Taman

Friday, May 23, 2014

KRITIK TERHADAP TEKS (MATAN HADITS)



Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Studi Hadits
Dosen Pengampu:
 Dr. H. M. Mujab, MA


Disusun Oleh:
Farid Afri Nurmansyah
NIM. 13007759


PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Mei, 2014






A.  PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Membicarakan tentang Hadits maka kita sebagai umat muslim pasti mengetahui bahwa hadits adalah sumber rujukan kedua setelah Al-Qur’an. Posisi hadits sebagai penjelas atas arti dan maksud ayat Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW bermacam-macam bentuknya. Ia dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan maupun taqrir Nabi (pembenaran berupa diamnya beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain). Berbeda dengan Al-Qur’an yang mempunyai kepastian teks dan kepastian argument.[1]
Otentitas dan kebenaran hadits yang tidak sama dengan Al-Qur’an memunculkan permasalahan dalam hadits itu sendiri. Beberapa kitab-kitab klasik yang berisi tentang berbagai macam hadits yang telah ternotabene hadits shahih, ternyata dari beberapa tokoh Josep Schacht dengan teori projecting backnya, A. Juynboll dengan teori common linknya, Harald Motzki yang menyanggah teori Joseph Schacht dan A. Jutnboll, Imam Syafi’i dengan pemahaman hadits mukhtalifnya dan beberapa tokoh yang lain yang masih selalu memperbincangkan otentitas dan kebenaran sebuah hadits. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa di dalam hadits terdapat sanad dan matan hadits yang mana keduanya diuji kelayakannya untuk menuju predikat hadits yang shahih, dari kedua permasalahan itulah yang selama ini masih terus diperbincangkan oleh beberapa tokoh di atas.
Cara mengetahui bagaimana sebuah sanad dan matan hadits itu bisa dinyatakan sebagai hadits shahih maka harus ada pembahasan lebih lanjut tentang bagaimana sanad dan matan itu harus memiliki kualitas yang terstandar, sehingga bisa dinyatakan kalau hadits tersebut termasuk hadits shahih. Di sini penulis akan membatasi pembahasan hanya pada kritik terhadap teks (matan hadits), karena dalam pembahasan tentang sanad hadits, akan dibahas oleh kelompok lain, sehingga untuk memfokuskan pembahasan pada makalah ini, penulis hanya akan membahas tentang kritik terhadap teks (matan hadits).
Kritik dalam konteks ilmu hadits, tidak sinonim dengan istilah kritik yang secara umum digunakan oleh orientalis. Dalam perpektif orientalis, kritik dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan semacam kecaman, yang pada akhirnya dapat melahirkan pelecehan terhadap eksistensi hadits. Istilah kritik tidak berkonotasi negatif, bahkan sebaliknya berkonotasi positif. Aktivitas kritik dalam ilmu hadits dimaksudkan sebagai upaya menyeleksi hadits, sehingga dapat diketahui mana yang shahih dan mana yang tidak shahih. Dengan demikian istilah kritik berasal dari ulama hadits bukan dari dunia barat.[2]
Aktivitas kritik hadits merupakan keharusan yan dilakukan untuk memberikan keyakinan kepada umat islam untuk berupaya merealisasikan serangkaian ajaran islam dengan berpegang teguh pada hadits-hadits yang telah terbukti kesahihannya dan meninggalkan hadits-hadits yang tidak bisa diterima sebaga dasar agama. Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya penyimpangan dalam realisasi ajaran agama yang telah diajarkan oleh Rasulullah dapat diminimalisir. Kritik terhadap hadits selalu berorientasi pada dua aspek, yakni aspek pada sanad (kredibilitas rawi) dan pada aspek matan hadits (orisinilitas teks hadits).[3]
Oleh karena itu, di dalam makalah ini, penulis akan membahas beberapa sub tema yang terkait dengan pembahasan tentang kritik terhadap teks (matan hadits) yang akan disajikan lebih luas dan mendalam.


2.    Rumusan Masalah
a.    Apa pengertian kritik terhadap teks (Matan Hadits)?
b.    Bagaimana proses perkembangan kritik terhadap teks (Matan Hadits) dari era Rasulullah Hingga Kodifikasi Hadits (Abad 2-3 Hijriyah)?
c.    Apa metode dan urgensinya kritik terhadap matan Hadits?

3.    Tujuan Penulisan
a.    Agar pembaca mengetahui pengertian kritik terhadap teks (Matan Hadits).
b.    Agar Pembaca mengetahui proses perkembangan kritik terhadap teks (Matan Hadits) dari era Rasulullah Hingga Kodifikasi Hadits (Abad 2-3 Hijriyah)
c.    Agar pembaca mengetahui metode dan urgensinya kritik terhadap matan Hadits.

4.    Batasan Masalah
Agar pembahasan sistematis, terarah dan jelas, maka penulis perlu membatasi persoalan yang akan dibahas pada makalah ini, adapaun batasan-batasannya adalah:
a.    Penulis hanya menyebutkan perkembangan kritik terhadap matan hadits dari era Rasulullah Hingga Kodifikasi Hadits (Abad 2-3 Hijriyah) saja, setelahnya itu, penulis tidak akan memasukkannya di dalam makalah ini, karena adanya keterbatasan literatur.
b.    Penulis hanya menyebutkan metode kritik matan hadits dari segi objek kritiknya saja.



B.  PEMBAHASAN
1.    Kritik terhadap Teks (Matan Hadits)
a.    Pengertian Kritik terhadap Teks (Matan Hadits)
Kritik matan dipahami sebagai penelitian terhadap isi hadits, baik dari sisi teks maupun makna teks itu sendiri. Dibanding kritik sanad, kritik matan ini kurang mendapat perhatian oleh pakar hadits.[4] Padahal sebagaimana kritik sanad, kritik matan juga merupakan studi yang sangat penting. Bahkan tidak ada jaminan ketika sanadnya sehat, matannya juga sehat.
Hal ini menjelaskan bahwa hasil kritik matan hadits bisa menjadikan sebuah hadits yang sanadnya shahih, tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak shahih matannya. Muhammad Thahir al-Jawabi menjelaskan dua tujuan kritik matan, yaitu:[5]
1.    Untuk menentukan benar tidaknya matan hadits.
2.    Untuk mendapatkan pemahaman yang benar mengenai kandungan yang terdapat dalam sebuah matan hadits.
Dengan demikian, kritik matan hadits ditujukan untuk meneliti kebenaran informasi sebuah teks hadits atau mengungkap pemahaman dan interpretasi yang benar mengenai kandungan matan hadits. Dengan kritik hadits kita akan memperoleh informasi dan pemahaman yang benar mengenai sebuah teks hadits. Muhammad Syuhudi Ismail merinci tiga langkah metodologis kritik matan, yaitu:[6]
1.    Meneliti matan hadits dengan melihat kualitas sanadnya. Artinya sebelum meneliti sebuah matan hadits, kita harus memahami kualitas sanad hadits tersebut.
2.    Meneliti susunan lafal matan yang semakna. Dalam dunia penelitian, langkah kedua ini disebut analisis isi dengan pendekatan positifistik, yaitu menganalisis apa yang terlihat dari sisi gramatika dan makna tekstualnya.
3.    Meneliti kandungan matannya. Langkah ketiga ini mengharuskan peneliti memahami maksud dan kandungan hadits tersebut.
M. Syuhudi Ismail juga menjelaskan lima kriteria hadits yang matannya bisa diterima, yaitu:[7]
1.    Tidak bertentangan dengan akal sehat
2.    Tidak bertentangan dengan al-Qur’an, hadits mutawatir dan ijma’
3.    Tidak bertentangan dengan tradisi ibadah ulama salaf
4.    Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti
5.    Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat
Hasjim Abbas menjelaskan tiga langkah kritik matan, yaitu:[8]
1.    Kritik kebahasan
2.    Analisis terhadap isi kandungan makna matan hadits
3.    Penelusuran ulang nisbah pemberitaan dalam matan hadits kepada narasumber
Setelah menjelaskan beberapa kriteria kritik matan yang dirumuskan oleh para ulama, suryadi menyimpulkan pokok-pokok pikiran kritik matan hadits, yaitu:[9]
1.    Matan hadits harus diuiji dengan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga kandungan hadits tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
2.    Matan hadits harus diujikan dengan hadits yang lebih shahih. Artinya, kandungan matan hadits tersebut dengan kandungan hadits yang lebih shahih.
3.    Matan hadits tidak bertentangan dengan metode ilmiah. Namun ia harus sesuai dengan konsep metode ilmiah.
4.    Matan hadits harus sesuai dengan fakta sejarah yang diketahui umum. Artinya kandungan hadits tersebut tidak bertentangan dengan realitas sejarah yang telah menjadi kebenaran umum.

2.    Sejarah Muncul dan Perkembangan Kritik Hadits
a)   Kritik Hadits di Era Rasulullah SAW
Kritik hadits pada saat Rasulullah masih hidup sangat mudah dilakukan oelh para sahabat, karena para sahabat secara langsung dapat mengetahui valid dan tidaknya hadits yang mereka terima itu melalui jalan konfirmasi kepada Rasulullah SAW.[10]
Pola konfirmasi sebagai cikal bakal kritik hadits pada masa Rasulullah bukanlah disebabkan oleh rasa kecurigaan mereka terhadap pembawa beritanya bahwa ia telah berdusta. Tetapi hal tersebut mereka lakukan adalah dimotivasi oleh sikap mereka yang begitu hati-hati mereka dalam menjaga kebenaran hadits sebagai sumber hukum islam di samping al-Qur’an,[11] juga untuk mengokohkan hati mereka dalam mengamalkan hadits yang langsung mereka yakini kebenarannya dari Rasulullah SAW.[12] Para Ulama sepakat bahwa konfirmasi hadits di era Rasulullah ini dipandang sebagai cikal-bakal ilmu kritik hadits.
b)   Kritik Hadits di Sahabat (Abad 1 Hijriyah)
Pada era sahabat, metode penelitian hadits mulai berkembang dengan pola yang bersifat komparatif (perbandingan). Pada masa ini, setelah wafatnya Rasulullah SAW dalam kutipan Suryadi dan Muhammad Alfatih menyimpulkan metode penelitian hadits di ra sahabat terbagi kepada tiga pilar utama, yaitu dengan kriteria bahwa hadits tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, tidak bertentangan dengan hadits lain, dengan cara membandingkan antar riwayat sesama sahabat, dan melalui penalaran akal sehat.[13]
Contoh hadits yang bertentangan dengan firman Allah SWT dan Sabda Rasulullah SAW yang lebih sahih sebagai berikut:
“Saya adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi setelahku kecuali dikehendaki Allah SWT”
Hadits di atas bertentangan dengan firman Allah SWT Q.S Al-Ahzab ayat 40, yang berbunyi sebagai berikut:
$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqߧ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# 3 tb%x.ur ª!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« $VJŠÎ=tã ÇÍÉÈ  
Artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu[14], tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dan sabda Rasulullah yang paling sahih adalah:
“dari Abu Hurairah r.a, bahwasanya Rasulullah bersabda: Perumpamaanku dan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah (tempat batu bata yang tertinggal belum diselesaikan) yang berada di dinding samping rumah tersebut lalu manusia mengelilinginya dan mereka terkagum-kagum sambil berkata; Duh seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di tempatnya ini;. Beliau bersabda: “maka akulah labinah itu, dan aku ada penutup para nabi. (HR. Bukhari/ No. 3271).


c)    Kritik Hadits Era Tabi’in dan Atba al-Tabi’in Hingga Kodifikasi Hadits (Abad 2-3 Hijriyah)
Pada masa tabi’in ini, para ulama semakin aktif dalam merumuskan rambu-rambu yang dijadikan sebagai standar kesahihan hadits. Hal tersebut terbukti dari lahirnya pemikiran-pemikiran tokoh kritik hadits yang terkenal dalam memelihara kemurnian dan keaslian hadits.[15] Misalnya pada abad II dari Madinah Malik Ibn Abbas, Kuffah tokohnya Sufyan al-Thauri dan Walid ibn Jarrah, dari Basrah dengan tokohnya Hammad bin Salamah. Adapun pada abad III, dari baghdad dengan tokohnya Yahya ibn Ma’in, dan Ibnu Hambal, dan Zuhair bin Harb.
Adapun rambu-rambu yang mengindikasikan adanya aktivitas kritik hadits pada abad ke-2 & 3 antara lain adalah sebagaimana ungkapan Malik dalam kutipan Umi Sumbulah, yaitu:[16]
1.    Tidak meriwayatkan hadits dari orang yang selalu memperturutkan ambisi pribadinya
2.    Tidak meriwayatkan hadits dari orang yang bodoh, yang dengan kebodohannya itu ia kemudian membuat kebohongan atas nama Rasulullah
3.    Tidak meriwayatkan hadits dari seseorang yang sebenarnya baik amal ibadahnya, namun hadits yang diriwayatkan itu tidak dikenal (umum).
Kritik hadits pada masa tabi’in dan setelahnya (Abad ke-II dan ke-III) telah mencangkup kepada penelitian sanad dan matan hadits. Kegiatan penelitian tersebut telah menjalar ke seluruh pelosok negeri islam, seperti Makkah, Yaman, Irak, Mesir, Syam, Khurasan, Bukhara, Kuffah dan sebagainya.


3.    Urgensi Kritik Matan Hadits
Abbas Hasjim menjelaskan delapan alasan pentingnya kritik matan hadits, yaitu:
a.    Motivasi agama, alasan ini terkait dengan pentingnya menjaga kemurnian agama dengan menjaga nilai-nilai hadits sebagai warisan Rasulullah yang dijadikan sebagai sumber rujukan umat islam.
b.    Motivasi sejarah, tarikh islam, khususnya tarikh Nabi harus terbebas dari intervensi kekuasaan yang cenderung memalsukan fakta sejarah islam. Hal ini penting karena tarikh Nabi menjadi sumber ajaran islam.
c.    Keterbatasan Hadits Mutawatir, tidak bisa dipungkiri hadits mutawatir sangat terbatas dibandingkan haditst ahad. Penelitian matan diperlukan supaya hadits ahad yang telah teruji kesahihannya bisa diterima dan diamalkan oleh masyarakat.
d.   Bias penyaduran ungkapan hadits. Tidak dipungkiri akses penyaduran hadits pada jaman sahabat telah memunculkan keragaman teks hadits tanpa kontrol. Hal ini tentu saja bisa menimbulkan keraguan akan keaslian kandungan hadits. Penelitian matan bisa mengurangi bahkan menghilangkan keraguan tersebut.
e.    Teknik pengeditan hadits. Para kolektor hadits tidak sama dalam memilih strategi pengumpulan hadits. Teknik pengumpulan ini mendorong tercampurnya antara ungkapan Nabi dan fatwa sahabat dianggap hadits. Penelitian matan bisa menjadi solusi dari masalah ini.
f.     Kesahihan sanad tidak berkorelasi dengan kesahihan matan. Sanad yang shahih tidak menjamin matannya juga shahih. Begitupun sebaliknya. Maka kritis matan hadits secara tidak langsung menjadi langkah metodologis kritik sanad.
g.    Sebaran tema dan perpaduan konsep. Sebuah tema bisa tersebar dalam banyak konsep dan dari beberapa hadits. Hal ini tidak bisa dipahami tanpa adanya penelitian tentang tema tersebut. Maka penelitian matan begitu penting.
h.    Upaya penerapan konsep doktrinal hadits. Kandungan matan hadits notabene bersifat abstrak. Oleh karena itu supaya bisa dipahami sebagai konsep konkret yagn bisa digunakan sebagai sumber ajaran islam, diperlukan tahapan dari pemaknaan leksikal sampai makna kontekstual dengan menggali informasi mengenai para perawi dan asbabul wurudnya. Tanpa penelitian matan, hal ini tentu saja susah untuk dilakukan.

4.    Metode Apresiatif Untuk mendeteksi Matan Hadits
Dilihat dari objek kritiknya, metode kritik teks/matan hadits Nabi dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:[17]
a.    Kritik matan prakodifikasi “semua” hadits, dalam kitab-kitab hadits
b.    Kritik matan pascakodifikasi “semua” hadits.
Untuk kritik matan hadits model pertama pernah dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi dan sejumlah ulama kritikus hadits. Karena perbedaan keadaannya, tentu saja model pertama ini tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh para kritikus hadits pasca kodifikasi, termasuk zaman sekarang, apalagi rentang waktunya sudah sangat jauh. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan sebagian metode atau teknik yang pernah diterapkan dalam kritik teks/matan hadits pra kodifikasi hadits, dapat diaplikasikan untuk kritik matan pasca kodifikasi hadits.
Pengklasifikasian ini diperlukan karena memiliki implikasi terhadap metode atau teknik kritik matan hadits. Berikut ini akan diuraikan metode kritik matan-matan hadits pra kodifikasi dan pasca kodifikasi.
a.    Kritik Matan Prakodifikasi
Dari berbagai teknik dalam kritik matan hadits periode ini secara umum dapat dikategorikan memakai metode perbandingan (comparative). Di antara teknik-teknik perbandingan yang tercatat pernah dipraktikkan adalah dengan teknik sebagai berikut:


1)   Membandingkan matan hadits dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
Teknik ini kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi. Umar bin Khattab misalnya, ia pernah mempertanyakan dan kemudian menolak hadits yang diriwayatkan oleh Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa wanita yang dicerai tidak berhak menerima uang nafkah (dari mantan suaminya). Menurut Umar (matan) hadits tersebut, bila dibandingkan tidak sejalan dengan bunyi ayat al-Qur'an.
2)   Membandingkan (matan-matan) hadits dalam dokumen tertulis dengan hadits-hadits yang disampaikan dari hafalan.
Imam Bukhari pernah melakukan teknik ini pada saat menghadapi matan hadits tentang mengangkat tangan ketika akan ruku dalam shalat, yang diriwayatkan oleh Sufyan melalui Ibnu Mas’ud. Setelah membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih hadits yang diriwayatkan oleh Yahya bin Adam yang teleh mengeceknya dari kitab ‘Abdullah bin Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat redaksi yang mengundang perselisihan.
3)   Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan pada waktu yang berlainan.
Teknik perbandingan ini pernah dipraktikkan oleh ‘Aisyah salah seorang istri nabi. Aisyah pernah meminta keponakannya, yaitu ‘Urwah bin Zubair untuk menanyakan sebuah hadits, yaitu tentang ilmu dan dihilangkannya ilmu dari dunia, kepada Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As yang tengah menunaikan ibadah haji. ‘Abdullah pun menyampaikan hadits yang ditanyakan itu. Karena Aisyah merasa tidak puas, tahun berikutnya, ia meminta Urwah kembali menemui Abdullah yang naik haji lagi dan menanyakan hadits yang telah ditanyakannya setahun yang lalu. Ternyata lafal hadits yang disampaikan oleh Abdullah sama persis dengan lafal yang disampaikannya setahun yang lalu


4)   Membandingkan hadits-hadits dari beberapa murid yang mereka terima dari satu guru.
Teknik ini misalnya dipraktikkan oleh (Yahya) Ibnu Ma’in  salah seorang ulama kritikus hadits terkemuka. Ia pernah membandingkan karya Hammad bin Salamah seorang kritikus terkenal dari Basrah, dengan cara menemui dan mencermati tulisan delapan belas orang murid Hammad. Dari hasil perbandingan tersebut ternyata Ibnu Ma’in menemukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Hammad maupun murid-muridnya.
5)   Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya.
Teknik ini pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam. Peristiwanya bermula tatkala Marwan menerima hadits yang disampaikan oleh ‘Abd ar-Rahman bin al-Mugirah bin Hisyam bin al-Mugirah yang bersumber dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. Ketika waktu fajar (salat Subuh) beliau dalam keadaan berhadas besar (karena pada malam harinya bersenggama dengan istri beliau). Kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa (pada hari itu). Mendengar hadits tersebut, Marwan segera menyuruh ‘Abd ar-Rahman menemui Abu Hurairah, karena Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa apabila sesorang pada waktu Subuh masih dalam keadaan berhadas besar karena pada malam harinya bersenggama dengan istrinya, maka Nabi menyuruh orang tersebut membuka puasanya. ‘Abd ar-Rahman menemui Abu Hurairah di Zulhulaifah, dan menyampaikan kepadanya hadits yang diriwayatkan melalui Aisyah dan Ummu Salah (tersebut di atas). Pada saat itu Abu Hurairah menjelaskan bahwa ia menerima hadits tersebut tidak langsung dari Nabi, melainkan dari al-Fadl bin ‘Abbas, sehingga menurut Abu Hurairah Fadl lah yang lebih mengetahui hadits tersebut.


b.   Metode Kritik Matan Hadits Pascakodifikasi.
Seperti halnya kritik matan hadits pra kodifikasi, untuk kritik matan pasca kodifikasi pun metode perbandingan tetap masih dominan dan relevan, hanya saja teknik-tekniknya perlu disesuaikan sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Secara rinci, dapat diuraikan bahwa teknik kritik matan pada fase ini, termasuk zaman sekarang, dapat dilakukan antara lain dengan teknik sebagai berikut:
1)   Membandingkan matan-matan hadits dengan ayat al-Qur’an yang terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
Dalam teknik ini sesungguhnya tidak lagi sekedar kritik perbandingan teks, tetapi perlu melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan teks. Membandingkan teks atau matan-matan hadits dengan ayat-ayat al-Qur'an dari susunan redaksi adalah kurang proposional, karena redaksi atau lafal-lafal al-Qur'an diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan matan-matan hadits hampir seluruhnya diriwayatkan menurut maknanya saja (riwayah bi al-ma’na). Namun demikian, perbandingan teks ini bukanlah hal yang mustahil dilakuan, dan analisis perbandingan matan-matan hadits dengan al-Qur'an tetap membantu proses kritik, misalnya ketika terjadi perbandingan matan-matan hadits yang semakna dengan redaksi yang berbeda, sementara terdapat ayat al-Qur'an yang memiliki kemiripan (susunan redaksinya). Dalam konteks ini jelaslah bahwa keakuratan dalam penujukan ayat yang menjadi pembandingnya merupakan prasyarat untuk dapat melakukan kritik matan hadits melalui ayat al-Qur'an.
2)   Membandingkan antara matan-matan hadits.
Agar dapat melakukan kritik matan hadits dengan teknik ini, hendaknya didahului dengan langkah pertama yaitu menghimpun matan-matan hadits. Untuk itulah penelusuran hadits-hadits (secara lengkap sanad dan matannya) kepada sumber-sumber aslinya yang dikenal dengan istilah takhrij al-hadits, dalam tahap ini sangatlah diperlukan.
Teknik-teknik perbandingan atau yang lainnya untuk melakukan kritik matan, dapat terus dikembangkan. Dan hal ini bisa dilakukan dengan terus melakukan latihan atau praktik.

5.      Contoh Kritik Terhadap Teks (Matan Hadits)
Contoh kritik matan hadits yang dilakukan pada masa sahabat:
Dari ‘Aisyah tatkala mendengar sebuah hadits yang disampaikan oleh Ibn Abbas dari Umar, Rasulullah SAW bersabda:
إن الميت ليعذب ببكاء أهله عليه
Artinya: Mayat itu akan disiksa karena ditangisi keluarganya[18]
Dengan serta merta Aisyah membantah hadits tersebut dengan berkata semoga Umar dirahmati Allah. Rasulullah tidak pernah bersabda demikian melainkan beliau bersabda:
إن الله يزيد الكافر عداباً ببكاء أهله عليه
Artinya: Sesungguhnya Allah akan menambah siksa orang kafir karena ditangisi keluarganya
Hadits di atas menunjukkan bahwa kritik matan hadits sudah dimulai sejak masa sahabat. Aisyah telah mengkritik matan hadits yang didengar dari Ibn Abbas tersebut dengan cara membandingkan dan mengkonfirmasikan dengan hadits yang bertema sama yang pernah didengarnya sendiri dari Rasulullah dan juga nash al-Quran.



C.  PENUTUP
1.    Kesimpulan
Dari uraian di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa kritik matan hadits merupakan bagian yang sangat penting dan integral dalam proses studi (matan) hadits. Secara praktis, kritik ini memang telah ada sejak para sahabat Nabi, dan dilanjutkan oleh para kritikus hadits terutama pra kodifikasi hadits.
Kesahihan yang berhasil diseleksi dalam kegiatan kritik matan tahap pertama baru sampai pada tahap menyatakan kesahihan matan menurut eksistensinya. Pada tahap ini belum sampai pada pemaknaan matan hadits, kendatipun unsur-unsur interpretasi matan boleh jadi ada terutama jika menyeleksi matan dengan cara melihat tolok ukur kesahihan matan hadits.
Bila terdapat matan-matan hadits yang sangat rumit dikritik atau diseleksi berkaitan dengan pemaknaannya, maka hal tersebut “diserahkan” kepada studi matan hadits tahap kedua yang menangani interpretasi atau pemaknaan matan hadits (ma’na al-hadits).
Dan saat ini matan-matan hadits telah terkodifikasikan, tetapi masih belum terumuskan kaidah-kaidah atau metode kritik matan. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan bagian dari usaha untuk mengembangkan studi kritik matan hadits dari aspek metodenya.
2.    Saran
Dalam pembahasan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan, misal: minimnya buku referensi yang dijadikan sebagai acuan oleh penulis, penulis kurang menyebutkan secara detail terkait dengan perkembangan hadits dari era Rasululloh sampai di era sekarang, penulis hanya menyebtukan satu metode saja dalam metode kritik terhadap matan Hadits, dsb. Oleh karena itu, penulis berharap dalam pembahasan selanjutnya, bisa menambahkan kekurangan-kekurangan dari isi makalah ini, yang lebih jelas lagi, lebih luas, dan lebih mendetail dan mendalam. Sehingga dapat menambah wawasan kita dalam mengetahui ilmu tentang kritik terhadap matan hadits.


DAFTAR PUSTAKA

Ø  Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadits: Dari Teks ke Konteks, (Yogyakarta: Teras, 2009).
Ø  Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
Ø  Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits: Versi Muhaddisin dan Fuqaha. Cet. I, (Yogyakarta: Teras, 2004).
Ø  M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
Ø  Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi: Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi, (Yogyakarta: Teras, 2008).
Ø  Suryadi dan Muhammad Alfatih, Metodologi Peneliatan Hadits, (Yogyakarta: T-H Press, 2009).
Ø  Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadits, (Malang, UIN Press, 2008).
Ø  ____________, Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang, UIN Press, 2008).
Ø  Shahih al-Bukhari, Juz II,.
Ø  http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28 di akses pada Jum’at 4 April 2014, pukul 10.00 WIB



[1] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits: Versi Muhaddisin dan Fuqaha. Cet. I, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 3
[2] Umi Sumbulah, Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang, UIN Press, 2008), hlm. 26
[3] Ibid, hlm. 27
[4] Hasjim Abbas, Op.Cit., hlm. 6
[5] Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi: Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 14
[6] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 121-122
[7] Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadits: Dari Teks ke Konteks, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 39
[8] Hasjim Abbas, Op.Cit., hlm. 16
[9] Suryadi, Op.Cit., hlm. 16-20
[10] Umi Sumbulah, Op. Cit., hlm. 32-33
[11] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadits, (Malang, UIN Press, 2008), hlm. 183
[12] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 2
[13] Suryadi dan Muhammad Alfatih, Metodologi Peneliatan Hadits, (Yogyakarta: T-H Press, 2009), hlm. 144-145
[14] Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. bukanlah ayah dari salah seorang sahabat, karena itu janda Zaid dapat dikawini oleh Rasulullah s.a.w.
[15] Umi Sumbulah, Op. Cit., hlm. 40-41
[16] Ibid, hlm. 43
[17] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28 di akses pada Jum’at 4 April 2014, pukul 10.00 WIB
[18] Shahih al-Bukhari, Juz II, hlm. 79

No comments:

Post a Comment