YUSUF
QARDHAWI
(Interaksi dan Pemahaman Hadits)
Ibu Dr. Hj. Sulalah, M.Ag
Disusun oleh:
Indhra Musthofa
(13770051)
A.
Pendahuluan
Hingga wafatnya Nabi SAW keyakinan umat Islam
terhadap hadits tidaklah berubah.[1] Hadits
merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, oleh karena itu
keberadaan hadits sangat sentral sebagai realisasi ajaran Islam yang terkandung
dalam al-Quran. Para ulama sepakat bahwa hadits memiliki tiga fungsi utama yang
berhubungan dengan al-Quran, yaitu bayan ta’qid terhadap ketentuan yang
ada dalam al-Quran, bayan tafsir sebagai penjelas terhadap kemujmalan
al-Quran, dan bayan tasyri’ sebagai hukum sendiri yang tidak ada dalam al-Quran.
Keharusan mengikuti hadits bagi
umat Islam (baik berupa perintah maupun larangannya) sama halnya dengan
kewajiban mengikuti Al-qur’an. Hal ini karena hadits merupakan mubayyin (penjelas) terhadap Al-Qur’an,
karena itu siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa dengan memahami
dan menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa alqur’an,
karena al-qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis
besar syariat. Dengan demikian. Antara hadits dengan al-qur’an memiliki kaitan
sangat erat, untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau
berjalan sendiri-sendiri.[2]
Disamping sebagai sumber hukum
kedua sesudah Al-Qur’an, Hadis mempunyai dua fungsi yakni menjelaskan maksud
kandungan Alqur’an dan menerangkan hukum-hukum yang tidak disebutkan di dalam
Al-Qur’an itu sendiri. Sebagai contoh kongkrit adalah hukum shalat, zakat, dan
haji. Di dalam alqur’an perintah melaksanakan ibadah tersebut sangat jelas,
tetapi tidak diterangkan berapa kali ibadah shalat harus dilaksanakan dalam
sehari semalam, dan berapa pula rakaatnya. Masalah zakat tidak diterangkan
berapa pula nishab dan jenis barang apa yang yang wajib dizakati. Jenis tanaman
dan binatang apa, serta berapa persen zakatnya, sama sekali tidak diterangkan.
Demikian pula halnya masalah haji, tidak ditegaskan cara mengerjakannya. Semua
itu hanya diketahui secara jelas dari perbuatan dan ucapan Rasulullah.[3]
Secara historisitas penulisan
ataupun pengkodifikasian hadits relatif sangat jauh dari masa hidup Nabi. Dari
sinilah kemudian timbul penilaian-penilaian miring yang dengan sengaja di
lakukan oleh non-muslim untuk menstereotipkan keberadaan
hadits di mata umat Islam. Hal ini bisa menimbulkan akibat yang lebih berbahaya
dari pada serangan fisik.[4]Sejak pertengahan
abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi para
pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan periode ketika hegemoni barat yang
berkaitan dengan kelemahan politik dan agama telah menciptakan dorongan kuat
diadakannya reformasi.
Non-muslim yang mengkaji Islam secara umum khususnya
di Barat disebut juga orientalis. Sebelumnya para orientalis mengkaji Islam
hanya pada meteri-materi keislaman secara umum, seperti bidang sastra dan
sejarah. Kemudian berkembang meliputi kajian tentang
Al-Qur’an, teks Al-Qur’an, Hadits Nabi, Teologi Islam dan Sufisme.[5]Belakangan ini mereka
mulai serius dengan kajian Hadits Nabi, karena kajian tentang Al-Qur’an dinilai
gagal.
Sunnah Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai
macam serangan dari para kaum orientalis dengan beragam aksi yang mereka
lakukan untuk menghancurkan esensi hadis Nabi itu sendiri. Sejak saat itu juga,
para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap gagasan Islam klasik
tentang otoritas keagamaan (baca: hadis). Pergolakan di dunia Muslim telah
mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam karena
orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan
kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi yang berubah.
Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung
ini adalah masalah hakekat, status, dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif
Nabi Muhammad saw.). karena status Nabi Muhammad sebagai utusan Allah,
perkataan dan perbuatannya diterima oleh sebagian besar Muslim sebagai sebuah
sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
Menurut al-Qardhawi as-Sunnah adalah perkataan,
perbuatan dan persetujuan Nabi saw., di samping itu as-Sunnah juga merupakan
sumber kedua dalam Islam di bidang tasyri’ dan dakwah (tuntunan) nya. Bersama al-Qur’an, hadis menjadi point yang
sensitif dalam kesadaran spiritual maupun intelektual muslim. Tidak saja karena
ia menjadi sumber pokok ajaran Islam, tetapi juga sebagai tambang informasi
bagi pembentukan budaya Islam, terutama sekali historiografi Islam yang cukup
banyak merujuk pada hadis-hadis. Hadis menjadi semakin krusial ketika makin
banyaknya masalah yang muncul, sementera Nabi dan sahabat telah banyak yang
wafat. Ketika Nabi masih hidup persoalan dapat dipecahkan dengan otoritas
al-Qur’an atau Nabi Muhammad sendiri. Demikian pula pada masa sahabat,
masyarakat dapat melihat praktek nabi yang dijalankan para sahabat. Tetapi
setelah itu berbagai informasi tentang nabi menjadi sangat penting bagi kaum
muslim. Itu sebabnya belakangan sangat banyak sekali muncul literatur hadis
dalam berbagai bentuk dan jenisnya dengan muatan hadis-hadis yang cukup
beragam.
Dengan demikian, hadis-hadis
Nabi saw. haruslah dipahami secara benar
dan tepat. Namun, karena banyaknya serangan-serangan yang dilakukan oleh
orang-orang Barat, maka banyak dari kalangan Muslim yang mulai berbeda pendapat
dalam memaknai dan memahami hadis-hadis
itu sendiri.Dari uraian di atas, al-Qardhawi ingin membawa umat Islam untuk
dapat memahami hadis secara benar dan tepat. Dalam makalah ini akan penulis
jelaskan tentang interaksi dan pemahaman hadits yang diberikan oleh
al-Qardhawi.
B.
Biografi dan Karya-karya Yusuf Qardhawi
Di kalangan
pemikir Islam, Yusuf Qardhawi dikenal sebagai ulama dan pemikir Islam yang unik
sekaligus istimewa. Keunikan dan keistimewaan itu tak lain Karena Qardhawi
memiliki cara atau metodologi yang khas dalam menyampaikan risalah Islam.
Lantaran metodologinya itulah, dia diterima kalangan dunia barat sebagai
pemikir yang selalu menampilkan Islam secara ramah, santun, dan moderat.
Kapasitasnya itulah yang membuat Qardhawi kerap kali menghadiri pertemuan
internasional para pemuka agama-agama di Eropa maupun di Amerika, sebagai wakil
kelompok Islam.[6]
Yusuf
Qardhawi[7]
lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shaft turab di tengah Delta pada 9
september 1926. Yusuf Al-Qardhawi berasal dari keluarga yang tekun beragama.
Sejak umur dua tahun ia telah di tinggal orang tuanya (ayahnya), selanjutnya ia
sebagai anak yatim mulai saat itu diasuh oleh pamannya. Sekalipun bukan di bawah
asuhan ayahnya, namun pamannya memperhatikan dengan baik, selayaknya anak kandungnya
sendiri. Perhatian yang cukup baik dan lingkungan keluarga yang teguh, tekun
dan kuat beragama. Al-Qardhawi pada umur 5 tahun telah mulai menghafal
al-Qur’an sampai menginjak umur 7 tahun. Yusuf Al-Qardhawi di sekolahkan pada
sekolah dasar di ba wah lingkungan Departemen Pendidikan dan Pengajaran Mesir, tepatnya
di Madrasah Tsanawiyah Ma’had Thantha Mesir, untuk belajar ilmu-ilmu umum,
seperti berhitung, sejarah, kesehatan dan sebagainya.[8]
Ketika
berusia lima tahun al-Qardhawi diantarkan oleh pamannya ke salah satu guru
agama yang disebut al-kuttāb di desanya untuk belajar mengaji dan
menghafal Al-Qur’an. Di tempat tersebut al-Qardhawi terkenal sebagai seorang
anak yang sangat cerdas. Dengan kecerdasannya beliau mampu menghafal Al-Qur’an
dan menguasai hukum-hukum tajwidnya dengan sangat baik.[9]
Al-Qardhawi menyempurnakan hafalan Al-Qur’an pada usia sepuluh tahun, dengan
bacaan bertajwid. Karena kemahirannya dalam bidang Al-Qur’an pada masa
remajanya, ia justru dipanggil mengajar di masjid-masjid.
Pada
usia tujuh tahun, beliau masuk ke Madrasah Ilzamiyyah di bawah Kementrian
Pendidikan untuk dengan nama ”Syaikh al-Qardhawi” oleh orang di sekitar
kampungnya, bahkan ia selalu ditunjuk menjadi imam shalat, terutama shalat yang
jahriyah. Setelah keluar dari madrasah tersebut, beliau melanjutkan ke Madrasah
Ibtida-iyyah “Thantha”, yang diselesaikannya dalam waktu empat tahun. Kemudian
pindah ke Madrasah Tsanawiyyah yang sama selama lima tahun.[10] Dia
menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan itu dan
selalu menempati ranking pertama. Kecerdasannya telah tampak sejak dia kecil.
Sehingga salah satu gurunya memberi gelar “al-lamah” (sebuah gelar yang
biasanya diberikan pada seseorang yang memiliki ilmu yang sangat luas). Dia
meraih ranking kedua untuk tingkat nasional, Mesir, pada saat kelulusannya di
sekolah Menengah Umum. Padahal waktu itu dia pernah dipenjarakan.
Setelah
itu ia pergi ke Kairo untuk melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi. akhirnya
ia masuk Fakultas Ushuluddin di Universitas al-Azhar. Ia berhasil memperoleh
ijazah Perguruan Tinggi pada tahun 1952-1953. Beliau meraih ranking pertama
dari mahasiswa yang berjumlah seratus delapan puluh. Kemudian dia memperoleh
ijazah setingkat S2 dan memperoleh rekomendasi untuk mengajar di fakultas
Bahasa dan Sastra pada tahun 1954. Dia kembali meraih ranking pertama dari tiga
kuliah yang ada di al-Azhar dengan jumlah siswa lima ratus orang. Pada tahun
1956, Dr. Yusuf al-Qardhawi bekerja di bagian pengawasan bidang Agama pada
Kementrian Perwakafan di Mesir dengan aktivitas ceramah dan belajar berhitung,
sejarah, kesehatan dan lain-lain. Kemudian diangkat menjadi pemilik lembaga
al-Immah. Pada tahun 1958 dia memperoleh ijazah diploma dari Ma’had Dirasat
al-Arabiyah al-Aliyah dalam bidang bahasa dan sastra. Pada tahun 1959 beliau
dipindahkan ke bagian administrasi umum untuk Tsaqafah Islamiyyah di
Universitas al-Azhar untuk mengawasi penerbitannya, dan bekerja dikantor seni
pengelolaan dakwah dan bimbingan. Sedang di tahun 1960 dia mendapatkan ijazah
setingkat Master di jurusan Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Sunnah di fakultas
Ushuluddin. Pada tahun 1973 dia berhasil meraih gelar Doktor dengan peringkat summa
cum laude dengan disertasi yang berjudul “az-Zakat wa Atsaruha fi Hill
al-Masyakil al-Ijtimaiyyah (Zakat dan Pengaruhnya dalam Memecahkan
Masalah-masalah Sosial Kemasyarakatan)”. Dia terlambat
memperoleh gelar doktornya karena situasi politik Mesir yang tidak menentu.
Pada tahun ini juga didirikan Fakultas Tarbiyah yang merupakan cikal bakal
Universitas Qatar. Kemudian ia dipindahkan ke sana untuk mendirikan sekaligus
memimpin bagian Dirasah Islamiyyah (Islamic Studies). Keterlambatannya meraih
gelar doktoral itu bukannya tanpa alasan. Sikap kritislah yang membuatnya baru
bisa meraih gelar doktor pada tahun 1972. Untuk menghindari kekejaman rezim
yang berkuasa di Mesir, Al-Qardhawi harus meninggalkan tanah kelahirannya
menuju Qatar pada tahun 1961. Di sana, ia sempat mendirikan Fakultas Syariah di
Universitas Qatar. Pada saat yang sama ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah
dan Sunnah Nabi. Ia mendapat kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai
tempat tinggalnya.[11]
Namun
sebelum itu, ia sudah merasakan kerasnya kehidupan penjara. Saat berusia 23
tahun, Al-Qardhawi muda harus mendekam di penjara akibat keterlibatannya dalam
pergerakan Al-Ikhwānul Muslimn saat Mesir masih dijabat Raja Faruk tahun1949.
Setelah bebas dari penjara, ia lagi-lagi menyuarakan kebebasan. Karena
khutbah-khutbahnya yang keras, dan mengecam ketidak adilan yang dilakukan rezim
berkuasa, Ia harus berurusan dengan pihak berwajib. Bahkan, ia sempat dilarang
untuk memberikan khutbah di sebuah Masjid di daerah Zamalik. Alasannya,
khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang ketidakadilan rezim
saat itu. Akibatnya, tahun 1956 (April) ia kembali ditangkap saat terjadi
Revolusi di Mesir. Setelah beberapa bulan, pada Oktober 1956, Al-Qardhawi
kembali mendekam di penjara militer selama dua tahun. Setelah berkali-kali
mendekam dibalik jeruji besi, Al-Qardhawi akhirnya meninggalkan Mesir tahun
1961 menuju Qatar. Di Qatar ini, al-Qardhawi lebih leluasa mengungkapkan
pemikiran-pemikirannya.
Pada
tahun 1977, ia merintis dan mendirikan Fakultas Syari’ah dan Dirasah Islamiyyah
di Universitas Qatar. Sebagaimana ia juga telah menjadi Direktur Pusat
Pengkajian Sunnah dan Sirah Nabawiyyah di Universitas Qatar, di samping
posisinya sebagai dekan fakultas. Melalui bantuan universitas, lembaga-lembaga
keagamaan, dan yayasan-yayasan Islam di dunia Arab, Yusuf Al-Qardhawi sanggup
melakukan kunjungan ke berbagai Negara Islam dan non-Islam untuk misi keagamaan.
Dalam tugas yang sama pada tahun 1989 ia mengunjungi Indonesia.[12]
Dari
kiprahnya, Al-Qardhawi banyak menyumbangkan pemikiran baik dibidang ulum
qur'an, hadits, fikih, sosial maupun tasawuf. Hal tersebut dapat ditelusuri
dari berbagai karya yang berhasil dijumpai, di antaranya adalah:
1. Fiqh al-Zakat, yang memuat tentang asal-muasal zakat, serta
ragamnya, demikian juga yang berkaitan dengan zakat, semisal sodaqoh, infaq dan
lainnya.[13]
2. Fiqh Daulat Fi al-Islam wa al-Hadits, buku tersebut menguraikan bagaimana al-Qur'an
dan Hadits mampu menjawab tantangan zaman dengan munculnya banyak teori
kenegaraan, maka bagaimana kedua sumber yurisprondensi Islam tersebut
menawarkan konsep tentang eksistensi negara Islam.[14]
3. Fiqh al-Shiyam, karya ini menjelaskan bagaimana puasa ditinjau
dari socio-historis sampai macam-macam puasa serta hakekat dari puasa.[15]
4. Huda al-Islam (Fatawa Muashirah), buku ini menjelaskan tentang tanya jawab antara
Yusuf Al-Qardhawi dan masyarakat Mesir seputar aqidah dan fiqh.[16]
5. Al-Shahwat al-Islamiyah Baina Ikhtilaf
al-Masyru wa Al-Tafriq al-Madzmum. Berisi tentang pentingnya meninggalkan sifat individualistic
dan fanatisme buta terhadap madzhab, dan himbauan untuk bersatu serta
mengeliminir perbedaan yang prinsipil.[17]
6. Khithab Syaih al-Al-Qardhawi, yang memuat khutbah-khutbah singkat
Al-Qardhawi.
7. Al-Tsaqafat al- 'Arabiyah al-Islamiyah
al-Ma'ashirah, karya
ini berbicara tentang bagaimana sejarah dan perkembangan peradaban arab
kontemporer.
8. Fiqh Tajdid wa Shalawat al-Islamiyah, buku ini mengupas bagaimana fiqh sebagai bagian
dari metode pemahaman akan ajaran Tuhan yang bersifat aplikatif serta
pembaharuan yang mengikat di dalamnya.[18]
9. Kaifa Nata'amalu Ma'a al-Sunnah al-Nabawiyah, kitab ini mengulas bagaimana berinteraksi
dengan Sunnah dan lika-liku untuk memahaminya supaya umat Islam tidak terjebak
pada berita bohong, sehingga dalam mengamalkan ajaran Islam umat Islam tidak
buta.[19]
10. Fi Fiqh al-Aulawiyat (Dirasat Jadidat f Dla'
al-Qur'an wa al-Sunnah, buku ini
membahas bagaimana fiqh memandang sesuatu pekerjaan yang sesuai dengan syara'
untuk dikerjakan lebih dahulu karena melihat betapa pentingnya perbuatan
tersebut, sehingga dalam buku tersebut sangat kental pola pikir skala
prioritas.[20]
11. Ri'ayat al-Bi'at fi Syari'at al-Islam, buku yang dikenal dengan Islam Agama Ramah
Lingkungan ini merupakan karya yang membahas denganintensif persoalan
lingkungan yang sekarang menjadi kajian mendalam karena kian hari bumi ini
semakin menangis karena sudah tercemari.[21]
12. al-Din fi 'Ashr al-'Ilm, buku ini sebenarnya adalah tanggapan terhadap
kesalahpahaman kaum sekuler dan orang-orang barat menurut Islam terutama
isu-isu kontemporer.[22]
13. al-Sunnah Mashdaran li al-Ma'rifah wa
al-Hadlarah, buku
tersebut berusaha menguak al-Sunnah dalam menjawab tantangan zaman, yang mana
IPTEK dan peradaban semakin maju.[23]
Sebagai
seorang ulama kontemporer dan penulis produktif, berikut ini penulis sajikan
beberapa karya Syaikh Yusuf Qardhawi yang penulis temukan pada buku Metode
Kontemporer Memahami Hadits Nabi. Buku-buku karya al-Qaradhāwī yang telah diterbitkan
antara lain:[24]
1) Al-Dīn fī ‘Ashr al-‘Ilm,2) Fatāwā li al-Mar’ah al-Muslimah, 3)
Fatāwā al-Mu’āshirah, 4) Al-Fatwā baina al-Indhibāth wa al-Tasayyub, 5)
Fī Fiqh al-Aulāwiyyat; Dirāsah al-Jadīdah fī Dhau’ al-Qur’ān wa al-Sunnah, 6)
Al-Fiqh al-Islām baina al-Ashālah wa al-Tajdīd, 7) Fiqh al-Zakāh, 8)
Al-Halāl wa al-Harām, 9) Al-Ibādah fī al-Islām, 10) Al-Ijtihād
fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah ma’a Nazharāt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād
al-Mu’āshir, 11) Al-Ijtihād al-Mu’āshir baina al-indhibāth wa
al-Infirāth, 12) Al-Islām wa al-‘ilmāniyyah wajhan li wajhin, 13) Kaifa
Nata’āmal ma’a al-Qur’ān al-Karīm, 14) Kaifa Nata’āmal ma’a al-Sunnah
al-Nabawiyyah, 15) Al-Khashā’ish al-‘āmmah li al-Islām, 16) Al-Madkhal
li Dirāsah al-Sunnah al-Nabawiyyah, 17) Madkhal li Dirāsah al-Syarī’ah
al-Islāmiyyah, 18) Madkhal li Ma’rifah al-Syarī’ah al-Islāmiyyah, 19)
Min Ajl Shahwah Rasyīdah; Tujaddid al-Dīn wa Tanhadh bi al-Dunyā, 20) Min
Fiqh al-Daulah fi al-Islām, 21) Musykilāt al-Faqr wa Kaifa ‘ālajahā
al-Islam, 22) Al-Niqāb li al-Mar’ah, 23) Kaifa Nata’āmal ma’a
al-Turāts wa al-Madzhab wa al-Ikhtilāf, 24) Al-Shahwah al-Islāmiyyah
baina al-Ikhtilāf al-Masyrū’ wa al-Tafarruq al-Madzmūm, 25) Al-Shahwah
al-Islāmiyyah baina al-Juhūd wa al-Tatharruf, 26) Al-Shahwah al-Islāmiyyah
wa Humūm al-Wathan al-‘Arabī al-Islāmī, 27) Al-Siyāsah al-Syar’iyyah, 28)
Syarī’ah al-Islām Shālihah li al-Tathbīq fi Kull Zamān wa Makān, 29) Taisīr
al-Fiqh fī Dhau’ al-Qur’ān wa al-Sunnah…Fiqh al-Shiyām, 30) Dirāsah fi
Fiqh Maqāshid al-Syarī’ah.
C. Kedudukan
Hadits Menurut Yusuf Qardhawi
Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhawi
memberikan penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang
hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas
hadis. Menurut al-Qardhawi, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu
komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan
memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan
pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.[25]
Atas
dasar inilah maka Al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari
dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum
ekstrem[26],kedua,
manipulasi orang-orang sesat, (Intihal al-Mubthilin), yaitu pemalsuan
terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas
bertentangan dengan akidah dan syari’ah[27],dan
ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin)[28]Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat
terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan
atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang
bodoh.
Untuk
merealisasikan metodenya, Yusuf Qardhawi menerapkan metode pemahaman hadis
dengan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi dengan
sunnah, yaitu;
1.
Meneliti dengan seksama tentang ke-shahih-an hadis
yang dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar
hadis yang dipercaya. Yakni yang meliputi sanad dan matannya, baik yang berupa
ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya.
2.
Dapat memahami dengan benar nash-nash yang
berasal dari Nabi saw. sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka
konteks hadis tersebut serta sebab wurud (diucapkannya) oleh beliau.
Juga dalam kaitannya dengan nash-nashal-Quran dan Sunnah yang
lain, dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-tujuan universal
Islam. Semua itu, tanpa mengabaikan keharusan memilah antara hadis yang
diucapkan demi penyampaian risalah (misi Nabi saw.), dan yang bukan
untuk itu. Atau dengan kata lain, antara Sunnah yang dimaksudkan untuk tasyri’
(penetapan hukum agama) dan yang bukan untuk itu. Dan juga antara tasyri’
yang memiliki sifat umum dan permanent, dengan yang bersifat khusus atau
sementara. Sebab,di antara ”penyakit” terburuk dalam pemahaman sunnah, adalah
pencampuradukan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
3.
Memastikan bahwa nash tersebut tidak bertentangan
dengan nash lainnya yang lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal dari
al-Quran, atau hadis-hadis lain yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih shahih
darinya, atau lebih sejalan dengan ushul. Dan juga tidak dianggap
berlawanan dengan nash yang lebih layak dengan hikmah tasyri’,
atau pelbagai tujuan umum syariat yang dinilai telah mencapai tingkat qath’iy
karena disimpulkan bukan hanya dari satu atau dua nash saja, tetapi dari
sekumpulan nash yang setelah digabungkan satu sama lain mendatangkan
keyakinan serta kepastian tentang tsubutnya (atau keberadaanynya sebagai
nash).[29]
As-Sunnah adalah sumber kedua dalam Islam di bidang
tasyri’ dan dakwah
(tuntunan) nya. Para ahli fiqh merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum, sebagaimana para ahli dakwah dan tarbiyah merujuk kepadanya untuk menggali makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang merasuk ke dalam sanubari manusia. Demikian pula untuk mencari cara-cara efektif dalam rangka menganjurkan perbuatan kebaikan dan mencegah kejahatan.
(tuntunan) nya. Para ahli fiqh merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum, sebagaimana para ahli dakwah dan tarbiyah merujuk kepadanya untuk menggali makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang merasuk ke dalam sanubari manusia. Demikian pula untuk mencari cara-cara efektif dalam rangka menganjurkan perbuatan kebaikan dan mencegah kejahatan.
Berbicara mengenai hadis sebagai sumber ajaran agama
(hukum) berarti kita harus meletakkan hadis dalam kerangka diskursus ushul
fiqh. Menurut ulama ushul fiqh hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi saw. baik ucapan, perbuatan,
maupun ketetapan yang dapat dijadikan dalil hukum shara’. Dari sini dapat
dilihat bahwa ulama ushul menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai musyarri’. Oleh karena itu, produk
hadis ditempatkan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Quran. Penempatan hadis
sebagai sumber hukum Islam tersebut, didasarkan pada beberapa dalil al-Quran,
di antaranya terdapat dalam QS. al-Nisa’: 59 berikut:
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãèÏÛr&©!$#(#qãèÏÛr&urtAqߧ9$#Í<'ré&urÍöDF{$#óOä3ZÏB(bÎ*sù÷Läêôãt»uZs?Îû&äóÓx«çnrãsùn<Î)«!$#ÉAqߧ9$#urbÎ)÷LäêYä.tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ÏQöquø9$#urÌÅzFy$#4y7Ï9ºs×öyzß`|¡ômr&ur¸xÍrù's?ÇÎÒÈ
Artinya: ”Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. Al-Nisa’: 59)
Dalil yang semakna juga dapat ditemukan dalam QS al-Nisa’
ayat 80, yaitu sebagai berikut:
`¨BÆìÏÜãtAqߧ9$#ôs)sùtí$sÛr&©!$#(`tBur4¯<uqs?!$yJsùy7»oYù=yör&öNÎgøn=tæ$ZàÏÿymÇÑÉÈ
Artinya: ”Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (QS. Al-Nisa’: 80)
Kedua ayat tersebut, setidaknya mengisyaratkan adanya
perintah kepada orang-orang yang beriman, untuk taat kepada Allah dan Rasul
yang berarti taat kepada al-Quran dan hadis.[30]
Seseorang dikatakan taat kepada Allah kalau dia juga taat kepada Rasul—Nya, dan
demikian pula sebaliknya.
D. Interaksi
dan Pemahaman Hadits Menurut Yusuf Qardhawi
1. Memahami Hadis Sesuai
dengan Petunjuk al-Quran
Untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari
penyimpangan, pemalsuan, dan penakwilan yang keliru, kita harus memahaminya sesuai
dengan petunjuk al-Quran, seperti yang dijelaskan di dalam surat al-An’aam ayat
115, yakni sebagai berikut:
M£Js?uràMyJÎ=x.y7În/u$]%ôϹZwôtãur4wtAÏdt6ãB¾ÏmÏG»yJÎ=s3Ï94uqèdurßìÏJ¡¡9$#ÞOÎ=yèø9$#ÇÊÊÎÈ
”Dan telah sempurnalah
kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan keadilannya. Tidak ada yang dapat
mengubah-ubah kalimat-Nya dan Dia-lah Yang Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui” (Al-An’am: 115).
Al-Quran adalah roh eksistensi Islam dan asas
bangunannya. Ia adalah konstitusi Illahi yang menjadi rujukan bagi
setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun sunnha Nabi adalah penjelasan
terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis maupun praktis. Sedangkan
As-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam
hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah
tugas Rasulullah saw., ”menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada
mereka”.
Tugas seorang Rasul adalah menjelaskan kepada manusia
risalah yang diturunkan untuk mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah
”penjelasan” bertentangan dengan ”apa yang hendak dijelaskan” atau sebuah
”cabang” tidak mungkin bertentangan dengan ”pokok”. Penjelasan Nabi senantiasa
berkisar pada al-Quran dan tidak pernah melampauinya. Oleh sebab itu, tidak ada
sunnah yang shahih yang bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkamat
keterangan-keterangannya yang jelas.[31]
Jika sebagian orang menganggap adanya pertentangan, hal
ini disebabkan karena hadisnya tidak shahih atau pemahaman kita yang tidak
benar atau tidak sesuai dengan maksud hadits tersebut, dan pertentangan
tersebut bersifat semu, bukan pertentangan yang hakiki. Ini berarti bahwa
sunnah harus dipahami dalam konteks al-Quran.
Seperti dalam hadist : ”Syaawiruu hunna wa khaliquu
hunna” (Bermusyawarahlah bersama mereka, tetapi janganlah mengikuti [hasil
musyawarahnya]), hadits ini adalah merupakan hadits palsu, karena bertentangan
dengan firman Allah tentang sikap kedua orangtua terhadap anaknya yang masih
menyusu, yaitu sebagai berikut:
÷bÎ*sù#y#ur&»w$|ÁÏù`tã<Ú#ts?$uKåk÷]ÏiB9ãr$t±s?urxsùyy$oYã_$yJÍkön=tã3……
”Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka
tidak ada dosa atas keduanya....”
Sehingga menjadi jelas,
bahwa apabila dalam menghadapi perbedaan pemahaman dalam menyimpulkan
makna-makna hadits, maka kita harus dapat memahami dengan cara yang baik dan
benar adalah dengan melihat makna hadits yang didukung oleh al-Quran, karena
isi hadits (cabang) sebagai penjelas al-Quran tidak akan mengandung makna yang
berbeda dengan al-Quran (pokok) sebagai sesuatu yang dijelaskan.
2.
Menghimpun Hadis-hadis yang Terjalin dalam Tema yang Sama
Untuk memahami sunnah Nabi
dengan baik, kita harus menghimpun hadis-hadis yang bertema sama. Hadis-hadis
yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, yang mutlaq
dihubungkan dengan yang muqayyad, dan yang ’am ditafsirkan dengan
yang khas. Dengan demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan
satu sama lain tidak boleh dipertentangkan.[32]
Sebagaimana yang sudah
disepakati, sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas al-Quran. Artinya,
sunnah memerinci ayat-ayat yang global, menjelaskan yang masih samar,
mengkhususkan yang masih umum, dan membatasi yang mutlak. Dengan demikian,
ketentuan-ketentuan tersebut harus diterapkan dalam memahami hadis yang satu
dengan yang lainnya.
Mencukupkan diri dengan
pengertian lahiriah suatu hadis saja tanpa memperhatikan hadis-hadis lainnya,
dan nas-nas lain yang berkaitan dengan topik tertentu seringkali menjerumuskan
orang ke dalam kesalahan, dan menjauhkannya dari kebenaran mengenai maksud
sebenarnya dari konteks hadis tersebut.[33]
Sebagai misal, hadis-hadis
yang berkenaan dengan larangan ”mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki”,
yang mengandung ancaman cukup keras terhadap pelakunya. Yaitu hadis-hadis yang
dijadikan sandaran oleh sejumlah pemuda yang amat bersemangat, untuk
menunjukkan kritik yang tajam terhadap siapa-siapa yang tidak memendekkan tsaub
(baju gamis)—nya sehingga di atas mata kaki. Sedemikian bersemangatnya mereka,
sehingga hampir-hampir menjadikan masalah memendekkan tsaub ini, sebagai syiar Islam terpenting, atau
kewajibannya yang mahaagung. Dan apabila menyaksikan seorang ’alim atau da’i
Muslim yang tidak memendekkan tsaub—nya, seperti yang mereka sendiri
melakukannya, maka mereka akan mencibirnya, dalam hati, atau adakalanya
menuduhnya secara terang-terangan sebagai seorang yang ”kurang beragama”
Padahal, seandainya mereka
mau mengkaji sejumlah hadis yang berkenaan dengan masalah ini, lalu menghimpun
antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan tuntutan agama Islam kepada
para pengikutnya dalam soal-soal yang menyangkut kebiasaan hidup sehari-hari,
niscaya mereka akan mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh hadis-hadis
seperti itu. Dan sebagai akibatnya, mereka akan mengurangi ketegangan sikap
mereka dan tidak menyimpang terlalu jauh dari kebenaran, serta tidak akan
mempersempit sesuatu yang sebetulnya telah dilapangkan oleh Allah SWT bagi
manusia.
Dalam sebuah hadis yang
dirawikan oleh Muslim dari Abu Dzar r.a., dalam ”Kitabul Iman” bagian
kitab Shahihnya, bahwa Nabi SAW bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ
اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، الْمَنَّانُ الَّذِي لَا يُعْطِي شَيْئًا إِلَّا
مَنَّهُ ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْفَاجِرِ ، وَالْمُسْبِلُ
إِزَارَهُ
"
”tiga jenis manusia, yang kelak, pada hari Kiamat, tidak
akan diajak bicara oleh Allah: (1) seorang mannan (pemberi) yang tidak
memberi sesuatu kecuali untuk diungkit-ungkit; (2) seorang pedagang yang
berusaha melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong;
dan (3) seorang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai di bawah kedua mata
kakinya.”
Dalam riwayat lainnya,
juga dari Abu Dzar, yang artinya:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ
اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ
هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ
سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
”Tiga jenis manusia, yang kelak pada hari Kiamat, tidak
diajak bicara oleh Allah, tidak dipandang oleh—Nya, tidak ditazkiah oleh—Nya,
dan bagi mereka tersedia azab yang pedih.” (Rasulullah saw .
mengulangi sabda beliau itu tiga kali, sehingga Abu Dzar berkata: ’Sungguh
mereka itu adalah manusia-manusia gagal dan merugi! Siapa merreka itu, ya Rasulullah?’
Maka jawab beliau): ”Orang yang membiarkan sarungnya terjulur sampai ke
bawah mata kaki; orang yang memberi sesuatu untuk kemudian diungkit-ungkit; dan
pedagang yang melariskan dagangannya dengan bersumpah bohong.”
Hadis di atas juga
didukung oleh hadis yang dirawikan dalam shahihAl-Bukhari, dari
Abu Hurairah: ”Sarung yang di bawah mata kaki, akan berada di neraka.” Yang
dimaksud dengan ”sarung” dalam hadis itu ialah ”kaki” seseorang yang sarungnya
terjulur sampai di bawah mata kakinya. Ia akan dimasukkan ke neraka, sebagai
hukuman atas perbuatannya.[34]
Akan tetapi, berdasarkan
penelitian terhadap sejumlah hadis yang menerangkan bab ini, akan terlihat
pendapat yang dikuatkan oleh Imam Nawawi dan Imam Ibnu Hajar bahwa kemutlakan
makna hadis ini ditafsirkan oleh hadis yang membatasinya karena kesmobongan.
Oleh karena itu, pelakunya dikenai ancaman berdasarkan kesepakatan ulama’.[35] Seperti
hadits yang diriwayatkan Bukhari dalam bab ”Orang-orang yang menyeret kainnya
bukan karena sombong” melalui hadits Abdullah Ibn Umar bahwa Nabi SAW bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ
إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
”Barang siapa yang
menyeret kainnya karena sikap angkuh, maka Allah tidak akan melihatnya di hari
kiamat”
3.
Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadis-hadis yang
(Tampaknya) Bertentangang (Kompromi atau Tarjih
terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif)
Pada prinsipnya, nash-nash
syari’at yang benar tidak mungkin bertentangan. Sebab, kebenaran tidak akan
bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada pertentangan, maka hal itu
hanyalah merupakan keadaan luarnya saja, atau hanya kelihatan di luar saja bertentangan,
tapi makna yang terkandung adalah sama. Dan kewajiban kita terhadap hal
tersebut adalah menghilangkan pertentangan di dalamnya.
Apabila pertentangan
tersebut dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara
kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada sehingga keduanya dapat
diamalkan. Salah satu hal yang penting untuk memahami sunnah dengan baik adalah
menyesuaikan hadis-hadis shahih yang ”tampak” bertentangan, yang kandungannya
sepintas berbeda-beda, serta menggabungkan antara hadis yang satu dengan hadis
yang lainnya.[36]
Kemudian meletakkan masing-masing hadis sesuai dengan tempatnya sehingga
menjadi satu kesatuan dan tidak lagi kelihatan berbeda atau bertentangan karena
keduanya saling melengkapi.
Dalam hal ini, Yusuf Al-Qardhawi
mengambil contoh hadis tentang ziarah kubur bagi wanita. Misalnya, hadis dari
Abu Hurairah, bahwa:
"أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لعن زوارات القبور"
(الترمذي 1056, ابن ماجه 1576, أحمد 8449, قال الترمذي: هذا حديث حسن صحيح)
Rasulullah saw. ”melaknat wanita yang sering
menziarahi kuburan.” (Diraawikan oleh Ahmad, Ibn Majah dan Tirmidzi yang
berkata: ”Hadis ini hasan sahih”, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hibban
dalam shahih—nya).[37]
Hal itu dikuatkan pula
oleh beberapa hadis yang mengandung larangan terhadap kaum wanita untuk
mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula larangan terhadap ziarah
kubur bagi wanita. Walaupun demikian, ada hadis-hadis lainnya yang isinya
berlawanan dengan hadis-hadis di atas. Yakni yang dapat dipahami darinya, bahwa
kaum wanita diizinkan menziarahi kuburan, sama seperti kaum laki-laki. Di
antaranya, sabda Nabi SAW.
كنت
نهيتكم عن زيارة القبور, فزورها او زوروا القبور فإنها تذكر الموت
”Aku pernah melarang
kalian menziarahi kuburan, kini ziarahilah kini ziarahlah” atau “ziarahilah
kuburan-kuburan, sebab itu akan mengingatkan kepada maut.”[38]
Selain hadis tersebut di atas, terdapat lagi hadis Nabi
tentang diperbolehkannya wanita menziarahi kubur. Yaitu ”Ziarahilah
kuburan-kuburan, sebab hal itu akan mengingatkan kepada maut.” Dalam
hadis-hadis tersebut, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum wanita juga.
Demikian pula hadis yang dirawikan oleh Muslim, An-Nasaiy dan Ahmad, dari
Aisyah, katanya: ”Apa yang harus ku ucapkan kepada mereka, ya Rasulullah?”
(Yakni apabila menziarahi kuburan). Jawab beliau:
السلام على أهل الديار من
المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم
للاحقون
”Katakanlah: ’Salam
sejahtera atas kaum Mukminin dan Muslimin, para penghuni rumah-rumah ini.
Semoga Allah merahmati semua kita, yang telah mendahului maupun yang masih
tertinggal. Kami, insyaAllah, akan menyusul kalian.”
Meskipun hadis-hadis ini, yang menunjukkan diizinkannya
(kaum wanita menziarahi kuburan) lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan
hadis-hadis yang melarang, namun menggabungkan semuanya dan berupaya
menyesuaikan makna kandungannya, adalah masih mungkin. Yaitu dengan mengartikan
kata ”melaknat” yang tersebut dalam hadis—sebagaimana dinyatakan oleh
Al-Qurthubiy—yang ditujukan kepada para wanita yang amat sering melakukan
ziarah. Hal itu sesuai dengan bentuk kata zawwarat, yang berkonotasi
”amat sering”. Menurut Al-Qurthubiy, mungkin sebabnya ialah hal itu dapat
mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka kepada pemenuhan hak para suami,
disamping kemungkinan membawa mereka kepada tabarruj serta meratapi
orang-orang yang mati dengan suara keras, dan lain-lainnya lagi. Mungkin dapat
dikatakan pula bahwa jika semua itu dapat dihindarkan, maka tak ada salahnya
memberi izin kepada mereka. Sebab, soal mengingat mati adalah sesuatu yang
diperlukan bagi kaum laki-laki maupun wanita.
Berkata Asy-Syaukani: ”Pendapat itulah yang sepatutnya
dijadikan andalan dalam upaya penggabungan antara hadis-hadis yang tampaknya
saling bertentangan menurut zahirnya.”[39]
Dan apabila tidak mungkin menggabungkan antara dua hadis
atau berbagai hadis yang pada zahirnya saling bertentangan, barulah diupayakan
pentarjihan. Yaitu dengan mentarjihkan (atau ’memenangkan’) salah satu darinya,
dengan berbagi alasan pentarjih yang tentukan oleh para ulama.
Soal Naskh dalam
Hadis, Masalah yang berkaitan erat dengan kontradiksi dalam
hadis adalah persoalan naskh (pengahapusan) atau yang biasa kita dengan
istilah nasikhmansukh (yang menghapus dan yang dihapus) dalam
hadis.Sebagian ahli hadis menggunakan naskh apabila mereka mengalami kesulitan
di dalam menggabungkan dua hadis yang bertentangan dan kemudian di antara
keduanya diketahui mana hadis yang muncul belakangan.
Banyaknya hadis yang diasumsikan sebagai mansukh,
membuat problematika dalam hadis lebih rumit dibandingkan dengan naskh
di dalam al-Quran, karena al-Quran bersifat umum dan universal. Namun, setelah
diadakan penelitian hadis yang dikatakan mansukh tidaklah demikian.
Karena di antara hadis-hadis itu ada yang mengandung ketetapan (’azimah),
dan ada pula yang dimaksudkan sebagai keringanan (rukhshah). Dan di
antara keduanya mempunyai hukum masing-masing sesuai dengan kedudukannya.
4. Memahami Hadis dengan
Mempertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi dan Kondisinya Ketika Diucapkan,
serta Tujuannya.
Untuk
memahami hadis secara tepat dibutuhkan pengetahuan tentang sebab-sebab khusus
yang melatarbelakangi timbulnya hadis, sehingga dapat ditemukan illat yang
menyertainya. Kalau ini tidak
dipertimbangkan, maka pemahaman akan menjadi salah dan jauh dari tujuan syari`.
Hal ini mengingat hadis Nabi merupakan penyelesaian terhadap problem yang
bersifat local, particular, dan temporal. Dengan mengetahui hal ini, seseorang
dapat melakukan pemilahan antara yang umum, sementara dan abadi, dan antara
yang universal dengan particular.[40]
Dalam
pandangan Yusuf al-Qardhawi, jika kondisi telah berubah, dan tidak ada illat
lagi, maka hukum yang bersinggungan dengan suatu nash akan gugur. Demikian juga
dengan hadis yang berlandaskan suatu kebiasaan bersifat temporer yang berlaku
pada masa Nabi dan mengalami perubahan pada masa kini, maka yang dipegangi
adalah maksud yang dikandungnya dan bukanlah pengertian harfiyah. Seperti
contoh hadis:
أنتم
أعلم بأمر دنياكم ...الحديث رواه مسلم
Hadis
ini tidak tepat apabila dimaknai, untuk urusan dunia Rasul menyerahkan
sepenuhnya kepada umat Islam,
karena dalam berbagai bidang:
ekonomi, sosial,politik dll. Rasul telah memberikan garis yang jelas. Hadis ini harus dipahami menurut sebab khusus yang menyertainya, yakni
bahwa untuk urusan penyerbukan kurma, maka para petani Madinah memang lebih
ahli ketimbang Rasul. Maksud hadis Nabi
terhadap keahlian profesi ataupun keahlian lainnya. Jadi, para petani lebih
mengetahui tentang dunia pertanian daripada mereka yang bukan petani. Para
pedagang lebih mengetahui dunia perdagangan daripada para petani. Petunjuk Nabi
tentang penghargaan terhadap keahlian profesi atau bidang keahlian itu bersifat
universal.[41]
Kita mengetahui bahwa para ulama kita telah menyatakan
bahwa untuk memahami al-Quran dengan benar, haruslah diketahui tentang asbab
an-nuzul (sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat al-Quran).
Agar kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan seperti yang terjadi atas
sebagaian kaum ekstrem dari kalangan Khawarij atau yang seperti mereka. Yaitu,
yang mengambil ayat-ayat yang Turín berkenaan dengan kaum musyrik, lalu
menerapkannya atas kaum muslim.
Demikianlah, jika asbab an-nuzul perlu
diketahui oleh siapa saja yang ingin memahami al-Quran atau menafsirkannya,
maka asbab al-wurud (sebab atau peristiwa yang melatarbelakangi
diucapkannya suatu hadis) lebih perlu lagi untuk diketahui.
Hal tersebut mengingat bahwa al-Quran, sesuai dengan
wataknya, adalah universal dan abadi. Karena itu, ia tidak berkepentingan untuk
membicarakan hal-hal yang detil atau yang hanya berkaitan dengan waktu
tertentu. Kecuali untuk menyimpulkan darinya prinsip-prinsip tertentu atau
menunjukkan pelajaran (‘ibrah) apa yang kiranya dapat diambil darinya.
Lain halnya dengan as-Sunnah, sebab ia memang
menangani pelbagai problem yang bersifat local (maudhi’iy), particular (juz’iy)
dan temporal (‘aniy). Di dalamnya juga terdapat dalam al-Quran.
Oleh sebab itu, haruslah dilakukan pemilahan antara
apa yang bersifat khusus dan yang umum, yang sementara dan yang abadi, serta
antara yang particular dan yang universal. Semua itu mempunyai hukumnya
masing-masing. Dan dengan memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta asbab
an-nuzul dan asbab al-wurud, pasti akan lebih mudah mencapai
pemahaman yang tepat dan lurus, bagi siapa saja yang beroleh taufik Allah
SWT.
Dalam hadis lain, penulis mengambil contoh tentang keharusan
wanita disertai mahramnya ketika bepergian jauh. Disebutkan dalam Shahih
Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Abbas, secara marfu’: “Tidak
dibolehkannya seorang perempuan bepergian jauh kecuali ada seorang mahram
bersamanya.”[42]
‘Illah (alasan) di balik larangan ini ialah
kekhawatiran akan keselamatan perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa
disertai suami atau mahram. Ini mengingat bahwa di masa itu, orang
menggunakan kendaraan unta, baghal ataupun keledai dalam perjalanan mereka,
seringkali mengarungi padang pasir yang luas atau daerah-daerah yang jauh dari
hunian manusia. Dalam kondisi seperti itu, seorang perempuan yang bepergian
tanpa disertai suazi ataupun mahramnya,
tentunya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau—paling sedikit—nama baiknya
dapat tercemar.
Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah,
seperti di masa kita Sekarang, ketika perjalanan jauh ditempuh dengan
menggunakan pesawat terbang yang mengangkut seratus orang penumpang atau lebih,
maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita bepergian
sendiri. Karena itu, tidak ada salahnya, ditinjau dari segi syariat, jika ia
melakukannya. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindak pelanggaran terhadap
hadis tersebut.
5. Membedakan antara
Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap
Di antara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam
memahami as-Sunnah, ialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan
atau sasaran yang hendak dicapai oleh as-Sunnah dengan prasarana temporer atau
lokal yang kadangkala menunjang pencapaian tujuan. Mereka lebih mementingkan
sarana ini, seolah-olah itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Padahal, siapa
saja yang mendalami.
Setiap sarana dan prasana, mungkin saja berubah dari
suatu masa ke masa lanilla, dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya;
bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadis
menunjuk kepada sesuatu yang menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka
itu hanyalah untuk menjelaskan tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak
dimaksudkan untuk mengikat kita dengannya, ataupun membekukan diri kita
disampingnya.[43]
Sebuah contoh yaitu hadis tentang siwak
(sepotong kayu lunak dari pohon tertentu) untuk membersihkan gigi, tujuannya
adalah kebersihan mulut sehingga mendatangkan keridhaan Allah, seperti disebutkan
dalam hadis ”siwak menyebabkan kesucian mulut serta keridhaan Tuhan.”
Adakah penggunaan siwak itu merupakan suatu tujuan
tersendiri? Ataukah ia hanya suatu alat yang cocok dan mudah diperoleh di
jazirah Arab, sehingga Rasulullah saw. menganjurkan penggunaannya, demi
memanfaatkan sesuatu yang mudah didapat oleh mereka?![44]
Oleh sebab itu, tidak ada salahnya, bagi
masyarakat-masyarakat lainnya yang tidak mudah memperoleh kayu siwak itu,
menggantikannya dengan alat lainnya yang dapat diproduksi secara besar-besaran,
cukup untuk digunakan oleh jutaan orang; seperti sikat—gigi yang kita kenal
sekarang. Begitulah yang telah dinyatakan oleh sejumlah fuqaha’.
Dengan ini, kita mengetahui bahwa sikat gigi dan pasta
gigi (seperti yang digunakan sekarang) sepenuhnya dapat menggantikan kayu arak.
Terutama di rumah, setelah makan, atau ketika hendak tidur.
6. Membedakan antara yang
Hakekat dan Ungkapan
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau
metafora, karena rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul
menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat
mengesankan. Adapun yang termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, isti’arah.
Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara
langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik
yang bersifat tekstual ataupun kontekstual. Sebagai misal, dalam surat al-Ahzab
yang berbunyi:
$¯RÎ)$oYôÊttãsptR$tBF{$#n?tãÏNºuq»uK¡¡9$#ÇÚöF{$#urÉA$t6Éfø9$#urú÷üt/r'sùbr&$pks]ù=ÏJøtsz`ø)xÿô©r&ur$pk÷]ÏB$ygn=uHxqurß`»|¡RM}$#(¼çm¯RÎ)tb%x.$YBqè=sßZwqßgy_ÇÐËÈ
”Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu Amat zalim dan Amat bodoh.” (Al-Ahzab:
72)
Bahkan adakalanya pemahaman berdasarkan majaz itu, merupakan suatu keharusan. Atau, jika
tidak, orang akan tergelincir dalam kekeliruan. Ketika Rasulullah saw. berkata kepada istri-istri beliau[45]: ”Yang
paling cepat menyusulku di antara kalian (sepeninggalku) adalah yang paling
panjang tangannya,” mereka mengira bahwa yang dimaksud oleh beliau, adalah
yang benar-benar bertangan panjang. Karena itu, seperti dikatakan oleh Aisyah r.a.; mereka
saling mengukur, siapa di antara mereka yang tangannya paling panjang. Bahkan,
menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk mengukur tangan
siapakah yang paling panjang?!
Padahal Rasulullah tidak bermaksud seperti itu. Yang
dimaksud oleh beliau dengan ”tangan yang paling panjang” ialah yang paling
banyak kebaikannya dan kedermawanannya.[46]
Maksudnya membedakan antara yang gaib dan alam kasatmata
(nyata), di sini adalah dalam hal memaknai teks hadis. Di antara kandungan As-Sunnah,
ada beberapa hal yang berkaitan dengan
alam gaib (’alamal-ghaib), yang sebagiannya menyangkut
makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat,
mereka adalah jenis makhluk spiritual (halus), tercipta dari cahaya, nur, tak
dapat ditangkap dengan indera dan tidak memiliki bentuk fisik. Makhluk-makhluk
yang tidak bersifat fisik ini tidak makan, tidak minum, tidak kawin dan juga
tidak berketurunan. Mereka juga tidak mempunyai sifat kelamin, lelaki atau
perempuan. Mereka memang diciptakan untuk taat saja kepada Allah SWT. Dari
mereka terpancar dzikir, tasbih, dan ibadah, sebagaimana halnya nafas yang keluar dari seorang manusia.
Mereka juga tidak dibebani kewajiban sebagaimana yang diberikan Allah kepada
manusia.[48]
Juga seperti jin, penghuni bumi yang dibebani pula
kewajiban-kewajiban tertentu seperti kita (manusia) juga, yang mereka itu dapat
melihat kita dan kita tidak dapat melihat mereka. Dan di antara mereka itu
adalah setan-setan, tentara Iblis yang pernah bersumpah di hadapan Allah SWT
untuk berupaya menyesatkan kita dan memperindah kebatilan dan kejahatan dalam
pandangan kita. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dijelaskan:
tA$s%y7Ï?¨ÏèÎ6sùöNßg¨ZtÈqøî_{tûüÏèuHødr&ÇÑËÈwÎ)x8y$t7ÏããNßg÷YÏBúüÅÁn=øÜßJø9$#ÇÑÌÈ
”iblis
menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya,
kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka”[Shad: 82-83] (Yang
dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq untuk
mentaati segala petunjuk dan perintah Allah SWT)
Dan sebagian lagi dari hal-hal gaib ini bersangkutan
dengan kehidupan di alam barzakh; yakni kehidupan setelah mati dan
sebelum kebangkitan di hari kiamat. Termasuk di dalamnya, pertanyaan-pertanyaan
malaikat ketika manusia berada dalam kuburnya; demikian pula tentang kenikmatan
ataupun siksaan di dalamnya. Dan sebagiannya lagi berkaitan dengan kehidupan
akhirat; yakni kebangkitan dan pengumpulan manusia di padang mahsyar,
peristiwa-peristiwa besar pada hari kiamat, syafaat (dari para nabi,
khususnya dari Nabi Muhammad saw.), mizan (neraca amalan manusia), hisab,
shirath, surga serta pelbagai kenikmatan di dalamnya; baik yang bersifat
material maupun spiritual, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya; dan
juga neraka serta pelbagai siksaan di dalamnya, baik yang inderawi maupun yang
maknawi, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya. Begitu pula dengan ’arsh
dan kursy yang tidak dapat disaksikan oleh indera penglihatan manusia.
Apabila
hadis tentang itu semua shahih, kita hanya dapat berkata dengan penuh
keyakinan, “kami percaya dan membenarkannya” sambil meyakini bahwa di akhirat
ada aturan tersendiri yang berbeda dengan tatanan di dunia.
Dalam memahami suatu hadis haruslah dapat memastikan
makna dan konotasi yang dimaksud dalam hadis. Sebab, penggunaan atau pemaknaan
kata dan konotasi setiap masyarakat atau masing-masing orang itu berbeda-beda
dalam memaknai suatu kata.
Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata
tertentu untuk menunjuk kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak
ada keberatan sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi yang ditakutkan di sini
adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata tersebut yang digunakan dalam
as-Sunnah (atau juga dalam al-Quran) sesuai dengan istilah mereka yang baru
(atau yang hanya digunakan di kalangan mereka saja).
E. Kesimpulan
Dari pemikiran yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi
ini mengindikasikan bahwa metode yang
yang ditawarkan oleh al-Qardhawi telah menimbulkan dialog yang marak baik yang
pro maupun yang kontra, yang pada akhirnya membuka peluang adanya upaya
pengembangan dalam wawasan studi pemikiran hadis.
Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhawi
bukan sesuatu yang sama sekali baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh
Yusuf al-Qardhawi merupakan refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan
Yusuf al-Qardhawi dari realitas masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan
para ulama jauh hari sebelumnya. Selain itu, pentingnya memberikan corak baru
dalam studi pemahaman hadis, mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas
sekarang ini dengan sejarah bagaimana sebuah hadis muncul.
Jika dicermati beberapa prinsip pemahaman hadis nabi
yang ditawarkan oleh Yusuf Al-Qardhawi sebenarnya sangat urgen untuk menggali
nilai-nilai hadis yang relevan dengan kebutuhan historis sekarang ini. Hal ini
penting mengingat pemahaman atas kedudukan hadis nabi harus relevan dengan
dirinya dan pada saat yang sama menjadi relevan dengan masyarakat sekarang ini.
Relevan dengan dirinya sendiri berarti kandungan maknanya terbatas pada
nilai-nilai yang dikandungnya, relevan dengan kondisi masyarakat sekarang ini
berarti bahwa relevansi tersebut berlangsung pada pemahaman yang rasional.
Bagaimanapun juga berbagai macam temuan dan teknologi
yang cukup pesat mengharuskan perlunya pengkajian terhadap pemahaman hadis
nabi. Interaksi antara budaya yang berkembang dengan ajaran Islam yang
bersumber dari teks, untuk selanjutnya dapat dipastikan akan berhadapan dengan
kenyataan yang lebih berat dan kompleks. Oleh sebab itu, aspek budaya tidak dapat diabaikan dalam
kajian hadis.
Munculnya pemahaman hadis perspektif Yusuf Qardhawi
mengarah pada upaya pengembangan pemikiran hadis sebagai sesuatu yang positif
untuk ditumbuhkembangkan. Beberapa kriteria yang ditawarkan Yusuf Qardhawi
telah memberi manfaat dalam menggali nilai-nilai hadis yang relevan konteks
historis saat ini. Namun disisi lain harus disadari, maraknya berbagai
pemahaman terhadap hadis nabi membuka peluang semakin melebarnya perpecahan di
kalangan umat Islam, jika perbedaan pandangan itu tidak disikapi secara bijak,
dengan menganggap produk mereka sendiri yang paling benar dan pemikiran
orang/kelompok lain yang berseberangan dengan mereka adalah salah.
DAFTAR
RUJUKAN
Al-Qardhawi, Yusuf . 1999. Bagaimana
Memahami Hadis Nabi Saw. Bandung: Karisma
Al-Qardhawi,Yusuf. 1999. As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan
Peradaban. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Al-Qardhawi, Yusuf. 1995. Studi Kritis As-Sunnah.
Bandung: Trigenda Karya
Al-Qardhawi, Yusuf. 1999. Kaifa
Nata’amal Ma’a al-Sunnah Al-Nabawiyah (Bagaimana Memahami Hadis Nabi
) terj. Muhammad Al-Baqir. Bandung:
Karisma
Al-Qardhawi, Yusuf. 2007. Pengantar Studi Hadis,
terjmahan Agus Suyadi, Bandung: Pustaka Setia
Arif, Syamsuddin. 2008. Orientalism dan
Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani
Fauziyah, Ririn. 2010. “Pemikiran Yusuf Qardhawi
Mengenai Zakat Saham Dan Obligasi”. Skripsi Jurusan Al-Ahwal
Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
Ismail,
Syuhudi. 1994. Hadis Nabi Yang
Tekstual Dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani Al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang
Universal, Temporal, Dan Local. Jakarta: Bulan Bintang
Kurdi,
dkk. 2010. Hermeneutika Al-Qur’anDan Hadis. Yogyakarta: El-Saq
Press
Mahalli,A. Mudjab. 2001. Menelusuri
Makna Sabda Nabi. Yogyakarta:Izzan Pustaka
MZ, Zainuddin. Dkk.
2011. Studi Hadits. Surabaya:
IAIN SA Press
Soebahar, H.M Erfan. 2003. Menguak Fakta
Keabsahan Al-Sunnah, Kritik Mushthafa Al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin
Mengenai Hadits dalam Fajr Al-Islam. Jakarta: Prenada Media Kencana
Sulaiman L, M. Noor. 2008. Antologi Ilmu
Hadits Jakarta: Gaung Persada Press
Suryadi. 2008. Metode Kontemporer Memahami
Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yūsuf al-Qaradhāwī.
Yogyakarta: Teras
Yusuf,Hery. 2003. Ensiklopedi
Tokoh Islam: Dari Abu Bakar Hingga Nasr Dan Qardhawi, Jakarta: Mizan
Republika
Zulfah, Umi. 2004. “Riba dan Bunga Bank Menurut
Yusuf al-Qaradhawi : Kajian Atas Penafsiran Yusuf al-Qaradhawi terhadap Q.S.
al-Baqarah : 275 dalam Bukunya Fawāid al-Bunūk Hiya al-Ribā al-Harām”,
skripsi Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Zumrodi. 2009. Jurnal Hermeneutik Volume
4, Nomer 1
[1]H.M
Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Kritik Mushthafa
Al-Siba’i terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadits dalam Fajr Al-Islam,.
(Jakarta: Prenada Media Kencana, 2003), edisi pertama, hlm. 4
[2]Zainuddin MZ dkk, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA
Press.2011), hlm.47
[3] A. Mudjab Mahalli Menelusuri Makna Sabda Nabi. (Yogyakarta:Izzan
Pustaka.2001),hlm.8
[4]M. Noor
Sulaiman L, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008),
cet.I, hlm. 204
[5]Syamsuddin
Arif, Orientalism dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani.
2008), hlm. 1
[6]Hery Yusuf, Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakar Hingga Nasr
Dan Qardhawi, Jakarta: Mizan Republika, 2003, hlm. 360
[7]Nama lengkapnya adalah Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf.
Sedangkan al-Qardhawi merupakan nama keluarga yang diambil dari nama daerah
tempat mereka berasal, yakni al-Qarādhah. Keluarga beliau adalah
keluarga yang sederhana, ayahnya bermata pencaharian sebagai petani dan juga
berdagang, sedangkan pekerjaan keluarga al-Qaradhāwi dari pihak ibu adalah
pedagang. Zumrodi, Jurnal Hermeneutik Volume 4, Nomer 1, Januari 2009, Hal: 166
[8]Yusuf Al-Qardhawi, Pasang
Surut Gerakan Islam, terj. Ahmad Syaifuddin, Media Dakwah, Jakarta, t.th., hlm.
154
[9]Ririn Fauziyah, “Pemikiran
Yusuf Qardhawi Mengenai Zakat Saham Dan Obligasi”, skripsi Jurusan Al-Ahwal
Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang (2010), hlm. 55
[11]Umi Zulfah, “Riba
dan Bunga Bank Menurut Yusuf al-Qaradhawi : Kajian Atas Penafsiran Yusuf
al-Qaradhawi terhadap Q.S. al-Baqarah : 275 dalam Bukunya Fawāid al-Bunūk Hiya
al-Ribā al-Harām”, skripsi Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta (2004), hlm. 20
[13]Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh al-Zakat, Dar
al-Qalam li al-Nasy al-Tauzi', Mesir, 1987
[14]Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Daulat, Dar
al-Qalam li al-Nasy al-Tauzi', Mesir, 1989
[15]Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh al-Shiyam, Dar
al-Qalam li al-Nasy al-Tauzi', Mesir, t.th
[16]Yusuf Al-Qardhawi, Huda al-Islam (Fatawa Mu
'ashirah), Dar al-Qalam li al-Nasy al-Tauzi', Mesir, 1990
[17]Yusuf Al-Qardhawi, Al-Shahwat al-Islamiyah
Baina Ikhtilaf al-Masyru wa Al-Tafriq al-Madzmum, Dar al-Qalam li al-Nasy
al-Tauzi', Mesir, 1990
[18]Yusuf Al-Qardhawi, Fiqh Tajdid wa Shalawat
al-Islamiyah, terj. Didin Hafifuddin., Mizan, Jakarta, 1999
[19]Yusuf Al-Qardhawi, Kaifa Nata'amalu Ma'a
al-Sunnah al-Nabawiyah, al-Ma'had al-'Alami li al-Fikr al-Islamiy, USA, t.th.
[20]Yusuf Al-Qardhawi, Fi Fiqh al-Aulawiyat
(Dirasat Jadidat fi Dla' al-Qur'an wa al-Sunnah,, terj. Bahruddin., Robbani
Press, Jakarta, 2002. Buku tersebut naik cetak pertama kali pada tahun 1995
pada Maktabah Wahbah, Kairo, Mesir.
[21]Yusuf Al-Qardhawi, Ri'ayat al-Bi'atfi
Syari'at al-Islam, terj. Abdullah Hakam. et.al., Pustaka Kautsar, Jakarta,
2002. Walaupun manuskrip aslinya baru naik cetak pada tahun 2001 pada Dar
al-Syaruq, akan tetapi sudah banyak di alih bahasakan keberbagai bahasa dunia,
di antaranya adalah Indonesia.
[22]Yusuf Al-Qardhawi, al-Din fi 'Ashr al-'Ilm,
terj. Ghazali Mukri., 'Izzan Pustaka, Yogyakarta, 2003.
[23]Yusuf Al-Qardhawi, al-Sunnah Mashdaran li
al-Ma'rifah wa al-Hadlarah, terj. Setiawan Budi Utomo (AS-Sunnah Sebagai Sumber
IPTEK dan Peradaban), Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1998
[24]Suryadi,
Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-Ghazali dan
Yūsuf al-Qaradhāwī. (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 53
[25]Yusuf Al-Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a
al-Sunnah Al-Nabawiyah (Bagaimana Memahami Hadis Nabi ) terj. Muhammad Al-Baqir (Bandung: Karisma, 1999)
cet. VI, hlm. 92.
[26] Penyimpangan atau distorsi datang dari sikap ekstrem yang menjauhi
jalan tengah, menjauhi jalan lurus yang lapang dan menjauhi kemudahan. Yang
dimaksud ekstrem disini adalah sikap berlebihan (ghulum). Ada 2 kelompok yang
masuk kategori ini, yaitu kelompok ekstrem yang mengambil sikap dari keinginan
yang sangat kuat untuk mencontoh perilaku Nabi dalam setiap perilaku dan
perbuatannya. Padahal, banyak yang mereka sunnah, sebenarnya hanyalah adat
istiadat arab. Kelompok kedua yaitu kelompok skeptic, mencampurkan antara apa
yang menjadi kajian agama dan apa yang tidak menjadi kajian agama. Qardhawi
lebih memilih sikap moderat dan adil, yang membedakan antara sunnah yang
berdimensi syari’at dengan sunnah yang tidak berdimensi syari’at.
[27] Agar terhindar dari manipulasi ini, maka disyaratkan adanya
ketelitian dalam masalah isnad. Sebagaimana syarat yang diajukan oleh ahli hadis
dalam menguji validitas hadis, yakni tsiqqah, adil, dhabith, tidak syad dan
tidak illat.
[28]Yakni dengan cara menghilangkan berbagai hukum dari batang tubuhnya.
[29] Yusuf Qardhawi, Bagaimana
Memahami Hadis…, hlm. 26-27.
[30] ‘A.Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da’wah
al-Islamiyah, 1990), hlm. 21.
[31]Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, terjmahan Agus Suyadi,
Bandung: Pustaka Setia, 2007 hlm.153
[33] Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami
Hadis Nabi. Op. Cit. hlm. 113
[35]Yusuf Al-Qardhawi, Studi Kritis
As-Sunnah, (Bandung: Trigenda Karya, 1995), hlm. 117
[36]Apabila pertentangan tersebut dapat dihilangkan dengan cara
menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, hal itu lebih baik daripada
mentarjihkan antara keduanya. Sebab, pentarjihan berarti mengabaikan salah satu
dari keduanya dan memperioritaskan yang lainnya.Yusuf Qardhawi, Pengantar
Studi Hadis, terj. Agus Suyadi, Bandung: Pustaka Setia, 2007 hlm. 178-179
[37] Tirmidzi dalam bab Janaiz (1056),
Ibn Majah (1576) dan Ahmad (2 / 337). Juga dirawikan oleh Al-Baihaqy dalam As-Sunan
(4/ 78)
[38] Ahmad dan Al-Hakim dari Anas, sebagaimana
disebutkan dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (4584)
[39] Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami
Hadis Nabi saw.,Op. Cit.Hlm.122.
[41]Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual: Tela’ah
Ma’ani Al-Hadis Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, Dan Local, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1994), hlm. 58
[42] Yusuf
Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma,
1999), hlm. 71
[43]Yusuf Al-Qardhawi, Studi Kritis
As-Sunnah, Op. Cit. Hlm. 162
[44]Contoh lain adalah hadis:خيرماتداويتمبهالحجامة. رواهاحمدوغيره, hadis ini memberitahukan
bahwa sebaik-baik obat ialah berbekam.
Berbekam ini merupakan sarana,
jadi ketika telah ditemukan obat yang lebih baik, berbekam tidak lagi dianggap
yang terbaik, dan ini tidak menyalahi hadis. Menurut Yusuf al-Qardhawi, resep
yang disebutkan dalam hadis ini bukanlah “roh” dari pengobatan Nabi. Roh-nya
adalah memelihara kesehatan dan kehidupan manusia, keselamatan tubuh, kekuatan
serta haknya untuk beristirahat jika lelah, dan berobat jika sakit. Berobat
tidak bertentangan dengan keimanan pada takdir ataupun tawakkal kepada Allah.Yusuf
al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, Op. Cit, hlm. 220
[45]حَدَّثَنَا مَحْمُودُ
بْنُ غَيْلاَنَ أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى السِّيْنَانِىُّ
أَخْبَرَنَا طَلْحَةُ بْنُ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ طَلْحَةَ
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « أَسْرَعُكُنَّ
لَحَاقًا بِى أَطْوَلُكُنَّ يَدًا ». قَالَتْ
فَكُنَّ يَتَطَاوَلْنَ أَيَّتُهُنَّ أَطْوَلُ يَدًا. قَالَتْ
فَكَانَتْ أَطْوَلَنَا يَدًا زَيْنَبُ لأَنَّهَا كَانَتْ تَعْمَلُ بِيَدِهَا
وَتَصَدَّقُ(Shahih muslim No. 6470).
[46]Yusuf Al-Qardhawi, Studi Kritis
As-Sunnah, Op. Cit. Hlm. 186-188
[48] Yusuf Al-Qardhawi, As-Sunnah Sebagai
Sumber IPTEK dan Peradaban (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), hlm. 117.
[49]Yusuf Al-Qardhawi, Studi Kritis
As-Sunnah, Op. Cit. Hlm. 218-220
No comments:
Post a Comment