafi : Fisabilillah adalah bala tentara yang berperang pada jalan Allah.
• Imam Maliki : Fisabilillah adalah bala tentara, mata-mata dan untukmembeli perlengkapan perang dijalan Allah.
• Imam Syafi’i : Fisabilillah adalah bala tentara yang membantu dengan kehendaknya sendiri dan tidak mendapat gaji serta tidak mendapatkan harta yang disediakan untuk berperang.
• Imam Hambali : Fisabilillah adalah bala tentara yang tidak mendapat gajidari pemerintah.
8. Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan untuk maksiat, dan mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
• Imam Hanafi : Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan, yang putus perhubungan dengan hartanya.
• Imam Maliki : Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan, sedang ia butuh untuk ongkos pulang kenegerinya. Dengan syarat perjalanannya bukan untuk maksiat
• Imam Syafi’i : Ibnu Sabil adalah orang yang mengadakan perjalanan yang bukan maksiat tetapi dengan tujuan yang sah.
• Imam Hambali : Ibnu Sabil adalah orang yang keputusan belanja dalam perjalanan yang halal.
7.     Tata Cara Pembagian Zakat
Adapun tentang tata cara pembagian zakat kepada mustahik ada beberapa pendapat, diantaranya yaitu:
1. Menurut madzhab Syafi’i, zakat harus dibagikan kepada delapan ashnaf (golongan) secara merata. Tapi jika pada waktu pembagian zakat yang ada hanya beberapa ashnaf saja, maka zakat boleh dibagikan hanya kepada beberapa ashanaf yang ada tanpa harus menyisihkan pembagian zakat untuk ashnaf yang tidak ada.
2. Menurut jumhur ulama (yang terdiri dari imam Hanafi, Maliki dan Hambali) zakat tidak harus dibagikan kepada delapan ashnaf (golongan) secara merata, melainkan boleh dibagikan hanya kepada salah satu dari delapan ashnaf.
Berdasarkan penjelasan imam Syafi’i dan jumhur ulama (Hanafi, Maliki dan Hambali), zakat harus dibagikan kepada delapan ashnaf, tapi jika pada saat pembagian zakat yang ada hanya beberapa ashnaf saja, maka zakat boleh dibagikan hanya kepada beberapa ashanaf yang ada tanpa harus menyisihkan pembagian zakat untuk ashnaf yang tidak ada. Dan jika seluruh hasil pengumpulan zakat sudah dibagikan semua lalu muncul ashnaf lain yang belum menerimanya, maka mereka tidak berhak menuntut pembagian zakat.
3. Menurut fatwa yang disampaikan oleh al-Lajnah al-Daimah Li al-Buhus al-Ilmiyah Wa al-Ifta’ Saudi Arabia, bahwa seluruh wajib segera dibagikan kepada para mustahik, Karen pada dasarnya tujuan utama zakat adalah untuk memenuhi kebutuhan para fakir miskin dan membayar hutang para gharim. Dan hasil pengumpulan zakat tidak boleh dijadikan modal usaha oleh Badan Amil Zakat (BAZ) atau dipinjamkan kepada para penngusaha.
4. Menurut Kajian Fiqih Islam, zakat yang diserahkan kepada para mustahik harus dapat mereka miliki secara nyata. Oleh karena itu zakat tidak boleh diserahkan oleh muzakki kepada mustahik dalam bentuk pembebasan hutang.
8.    Pengertian Pembantu Rumah Tangga
Pekerja rumah tangga, pembantu rumah tangga (disingkat PRT) atau sering disebut pembantu saja adalah orang yang bekerja di dalam lingkup rumah tangga majikannya. Di Indonesia saat masa penjajahan Belanda, pekerjaan pekerja rumah tangga disebut baboe (dibaca "babu"), sebuah istilah yang kini kerap digunakan sebagai istilah konotasi negatif untuk pekerjaan ini.
Pekerja rumah tangga mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak serta menghidangkan makanan, mencuci, membersihkan rumah, dan mengasuh anak-anak. Di beberapa negara, pembantu rumah tangga dapat pula merawat orang lanjut usia yang mengalami keterbatasan fisik.
Banyak negara mendatangkan pekerja rumah tangga dari luar negeri. Negara semacam itu termasuk kebanyakan negara di Timur Tengah, Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Sumber utama pekerja rumah tangga mencakup Filipina, Thailand, Indonesia, Sri Lanka, dan Ethiopia. Taiwan juga mendatangkan pekerja rumah tangga dari Vietnam dan Mongolia.

C.    Pembahasan
Zakat untuk pembantu
Zakat adalah harta yang kita keluarkan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh agama dan disalurkan kepada orang-orang tertentu pula sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Ada ketentuan lain dari zakat yaitu bahwa zakat tidak boleh disalurkan kepada orang-orang yang menjadi tanggungan kita. Misalnya istri dan anak, karena mereka semua adalah tanggung jawab kita untuk memberikan nafkah kepada mereka, dalam artian, mereka adalah tanggungan kita.
Adapun orang yang bukan menjadi tanggungan kita seperti halnya pembantu, maka boleh menyalurkan zakat kepada mereka. Meskipun kebutuhan mereka semuanya ditanggung oleh majikan mereka, seperti makan minum dan tempat tinggal, tapi semua adalah bagian dari upah pembantu atas kerjanya dirumah tersebut. Karena kebanyakan orang menggaji pembantu dengan nilai tertentu, karena mereka sebelumnya sudah memperhitungkan tentang biaya makan dan lain-lain yang akan diterima pembantu dirumah tersebut.
Jadi, pada dasarnya tanggungan yang diberikan majikan atas pembantu bukan merupakan tanggungan yang sebenarnya, tapi itu adalah bagian dari gaji, karena para majikan sudah memperhitungkan semua itu sebelumnya.
Rujukan :
(http://kmitw.org/panduan/39-zakat/124-permasalahan-zakat-kontemporer.html)
    Dari uraian permasalahan di atas, dijelaskan bahwasanya diperbolehkannya embayar zakat kepada pembantu rumah tangga. Pendapat ini melalui beberapa analisis, untuk mengetahui berhak atau tidaknya seorang majikan membayar zakat pada pembantunya.
    Seperti yang kita tahu bahwa pembantu adalah orang yang bekerja di dalam lingkup rumah tangga majikannya untuk meringankan beban mereka.
    Dari pendapat kami, pembantu rumah tangga itu ada yang berhak menerima zakat dan ada yang tidak berhak menerima zakat.
-    Pembantu yang berhak menerima zakat:
Pembantu yang berhak menerima zakat adalah pembantu yang gajinya dibawah UMR. Dalam hal ini pembantu dikategorikan sebagai orang yang miskin, karena pendapatan yang ia miliki selama satu bulan tidak mencukupi kebutuhannya. Kebanyakan yang kita tahu, rata-rata gaji para pembantu di negara kita bekisar mulai dari 500-700 ribu rupiah saja, bahkan masih banyak pembantu rumah tangga yang mendapat gaji hanya 300 ribu rupiah saja. Padahal pemerintah sudah menetapkan UMR bagi setiap pekerja di Indonesia bahkan pembantu rumah tanggasekalipun. UMR yang di tetapkan oleh pemerintah adalah kurang lebih 1.500.000 ribu rupiah. akan tetapi sampai sekarang ini yang terealisasi hanya 1.250.000 rupiah saja.
    Dengan kata lain, ketika seseorang menerima gaji dbawah UMR, orang tersebut termasuk dalam kategori miskin dan boleh menerima zakat dari majikannya.
    Seperti yang telah kami uraikan diatas bahwa, orang yang miskin adalah  orang yang tidak mempunyai biaya hidup selama satu tahun untuk dirinya dan keluarganya.
-    Pembantu yang tidak berhak menerima zakat:
Untuk pembantu yang tidak berhak menerima zakat adalah, pembantu yang gajinya minimal sudah UMR atau lebih dari UMR. UMR dijadikan sebgai acuan untuk mengukur kadar kemampuan memenuhi kebutuhan seseorang adalah, karena UMR sudah di sesuaikan dengan anggaran pengeluaran tiap bulan, sehingga ketika seseorang yang menerima gaji dibawah UMR, ia dikatakan sebagai orang yang miskin dan berhak menerima zakat. Sedangkan orang yang menerima gaji yang sudah UMR, sudah diperkirakan orang tersebut bisa memenuhi kebutuhannya selama satu bulan. Bisa dikatakan bahwa orang yang bisa memenuhi kebutuhannya setiap bulan, berarti orang tersebut juga bisa memenuhi kebutuhannya selama setahun dan seterusnya.















SKEMATIKA



















DAFTAR PUSTAKA
http://chamcoelfalah.blogspot.com/2011/08/mustahik-zakat-orang-orang-yang-berhak.html
Muhammad Jawad Mughniyah. 2000. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera Basritama.
Jawad Mughniyah, Muhammad. 2000. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera Basritama.
http://kmitw.org/panduan/39-zakat/124-permasalahan-zakat kontemporer.html
http://www.freewebs.com/ramadhaan/zakat.htm
http://ddhongkong.org/sekitar-zakat-fitrah/
http://kmitw.org/panduan/39-zakat/124-permasalahan-zakat-kontemporer.html




Pajak Vs Zakat

A.    Pendahuluan
1.    Kronologi Masalah
Pada zaman modernisasi ini kebanyakan orang tidak mau membayar zakat dan pajak. Padahal di Indonesia mayoritas penduduk atau masyrakatnya beragama Islam. Di ajaran agama Islam telah dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun Hadist tentang zakat. Al-Qur’an dan Hadist telah menjelaskan bahwa membayar zakat hukumnya wajib bagi orang yang mempunyai kekayaan yang sudah sampai pada nishabnya. Al-Qur’an dan Hadist juga telah mengajarkan kepada kita hikmah dari orang yang mau mengeluarkan zakatnya. Dengan membayar zakat maupun pajak, akan tercipta hidup damai dan saling tolong menolong satu sama lain. Tetapi oleh umat Islam sendiri tidak mau mengamalkan apa yang sudah diajarkan oleh Al-Qur’an dan Hadist. Mereka beranggapan bahwa zakat dan pajak adalah beban yang harus ditanggung dalam kehidupannya. Sehingga akan menimbulkan hidup yang tidak keselarasan antar sesama umat beragama Islam, padahal pajak maupun zakat itu akan membangun rasa solidaritas dan akan memajukan suatu bangsa karena pendapatan negara itu dihasilkan dari pajak untuk pembangunan maupun untuk kemajuan negara.
 Kewajiban zakat dan kewajiban pajak merupakan beban kumulatif atau kewajiban berganda yang tidak bisa saling mengganti satu sama lain bagi umat Islam yang pendapatan dan kekayaannya telah mencapai tingkat wajib pajak dan wajib zakat. Di dalam Islam, manusia wajib membayar zakat sesuai dengan Hukum Islam. Dan menurut peraturan perundang-undangan umat Islam juga wajib membayar pajak. Dengan adanya zakat dan pajak merupakan beban kumulatif itu, banyak para oknum-oknum yang mengelola zakat maupun pajak negara mempunyai niat jelek untuk melakukan kejahatan. Mereka menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat untuk mengelola zakat dan pajak tersebut tetapi oknum-oknum tersebut menggunakan zakat maupun pajak tidak untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan diri sendiri maupun keluarganya.
Dari uraian tersebut, penting kiranya untuk membahas apakah pajak dapat menggantikan posisi zakat dalam kehidupan umat Islam.
B.    Substansi Kajian
1.    Pajak
Pajak adalah iyuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung.
Pengetian pajak menurut bebetapa ahli :
1.Prof Dr Adriani
Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang oleh wajibpajak membayarnya menurut peraturan derngan tidak mendapat imbalan kembali yang dapat ditunjuk secara langsung.
2. Prof. DR. Rachmat Sumitro,SH
pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari kas rakyat ke sector pemerintah berdasarkan undang-undang)(dapat dipaksakan  dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi)yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.
                Lima unsur pokok dalam defenisi pajak
•    Iuran / pungutan
•    Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
•    Pajak dapat dipaksakan
•    Tidak menerima kontra prestasi
•    Untuk membiayai pengeluaran umun pemerintah
Dengan berlakunya UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2000 dan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 17 Tahun 2000, masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk untuk menghitung, memperhitungkan, memotong / memungut, menyetor dan melaporkan besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan melaporkannya sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya.
2.    Zakat
Pengertian zakat dapat ditinjau dari dua segi, yaitu menurut bahasa dan istilah. Dari segi bahasa, zakat berarti tumbuh, bersih, berkah, berkembang dan baik. Sedangkan dari segi istilah, zakat berarti mengeluarkan sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah kepada orang-orang yang berhak.
Zakat pada dasarnya terdiri dari dua jenis, yaitu zakat mal (harta) dan zakat fitrah (jiwa). Zakat mal wajib dikeluarkan oleh orang-orang yang memiliki harta atau kekayaan yang telah memenuhi syarat, seperti telah mencapai nishab, kepemilikannya sempurna, berkembang secara riil atau estimasi, cukup haul (berlaku waktu satu tahun). Zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh orang-orang yang mampu setiap bulan ramadhan
Prinsip-prinsip zakat adalah sebagai berikut:
1.    Prinsip keyakinan keagamaan.
Yakni orang yang membayar zakat meyakini bhawa pembayaran tersebut merupakan salah satu manifestasi keyakinan agamanya, sehingga kalau orang yang bersangkutan belun menunaikan zakatnya, belum merasa sempurna ibadahnya.
2.    Prinsip pemerataan
Cukup jelas bahwa zakat bertujuan yaitu membagi lebih adil kekayaan yang telah diberikan Tuhan kepada umat manusia
3.    Prinsip produktivitas dan kematangan
Menekankan bahwa zakat memang wajar harus dibayar karena milik tertentu telah menghasilkanproduk tertentu.
4.    Prinsip penalaran
Bahwa zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas dan sehat jasmani serta rohaninya, yang merasa mempunyai tanggung jawab untuk membayar zakat untuk kepentingan bersama.


5.    Prinsip etik
Menyatakan bahwa zakat tidak akan diminta secara semena-mena tanpa memerhatikan akibat yang ditimbulkannya. Zakat tidak mungkin dipungut, kalau karena pemungutan itu orang yang membayarnya justru akan menderita
        Tujuan zakat adalah:
1.    Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup
2.    Membantu memecahkan masalah yang dihadapi penerima zakat
3.    Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesame muslim dan manusia pada umumnya
4.    Menhilangkan sifat kikir atau serakah para pemilik harta
5.    Membersihkan sifat cemburu dan dengki dari hati orang-orang miskin
6.    Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin
7.    Mengembangkan rasa tanggung jawab social
8.    Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya
9.    Sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan social
3.    Persamaan dan Perbedaan Pajak dengan Zakat
Titik Persamaan
Yusuf Qardawi merinci titik persamaan antara pajak dan zakat sebagai berikut:
a.    Unsur kewajiban yang merupakan cara untuk menghasilkan pajak, juga terdapat dalam zakat. Bagi seorang muslim, ketika ia terlambat membayar zakatmenyadari bahwa keimanan dan islam baginya belum kuat. Adalah kewajiban kita bersama tentang wajibnya kita untuk mengeluarkan zakat kita.
b.    Bila pajak disetorkan kepada “amil pajak” dalam hal pemerintah pusat atau daerah, maka zakat pun demikian juga, yaitu disetorkan pada “amil zakat”dalam hal ini, di Indonesia dilakukan oleh pemerintah (BAZIS) atau yang ditunjuk oleh pemerintah (LAZIS)
c.    Diantara ketentuan pajak, yaitu tidak adanya imbalan tertentu terhadap wajib pajak. Para wajib pajak menyerahkan pajaknya selaku anggota masyarakat. Demikian halnya dengan zakat, para wajib zakat selaku anggota masyarakat Islam dengan niat karena Allah SWT tanpa mendapat prestasi kembali atas pembayaran zakatnya.
d.    Hasil pengumpulan pajak melalui Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja (Pusat dan Daerah) digunakan untuk tujuan keuangan kepemerintahan dan tujuan pembangunan masyarakat, membantu rakyat untuk menanggulangi kemiskinan, kelemahan, pendidikan dan penderitaan hidup rakyat. Demikian juga zakat, yaitu sebagai wujud melaksanakan perintah Allah SWT dalam menanggulangi kemiskinan, eksploitasi manusia oleh manusia lain (budak), masalah ekonomi (hutang-piutang), jalan Allah SWT dan jaminan social bagi ibnu sabil (dalam perjalanan atau terlantar).
e.    Dari sisi tujuan penggunaan pajak adalah untuk memakmurkan (menyuburkan ) masyarakat, demikian juga salah satu makna zakat adalah untuk menyuberkan masyarakat. Pemerintah menggunakan dana pajak untuk pembangunan dalam arti luas, demikian zakat dalam arti luas memancarkan tujuan yang mulia, yaitu pembangunan masyarakat.
Titik Perbedaan
Dari segi istilah, zakat mengandung arti suci, tambah, dan berkah. Orang yang mengeluarkan zakat akan memiliki jiwa yang bersih dari sifat kikir dan tamak. Hartanya pun menjadi bersih karena telah dibebaskan dari hak orang lain. Zakat secara lahir memang mengurangi harta, namun dalam pandangan Allah, zakat dapat menjadikan harta tumbuh dan tambah. Sedangkan pajak dalam bahasa Arab disebut al-dharibah, yang artinya utang, pajak tanah yang wajib dilunasi. Dari sini kesan makna pajak adalah sesuatu yang berat sebagai beban yang dipaksakan.
a.    Zakat adalah ibadah yang diwajibkan kepada ummat sebagai tanda syukur kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan pajak adalah kewajiban atas warga Negara, baik muslim maupun non muslim, yang tidaj dikaitkan dengan ibadah. Zakat harus diniatkan saat mengeluarkannya sedangkan pajak tidak diniscayakan.
b.    Ketentuan zakat berasal dari Allah dan Rasul-Nya, baik masalah nishab, kadar, atau penyalurannya, sedangkan pajak bergantung pada kebijakan pemerintah.
c.    Zakat adalah kewajiban yang permanen tak akan berubah selama-lamanya, tak terhapus oleh oleh siapapun dan kapan pun. Berbeda dengan itu, pajak bisa berkurang, bertambah, atau bahkan dihapus sesuai kebijakan sang penguasa.
d.    Pos penyaluran zakat tak akan lebih dari delapan golongan seperti yang dijelaskan dalam surat at-Taubah : 60, sedangkan pajak penyalurannyalebih luas sesuai dengan kebutuhan suatu Negara.
e.    Maksud dan tujuan zakat mengandung pembinaan spiritual dan moral yang tinggi ketimbang pajak. Di samping kesadaran, para wajib zakat mengemban perintah penguasa. Biasanya kepatuhan kepada perintah Allah berbeda berbeda dengan kepatuhan kepada penguasa, yang mana perasaan bersalah jika melanggar juga tidak sama. Di sini zakat sebagai pembangkit sisi spiritual dan moral dapat dicermati.
4.    Kedudukan pajak dan zakat
Mengingat kedudukan dan fungsi zakat dan pajak yang sangat berbeda itu maka ada beberapa alasan tidak disetujuinya pendapat bahwa ketetapan kumulatif atas zakat dan pajak pada umumnya disamakan (diqiyaskan) dengan ketetapan beban kumulatif atas zuru’ (zakat hasil tanaman) dan kharaj (pajak bumi milik penduduk non-muslim di daerah pendudukan pasukan Islam). Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Pemerintah berhak atau boleh memungut pajak di samping zakat terhadap penduduk yang beragama Islam, bahkan pemerintah berhak memungut dana dari masyarakat berupa sumbangan-sumbangan wajib, apabila dana-dana tersebut benar-benar diperlukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan negara, sedangkan hasil penarikan zakat atau pajak tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan.
2.    Kalau yang dimaksud dengan kharaj itu tanah milik penduduk non-Muslim di daerah pendudukan pasukan Islam, yang terkena pajak, kemudian pemiliknya masuk Islam atau tanahnya pindah tangan kepada penduduk Muslim, lalu sesuai dengan pendapat jumhur,bahwa pemiliknya yang Muslim itu terkena usyur (zakat hasil tanaman 5 – 10 %) dan kharaj (pajak bumi) secara akumulatif, maka tanah kharaj tersebut tidak dikenal di negara kita dan juga di negara-negar lain dewasa ini sehingga tidak relevan kalau ketetapan beban kumulatif berupa zakat dan pajak untuk semua pendapatan dan kekayaan itu disamakan/dikiaskan dengan usyur dan kharaj. 
Khusus mengenai maslah tanah kharaj (tanah penduduk non-Muslim di daerah pendudukan pasukan Islam), kemudian pemiliknya masuk Islam (muallaf) atau tanahnya pindah tangan kepada penduduk yang Muslim, maka sebaiknya ia dapat memilih salah satu dari tiga alternatif sebagai berikut:
1.    Pemiliknya yang Muslim lama/baru itu terkena pajak bumi saja (kharaj), berdasarkan dalil istishab (melanjutkan status tanah yang telah ada sebelumnya).
2.    Pemiliknya yang Muslim itu hanya terkena zakat saja, karena kondisi dan illat hukumnya telah berubah. Semula pemiliknya terkena pajak, karena ia non-Muslim. Kemudian ia masuk Islam atau pemiliknya telah berganti Muslim, maka hukumnya pun berubah, yakni dari kewajiban pajak menjadi kewajiban zakat. Alternatif kedua ini sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah.
3.    Pemiliknya terkena zakat dan pajak secara akumulatif. Hanya, apabila tanah-tanah lain milik penduduk Muslim lainnya tidak terkena beban kumulatif tersebut, jelas tidak sesuai dengan asas keadilan hukum (law justice) dan asas tidak memberatkan umat Islam. Di samping itu, beban kumulatif berupa zakat dan pajak atas orang muallaf, bisa merugikan strategi dakwah Islam di kalangan masyarakat non-Muslim. Sebab hal tersebut bisa menjadi hambatan bagi pemilik tanah non-Muslim yang mau masuk Islam karena khawatif terkena beban kumulatif berupa zakat dan pajak atas tanahnya. 
Untuk menjadikan umat Islam di Indonesia agar menjadi umat beragama yang taat pada ajaran agama dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab kepada negara, dapatlah ditempuh beberapa alternatif pemecahannya antara lain dengan cara :
a.     Pengelolaan zakat dan pajak berada di tangan pemerintah
Pengelolaan zakat seharusnya ditangani oleh Pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai aparat pemerintah yang lengkap, sarana dan prasarana yang memadai dan mempunyai wewenang/ kekuasaan memakswa menurut hukum kepada para wajib zakat yang enggan menunaikan kewajiban zakatnya.
Fatwa-fatwa dari sahabat nabi (mazhab sahabi menurut istilah ushul fiqh) yang merupakan salah satu sumber atau dasar hukum Islam yang menegaskan bahwa umat Islam wajib menyerahkan zakatnya kepada pemerintah, sekalipun di antara aparat pemerintah itu ada oknum-oknum yang menyalahgunakan hasil pengumpulan zakat untuk kepentingan pribadi
Pemerintah RI seharusnya mengelola zakat dengan aparat zakat yang bersih dan berwibawa, bertakwa, dan menguasai seluk-beluk aturan zakat berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, serta mempunyai kemampuan mengelola zakat dengan management yang modern. Menurut umat Islam di Indonesia akan menyebut positif pengelolaan zakat oleh pemerintah,sebab selain hal ini sesuai dengan perintah agama dan praktek zakat pada zaman nabi, juga mengingat kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Meningkatkan kesadaran wajib zakat umat Islam dapat diharapkan, karena sejalan dengan meningkatnya kesadaran wajib pajak, akibat dari sistem perpajakan yang makin baik, aparat pajak yang makin tertib, dan kehidupan sosial ekonomi yang semakin maju, sehingga penenrimaan negara dari sektor pajak makin meningkat dari tahun ke tahun. Apabila pengelolaan zakat dan pajak sudah berada di tangan Pemerintah, maka melalui peraturan perundang-undangan bisa diambil kebijaksanaan untuk meringankan beban umat Islam yang memikul beban kumulatif berupa zakat dan pajak tanpa merugikan negara dengan cara antara lain:
•    Wajib zakat dan pajak membayar dulu pajak yang terutang untuk tahun berjalan, dan pajak ini dikategorikan sebagai utang sehingga mengurangi jumlah harta yang harus di zakati. Kemudian sisanya baru dizakati setelah kebutuhan pokok keluarga sudah terpenuhi dan bebas dari utang,sedangkan jumlah sisanya itu masih mencapai batas minimum kena zakat (nishab) dan telahjatuh pula temponya (haul)
•    Wajib zakat dan pajak membayar dulu zakatnya dan zakat yang telah dibayar ini diperhitungkan untuk mengurangi jumlah pajak terhitung untuk tahun berjalan.

b.    Pengelolaan zakat berada di tangan lembaga-lembaga Islam
Apabila pemerintah belum siap menangani pengelolaan zakat secara efektif, maka umat Islam melalui lembaga-lembaganya berhak dan bekewajiban mengelola zakat atas dasar pertimbangan hajah.
Karena realisasi zakat itu merupakan pelaksanaan ibadah, maka lembaga yang mengelolanya harus lembaga Islam, artinya lembaga yang benar-benar menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan dalam mengelola zakat. Pengelolaan zakat di zaman modern ini memerlukan penanganan oleh orang-orang yang beriman, berakhlak mulia, berpengetahuan luas baik agama maupun umum, dan berketampilan management yang modern dan terbuka, agar dapat menimbulkan kewibawaan pengurus dan kepercayaan masyarakat.
Apabila zakat dikelola oleh lembaga Islam yang mempunyai status sebagai badan hukum seperti NU dan Muhammadiyah dan mempunyai program-program yang realistik-pragmatik dengan open management dan management by obyektive and result ( deangan perencanaan yang matang yang jelas tujuannya dan hasil-hasil yang ingin dicapai) dan ditangani oleh orang-orang beriman, berilmu, berakhlak dan berketerampilan management yang baik, maka lembaga islam tersebut akan memperoleh dana besar yang tetap dari hasil pengelolaan zakat yang sangat berguna untuk kemajuan agama dan kesejahteraan umat/bangsa dan negara
Sebaliknya apabila zakat dikelola oleh badan-badan amil zakat yang jumlahnya tidak terbatas dan bebas seperti sekarang ini maka hasilnya tidak akan mencapai sasaran dan tujuan utama dari kewajiban zakat. Apabila kalau pelaksanaan zakat diserahkan sepenuhnya kepada kemauan dan kesedaran para wajib zakat tanpa campur tangan pemerintah dan tanpa adanya lembaga islam yang mengurusnya.
Karena itu, sebelum pemerintah dapat mengelola zakat, untuk sementara melalui SK Menteri Agama atau SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengatur ketentuan tentang lembaga-lembaga yang mengelola zakat (syarat-syaratnya dan sebagainya.

1.    SISTEM PAJAK DAN ZAKAT
a.    Sistem pajak tunggal dan pajak ganda
Sesungguhnya dasar sistem pajak tunggal adalah wadah yang satu, berbentuk pajak tunggal, satu produksi dalam impor barang umum. Sedangkan sistem pajak ganda yaitu beberepa barang dengan dispensasi menentukan beberapa macam pajak yang meliputi semua bentuk kegiatan yang dilakukan oeh para pemilik harta.
b.    Sistem pajak tunggal dan pajak ganda dalam perspektif hukum ekonomi
Munculnya ide pajak tunggal dapat dikaitkan dengan pemikiran hukum, seperti ide sebagian ekonom barat pada abad 17 dan 18. Mereka adalah orang pertama yang membangun ide pajak tunggal dan ketentuannya. Ekonom Amerika Henry Jorjuo pada tahun 1979 mengajak untuk menetapkan kewajiban pajak tunggal yang pokok, sebagia bahan pangan kebutuhan pemerintah. Pemikiran itu didasari atas tambah meningkatnya tanah yang subur dengan diberi beberapa tambahan fasilitas yang memadai, keramaian dan sebagian tambahan penghasilan tanah yang subur itu juga dikenakan pajak.
Keistimewaan sistem pajak tunggal
    Merealisasi keadilan pajak. Pajakn tunggal itu diambil dengan melihat unsur-unsur kemanusiaan dalam kewajiban dan kemampuan beban bagi pemilik harta sesuai dengan situasi dan kondisi kehidupan mereka, dan keluarganya serta menerapkan sistem bertahap dan kenaikan nilai harga nyimpapajakmenurut kemampuan pemilik harta. Ukuran ini akan sulit diterapkan pada pajak ganda sebab menyangkut bentuk kekayaan dan aktivitas ekonomi yang beragam
    Ekonomis dalam memperoleh pajak. Pajak tunggal akan lebih mudah dilakukannya dan administrasinya, lebih tertib tidak memberatkan para pegawai dan mempermudah perolehan pajak.
    Keseimbangan sistem pajak tunggal dapat memberikan kesempatan kepada pemilik harta untuk merealisasikan beban pajak yang telah ditentukan. Sistem ini merupakan sistem yang ringfan bebannya dan tidak terpengaruh oleh kegiatan ekonomi yang berbeda-beda.
Kelemahan pajak tunggal
    Menyimpang dari keadilan sebab hanya diwajibkan sekali saja, sehingga memberi beban kepada pemilik harta. Karena keadilannya hanya pada lahir saja, akan tetapi pemilik harta biasanya akan terbebas dari beban yang berat.
    Kelemahan pemerolehan pajak. Pajak ditentukan oleh satu ketentuan saja yang tidak sesuai dengan pengelokasian penghasilan atau sasaran yang ingin diharapkan, apalagi untuk menutup kepentingan pangan dan biaya administrasi dalam memperoleh pajak.
    Keterbatasan pelaku. Pemerintah tidak bisa berpegang pada kaidah tersebut, seperti sarana ekonomi, sosial dan politik. Dari sini pemerintah akan sulit merealisasikan sasaran pajak yang seimbang dan mengarahkan mereka pada aspek ekonomi dan sosial. Suatu saat akan menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakan tujuan politis keuangan dalam negeri.
    Tidak terbatas. Tidak ada satu batasan yang dapat dijadikan ukuran dalam membatasi ketentuan pajak atau kekayaan yang layak untuk dijadikan pajak. Pada hakikatnya pajak tunggal sulit untuk diterapkan pada negara besar dan masa yang silam. Tampak jelas kelemahan itu bersamaan dengan perkembangan tujuan dan sistem serta pajak peranan pajak dalam negeri serta realisasi sasaran politik keuangan bagi pemerintah, khususnya setelah pajak tunggal untuk merealisasikan pemasukan negara yang hanya bisa diwujudkan dengan sistem pajak ganda.
c.    Sistem zakat tunggal dan zakat ganda dalam perspektif islam
Sistem zakat menurut perspektif keuangan Islam berbeda dan tidak mengikuti sistem zakat tunggal. Dalam sistem keuangan Islam zakat hanya diwajibkan pada modal harta, misalnya zakat mas dan perak, zakat hewan dan zakat dagangan.
Sistem keuangan Islam juga memperhatikan sistem zakat dan pengalokasiannya, misalnya zakat pertanian dan zakat hasil bumi, zakat yang diwajibkan anatara lain zakat hasil bumi, zakat tanaman yang muncul di tanah dan berbuah, zakat harta, zakat harta yang terpendam dalam tanah dan lautan misallnya intan, wangi-wangian, ikan, serta zakat transportasi.
Sistem ekonomi Islam juga meliputi zakat untuk manusia, misalnya zakat fitrah untuk muslim yang kaya untuk muslim yang fakir untuk setiap tahun yang dibayar diakhir ramadhan untuk membersihkan puasa, menghilangkan segala kefasikan, ucapan kotor, serta maksiat yang mengganggu puasanya.
d.    Pemberdayaan Zakat Menurut Perspektif Ekonomi Islam
Pemberdayaan ekonomi melalui zakat
Yaitu untuk menghindari intervensi politis keuangan Islam dalam zakat untuk membantu para fakir miskin yang secara langsung besar pengaruhnya terhadap kehidupan ekonomi dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap hasil produksi, penghasilan dalam kekayaan yang dapat diwujudkan untuk mencapai target perkembangan ekonomi serta sumbangsihnya dalam mengentaskan pertumbhan ekonomi,dengan cara melakukan pengembangan ekonomi atau mengatur unsur-unsur hasil produksi.
Fungsi zakat bagi kehidupan sosial
Untuk menghindari kendala-kendala dalam menghasilkan harta benda maka poltik keuangan islam secara umum dapat memberdayakan zakat sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan sosial, mengembangkan masyarakat sosial dan menyelamatkan modal harta dan pengembangannya
Zakat telah ditentukan oleh hukum ekonomi islam sebagai dasar untuk mengembangka lahiriah insani. Hukum islam telah membatasi sasaran peranan awal zakat sebagai tujuan kemanusian yang lebih luas lagi dan lebih mendalam serta lebih luas artinya dalam peranan zakat baik kehidupan sosial maupun individu.
Pemberdayaan Harta Melalui Zakat
Sistem keuangan Islam telah mengatur bagaimana cara menunaikan zakat dalam merealisasikan dan menyempurnakan harta pada baitul mal untuk kemudian diberikan kepada delapan golongan penerima zakat.tidak diragukan lagi perolehan zakat sejak masa pemerintahan Islam sangatlah penting untuk memberdayakan fakir miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, fi sabilillah dan ibnu sabil. Para penerima zakat ini tentu membutuhkan dana yang besar untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. 
5.    Kaidah – Kaidah Beban Pajak dan Zakat
Berpegang pada kaidah-kaidah bahwa dalam menetapkan pajak itu adalah menghindari kekuasaan, maka terjadi kesepakatan antara kesejahteraan harta dan kesejahteraan pemilik harta, khususnya setelah terjadi perkembangan tujuan pajak untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi dan politik. Pemikiran keuangan menjadi kaidah-kaidah tersebut sebagai undang-undang pajak dan meliputi prinsip-prinsip pokok perpajakan.
Ekonom Adam Smith telah merancang kaidah-kaidah ini dan memuat empat teori, yaitu :
1.    Teori keadilan atau persamaan
2.    Teori keyakinan
3.    Teori ekonomi
4.    Teori keseimbangan
a.    Kaidah – kaidah beban pajak menurut perspektif hukum ekonomi
1)    Kaidah keadilan atau persamaan
Keadilan pajak adalah kewajiban pertama yang harus dijunjung tinggi. Adam smith menetapkan bahwa perlindungan pemerintah untuk masyarakat dalam menutupi beban umum harus sesuai dengan kemampuan dan ketentuannya, ukuran kebaikan terletak pada ukuran pemasukan dan inilah yang dimaksud bahwa membayar zakat itu wajib disesuaikan dengan kemampuan keuangan, karena itulah dia melihat bahwa kewajibanpajak itu diberlakukan pada harta yang lebih bukan pada modal harta, diperbolehkannya pemberian bagian pajak untuk fakir miskin dan sebgai tafsir terhadap kaidah keadilan pajak, hukum keuangan melihat adanya kebutuhan yang mendesak untuk membangun prinsip-prinsip tertentu, yaitu :
Prinsip umum dalam merealisasikan pajak
Keadilan prinsip ini menuntut kewajiban pajak terhadap semua individu dan harta yang berada dalam jangkauan kepemimpinan pemerintah, baik dalam teritori pemerintah maupun di luarnya. Secara umum keadilan ini menuntut adanya keasadaran warga untuk tunduk terhadap pajak, bukan bersikap baik kepada orang lain di luar kewajiban pajak.
Secara umum keadilan dalam pajak itu juga diarahkan untuk memperhatikan pemilik harta pribadi dan harta umum bahwa keduanya sama tanpa ada perbedaan untuk tunduk pada peraturan perpajakan.
Prinsip kesatuan dalam merealisasikan pajak
Prinsip kedua ini menuntut adanya satu beban pajak pada masyarakat, artinya semua individu sama dalam membayar pajak, inilah yang dikenal sebagai satu kesatuan bagi wajib pajak. Pemahaman keadilan pajak akan beriringan dengan sumbangan pemikiran hukum ekonomi yang mengatakan perlu adanya menghindari barang berharga yang relatif menuju barang berharga yang nilainya tinggi. Keadilan pajak menuntut untuk melihat situasi dan kondisi masyarakat sebab pajak bisa menjadi beban bagi mereka.
Prinsip persamaan dalam merealisasikan pajak
Prinsip ini untuk menjamin keadilan pajak dalam bentuk yang ideal. Hal ini untuk menghindari penyimpangan perpajakan. Namun, prinsip ini tampak tidak jelas dalam hukum ekomomi bila dibandingkan dengan hukum keuangan Islam., di mana hukum Islam sesuai dengan prinsip persamaan dalam merealisasikan pajak.
2.    Kaidah kepercayaan atau keyakinan
Menurut Adam Smith pajak harus berdasarkan keyakinan. Dengan demikian segala hal yang berkaitan dengan nilai harga, nisab, kadar, waktu dan tindakan – tindakan penghasilan yang berkaitan dengan pajak harus jelas. Batasan pajak ada pada tindakan-tindakan untuk terjadinya perubahan atau keadilan, kecuali dalam keadaan yang sulit, maka seorang mukallaf akan ikut mengatur kebutuhan pangan dan kewajiban materi.
Dan batasan-batasan tidak jelas bagi pajak yang bisa mendatangkan kezaliman, kesewenang-wenangan, kerusakan, lebih-lebih bagi para pelaksana administrasi dan pelaksana perpajakan serta dapat menggoncangkan semangat kerja, situasi keuangan dan kepercayaan yang dipegang oleh pejabat perpajakan terhadap pajak yang dibayarkan masyarakat .
3.    Kaidah keselarasan
Teori ini menghendaki agar hukum yang berkaitan dengan pajak itu sesuai dengan kondisi muslim mukallaf, khususnya yang berkaitan dengan batasasn waktu dan sebab-sebab penarikan zakat.
a.    Dari segi batasan waktu penarikan pajak
Ketentuan pajak hendaknya sesuai dengan situasi dan kondisi keuangan dan kehidupan masyarakat, seperti waktu penghasilan atau setelah memperoleh penghasilan.
b.    Dari segi cara penarikan pajak
Kaidah keselarasan itu menghendaki layanan penarikan pajak yang maksimal sesuai keadaaan muslim mukallaf, sehingga dia tidak merasa berat membayar pajak.
4.    Kaidah Ekonomi (Moderasi)
Kaidah ini menghendaki agar sikap pemborosan dan upaya maksimal dalam memperoleh hasil pajak atau sarana lain dalam perpajakan, seperti mata uang, transportasi dan inventarisasi, atau yang berkaitan dengan kebutuhan pembayar pajak dihindari sehingga manfaat pajak itu dapat direalisasikan dengan memperkaya hasil pajak. 
b.    Kaidah- kaidah beban zakat menurut perspektif  ekonomi Islam
1.    Kaidah keadilan dan persamaan
Keadilan beban keuangan dalam zakat itu dapat menyelamatkan sistem ekonomi Islam dalam hal pembebanan. Keadilan zakat yang hakiki menghendaki kesesuaian antara beban dan kemampuan. Untuk mewujudkan kaidah keadilan dan persamaan dalam zakat hukum keuangan, Islam mengambil dasar-dasar prinsip sebagai berikut :
Prinsip umum dalam merealisasikan zakat
Hukum keuangan Islam berpedoman pada prinsip-prinsip umum dalam mewajibkan zakat, baik itu terhadap individu atau harta dalam bentuk yang jelas nilai keadilannya. Zakat adalah beban harta dan kewajiban setiap muslim mukallaf, laki-laki atau wanita, kecil atau dewasa, berakal, selama memiliki satu nisab dan memenuhi syarat membayar zakat. Seperti pendapat Imam Ibnu Hazm : bahwa zakat itu kewajiban bagi laki-laki dan perempuan, kecil, dewasa, berakal atau yang gila,semua itu bertujuan untuk memperoleh kebersihan dari Allah dan kesucianNya bagi manusia. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman : Ketahuilah sesungguhnya Allah mewajibkan zakat kepada mereka yang diperoleh dari orang kaya dan diberikan kepada orang fakir.
Prinsip kesatuan dalam merealisasikan zakat
Hukum keuangan Islam lebih dulu ada dan lebih banyak realisasinya terhadap prinsip kesatuan dalam zakat. Hakekat realisasi zakat dalam ekonomi Islam adalah pembebanan yang sama dalam zakat. Bukti adanya kesatuan dalam merealisasikan beban zakat adalah sebagai berikut :
•    Tidak adanya beban ganda dalam membayar zakat
•    Memelihara situasi dan kondisi kehidupan muslim mukallaf.
•    Memperhatikan sumber pemasukan.
•    Mengikuti sistem kenaikan harga dalam zakat.
Prinsip keseimbangan dalam merealisasikan zakat
Hukum keuangan Islam telah menyandarkan prinsip ini menuju pada keumuman keadilan dan beban pajak. Hukum keuangan Islam menegakkan prinsip kehati-hatian secara mutlak dan menjaga diri dari kedzaliman. Hukum keuangan Islam itu pada dasarnya terdapat keseimbangan dalam menerapkan beban kewajiban zakat dan macam-macamnya, antara lain :
•    Keseimbangan etika, bahwa penarik zakat itu harus orang yang profesional, terpercaya, ahli takwa dan adil;
•    Keseimbangan administrasi yang profesional, bahwa penarik zakat itu ahli administrasi dan bisa bergaul dengan masyarakat;
•    Keseimbangan reputasi keilmuan, bahwa penarik zakat harus intelektual dan ahli tentang zakat;
•    Keseimbangan intelektual, penarik zakat harus benar-benar intelektual, menguasai ilmu hukum dan kewajiban-kewajiban lain sebagai mukallaf.
2.    Kaidah keyakinan
Pemahaman beban keyakinan yang disandarkan kepada zakat itu berdasarkan ketetapan hadist nabi. Inilah yang menyebabkan zakat itu lebih konsisten, jelas, terinci nisabnya, ketentuannya, alokasinya dibanding sistem pajak yang berdasarkan atas pemahaman keyakinan terhadap kebijakan kekuasaan, kebijakan kelompok atau tindakan –tindakan para pejabat yang menyebabkan hukum pajak selalu berubah dan mengarah pada kesewenang-wenangan oknum yang mengatasnamakan upaya untuk merealisasikan kesejahteraan umum ketikan memberlakukan hukum.
Hadis Nabi telah menjelaskan tentang situasi dan kondisi tindakan-tindakan kewajibannya, misalnya tentang harga barang, asal bukan situasi yang dikaitkan dengan zakat tanaman atau buah-buahan.
3.    Kaidah keseimbangan
Kaidah ini besar nilainya apabila dikaitkan dengan hukum keuangan Islam, baik mengenai pengalokasian zakat maupun sistem penarikannya. Apabila dikaitkan dengan waktu penarikan zakat, maka hukum keuangan Islam mewajibkan penarikan zakat itu bila sudah dalam satu tahun sesuai sabda Nabi : tidak wajib zakat pada harta sehingga sudah satu tahun. Sebab zakat tidak di ambil bila sudah berkembang dan waktunya harus satu tahun. Namun terkadang waktu membayar zakat itu setelah harta menjadi berkembang atau waktu panen seperti tanaman dan buah-buahan, perkembangannya di sini adalah waktu panen bukan satu tahun.
Hukum keuangan Islam memperbolehkan diakhirkannya penarikan zakat karena beberapa sebab. Seperti yang dilakukan oleh umar bin khattab pada musim paceklik dimana beliau menanggungkan penarikan zakat ketahun depan kemudian dikumpulkan dari 2 tahun silam. Berdasarkan pendapat imam syafi’i dan ahmad, bahwa Imam Abu Hanifah dan Malik itu mewajibkan zakat tunggal.
4.    Kaidah ekonomi (moderasi)
Apabila dikaitkan dengan kaidah ini, hukum keuangan islam, lebih banyak nilai ekonomi dan keadilannya, khususnya yang berkaitan dengan masalah keuangan, penghasilan yang dikumpulkan, dialokassikan atau menginfakkan hartanya, individu atau kelompok maupun harta umum atau individu.
Apabila dikaitkan dengan zakat, maka hukum islam sangat berkompeten untuk tidak berbuat aniaya dalam menarik zakat, baik dari para amilnya atau dari wajib zakat serta melarang menerima hadiah sebagai pekerja penarik zakat. Ada peraturan ekonomi dalam penarikan zakat, diantaranya adalah tidak adanya paksaan pemerintah untuk menarik zakat. Umar bin abdul aziz telah membatasi sebagai mana dalam suratnya tentang bagian para amil. Dia melihat orang yang benar-benar berusaha untuk menarik zakat dengan terpercaya. Dia akan diberi gaji sesuai dengan kerjanya menghimpun zakat. Para pegawai akan digaji bila mereka bekerja dengan para amil sesuai wilayah mereka dalam menarik zakat, mungkin bagian mereka itu seperempat bagian ini.



C.    Peta Konsep








                                   













D.    Kesimpulan
Mengingat kedudukan dan fungsi zakat dan pajak yang sangat berbeda itu maka ada beberapa alasan tidak disetujuinya pendapat bahwa ketetapan kumulatif atas zakat dan pajak pada umumnya disamakan (diqiyaskan) dengan ketetapan beban kumulatif atas zuru’ (zakat hasil tanaman) dan kharaj (pajak bumi milik penduduk non-muslim di daerah pendudukan pasukan Islam). Pengelolaan zakat ditangan pemerintah adalah lebih efektif dan efisien dari pada ditangan badan-badan amil zakat non pemerintah yang tidak terbatas jumlahnya seperti sekarang ini. Pengelolaan zakat harus ditangani oleh aparat pemerintahan atau orang-orang yang beriman, berakhlak berilmu agama dan umum, dan berketerampilan management yang modern dengan open management dan juga Pengelolaan zakat dan pajak di tangan pemerintah bisa lebih menguntungkan bagi pemerintah (penerimaan pendapatan bisa bertambah) dan juga bagi wajib zakat dan pajak (zakat dan pajaknya sah dipenuhi dengan mendapat sedikit keringanan).

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Gustian.2006. Pelaporan Zakat Pengurangan Zakat Penghasilan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Muhammad, Sahri. 2006. Mekanisme Zakat dan Permodalan Masyarakat Miskin. Malang: Bahtera Pers
Sudirman.2007.  Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas. Malang : UIN Press
Zuhdi, Masjfuk.1987. Pengantar hukum Syari’ah. Jakarta: CV Haji Masagung
Khallaf, Abdul Wahab. 1972. Ilmu Ushul Fiqh, Al-Majlis al-Alla al-Indonesia
Inayah, Gazi. 2003. Teori Komprehensif Tentang Zakat dan Pajak. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya

ZAKAT KONSUMTIF DAN ZAKAT PRODUKTIF


ZAKAT KONSUMTIF DAN ZAKAT PRODUKTIF

A. Pendahuluan
1. Kronologi Permasalahan
Di Indonesia, selama ini dalam menyalurkan Zakat, Muzakki belum bisa membedakan mana Mustahiq yang layak diberi zakat konsumtif dan mana yang diberi zakat produktif. Sehingga yang seharusnya Mustahiq yang mendapat zakat produktif malah mendapat zakat konsumtif maka tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Sebenarnya pembicaraan tentang zakat produktif kian hari makin hangat dibicarakan, baik itu di kalangan akademisi, praktisi bahkan telah menyentuh lapisan masyarakat umum. Munculnya pembicaraan tentang zakat produktif ini, agaknya tidak terlepas dari kekecewaan masyarakat tentang zakat yang seyogyanya adalah salah satu elemen penting dalam mengentaskan kemiskinan yang juga tidak kunjung terlihat membuahkan hasil dalam mengurangi angka kimiskinan di Indonesia. Karena sistem pendistribusian zakat yang ada selama ini hanya digunakan untuk hal-hal konsumtif saja.
Sebenarnya zakat produktif ini bukan lagi barang baru. Penyaluran zakat secara produktif ini pernah terjadi dan dilakukan di zaman Rasulullah SAW. Hal ini dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, “bahwa Rasulullah telah memberikan zakat kepadanya lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi”.
Zakat produktif juga bukan jenis zakat baru. Zakat pruduktif ini lebih kepada tata cara pengelolaan zakat, dari yang sebelumya hanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif dan pemenuhan kebutuhan sesaat saja, lalu diubah penyaluran dana zakat yang telah dihimpun itu kapada hal-hal yang bersifat produktif dalam rangka pemberdayaan umat. Dengan kata lain dana zakat tidak lagi diberikan kepada mustahik lalu habis dikonsumsi. Akan tetapi dana zakat itu diberikan kepada mustahik untuk mengembangkan sebuah usahaproduktif dimana pelaksanaanya tetap dibina dan dibimbing olehpihak yang berwenang.
Jika kita tetap bertahan pada sistem pendistribuisan zakat yang bersifat konsumtif maka kenginan dan cita-cita untuk cepat mengurangi dan menghapus kemiskinan di ranah Indonesia ini hanya akan jadi mimpi belaka. Karena mustahik yang menerima zakat pada tahun ini akan kembali menerima zakat pada tahun tahun berikutnya. Dengan kata lain, mustahik saat ini akan melahirkan mustahik-mustahik baru dari keturunanya. Hal ini tentu tidak akan bisa menggambarkan bahwa zakat itu adalah salah satu media untuk mencapai pemerataan kesejahtaraan masyarakat.
Nah, jika kita mau sedikit merubah tata cara pendistribusian zakat kepada yang bersifat produktif, maka diharapkan zakat sebagai salah satu instrumen penting kebijakan fiskal Islam akan dapat mengurangi atau bahkan mengahapuskan kemiskinan di Republik ini. Kita berharap dengan adanya zakat produktif ini akan bisa memunculkan muzakki-muzakki baru. Dengan bahsa lain, mereka yang tahun ini adalah penerima zakat mungkin dengan adanya zakat produktif akan bisa membayar zakat satu, dua atau tiga tahun ke depan. Tidak hanya itu, dengan adanya kebijakan zakat prduktif ini juga akan bisa mengenjot laju pertumbuhan ekonomi umat.
Bukankah salah satu tujuan disyaria’tkannya zakat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umat khususnya kaum du’afa, baik dari segi moril maupun materil. Penyaluran zakat secara produktif adalah salah satu cara cerdas untuk meujudkan itu semua.
Dari permasalahan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa selama ini masyarakat indonesia kurang mengetahui dan memahami tentang zakat produkrif dan selama ini mereka menyalurkan zakat kepada yang berhak menerima zakat hanya bersifat konsumtif saja padahal perlu dibedakan mana yang berhak mendapat zakat konsumtif dan produktif. Selama ini Indonesia telah mengalami peningkatan jumlah angka kemiskinan. Untuk bisa mengatasi permasalahan tersebut maka perlu adanya kajian tentang zakat konsumtif dan produktif agar masyarakat indonesia membedakan Mustahik yang berhak menerima zakat konsumtif dan mana yang Produktif. Sehingga Muzakki tidak hanya mengelauaran zakat yang bersifat konsumtif saja tapi juga bisa mengelauarkan zakat bersifat produktif karena dengan adanya hal tersebut dapat membantu permasalahan kemiskinan dinegara kita.
1.1    Pembagian Zakat Berdarah di Pasuruan
     Pembagian zakat yang dilakukan seorang pengusaha pasuruan, H.Syaikon, dikediamannya RT 03 RW IV, Kelurahan Purutrejo, Kecamatan Purworejo, Pasuruan senin (15/9) berubah menjadi petaka. sebanyak 21 warga tewas akibat berdesakan dan terinjak-injak.
     Pembagian zakat tersebut bukan kali pertama dilaksanakan.
tahun-tahun sebelumnya,kegiatan serupa juga dilakukan keluarga H Syaikon. Jumlah kaum duafa yang datang dalam kegiatan tersebut jumlahnya mencapai ribuan,dan tidak hanya terbatas bagi mereka yang berasal dari Pasuruan, namun warga dari berbagai daerah sekitarnya.
     Mereka mengharap akan mendapatkan zakat uang yang nilainya 10.000 sampai 40.000.informasi tentang kegiatan yang biasa dilaksanakan tanggal 15 Ramadhan ini sudah santer beredar, bahkan disiarkan salah satu stasiun radio setempat. sejak subuh warga sudah mulai berdatangan menuju rumah Syaikon. banyak kalangan menyesalkan terjadinya insiden dalam pembagian zakat di Pasuruan Jatim tersebut yang mengakibatkan 21 nyawa melayang sia-sia. Kasus memilukan ini diharapkan yang terakhir terjadi dan tidak terjadi lagi dimasa yg akan datang bahkan menteri agama Maftuh Basyuni merasa geram dengan insiden tersebut. agar hal serupa tidak terulang, MENAG meminta pihak-pihak yang ingin memberikan zakat agar menyalurkannya kelembaga yang sudah ada,seperti badan amil zakat. KAPOLRI Jenderal Pol Sutanto mengimbau para Muzakki mengubah cara penyaluran zakat,lebih bagus mendatangi warga yang hendak diberi zakat.jangan pakai diumumkan karena nanti berdatangan bnyak dan tidak terkendali warga yang datang berebutan melewati satu-satu nya pintu yang tersedia.akibatnya suasana didalam gang menjadi kisruh ,saling desak dan saling injak terjadi. maka terjadilah insiden berdarah yang mengakibatkan 21 kaum duafa tewas.yang kebanyakan adalah para lanjut usia (lansia) dan ibu-ibu. korban tewas kemudian dibawa ke RSUD R Soedarsono Purut Pasuruan. Keluarga H Syaikon sejak awal sebenarnya sudah diperikatkan mengenai mekanisme penyaluran zakat ini. Walikota Pasuruan Aminurrohman Senin siang mengunjungi RSUD R Soedarsono menyatakan keprihatinannya dan sangat menyayangkan penyelenggara tidak melakukan koordinasi dengan Pemkot maupun aparat keamanan hingga berita ini diturunkan H Syaikon belum ditahan. tapi polisi memeriksanya bersama belasan orang lainnya yang terlibat sebagai panitia pembagian zakat. pemeriksaan masih berjalan dan Kasat Reskrim Polresta Pasuruan AKPA Sunarto mengatakan,bila terbukti mereka akan dikenakan pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang meninggal dunia atau luka-luka. dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.

Dikutip dari Solo Pos 16 september 08


B. Substansi kajian
1. Kajian teori
a.    Pengertian Zakat Bersifat Konsumtif
Zakat yang bersifat konsumtif adalah harta zakat secara langsung diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu dan sangat membutuhkan, terutama fakir miskin. Harta zakat diarahkan terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, seperti kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal secara wajar.
Kebutuhan pokok yang bersifat primer ini terutama dirasakan oleh kelompok fakir, miskin, gharim, anak yatim piatu, orang jompo/ cacat fisik yang tidak bisa berbuat apapun untuk mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya. Serta bantuan-bantuan lain yang bersifat temporal seperti: zkat fitrah, bingkisan lebaran dan distribusi daging hewan qurban khusus pada hari raya idul adha. Kebutuhan mereka memang nampak hanya bisa diatasi dengan menggunakan harta zakat secara konsumtif, umpama untuk makan dan minum pada waktu jangka tertentu,pemenuhan pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan hidup lainnya yang bersifat mendesak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan fakir miskin yang mendapatkan harta secara konsumtif adalah mereka yang dikategorikan dalam tiga hal perhitungan kuantitatif, antara lain: pangan, sandang dan papan. Pangan asal kenyang, sandang asal tertutupi dan papan asal untuk berlindung dan beristirahat. Pemenuhan kebutuhan bagi mereka yang fakir miskin secara konsumtif ini diperuntukkan bagi mereka yang lemah dalam bidang fisik, seperti orang-orang jompo. Dalam arti kebutuhan itu, pada saat tertentu tidak bisa diatasi kecuali dengan mengkonsumsi harta zakat tersebut.
Nabi dalam suatu haditsnya mengenai zakat konsumtif ini, hanya berkaitan dengan pelaksanaan zakat fitrah, di mana pada hari itu (hari raya) keperluan mereka fakir miskin harus tercukupi.

Bunyi Hadits:
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Artinya:“Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho’ kurma atau satu sho’ sya’ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, besar kecil dari orang-orang islam, dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat Ied”. (Muttafaq Alaihi).
Dalam penjelesan hadits di atas dapat dipahami bahwa zakat yang dikeluarkan pada waktu hari raya dapat membantu secara psikologis yaitu menghilangkan beban kesedihan pada hari raya tersebut, juga secara objektif memang ada kebutuhan yang mendesak yang bersifat konsumtif yang harus segera disantuni dan dikeluarkan dari harta zakat. Dalam arti kebutuhan itu pada saat tertentu tidak bisa diatasi kecuali dengan mengkonsumsi harta zakat tersebut. Dalam keadaan demikian harta zakat benar-benar didaya gunakan dengan mengkonsumsinya (menghabiskannya), karena dengan cara itulah penderitaan mereka teratasi.
b. Pengertian Zakat Bersifat Produktif
Kata produktif secara bahasa berasal dari dari bahasa inggris “productive” yang berarti banyak menghasilkan; memberikan banyak hasil; banyak menghasilkan barang-barang berharga; yang mempunyai hasil baik. “productivity” daya produksi.
Secara umum produktif berarti “banyak menghasilkan karya atau barang.” Produktif juga berarti “banyak menghasilkan; memberikan banyak hasil.”
Pengartian produktif dalam karya tulis ini lebih berkonotasi kepada kata sifat. Kata sifat akan jelas maknanya apabila digabung dengan kata yang disifatinya. Dalam hal ini kata yang disifati adalah kata zakat, sehingga menjadi zakat produktif yang artinya zakat dimana dalam pendistribusiannya bersifat produktif lawan dari konsumtif
Lebih tegasnya zakat produktif dalam karya tulis ini adalah pendayagunaan zakat secara produktif yang pemahamannya lebih kepada bagaimana cara atau metode menyampaikan dana zakat kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas, sesuai dengan ruh dan tujuan syara’. Cara pemberian yang tepat guna, efektif manfaatnya dengan sistem yang serba guna dan produktif, sesuai dengan pesan syari’at dan peran serta fungsi sosial ekonomis dari zakat.
Zakat produktif dengan demikian adalah pemberian zakat yang dapat membuat para penerimanya menghasilkan sesuatu secara terus menerus, dengan harta zakat yang telah diterimanya. Zakat produktif dengan demikian adalah zakat dimana harta atau dana zakat yang diberikan kepada para mustahik tidak dihabiskan akan tetapi dikembangkan dan digunakan untuk membantu usaha mereka, sehingga dengan usaha tersebut mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup secara terus-menerus.
c. Dasar Hukum Zakat Konsumtif dan Produktif
1. Dasar Hukum Zakat Konsumtif
Zakat yang bersifat konsumtif antara lain dinyatakan antara lain dalam surah Al-Baqarah ayat 273:
                    •             
Artinya: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) dimuka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu mengenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apasaja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka sesungguhnya Allah maha mengetahui.”
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang menerima zakat konsumtif adalah orang yang tidak bisa berbuat sesuat untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, seperti: orang jompo, fakir miskin, orang cacat, anak yatim piatu dan garim.
A. Tafsir surat Al-Baqarah ayat 273
     Dalam ayat ini Allah swt. menyebutkan ciri-ciri dan hal-ihwal orang-orang yang lebih berhak untuk menerima sedekah, yaitu:
1. Mereka yang dengan ikhlas telah mengikatkan diri pada tugas dalam rangka jihad fisabilillah sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lain untuk mencari rezekinya. Misalnya yang menjadi kaum Muhajirin, yang pada permulaan Islam adalah termasuk fakir miskin, karena telah meninggalkan harta benda mereka di Mekah untuk dapat berhijrah ke Madinah demi mempertahankan dan mengembangkan agama Islam. Dan mereka sering bertempur di medan perang, menangkis kezaliman orang-orang kafir.
2. Fakir miskin yang tidak mampu berusaha, baik dengan berdagang maupun dengan pekerjaan lainnya karena mereka sudah lemah, atau sudah lanjut usia atau karena sebab-sebab lainnya.
3. Fakir miskin yang dikira oleh orang-orang lain sebagai orang-orang berkecukupan lantaran mereka itu sabar dan menahan diri dari meminta-minta.
     Fakir miskin tersebut dapat diketahui kemiskinan mereka dari tanda-tanda atau gejala-gelaja yang tampak pada diri mereka. Mereka sama sekali tidak mau meminta-minta atau kalau mereka minta tidak dengan sikap yang mendesak atau memaksa-maksa.
     Dalam hubungan ini Rasulullah saw. pernah bersabda:

ليس المسكين الذي ترده اللقمة و اللقمتان إنما المسكين الذي يتعفف اقرءوا إن شئتم : لا يسألون الناس إلحافا

Artinya:
Yang dinamakan "orang miskin" itu bukanlah orang yang mau diberi sesuap atau dua suap makanan, orang miskin yang sebenarnya ialah orang yang di rumahnya senantiasa menjaga martabat dirinya. Jika kamu mau bacalah firman Allah yang mengatakan: "Mereka itu tidak mau meminta-minta kepada orang lain dengan cara mendesak."
(HR Bukhari dari Abi Hurairah) 
     Di dalam agama Islam, mengemis atau meminta-minta itu tidak dibolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Rasulullah saw.telah bersabda:

المسألة لا تحل إلا لثلاثة : لذي فقر مدفع و لذي غرم مفظع أو لذي دم موجع
Artinya:
Meminta hanya diperbolehkan pada tiga keadaan; pada saat-saat orang mengalami kemiskinan yang sangat, atau mempunyai utang yang berat, atau bagi orang yang memegang diyat yang menyedihkan.
(HR Ahmad, Ibnu Majah, dan At Tirmizi.)

     Dalam hubungan infak, yaitu zakat dan sedekah, perlu ditegaskan di sini hal-hal sebagai berikut:
1. Agama Islam telah menganjurkan kepada orang-orang yang berharta agar mereka bersedekah kepada fakir miskin. Dan apabila bersedekah hendaklah diberikan barang yang baik, berupa makanan, pakaian dan sebagainya. Dan tidak boleh disertai dengan kata-kata yang menyakitkan hati. Ringkasnya, fakir miskin itu haruslah diperlakukan sebaik mungkin.
2. Akan tetapi dengan ketentuan-ketentuan tersebut tidaklah berarti bahwa agama Islam memperbanyak fakir miskin dan memberikan dorongan kepada mereka untuk mengemis dan selalu mengharapkan sedekah orang lain sebagai sumber rezeki mereka. Sebab, walaupun di satu pihak agama Islam mewajibkan zakat dan menganjurkan sedekah kepada orang-orang kaya untuk fakir miskin, namun di lain pihak, Islam menganjurkan kepada fakir miskin ini untuk berusaha melepaskan diri dari kemiskinan itu, sehingga hidup mereka tidak lagi tergantung kepada sedekah dan pemberian orang lain. Dalam hubungan ini kita dapati banyak ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Rasulullah yang memberikan anjuran-anjuran untuk giat bekerja, menghilangkan sifat malas dan lalai, serta memuji orang-orang yang dapat mencari rezekinya dengan usaha dan jerih payahnya sendiri. Allah swt. berfirman:


إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S Ar Ra'du: 11) 
     Yang dimaksudkan dengan "apa yang terdapat pada diri mereka" itu antara lain ialah sifat-sifat yang jelek yang merupakan sebab bagi kemiskinan mereka itu. Misalnya sifat malas, lalai, tidak jujur, tidak mau belajar untuk menuntut ilmu pengetahuan dan memiliki kecakapan bekerja, dan sebagainya. Apabila mereka merubah sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat yang baik, yaitu rajin bekerja, maka Allah akan memberikan jalan kepadanya untuk perbaikan kehidupannya. Dalam ayat lain, Allah swt. berfirman:


فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ

Artinya:
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah. (Al Jum'ah: 10)
Rasulullah saw. memuji orang-orang yang memperoleh rezekinya dari hasil jerih payah dan keringatnya sendiri. Beliau bersabda: "Makanan yang terbaik untuk dimakan seseorang ialah dari hasil kerjanya sendiri."
     Dan untuk mempertinggi harga diri serta menjauhkannya dari meminta-minta atau mengharapkan pemberian orang lain, maka Rasulullah saw. bersabda:


اليد العليا خير من اليد السفلي

Artinya:
Tangan yang di atas (yaitu tangan yang memberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (yaitu tangan yang menerima sedekah atau pemberian orang lain).  (HR Bukhari dan Muslim) 
     Demikianlah, agama Islam menghendaki orang-orang yang mempunyai harta suka membantu fakir-miskin, sebaliknya, Islam menuntun fakir miskin agar berusaha keras untuk melepaskan diri dari kemiskinan itu.

2. Dasar Hukum Zakat Produktif
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan zakat produktif di sini adalah pendayagunaan zakat dengan cara produktif. Hukum zakat produktif pada sub bab ini dipahami hukum mendistribusikan atau memberikan dana zakat kepada mustahiq secara produktif. Dana zakat di berikan dan di pinjamkan untuk dijadikan modal usaha bagi orang fakir, miskin, dan orang-orang yang lemah.
Al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’ tidak menyebutkan secara tegas tentang cara pemberian zakat apakah dengan cara konsumtif atau produktif. Dapat dikatakan tidak ada dalil naqli dan sharih yang mengatur tentang bagaimana pemberian zakat itu kepada para mutsahik. Ayat 60 surat al-Taubah (9), oleh sebagian besar ulama’ dijadikan dasar hukum dalam pendistribusian zakat.  Namun ayat-ayat ini hanya menyebutkan pos pos di mana zakat harus diberikan. Tidak menyebutkan cara pemberian zakat kepada pos-pos tersebut.
                          
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk oarang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang -orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana,”(QS. At-Taubah: 60)

Teori hukum Islam menunjukkan bahw dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak jelas rinciannya dalam Al-Qur’an atau petunjuk yang ditinggalkan Nabi SAW, penyelesaiaanya adalah dengan metode Ijtihad. Ijtihad atau pemakaian akal dengan tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam sejarah hukum Islam dapat dilihat bahwa Ijtihad diakui sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an dan Hadits. Apalagi problematika zakat tidak pernah absen, selalu menjadi topik pembicaraan umat Islam, topik aktual dan akan terus ada selagi umat Islam ada. Fungsi sosial, Ekonomi, dan pendidikan dari zakat bila dikembangkan dan di budidayakan dengan sebaik-baiknya akan dapat mengatasi masalah sosial, Ekonomi, dan pendidikan yang sedang dihadapi bangsa.
Disamping itu zakat merupakan sarana, bukan tujuan karenanya dalam penarapan rumusan-rumusan tentang zakat harus ma’qulu al ma’na, rasional, ia termasuk bidang fiqh yang dalam penerapannya harus dipertimbangkan kondisi dan situasi serta senafas dengan tuntutan da pekembangan zaman, (kapan, dan di mana dilaksanakan). Menurut Ibrahim Hosen, hal demikian adalah agar tujuan inti pensyari’atan Huku Islam yaitu jablu al-ma-shalihi al- ibad (menciptakan kemaslahatan umat) dapat terpenuhi, dan dengan dinamika fiqh semacam itu, maka hukum Islam selalu dapat tampil ke depan untuk menjawab segala tantangan zaman.
Dengan demikian berarti bahwa teknik pelaksanaan pembagian zakat bukan sesuatu yang mutlak, akan tetapi dinamis, dapat disesuaikan dengan kebutuhan di suatu tempat. Dalam artian peubahan dan perbedaan dalam cara pembagian zakat tidaklah dilarang dalam Islam  karena tidak ada dasar hukum yang secara jelas menyebutkan cara pembagian zakat tersebut.
Di Indonesia misalnya, BAZIS DKI jakarta berdasarkan hasil lokakarya zakat, menentukan kebijakan pembagian zakat sebagai berikut:
1.    Pembagian zakat harus bersifat edukatif, produktif dan ekonomis, sehingga pada akhirnya penerima zakat menjadi tidak memerlukan zakat lagi, bahkan menjadi wajib zakat.
2.    Hasil pengumuman zakat selama belum dibagikan kepada mustahiq dapat  merupakan dana yang bisa dimanfaatkan bagi pembangunan, dengan disimpan dalam bank pemarintah berupa deposito, sertifikat atau giro biasa.
Menurut penulis, kebijakan BAZIS dengan memproduktifkan dana zakat ini adalah agar zakat berguna dan berdaya guna bagi masyarakat. Khususnya fuqara’-masakin dan dhu’afa. Demikian pula KH. Sahal (di pati), melalui banada pengembangan masyarakat pesantren (BPPM) melaksanakan pengelolaan dana zakat kepada kaum fakir miskin melalui pendekatan kebutuhan dasar ini. Lebih jauh menurut kiai Sahal:
Pendekatan kebutuhan dasar bertujuan mengetahui kebutuhan dasar masyarakat (fakir miskin), sekaligus mengetahui apa latar belakang kemiskinan itu. Apabila si miskin itu mempunyai ketrampilan menjahit, maka diberi mesin jahit, kalau ketrampilannya mengemudi becak, si fakar miskin itu diberi becak. Maka dalam hal ini, memberi motivasi kepada masyarakat miskin juga merupakan sesuatu yang sangat mendasar, agar mereka mau berusaha dan tidak sekedar menunggu uluran tangan orang kaya. Dalam hal ini dilakukan secara rill oleh beliau dengan penuturannya: “pernah satu kali saya mencobanya terhadap seorang pengemudi  becak di kebupaten pati, saya lihat dia tekun mangkal di pasar untuk bekerja sebagai tukang becak. Pada saat pembagian zakat tiba, saya zakati dia. Hasil zakat bula syawal itu berupa zakat mal, zakat fitrah dan infaq.” Semua saya kumpulkan dan sebagian saya belikan ecak untuknya. Sebelumnya dia hanya mengemudikan becak milik orang non pribumi, namun sekang dia telah memiliki dua buah becak. Usaha itu berkembang dan sehari-hari ia tidak harus mengemudikan becak dengan mengejar setoran. Dengan mengemudikan becak sampai jam tiga sore, hasilnya sudah cukup untuk makan da untuk menjaga kesehatan, setelah itu ia bisa kumpul-kumpul mengikuti pengajia. Dengan cara ini, meskipun dia tidak menjadi kaya, tetapi jelas ada perubahan.
KH. Sahal juga melembagakandana zakat melalui koperasi. Dana zakat yang terkumpul tidak langsung diberikan dalam bentuk uang. Mustahiq  diserahi zakat berupa uang, tetapi kemudian ditarik kembali sebagai tabungan si miskinuntuk keperluan pengumpulan modal. Menurutnya cara ini, mereka (fakir miskin) dapat menciptakan pekerjaan dengan modal  yang dikumpulkan dari harta zakat.
Salah satu tujuan zakat adalah adalah agar harta benda tidak menumpuk pada satu golongan saja, dinikmati orang-orang kaya sedang orang-orang miskin pada larut dengan ketidakmampuan dan hanya menonton saja. Padahal orang kaya tidak akan ada dan tidak sempurna hidupnya tanpa adanya orang-orang miskin. Disebitkan bahwa:
“Zakat itu adalah milik bersama, karena mendapatkannya atas usaha bersama masyarakat. Orang yang kaya tidak akan ada kalau tidak adad orang miskin. Seorang pedagang tidak akan sukses menjadi konglomerat bila tidak ada pembeli, distributor dan para karyawab. Uang itu ibarat darah dalam tubuh manusia. Jika darah tidak menjangkau seluruh bagian anggota tubuh, di mana sebagia anggota tubuh kebagian terlalu banyak sehingga bagian yang lain mendapatkan terlalu sedikit, maka badan menjaddi sakit dan terserang penyakit”.
Artinya dalam berbagai bidang kehidupan fakir miskin harus diperhitungkan dan diikiut sertakan aalagi jumlah mereka tidaklah sedikit. Di bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan lainya, agar tidak terjadi gejolak ekonomi, kesenjangan sosial dan masyarakat yang terbelakangkarena kebodohan dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan zakat produktif. Karena bila zakat selalu atau semuanya diberikan dengan cara konsumtif, maka bukannya mengikutsertakan mereka tetapi malah membuat mereka malas dan selalu berharap kepada kemurahan hati si kaya, membiasakan mereka tangan dibawah, meminta dan menunggu belas kasihan, padahal ini sangat tidak di sukai dalam ajaran agama Islam.
d. Analisis Hukum Islam terhadap Zakat Konsumtif dan Pendayagunaan Zakat Produktif
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa pendayagunaan harta zakat secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pendayagunaan harta zakat dalam bentuk konsumtif dan pendayagunaan harta zakat dalam bentuk produktif. Maksud konsumtif disini adalah harta zakat secara langsung diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu dan sangat membutuhkan, terutama fakir miskin. Harta zakat diarahkan terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, seperti kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal secara wajar.
Kebutuhan pokok yang bersifat primer ini terutama dirasakan oleh kelompok fakir, miskin, gharim, anak yatim piatu, orang jompo/ cacat fisik yang tidak bisa berbuat apapun untuk mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya. Serta bantuan-bantuan lain yang bersifat temporal seperti: zkat fitrah, bingkisan lebaran dan distribusi daging hewan qurban khusus pada hari raya idul adha. Kebutuhan mereka memang nampak hanya bisa diatasi dengan menggunakan harta zakat secara konsumtif, umpama untuk makan dan minum pada waktu jangka tertentu,pemenuhan pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan hidup lainnya yang bersifat mendesak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan fakir miskin yang mendapatkan harta secara konsumtif adalah mereka yang dikategorikan dalam tiga hal perhitungan kuantitatif, antara lain: pangan, sandang dan papan. Pangan asal kenyang, sandang asal tertutupi dan papan asal untuk berlindung dan beristirahat. Pemenuhan kebutuhan bagi mereka yang fakir miskin secara konsumtif ini diperuntukkan bagi mereka yang lemah dalam bidang fisik, seperti orang-orang jompo. Dalam arti kebutuhan itu, pada saat tertentu tidak bisa diatasi kecuali dengan mengkonsumsi harta zakat tersebut.
Nabi dalam suatu haditsnya mengenai zakat konsumtif ini, hanya berkaitan dengan pelaksanaan zakat fitrah, di mana pada hari itu (hari raya) keperluan mereka fakir miskin harus tercukupi.
Bunyi Hadits:
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Artinya: “Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho’ kurma atau satu sho’ sya’ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, besar kecil dari orang-orang islam, dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat Ied”. (Muttafaq Alaihi).
Dalam penjelesan hadits di atas dapat dipahami bahwa zakat yang dikeluarkan pada waktu hari raya dapat membantu secara psikologis yaitu menghilangkan beban kesedihan pada hari raya tersebut, juga secara objektif memang ada kebutuhan yang mendesak yang bersifat konsumtif yang harus segera disantuni dan dikeluarkan dari harta zakat. Dalam arti kebutuhan itu pada saat tertentu tidak bisa diatasi kecuali dengan mengkonsumsi harta zakat tersebut. Dalam keadaan demikian harta zakat benar-benar didaya gunakan dengan mengkonsumsinya (menghabiskannya), karena dengan cara itulah penderitaan mereka teratasi.
Adapun mengenai pendayagunaan harta zakat secara produktif, sebenarnya sebagian ulamasebagaimana dalam kitab kuning, mereka sesungguhnya telah melangkah lebih jauh, di mana ketika menetapkan perlunya pemberian kepada fakir miskin untuk mencukupi kebutuhan hidup selama hidupnya, juga adanya pemberian harta zakat kepada mereka para mustahiq secara produktif.
Pengertian harta zakat secara produktif artinya harta zakat yang dikumpulkan dari Muzakkitidak habis dibagikan sesaat begitu saja untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif, melainkan harta zakat itu sebagian ada yang diarahkan pendayagunaanya kepada yang bersifat produktif. Dalam arti harta zakat itu didayagunakan (dikelola), dikembangkan sedemikian rupa sehingga bisa mendatangkan manfaat yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan orang yang tidak mampu (fakir miskin) tersebut dalam jangka panjang. Dengan harapan secara bertahap, pada suatu saat nanti ia tidak lagi masuk kepada kelompok mustahiq zakat, melainkan kelamaan menjadi muzakki.
Contoh penerapan zakat bersifat produktif ini adalah orang fakir miskin yang mempunyai ketrampilan dan kemampuan dalam berusaha diberi harta zakat menurut ukuran umumnya yang wajar, lalu kemudian dengan harta zakat tersebut si fakir miskin dapat membeli tanah/ lahan untuk digarapnya. Sehingga nantinya apabila sudah dapat hasil, keuntungannya tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Seirama dengan pendapat diatas, M.A. Mannan mengatakan, dana zakat dapat didayagunakan untuk investasi produktif, membiayai bermacam-macam proyek pembangunan dalam bidang pendidikan, pemeliharaan kesehatan, air bersih dan aktivitas-aktivitas kesejahteraan sosial lainnya, yang semata-mata untuk kepentingan fakir miskin. Pendapatan fakir miskin diharapkan bisa meningkat sebagai hasil produktivitas mereka yang lebih tinggi.
Yusuf al-Qardawi dalam kitabnya Fiqh az-Zakah, menjelaskan tentang diperbolehkannya pendayagunaan harta zakat dengan sistem Qimahyaitu penukaran benda zakat yang sudah ditentukan dalam hadits Nabi Muhammad SAW.dengan benda lain atau dengan uang tunai yang seharga. Ia mengatakan pendapat  ini disepakati oleh ulama hanafiyah dan sebagian ulama fuqaha.
Adapun alasan mereka berdasarkan pada dalil Aql dan Naql, yaitu:
1.    Qimah itu juga termasuk harta sebagaimana yang disebut dalam firman Allah QS. At-Taubah: 103:
          •          
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan (658) dan mensucikan (659) mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Tafsir surat At- Taubah ayat 103
     Menurut riwayat Ibnu Jarir bahwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya yang mengikatkan diri di tiang-tiang mesjid datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata: "Ya Rasulullah, inilah harta benda kami yang merintangi kami untuk turut berperang. Ambillah harta itu dan bagi-bagikanlah, serta mohonkanlah ampun untuk kami atas kesalahan kami." Rasulullah menjawab: "Aku belum diperintahkan untuk menerima hartamu itu." Maka turunlah ayat ini. Perintah Allah swt. pada permulaan ayat ini ditujukan kepada Rasul-Nya, yaitu agar Rasulullah saw. mengambil sebagian dari harta benda mereka itu sebagai sedekah atau zakat untuk menjadi bukti tentang benarnya tobat mereka, karena sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka dari dosa yang timbul karena mangkirnya mereka dari peperangan dan untuk menyucikan dari mereka dari sifat "cinta harta" yang mendorong mereka untuk mangkir dari peperangan itu. Selain itu sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka pula dari semua sifat-sifat jelek yang timbul karena harta benda, seperti kikir, tamak, dengki, dan sebagainya. 
     Di samping itu juga dapat dikatakan, bahwa penunaian zakat adalah juga membersihkan harta benda yang tinggal sebab pada harta benda seseorang ada hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama Islam telah ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta bendanya tetap bercampur dengan hak orang lain yang haram untuk dimakannya. Akan tetapi, bila ia mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka bersihlah harta tersebut dari hak orang lain.
     Juga terkandung suatu pengertian, bahwa menunaikan zakat itu akan menyebabkan timbulnya keberkatan pada harta yang masih tinggal, sehingga ia tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka harta benda seseorang tidak akan memperoleh keberkatan dan tidak akan berkembang biak dengan baik, bahkan kemungkinan akan ditimpa malapetaka dan menyusut sehingga lenyap sama sekali dari tangan pemiliknya sebagai hukuman.
     Allah swt. terhadap pemiliknya.  Perlu diketahui, bahwa walaupun perintah Allah swt. dalam ayat ini pada lahirnya ditujukan kepada Rasul-Nya dan turunnya ayat ini ialah berkenaan dengan peristiwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya namun ia juga berlaku terhadap semua pemimpin atau penguasa dalam setiap masyarakat kaum Muslimin untuk melaksanakan perintah Allah dalam masalah zakat ini, yaitu untuk menunggu zakat tersebut dari orang-orang Islam yang wajib berzakat dan kemudian membagi-bagikan zakat itu kepada yang berhak menerimanya. Dengan demikian, maka zakat akan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang efektif untuk membina kesejahteraan masyarakat. 
     Selanjutnya dalam ayat ini Allah swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya dan juga kepada setiap pemimpin dan penguasa dalam masyarakat agar setelah melakukan pemungutan dan pembagian zakat itu, mereka berdoa kepada Allah bagi keselamatan dan kebahagiaan pembayar zakat karena doa tersebut akan menenangkan jiwa mereka, dan akan menenteramkan hati mereka, serta menimbulkan kepercayaan dalam hati mereka bahwa Allah swt. benar-benar telah menerima tobat mereka.
     Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah swt. Maha Mendengar setiap ucapan hamba-Nya, antara lain ucapan pengakuan dosa serta ucapan doa. Dan Allah Maha Mengetahui semua yang tersimpan dalam hati sanubari hamba-Nya antara lain ialah rasa penyesalan dan kegelisahan yang timbul karena kesadaran atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
2.    Adapun Penjelasan Rasulullah SAW terhadap  ayat itu dengan hadits yang Artinya:
 “Dalam setiap 40 ekor kambing, maka zakatnya 1 ekor kambing.”
Penjelasan itu hanya untuk mempermudah orang yang punya harta dalam menyampaikan zakat saja.
Maksud dari harta zakat adalah untuk menutup kebutuhan hidup dan menjadikan orang fakir berkecukupan menyeleggarakan kemaslahatan umum baik bagi agama maupun bagi umat, hal ini mudah tercapai denga sirkulasi uang tunai atau dengan Qimah, karena lebih luwes dan lentur.
Ada sebuah peristiwa yang mana penduduk Yaman terkenal dengan industri tekstil dan pertenunan. Mengeluarkan zakat dengan bahan tekstil lebih mudah bagi mereka, sementara penduduk madinah membutuhkan pakaian. Sebagai catatan bahwa zakat yang dikirim ke madinah kala itu adalah sisa pembagian zakat bagi penduduk Yaman.
Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa pendapat Hanafiyah ini dapat diterima, karena ma’qul al-ma’nanya sesuai dengan perkembangan zaman dan dapat menjawab tuntunan kemaslahatan umat, kapan dan dimanapun berada. Sistem pendayagunaan harta zakat dengan bentuk Qimah lebih condong kepada pendapat Hanafiyah, yaitu sahnya mengeluarkan zakat dengan Qimah jika dikehendaki oleh hajat atau kemaslahatan.
Berdasarkan pada pendapat tersebut diatas, ringkasnya pendayagunaan harta secara produktif dan berdayaguna dibenarkan oleh syara’ dan sah-sah saja, selama harta zakat tersebut tetap diarahkan ke segala usaha dan bidang yang menyangkut kebutuhan manusia seutuhnya, lahiriyah dan batiniyah bagi golongan fakir miskin untuk meneyelamatkannya dari jerat ketidakmampuannya serta dapat meningkatkan harkat martabat manusiawinya.

C. Peta konsep



















D. Kesimpulan
Setelah penulis mengadakan penelaahan dan pembahasan secukupnya tentang system penentuan mustahiq dan pendayagunaan harta zakat secara produktif, kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan yang nantinya dapat dijadikan sebagai bahan renungan dan masukan khususnya bagi lembaga atau badan amil zakat yang selama ini relative belum banyak melakukan terobosan baru, antara lain:
1.    System penentuan criteria mustahiq zakat dengan skala prioritas, di peruntukan bagi pemenuhan kebutuhan terhadap delapan asnaf (mustahiq zakat) yang paling membutuhkan, bertujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, serta untuk melaksanakan fungsi alokatif pendayagunaan harta zakat dalam kebijaksanaan fiscal sangatlah tepat dan dibenarkan oleh hukum Islam.
2.    System pengelolaan dan distribusi harta zakat diarahkan kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas lagi, secara tepat guna, efektif, dan efisien, dengan pendayagunaan harta zakat serbaguna dan produktif. Dimana harta zakat yang terkumpul tidak dibagikan semua secara konsumtif, tetapi ada sebagian yang di investasikan dalam proyek produktif, dan nantinya keuntungan dari proyek tersebut dapat dan nantinya keuntungan dari proyek tersebut dapat dibagikan kepada golongan ekonomi lemah dalam bentuk modal usaha atau dana zakat. Hal ini dilakukan untuk memelihara dari bahaya inflasi akibat distribusi zakat yang membawa kecenderungan konsumtif yang lebih tinggi.
3.    Adapun pandangan hukum Islam terhadap pendayagunaan harta zakat secara produktif di benarkan oleh hukum Islam. Sepanjang tetap memperhatikan kebutuhan pokok (daruri) bagi masing-masing mustahiq zakat dalam bentuk konsumtif yang bersifat mendesak untuk segera diatasi, seperti untuk keperluan makan, sandang dan perumahan yang layak. Pendayagunaan dan pengelolaan harta zakat secara produktif berdayaguna di benarkan hukum Islam, selama harta zakat tersebut cukup banyak. Karena dengan harta zakat yang cukup itu ,bias di sisihkan untuk pendayagunaan yang bersifat produktif jangka panjang di samping konsumtif jangka pendek.

DAFTAR PUSTAKA
Bulughul Maram

Rafi’,Muinan.2001.Potensi Zakat (dari komsuntif-karikatif ke produktif-berdayaguna) Perspektif Hukum Islam.Yogyakarta: Citra Pustaka.

Asnaini.2007.Zakat Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam.Yogyakarta: pustaka belajar.

Mukhtar Sadili, amru (ed).2003.Problematika Zakat Kontemporer: Artikulasi Proses Sosial Politik Bangsa.Jakarta: Forum Zakat.

An-Nawawi. U’ta kifayah al-umr, lihat an-Nawawi, al-majmu’, VI

Yusuf al-Qaradawi, Fiqh az-Zakah, II








.