Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas matakuliah Studi Hadits
Dosen
Pengampu:
Dr. H. M. Mujab, MA
Disusun
Oleh:
Farid Afri Nurmansyah
NIM. 13007759
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
Mei, 2014
A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Membicarakan tentang Hadits maka kita sebagai umat
muslim pasti mengetahui bahwa hadits adalah sumber rujukan kedua setelah
Al-Qur’an. Posisi hadits sebagai penjelas atas arti dan maksud ayat Al-Qur’an
yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW bermacam-macam bentuknya. Ia dapat berupa
ucapan, perbuatan, tulisan maupun taqrir Nabi (pembenaran berupa diamnya beliau
terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain). Berbeda dengan Al-Qur’an
yang mempunyai kepastian teks dan kepastian argument.[1]
Otentitas dan kebenaran hadits yang tidak sama dengan
Al-Qur’an memunculkan permasalahan dalam hadits itu sendiri. Beberapa
kitab-kitab klasik yang berisi tentang berbagai macam hadits yang telah
ternotabene hadits shahih, ternyata dari beberapa tokoh Josep Schacht dengan
teori projecting backnya, A. Juynboll dengan teori common linknya, Harald
Motzki yang menyanggah teori Joseph Schacht dan A. Jutnboll, Imam Syafi’i dengan
pemahaman hadits mukhtalifnya dan beberapa tokoh yang lain yang masih selalu
memperbincangkan otentitas dan kebenaran sebuah hadits. Sebagaimana yang telah
kita ketahui bahwa di dalam hadits terdapat sanad dan matan hadits yang mana
keduanya diuji kelayakannya untuk menuju predikat hadits yang shahih, dari
kedua permasalahan itulah yang selama ini masih terus diperbincangkan oleh
beberapa tokoh di atas.
Cara mengetahui bagaimana sebuah sanad dan matan hadits
itu bisa dinyatakan sebagai hadits shahih maka harus ada pembahasan lebih
lanjut tentang bagaimana sanad dan matan itu harus memiliki kualitas yang
terstandar, sehingga bisa dinyatakan kalau hadits tersebut termasuk hadits
shahih. Di sini penulis akan membatasi pembahasan hanya pada kritik terhadap teks
(matan hadits), karena dalam pembahasan tentang sanad hadits, akan dibahas oleh
kelompok lain, sehingga untuk memfokuskan pembahasan pada makalah ini, penulis
hanya akan membahas tentang kritik terhadap teks (matan hadits).
Kritik dalam konteks ilmu hadits, tidak sinonim dengan
istilah kritik yang secara umum digunakan oleh orientalis. Dalam perpektif
orientalis, kritik dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan semacam kecaman,
yang pada akhirnya dapat melahirkan pelecehan terhadap eksistensi hadits. Istilah
kritik tidak berkonotasi negatif, bahkan sebaliknya berkonotasi positif.
Aktivitas kritik dalam ilmu hadits dimaksudkan sebagai upaya menyeleksi hadits,
sehingga dapat diketahui mana yang shahih dan mana yang tidak shahih. Dengan
demikian istilah kritik berasal dari ulama hadits bukan dari dunia barat.[2]
Aktivitas kritik hadits merupakan keharusan yan
dilakukan untuk memberikan keyakinan kepada umat islam untuk berupaya
merealisasikan serangkaian ajaran islam dengan berpegang teguh pada
hadits-hadits yang telah terbukti kesahihannya dan meninggalkan hadits-hadits
yang tidak bisa diterima sebaga dasar agama. Dengan demikian, kekhawatiran akan
terjadinya penyimpangan dalam realisasi ajaran agama yang telah diajarkan oleh
Rasulullah dapat diminimalisir. Kritik terhadap hadits selalu berorientasi pada
dua aspek, yakni aspek pada sanad (kredibilitas rawi) dan pada aspek matan
hadits (orisinilitas teks hadits).[3]
Oleh karena itu, di dalam makalah ini, penulis akan
membahas beberapa sub tema yang terkait dengan pembahasan tentang kritik
terhadap teks (matan hadits) yang akan disajikan lebih luas dan mendalam.
2.
Rumusan Masalah
a. Apa pengertian kritik terhadap teks (Matan Hadits)?
b. Bagaimana proses perkembangan kritik terhadap teks (Matan
Hadits) dari era Rasulullah Hingga Kodifikasi Hadits (Abad 2-3 Hijriyah)?
c. Apa metode dan urgensinya kritik terhadap matan Hadits?
3.
Tujuan Penulisan
a. Agar pembaca mengetahui pengertian kritik terhadap teks (Matan
Hadits).
b. Agar Pembaca mengetahui proses perkembangan kritik terhadap teks
(Matan Hadits) dari era Rasulullah Hingga Kodifikasi Hadits (Abad 2-3 Hijriyah)
c. Agar pembaca mengetahui metode dan urgensinya kritik terhadap
matan Hadits.
4.
Batasan Masalah
Agar pembahasan sistematis, terarah dan jelas, maka
penulis perlu membatasi persoalan yang akan dibahas pada makalah ini, adapaun
batasan-batasannya adalah:
a. Penulis hanya menyebutkan perkembangan kritik terhadap matan
hadits dari era Rasulullah Hingga Kodifikasi Hadits (Abad 2-3 Hijriyah) saja,
setelahnya itu, penulis tidak akan memasukkannya di dalam makalah ini, karena
adanya keterbatasan literatur.
b. Penulis hanya menyebutkan metode kritik matan hadits dari segi
objek kritiknya saja.
B. PEMBAHASAN
1.
Kritik terhadap Teks
(Matan Hadits)
a.
Pengertian Kritik
terhadap Teks (Matan Hadits)
Kritik matan dipahami sebagai penelitian terhadap isi
hadits, baik dari sisi teks maupun makna teks itu sendiri. Dibanding kritik
sanad, kritik matan ini kurang mendapat perhatian oleh pakar hadits.[4] Padahal
sebagaimana kritik sanad, kritik matan juga merupakan studi yang sangat
penting. Bahkan tidak ada jaminan ketika sanadnya sehat, matannya juga sehat.
Hal ini menjelaskan bahwa hasil kritik matan hadits
bisa menjadikan sebuah hadits yang sanadnya shahih, tidak bisa dijadikan hujjah
karena tidak shahih matannya. Muhammad Thahir al-Jawabi menjelaskan dua tujuan
kritik matan, yaitu:[5]
1.
Untuk menentukan benar
tidaknya matan hadits.
2.
Untuk mendapatkan pemahaman
yang benar mengenai kandungan yang terdapat dalam sebuah matan hadits.
Dengan demikian, kritik matan hadits ditujukan untuk
meneliti kebenaran informasi sebuah teks hadits atau mengungkap pemahaman dan
interpretasi yang benar mengenai kandungan matan hadits. Dengan kritik hadits
kita akan memperoleh informasi dan pemahaman yang benar mengenai sebuah teks hadits.
Muhammad Syuhudi Ismail merinci tiga langkah metodologis kritik matan, yaitu:[6]
1.
Meneliti matan hadits dengan
melihat kualitas sanadnya. Artinya sebelum meneliti sebuah matan hadits, kita
harus memahami kualitas sanad hadits tersebut.
2.
Meneliti susunan lafal
matan yang semakna. Dalam dunia penelitian, langkah kedua ini disebut analisis
isi dengan pendekatan positifistik, yaitu menganalisis apa yang terlihat dari
sisi gramatika dan makna tekstualnya.
3.
Meneliti kandungan
matannya. Langkah ketiga ini mengharuskan peneliti memahami maksud dan
kandungan hadits tersebut.
M. Syuhudi Ismail juga menjelaskan lima kriteria hadits
yang matannya bisa diterima, yaitu:[7]
1.
Tidak bertentangan dengan
akal sehat
2.
Tidak bertentangan dengan
al-Qur’an, hadits mutawatir dan ijma’
3.
Tidak bertentangan dengan
tradisi ibadah ulama salaf
4.
Tidak bertentangan dengan
dalil yang sudah pasti
5.
Tidak bertentangan dengan
hadits ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat
Hasjim Abbas menjelaskan tiga langkah kritik matan,
yaitu:[8]
1.
Kritik kebahasan
2.
Analisis terhadap isi
kandungan makna matan hadits
3.
Penelusuran ulang nisbah
pemberitaan dalam matan hadits kepada narasumber
Setelah menjelaskan beberapa kriteria kritik matan yang
dirumuskan oleh para ulama, suryadi menyimpulkan pokok-pokok pikiran kritik matan
hadits, yaitu:[9]
1.
Matan hadits harus diuiji
dengan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga kandungan hadits tersebut tidak
bertentangan dengan al-Qur’an.
2.
Matan hadits harus diujikan
dengan hadits yang lebih shahih. Artinya, kandungan matan hadits tersebut
dengan kandungan hadits yang lebih shahih.
3.
Matan hadits tidak
bertentangan dengan metode ilmiah. Namun ia harus sesuai dengan konsep metode
ilmiah.
4.
Matan hadits harus sesuai
dengan fakta sejarah yang diketahui umum. Artinya kandungan hadits tersebut
tidak bertentangan dengan realitas sejarah yang telah menjadi kebenaran umum.
2.
Sejarah Muncul dan
Perkembangan Kritik Hadits
a) Kritik Hadits di Era Rasulullah SAW
Kritik hadits pada saat Rasulullah masih hidup sangat
mudah dilakukan oelh para sahabat, karena para sahabat secara langsung dapat
mengetahui valid dan tidaknya hadits yang mereka terima itu melalui jalan
konfirmasi kepada Rasulullah SAW.[10]
Pola konfirmasi sebagai cikal bakal kritik hadits
pada masa Rasulullah bukanlah disebabkan oleh rasa kecurigaan mereka terhadap
pembawa beritanya bahwa ia telah berdusta. Tetapi hal tersebut mereka lakukan
adalah dimotivasi oleh sikap mereka yang begitu hati-hati mereka dalam menjaga
kebenaran hadits sebagai sumber hukum islam di samping al-Qur’an,[11] juga
untuk mengokohkan hati mereka dalam mengamalkan hadits yang langsung mereka
yakini kebenarannya dari Rasulullah SAW.[12] Para
Ulama sepakat bahwa konfirmasi hadits di era Rasulullah ini dipandang sebagai
cikal-bakal ilmu kritik hadits.
b) Kritik Hadits di Sahabat (Abad 1 Hijriyah)
Pada era sahabat, metode penelitian hadits mulai
berkembang dengan pola yang bersifat komparatif (perbandingan). Pada masa ini,
setelah wafatnya Rasulullah SAW dalam kutipan Suryadi dan Muhammad Alfatih
menyimpulkan metode penelitian hadits di ra sahabat terbagi kepada tiga pilar
utama, yaitu dengan kriteria bahwa hadits tersebut tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an, tidak bertentangan dengan hadits lain, dengan cara membandingkan
antar riwayat sesama sahabat, dan melalui penalaran akal sehat.[13]
Contoh hadits yang bertentangan dengan firman Allah
SWT dan Sabda Rasulullah SAW yang lebih sahih sebagai berikut:
“Saya adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi
setelahku kecuali dikehendaki Allah SWT”
Hadits di atas bertentangan dengan firman Allah SWT
Q.S Al-Ahzab ayat 40, yang berbunyi sebagai berikut:
$¨B tb%x.
î£JptèC !$t/r&
7tnr& `ÏiB
öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur
tAqߧ «!$#
zOs?$yzur z`¿ÍhÎ;¨Y9$#
3 tb%x.ur
ª!$# Èe@ä3Î/
>äóÓx« $VJÎ=tã
ÇÍÉÈ
Artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kamu[14], tetapi
Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.
Dan sabda Rasulullah yang paling sahih adalah:
“dari Abu Hurairah r.a, bahwasanya Rasulullah bersabda: Perumpamaanku dan
nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia
membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah (tempat batu bata
yang tertinggal belum diselesaikan) yang berada di dinding samping rumah
tersebut lalu manusia mengelilinginya dan mereka terkagum-kagum sambil berkata;
Duh seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di tempatnya ini;.
Beliau bersabda: “maka akulah labinah itu, dan aku ada penutup para nabi. (HR.
Bukhari/ No. 3271).
c) Kritik Hadits Era Tabi’in dan Atba al-Tabi’in Hingga
Kodifikasi Hadits (Abad 2-3 Hijriyah)
Pada masa tabi’in ini, para ulama semakin aktif dalam
merumuskan rambu-rambu yang dijadikan sebagai standar kesahihan hadits. Hal
tersebut terbukti dari lahirnya pemikiran-pemikiran tokoh kritik hadits yang
terkenal dalam memelihara kemurnian dan keaslian hadits.[15]
Misalnya pada abad II dari Madinah Malik Ibn Abbas, Kuffah tokohnya Sufyan
al-Thauri dan Walid ibn Jarrah, dari Basrah dengan tokohnya Hammad bin Salamah.
Adapun pada abad III, dari baghdad dengan tokohnya Yahya ibn Ma’in, dan Ibnu
Hambal, dan Zuhair bin Harb.
Adapun rambu-rambu yang mengindikasikan adanya
aktivitas kritik hadits pada abad ke-2 & 3 antara lain adalah sebagaimana
ungkapan Malik dalam kutipan Umi Sumbulah, yaitu:[16]
1.
Tidak meriwayatkan hadits dari
orang yang selalu memperturutkan ambisi pribadinya
2.
Tidak meriwayatkan hadits
dari orang yang bodoh, yang dengan kebodohannya itu ia kemudian membuat
kebohongan atas nama Rasulullah
3.
Tidak meriwayatkan hadits
dari seseorang yang sebenarnya baik amal ibadahnya, namun hadits yang
diriwayatkan itu tidak dikenal (umum).
Kritik hadits pada masa tabi’in dan setelahnya (Abad
ke-II dan ke-III) telah mencangkup kepada penelitian sanad dan matan hadits.
Kegiatan penelitian tersebut telah menjalar ke seluruh pelosok negeri islam,
seperti Makkah, Yaman, Irak, Mesir, Syam, Khurasan, Bukhara, Kuffah dan
sebagainya.
3.
Urgensi Kritik Matan
Hadits
Abbas Hasjim menjelaskan delapan alasan pentingnya
kritik matan hadits, yaitu:
a.
Motivasi agama, alasan ini
terkait dengan pentingnya menjaga kemurnian agama dengan menjaga nilai-nilai
hadits sebagai warisan Rasulullah yang dijadikan sebagai sumber rujukan umat
islam.
b.
Motivasi sejarah, tarikh
islam, khususnya tarikh Nabi harus terbebas dari intervensi kekuasaan yang
cenderung memalsukan fakta sejarah islam. Hal ini penting karena tarikh Nabi
menjadi sumber ajaran islam.
c.
Keterbatasan Hadits
Mutawatir, tidak bisa dipungkiri hadits mutawatir sangat terbatas dibandingkan haditst
ahad. Penelitian matan diperlukan supaya hadits ahad yang telah teruji
kesahihannya bisa diterima dan diamalkan oleh masyarakat.
d.
Bias penyaduran ungkapan
hadits. Tidak dipungkiri akses penyaduran hadits pada jaman sahabat telah
memunculkan keragaman teks hadits tanpa kontrol. Hal ini tentu saja bisa
menimbulkan keraguan akan keaslian kandungan hadits. Penelitian matan bisa
mengurangi bahkan menghilangkan keraguan tersebut.
e.
Teknik pengeditan hadits.
Para kolektor hadits tidak sama dalam memilih strategi pengumpulan hadits.
Teknik pengumpulan ini mendorong tercampurnya antara ungkapan Nabi dan fatwa
sahabat dianggap hadits. Penelitian matan bisa menjadi solusi dari masalah ini.
f.
Kesahihan sanad tidak
berkorelasi dengan kesahihan matan. Sanad yang shahih tidak menjamin matannya
juga shahih. Begitupun sebaliknya. Maka kritis matan hadits secara tidak
langsung menjadi langkah metodologis kritik sanad.
g.
Sebaran tema dan perpaduan
konsep. Sebuah tema bisa tersebar dalam banyak konsep dan dari beberapa hadits.
Hal ini tidak bisa dipahami tanpa adanya penelitian tentang tema tersebut. Maka
penelitian matan begitu penting.
h.
Upaya penerapan konsep
doktrinal hadits. Kandungan matan hadits notabene bersifat abstrak. Oleh karena
itu supaya bisa dipahami sebagai konsep konkret yagn bisa digunakan sebagai
sumber ajaran islam, diperlukan tahapan dari pemaknaan leksikal sampai makna
kontekstual dengan menggali informasi mengenai para perawi dan asbabul
wurudnya. Tanpa penelitian matan, hal ini tentu saja susah untuk dilakukan.
4.
Metode Apresiatif
Untuk mendeteksi Matan Hadits
Dilihat dari
objek kritiknya, metode kritik teks/matan hadits Nabi dapat dibagi menjadi dua
macam yaitu:[17]
a. Kritik matan prakodifikasi “semua”
hadits, dalam kitab-kitab hadits
b. Kritik matan pascakodifikasi “semua”
hadits.
Untuk kritik
matan hadits model pertama pernah dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi dan
sejumlah ulama kritikus hadits. Karena perbedaan keadaannya, tentu saja model
pertama ini tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh para kritikus hadits pasca
kodifikasi, termasuk zaman sekarang, apalagi rentang waktunya sudah sangat
jauh. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan sebagian metode atau teknik
yang pernah diterapkan dalam kritik teks/matan hadits pra kodifikasi hadits,
dapat diaplikasikan untuk kritik matan pasca kodifikasi hadits.
Pengklasifikasian
ini diperlukan karena memiliki implikasi terhadap metode atau teknik kritik
matan hadits. Berikut ini akan diuraikan metode kritik matan-matan hadits pra
kodifikasi dan pasca kodifikasi.
a. Kritik Matan Prakodifikasi
Dari
berbagai teknik dalam kritik matan hadits periode ini secara umum dapat
dikategorikan memakai metode perbandingan (comparative).
Di antara teknik-teknik perbandingan yang tercatat pernah dipraktikkan adalah
dengan teknik sebagai berikut:
1)
Membandingkan matan
hadits dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
Teknik
ini kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi. Umar bin Khattab misalnya,
ia pernah mempertanyakan dan kemudian menolak hadits yang diriwayatkan oleh
Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa wanita yang dicerai tidak berhak
menerima uang nafkah (dari mantan suaminya). Menurut Umar (matan) hadits
tersebut, bila dibandingkan tidak sejalan dengan bunyi ayat al-Qur'an.
2) Membandingkan (matan-matan) hadits dalam dokumen tertulis
dengan hadits-hadits yang disampaikan dari hafalan.
Imam
Bukhari pernah melakukan teknik ini pada saat menghadapi matan hadits tentang
mengangkat tangan ketika akan ruku dalam shalat, yang diriwayatkan oleh Sufyan
melalui Ibnu Mas’ud. Setelah membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih
hadits yang diriwayatkan oleh Yahya bin Adam yang teleh mengeceknya dari kitab
‘Abdullah bin Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat
redaksi yang mengundang perselisihan.
3) Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang
disampaikan pada waktu yang berlainan.
Teknik
perbandingan ini pernah dipraktikkan oleh ‘Aisyah salah seorang istri nabi.
Aisyah pernah meminta keponakannya, yaitu ‘Urwah bin Zubair untuk menanyakan
sebuah hadits, yaitu tentang ilmu dan dihilangkannya ilmu dari dunia, kepada
Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As yang tengah menunaikan ibadah haji. ‘Abdullah pun
menyampaikan hadits yang ditanyakan itu. Karena Aisyah merasa tidak puas, tahun
berikutnya, ia meminta Urwah kembali menemui Abdullah yang naik haji lagi dan
menanyakan hadits yang telah ditanyakannya setahun yang lalu. Ternyata lafal hadits
yang disampaikan oleh Abdullah sama persis dengan lafal yang disampaikannya
setahun yang lalu
4) Membandingkan hadits-hadits dari beberapa murid yang mereka
terima dari satu guru.
Teknik
ini misalnya dipraktikkan oleh (Yahya) Ibnu Ma’in salah seorang ulama kritikus hadits
terkemuka. Ia pernah membandingkan karya Hammad bin Salamah seorang kritikus
terkenal dari Basrah, dengan cara menemui dan mencermati tulisan delapan belas
orang murid Hammad. Dari hasil perbandingan tersebut ternyata Ibnu Ma’in
menemukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Hammad maupun murid-muridnya.
5) Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat
lainnya.
Teknik
ini pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam. Peristiwanya bermula tatkala Marwan
menerima hadits yang disampaikan oleh ‘Abd ar-Rahman bin al-Mugirah bin Hisyam
bin al-Mugirah yang bersumber dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah yang menyatakan
bahwa Rasulullah saw. Ketika waktu fajar (salat Subuh) beliau dalam keadaan
berhadas besar (karena pada malam harinya bersenggama dengan istri beliau).
Kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa (pada hari itu). Mendengar hadits
tersebut, Marwan segera menyuruh ‘Abd ar-Rahman menemui Abu Hurairah, karena
Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa apabila sesorang
pada waktu Subuh masih dalam keadaan berhadas besar karena pada malam harinya
bersenggama dengan istrinya, maka Nabi menyuruh orang tersebut membuka
puasanya. ‘Abd ar-Rahman menemui Abu Hurairah di Zulhulaifah, dan menyampaikan
kepadanya hadits yang diriwayatkan melalui Aisyah dan Ummu Salah (tersebut di
atas). Pada saat itu Abu Hurairah menjelaskan bahwa ia menerima hadits tersebut
tidak langsung dari Nabi, melainkan dari al-Fadl bin ‘Abbas, sehingga menurut
Abu Hurairah Fadl lah yang lebih mengetahui hadits tersebut.
b. Metode Kritik Matan Hadits Pascakodifikasi.
Seperti
halnya kritik matan hadits pra kodifikasi, untuk kritik matan pasca kodifikasi
pun metode perbandingan tetap masih dominan dan relevan, hanya saja
teknik-tekniknya perlu disesuaikan sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Secara rinci, dapat diuraikan bahwa teknik kritik matan pada fase ini, termasuk
zaman sekarang, dapat dilakukan antara lain dengan teknik sebagai berikut:
1)
Membandingkan
matan-matan hadits dengan ayat al-Qur’an yang terkait atau memiliki kedekatan
susunan redaksi.
Dalam
teknik ini sesungguhnya tidak lagi sekedar kritik perbandingan teks, tetapi
perlu melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan teks. Membandingkan teks atau
matan-matan hadits dengan ayat-ayat al-Qur'an dari susunan redaksi adalah
kurang proposional, karena redaksi atau lafal-lafal al-Qur'an diriwayatkan
secara mutawatir, sedangkan matan-matan hadits hampir seluruhnya diriwayatkan
menurut maknanya saja (riwayah bi al-ma’na). Namun demikian, perbandingan teks
ini bukanlah hal yang mustahil dilakuan, dan analisis perbandingan matan-matan hadits
dengan al-Qur'an tetap membantu proses kritik, misalnya ketika terjadi
perbandingan matan-matan hadits yang semakna dengan redaksi yang berbeda,
sementara terdapat ayat al-Qur'an yang memiliki kemiripan (susunan redaksinya).
Dalam konteks ini jelaslah bahwa keakuratan dalam penujukan ayat yang menjadi
pembandingnya merupakan prasyarat untuk dapat melakukan kritik matan hadits
melalui ayat al-Qur'an.
2)
Membandingkan antara
matan-matan hadits.
Agar
dapat melakukan kritik matan hadits dengan teknik ini, hendaknya didahului
dengan langkah pertama yaitu menghimpun matan-matan hadits. Untuk itulah
penelusuran hadits-hadits (secara lengkap sanad dan matannya) kepada
sumber-sumber aslinya yang dikenal dengan istilah takhrij al-hadits, dalam
tahap ini sangatlah diperlukan.
Teknik-teknik
perbandingan atau yang lainnya untuk melakukan kritik matan, dapat terus
dikembangkan. Dan hal ini bisa dilakukan dengan terus melakukan latihan atau
praktik.
5.
Contoh Kritik
Terhadap Teks (Matan Hadits)
Contoh kritik matan hadits yang dilakukan pada masa
sahabat:
Dari ‘Aisyah
tatkala mendengar sebuah hadits yang disampaikan oleh Ibn Abbas dari Umar,
Rasulullah SAW bersabda:
إن الميت ليعذب ببكاء أهله عليه
Artinya: Mayat
itu akan disiksa karena ditangisi keluarganya[18]
Dengan serta merta Aisyah membantah
hadits tersebut dengan berkata semoga Umar dirahmati Allah. Rasulullah tidak
pernah bersabda demikian melainkan beliau bersabda:
إن الله يزيد الكافر عداباً ببكاء
أهله عليه
Artinya: Sesungguhnya Allah akan menambah siksa orang
kafir karena ditangisi keluarganya
Hadits di atas menunjukkan bahwa
kritik matan hadits sudah dimulai sejak masa sahabat. Aisyah telah mengkritik
matan hadits yang didengar dari Ibn Abbas tersebut dengan cara membandingkan
dan mengkonfirmasikan dengan hadits yang bertema sama yang pernah didengarnya
sendiri dari Rasulullah dan juga nash al-Quran.
C. PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa
kritik matan hadits merupakan bagian yang sangat penting dan integral dalam
proses studi (matan) hadits. Secara praktis, kritik ini memang telah ada sejak
para sahabat Nabi, dan dilanjutkan oleh para kritikus hadits terutama pra
kodifikasi hadits.
Kesahihan yang berhasil diseleksi dalam kegiatan
kritik matan tahap pertama baru sampai pada tahap menyatakan kesahihan matan
menurut eksistensinya. Pada tahap ini belum sampai pada pemaknaan matan hadits,
kendatipun unsur-unsur interpretasi matan boleh jadi ada terutama jika
menyeleksi matan dengan cara melihat tolok ukur kesahihan matan hadits.
Bila terdapat matan-matan hadits yang sangat rumit
dikritik atau diseleksi berkaitan dengan pemaknaannya, maka hal tersebut
“diserahkan” kepada studi matan hadits tahap kedua yang menangani interpretasi
atau pemaknaan matan hadits (ma’na al-hadits).
Dan saat ini matan-matan hadits telah
terkodifikasikan, tetapi masih belum terumuskan kaidah-kaidah atau metode
kritik matan. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan bagian dari usaha untuk
mengembangkan studi kritik matan hadits dari aspek metodenya.
2.
Saran
Dalam pembahasan makalah ini tentunya masih banyak
kekurangan, misal: minimnya buku referensi yang dijadikan sebagai acuan oleh
penulis, penulis kurang menyebutkan secara detail terkait dengan perkembangan
hadits dari era Rasululloh sampai di era sekarang, penulis hanya menyebtukan
satu metode saja dalam metode kritik terhadap matan Hadits, dsb. Oleh karena
itu, penulis berharap dalam pembahasan selanjutnya, bisa menambahkan
kekurangan-kekurangan dari isi makalah ini, yang lebih jelas lagi, lebih luas,
dan lebih mendetail dan mendalam. Sehingga dapat menambah wawasan kita dalam
mengetahui ilmu tentang kritik terhadap matan hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Alfatih Suryadilaga, Aplikasi
Penelitian Hadits: Dari Teks ke Konteks, (Yogyakarta: Teras, 2009).
Ø
Ali Mustafa Yaqub, Kritik
Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).
Ø
Hasjim Abbas, Kritik
Matan Hadits: Versi Muhaddisin dan Fuqaha. Cet. I, (Yogyakarta: Teras,
2004).
Ø
M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
Ø
Suryadi, Metode
Kontemporer Memahami Hadits Nabi: Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf
al-Qardhawi, (Yogyakarta: Teras, 2008).
Ø
Suryadi dan Muhammad
Alfatih, Metodologi Peneliatan Hadits, (Yogyakarta: T-H Press, 2009).
Ø
Umi Sumbulah, Kajian
Kritis Ilmu Hadits, (Malang, UIN Press, 2008).
Ø
____________, Kritik
Hadits: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang, UIN Press, 2008).
Ø
Shahih al-Bukhari, Juz
II,.
[1]
Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits: Versi Muhaddisin dan Fuqaha. Cet. I,
(Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 3
[2]
Umi Sumbulah, Kritik Hadits: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang,
UIN Press, 2008), hlm. 26
[3] Ibid,
hlm. 27
[4]
Hasjim Abbas, Op.Cit., hlm. 6
[5]
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi: Perspektif Muhammad
al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 14
[6] M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), hlm. 121-122
[7]
Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadits: Dari Teks ke Konteks,
(Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 39
[8]
Hasjim Abbas, Op.Cit., hlm. 16
[9]
Suryadi, Op.Cit., hlm. 16-20
[10]
Umi Sumbulah, Op. Cit., hlm. 32-33
[11]
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadits, (Malang, UIN Press, 2008), hlm.
183
[12]
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm.
2
[13]
Suryadi dan Muhammad Alfatih, Metodologi Peneliatan Hadits, (Yogyakarta:
T-H Press, 2009), hlm. 144-145
[14]
Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. bukanlah ayah dari salah seorang sahabat,
karena itu janda Zaid dapat dikawini oleh Rasulullah s.a.w.
[15]
Umi Sumbulah, Op. Cit., hlm. 40-41
[16] Ibid,
hlm. 43
[17] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28 di akses pada Jum’at 4 April 2014, pukul 10.00 WIB
[18]
Shahih al-Bukhari, Juz II, hlm. 79
No comments:
Post a Comment