Taman

Friday, June 20, 2014

Kajian Tentang Hadits Sunni dan Syi'i

Mahasiswa STAIMA Al-Hikam Malang
Prodi PAI
Akreditasi: A
==========================================
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Al-Hadits adalah salah satu sumber tasyri’ penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penfasir al-Qur’an. Itulah sebabnya, di kalangan Ahl al-Sunnah, menjadi sangat penting untuk menjaga dan mengawal pewarisan al-Sunnah ini dari generasi ke generasi. Mereka misalnya menetapkan berbagai persyaratan yang ketat agar sebuah hadits dapat diterima (dengan derajat shahih ataupun hasan). Setelah meneliti dan membuktikan keabsahan sebuah hadits secara sanad, mereka tidak cukup berhenti hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk mengkaji matannya; apakah ia tidak syadz atau mansukh. Demikianlah seterusnya, hingga mereka dapat menyimpulkan dan mendapatkan hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah.
Di samping metodologi Jumhur sebagai salah satu kelompok Islam terbesar, ternyata Syiah Imamiyah sebagai salah satu kelompok Syiah terbesar juga memiliki perhatian khusus terhadap al-Hadits. Namun mereka memiliki jalur sanad dan sumber khusus dalam menerima hadits yang berbeda dengan sanad dan sumber Jumhur. Ini tentu saja tidak mengherankan, sebab Syiah Imamiyah memiliki pengertian tersendiri tentang Jumhur. Maka perbedaan ini tidak pelak lagi kemudian memunculkan perbedaan antara Jumhur dengan mereka dalam persoalan keaqidahan maupun kefiqihan. Oleh karena itu, tentu menjadi menarik untuk mengetahui lebih jauh tentang hadits menurut Syiah  secara umum, tanpa membahas perpecahan golonngan ini.

B.      Rumusan Masalah
1.     Siapakah yang termasuk Ahl al-Sunnah dan Syi’ah?
2.     Bagaimana tadwin hadis perspektif Sunni dan Syi’i?
3.     Bagaimana epistemologi hadis  Sunni dan Syi’i?
4.     Apa literatur utama hadis Sunni dan Syi’i?
5.     Bagaimana klasifikasi dan syarat hadis Sunni dan Syi’i?
C.      Tujuan
1.     Untuk mengetahui kaum yang termasuk Ahl al-Sunnah dan Syi’ah.
2.     Untuk memahami tadwin hadis perspektif Sunni dan Syi’i.
3.     Untuk memahami epistemologi hadis  Sunni dan Syi’i.
4.     Untuk mengetahui literatur utama hadis Sunni dan Syi’i.
5.     Untuk memahami klasifikasi dan syarat hadis Sunni dan Syi’i.








BAB II
PEMBAHASAN

Secara umum dikatakan dikatakan bahwa pada masa kini ada dua kelompok umat Islam dengan jumlah pengikut yang besar, (1) yaitu kelompok Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah dan (2) kelompok Syi’ah
1.   Ahl al-Sunnah
Sunnah secara harfiah berarti tradisi, Ahl as-Sunnah berarti orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad  s.a.w., dalam hal ini adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupun amalan beliau serta sahabat mulia beliau.
M. Quraish Shihab dalam bukunya “Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” menyatakan bahwa menemukan kesukaran untuk menjelaskan siapa saja yang dinamai Ahl as-Sunnah dalam pengertian terminology, karena banyaknya kelompok-kelompok yang termasuk di dalamnya.[1] Sementara pakar menyatakan bahwa kelompok Ahl as-Sunnah muncul sebagai reaksi atas paham Mu’tazillah, yang disebarkan pertama kali oleh Washil bin ‘Atha’ (w. 131 H/748 M), dan yang sangat mengandalkan akal dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran Islam.
Dalam surat Syaikh al-Azhar, Salim al-Bisyri, kepada seorang tokoh Syiah, yaitu Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi, dipahami bahwa yang dimaksud dengan Ahl as-Sunnah adalah golongan terbesar kaum Muslim yang mengikuti aliran Asy’ari dalam urusan akidah dan keempat imam mazhab (Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan Hanafi), dalam urusan Syari’ah.[2] Sedang pengarang al-Farqu bain al-Firaq menyatakan dengan pasti bahwa termasuk pula dalam kategori Ahl as-Sunnah adalah para pengikut al-Auza’iy (88-150 H/707-774 M), ats-Tsaury (w. 161 H), Ibn Ali Laila, dan Ahl adh-Dhahir.[3] Ini dalam bidang fiqh/hukum. Sedang dalam bidang akidah, tokoh-tokoh utama paham ini adalah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/936 M), al-Baqillani (403 H/1013 M), walau tidak semua pendapat al-Ays’ari disetujuinya. Tokoh penting lainnya adalah Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H/1085 M) dan yang paling berperanan dalam penyebarannya adalah imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M).
2.   Syi’ah
Syi’ah menurut bahasa berarti “pengikut”, sedangkan menurut Istilah Syi’ah berarti sekelompok orang yang mengagumi, mengikuti Ali bin Abi Thalib. Belakangan, golongan ini memiliki beberapa istilah, yaitu al-Rafidhah, al-Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyah, dan Ja’fariyah.[4]
Para penulis Sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya syi’ah. sebagaian menganggap syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Rasulullah saw. yakni pada saat perebutan kekuasaan antara  golongan Muhajirin dan Anshar. Dibalai pertemuan Bani Saqifah Bani Saidah. Pada saat itu terdapat suara yang menuntut ke-khalifahan Ali bin Abi Thalib dari bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin.
Pendapat lain menyebutkan bahwa syiah muncul pada akhir masa khalifah ketiga, Utsman bin Affan Ra. atau tepatnya pada awal pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Namun pendapat yang paling populer dikalangan para sejarawan, bahwa syiah lahir setelah gagalnya perundingan antar pihak pasukan Ali bin Abi Thalib Ra. dengan pihak Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dipihak lain, pada saat perang siffin.[5]
Hanya saja, fitnah dengan tameng kecintaan berlebihan kepada Ali bin Abi Thalib sebenarnya telah didengungkan oleh Abdullah bin Saba’. Sehingga keterikatan antara golongan Syiah dengan sosok Abdullah bin Saba’ ini tidak dapat dihilangkan.
A.      Tadwin  Hadis Sunni dan Syi’i
Mulai periode atba’ al-tabi’in, sejarah kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis memasuki tahap perkembangan yang sangat penting. Tidak seperti halnya tadwin hadis pada periode-peride sebelumnya yang umumnya dilakukan secara acak, tanpa upaya klasifikasi dan sistematisasi, pada periode atba’ al-tabi’in, khususnya sejak pertengahan abad II H, telah mulai dilakukan kompilasi dan kodifikasi hadis secara sistematis berdasarkan bab-bab atau subjek-subjek tertentu (tashnif).[6]
Selama periode atba’ al-tabi’in telah ditulis sejumlah besar karya kompilasi hadis. Diantaranya yang terpenting untuk kalangan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah karya kompilasi hadis yang disusun oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ibn Ishaq (w. 151 H), Ma’mar ibn Rasyid (w. 153 H), Sa’id ibn Abi Urubah (w. 156 H), ‘Abd al-Rahman ibn ‘Amr al-Auza’iy (w. 156 H), al-Rabi’ ibn Shabih (w. 160 H), Syu’bah ibn al-Hajjaj (w. 160 H), Sufyan al-Tsauriy (w. 161 H), al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H), Hammad ibn Salamah (w. 176 H), Malik ibn Anas (w. 179 H), ‘Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H), Jarir ibn ‘Abd al-Hamid al-Dlabbiy (w. 188 H), ‘Abdullah ibn Wahb (w. 197 H), Waki’ ibn al-Jarrah (w. 197 H), Sufyan ibn ‘Uyainah (w. 198 H), al-Syafi’iy (w. 204 H), Abu Dawud al-Thayalisiy (w. 204 H), dan ‘Abd al-Razzaq al-Shan’aniy (w. 211 H). sementara di kalangan syi’ah muncul beberapa karya kompilasi hadis, diantaranya adalah karya musnad yang ditulis oleh Musa ibn Ja’far al-Kazhim (w. 183 H), dan ‘Aliy ibn Musa Abi al-Hasan al-Ridla (w. 202 H).[7]
Sepanjang periode atba’ atba’ al-tabi’in juga berlangsung kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis yang lebih sistematis berdasarkan bab-bab atau subjek-subjek tertentu. Hanya saja, dibanding dengan periode sebelumnya, tadwin hadis sepanjang periode ini telah mengalami suatu perkembangan. Ada beberapa ciri yang menandai proses tadwin hadis pada periode ini: (a) telah dilakukan pemilahan atau pemisahan antara hadis Nabi s.a.w. dengan yang lainnya. Hal ini berbeda dengan periode sebelumnya yang masih menggabungkan antara hadis Nabi s.a.w. dengan pendapat-pendapat sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in; (b) sudah mulai ada perhatian untuk memberi penjelasan tentang derajat hadis dari segi kesahihan dan kedla’ifannya; dan (c) karya-karya hadis yang ditulis dapat mengambil judul: musnad, shahih, sunan, mukhtalif al-hadits, atau lainnya.[8] Selain itu, ada pula karya sejenis yang menggunakan judul lebih khusus seperti maghaziy, misalnya al-Maghaziy karya Ibn Abi Syaibah.
Perjalanan historis kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis, khususnya di kalangan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, mencapai puncaknya pada periode atba’ atba’ al-tabi’in. hal itu ditandai dengan munculnya enam kitab hadis utama yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittah, yakni Shahih al-Bukhariy (w. 256 H), Shahih muslim (w. 261 H), Sunan Abi Dawud (w. 275 H), Jami’ al-Tirmidziy (w. 279 H), Sunan al-Nasa’iy (w. 303 H), Sunan Ibn Majah (w. 273 H). Selain itu, masih ada kitab-kitab hadis lainnya, seperti Musnad Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Musnad ‘Abd ibn Humaid (w. 249 H), Musnad Ishaq ibn Rahawaih (w. 237 H), Musnad al-Harits ibn Muhammad (w. 282 H), Musnad Ahmad ibn ‘Amr al-Bazar (w. 292 H), Mushannaf Ibn Abi Syaibah (w. 235 H), dan Sunan al-Darimiy (w. 255 H). pada periode yang sama, di kalangan syi’ah setidaknya telah muncul beberapa kitab hadis, misalnya: al-Jami’ karya Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Nashr (w. 221 H), al-Jami’ karya Muhammad ibn al-Hasan ibn Ahmad (w. 243 H), Jami’ al-Atsar karya Yunus ibn ‘Abd al-Rahman, al-Mahasin karya al-Barqiy (w. 280 H), Basha’ir al-Darajat karya al-Shaffar al-Qummiy (w. 290 H), dan Nawadir al-Hikmah karya Muhammad ibn Ahmad ibn Yahya al-Qummiy (w. sekitar 293 H).[9]
Setelah berakhirnya periode atba’ atba’ al-tabi’in, proses kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis masih terus berlangsung. Paling tidak pada abad IV H hingga V H, di kalangan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah telah disusun kitab-kitab koleksi hadis dengan metode dan materi yang beragam. Dalam hal penyusunannya, ada sebagian kitab hadis yang masih mengikuti judul-judul sebelumnya, seperti shahih, sunan, dan musnad, tetapi ada pula yang telah menggunakan judul-judul baru, seperti mustadrak, mustakhraj, mu’jam, dan majma’.[10] Sementara di kalangan syi’ah sepanjang dua abad ini juga telah disusun karya-karya kompilasi hadis dengan metode dan materi yang beragam. Ada sebagian karya hadis syi’ah yang disusun berdasarkan sistematika fikih dan ada pula yang memuat topik-topik secara lebih luas. Periode pasca atba’ atba’ al-tabi’in ini lahirnya kitab-kitab utama syi’ah, antara lain: al-Kafy fi ‘Ilm al-Din karya karya al-Kulainiy (w. 329 H), Man la Yahdluruh al-Faqih karya Ibn Babawaih (w. 381 H), Tahdzib al-Ahkam fi Syarh al-Muqqni’a dan al-Istbshar fi Ma Ukhtulifa min al-Akhbar karya al-Thusiy (w. 460 H), dan Nahj al-Balaghah karya al-Syarif al-Radliy (w. 406 H).[11]
Dengan melihat perjalanan historis kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis sebagaimana diuraikan di atas, dan juga pemaparan panjang sebelumnya, dapat diketahui bahwa ada perbedaan tertentu dalam karya kompilasi hadis yang ditulis oleh kalangan Ahl sunnah wa al-Jama’ah dan Syi’ah. Munculnya perbedaan itu diantaranya:
1.   Sejumlah sarjana menilai bahwa faktor mazhab atau aliran menjadi penyebab utama munculnya perbedaan itu. Gibb, misalnya, menyebutkan bahwa aliran-aliran yang berbeda dalam Islam cenderung menggunakan koleksi-koleksi hadis standar sendiri yang berasal dari mereka, missal syi’ah yang tidak mau mengakui hadis-hadis dari kalangan Ahl sunnah wa al-Jama’ah.[12]
2.   Adanya akar kultural yang berbeda dari masing-masing kelompok yang bersaing untuk monopoli hadis dan mengontrolnya, sehingga tadwin hadis pun tidak terlepas untuk kepentingan penetapan otoritas kelompok.
3.   Ali Ahmad al-Salus menilai bahwa adanya penguatan akidah dalam kelompok dan menancapkan pengaruh kepada para pengikutnya.
Sejumlah pandangan yang telah diutarakan secara umum mengakui bahwa faktor aliran merupakan penyebab utama bagi munculnya perbedaan sejarah kompilasi dan kodifikasi hadis di kalangan umat Islam.[13]

B.      Epistemologi Hadis Sunni dan Syi’i
Untuk melihat konstruk epistemologi hadis yang dibangun oleh masing-masing, baik Sunni maupun Syi’ah adalah melalui tiga persoalan pokok  dalam bidang epistemologi, yaitu (1) persoalan asal pengetahuan atau sumber, dalam hal ini siapa sumber utama yang bisa mengeluarkan hadis; (2) apa hakekatnya, artinya bagaimana kedudukan hadis menurut Syi’ah dan Sunni dalam cakupan wilayah Islam; dan (3) persoalan verifikasi, yaitu bagaimana mengukur validitas atau otentisitas hadis, sehingga bisa dijadikan dasar hukum yang kuat.
Upaya ini sangat urgen lantaran hadis sebagai laporan sejarah masa lampau mengenai kehidupan Nabi yang telah lenyap ditelan waktu, sebuah pengalaman yang berada jauh dari jangkauan pengetahuan inderawi. Jarak waktu yang cukup lama antara Nabi dan para penghimpun hadis serta adanya perbedaan visi dan misi politik mazhab menambah rumitnya pembuktian otentisitas hadis. Tingkat akurasi hadis diukur dari segi isi (kritik matan) dan periwayatannya (kritik sanad). Dalam hal ini para ulama hadis baik Sunni maupun Syi’ah membuat kriteria kualitas periwayat, baik dari segi sanad maupun integritas pribadi periwayat. Ini menjadi landasan penemuan metodologi yang tepat agar hadis itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akidah.
1.   Hadis Perspektif Sunni
a.   Sumber Hadis
Dalam tradisi Sunni, yang dimaksud dengan hadis ialah segala sabda, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Hadis dalam pengertian ini oleh ulama hadis disinonimkan dengan istilah al-sunnah.[14] Dengan demikian, menurut umumnya jumhur ulama hadis, bentuk-bentuk hadis atau al-sunnah ialah segala berita berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal Nabi Muhammad saw.
Dari definisi hadis yang ditetapkan Sunni di atas, memberikan batasan tentang segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad s.a.w., sekaligus adanya anggapan bahwa wahyu telah terhenti setelah wafatnya Nabi Muhammad. Dengan demikian apapun yang bersumber dari Nabi dapat dijadikan dasar hukum dan sekaligus sumber ajaran Islam. Sebaliknya apapun yang tidak bersumber langsung dari Nabi bukan termasuk hadis, dan karenanya tidak wajib diikuti dan tidak dapat dijadikan dasar hukum apalagi dijadikan sebagai sumber ajaran Islam. Dengan demikian sumber utama yang dapat mengeluarkan hadis menurut Sunni hanya Nabi Muhammad saw.
b.   Hakekat Hadis
Pada dasarnya, hampir semua mazhab[15] dalam Islam, sepakat akan pentingnya peranan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Otoritas Nabi s.a.w. dalam hal ini (selain al-Qur’an) tidaklah terbantahkan dan mendapat legitimasi melalui wahyu juga,[16] Di sisi lain, keberadaan Muhamad s.a.w. sebagai penyampai apa yang diturunkan Allah s.w.t. kepada umat manusia[17], mestinya tidaklah dipahami sebagaimana petugas pos yang hanya mementingkan sesampainya surat ke alamat yang dituju tanpa tahu dan peduli isinya.[18] sehingga secara faktual, Nabi s.a.w. adalah manifestasi al-Qur’an yang pragmatis. Aktualisasi prinsip-prinsip dasar al-Qur’an yang bersifat teoritik dioperasionalisasikan oleh Muhammad s.a.w. melalui peneladanan.[19]
Dalam diskursus Islam, terdapat berbagai permasalahan yang tidak cukup dijelaskan hanya dengan mengacu kepada al-Qur’an, tetapi juga harus mengacu kepada hadis Nabi s.a.w. Hal ini dikarenakan al-Qur’an lebih banyak menerangkan secara global. Sesuatu yang global inilah yang harus dijelaskan dan dijabarkan. Dan di sinilah hadis mempunyai fungsi menafsirkan yang mubham, memerinci yang mujmal, membatasi yang mutlaq, mengkhususkan yang ‘am, dan menjelaskan hukum-hukum sasarannya (bayan al-tafsir), bahkan hadis juga mengemukakan hukum-hukum yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an (sunah pembentuk). Pernyataan seperti ini, banyak ditegaskan oleh al-Qur’an, misalnya Q.S. al-Hasyr (57): 7, Q.S, al-Nahl (47): 80, Q.S. al-Ahzab (33): 21, dan lain sebagainya. Kenyataan ini menunjukkan betapa penting dan strategisnya posisi hadis dalam bangunan (pondasi) ajaran Islam.
Dengan demikian, menurut Sunni hakekat hadis pada dasarnya adalah wahyu Allah yang diberikan melalui Nabi Muhammad s.a.w. berupa peneladanan langsung  yang melibatkan rumusan-rumusan verbal (living tradition). Karena itulah, hadis mempunyai peranan yang sangat urgen ketika disandingkan dengan al-Qur’an. Keduanya menjadi sumber hukum yang harus diyakini oleh umat Islam.
c.    Verifikasi  Otentisitas Hadis
Pengertian hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis Sunni adalah mencakup sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayat harus adil dan dhabit adalah kriteria untuk kesahihan sanad, sedang keterhindaran dari syadz dan ‘illat, selain merupakan kriteria untuk kesahihan sanad, juga kriteria untuk kesahihan matan hadis.[20]
Definisi hadis sahih yang disepakati oleh ulama Sunni meliputi beberapa unsur. Di antara kriteria yang ditetapkan ulama untuk mendapatkan suatu hadis sahih adalah:
1)  Sanad bersambung.
2)  Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil.
3) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith.
4) Sanad dan matan hadis terhindar dari syadz.
5)  Sanad dan matan hadis terhindar dari ‘illat.[21] Sedangkan dari segi matannya harus sesuai dengan al-Qur’an, sunnah yang sahih, tidak menyalahi fakta historis dan tidak bertentangan dengan akal dan panca indera.[22]
Demikianlah, kriteria-kriteria kesahihan hadis yang dibangun oleh ulama Sunni. Sekaligus menetapkan bahwa suatu hadis yang tidak memenuhi kelima unsur tersebut adalah dha’if dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Dengan demikian keberadaan hadis sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an telah memberi pengaruh yang besar pada seluruh aktivitas muslim dalam mencari pijakan dan memberi teladan bagi kaum muslim dalam bertindak.
2.   Hadis Perspektif Syi’i
a.   Sumber Hadis
Hadis dalam tradisi syi’ah yang mempunyai pengertian segala sesuatu yang disandarkan kepada yang ma’sum, Nabi s.a.w. dan Imam dua belas, baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan adalah sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an.[23] Imam dua belas yang ma'shum , diantaranya:
1)      Ali ibn Abi Thalib “al-Murtadha” (w. 40 H/661 M)
2)      Al-Hasan ibn ‘Ali “al-Zaky” (w. 49 H/669 M)
3)      Al-Husain ibn ‘Ali “Sayyid al-Syuhada’” (w. 61 H/680 M)
4)      Ali ibn Al-Husain, Zain Al-Abidin “Zainal ‘Abidin” (w. 95 H/714 M)
5)      Abu Ja’far Muhammad Ali “Al-Baqir” (w. 115 H/733 M)
6)      Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad “Al-Shadiq” (w. 148 H/765 M)
7)      Abu Ibrahim Musa bin Ja’far “Al-Kazhim” (w. 183 H/799 M)
8)      Abu Hasan Ali bin Musa “Al-Ridha” (w. 203 H/818 M)
9)      Abu Ja’far Muhammad bin Ali “al-Jawad” Al-Taqi (w. 220 H/835 M)
10)   Abu Hasan Ali bin Muhammad “al-Hadi”(w. 254H/868 M)
11)   Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali “Al-Askari” (w. 260 H/874 M)
12)   Abu al-Qasim Muhammad bin Hasan “Al-Mahdi”, Al-Qa’im Al-Hujjah (memasuki kegaiban besar pada 329    H/940 M).[24]
Syi’ah menjadikan imam seperti kedudukan Nabi Muhammad dalam menjelaskan Al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa imam mempunyai ilham yang sebanding dengan wahyu bagi Rasulullah s.a.w.
Dari definisi hadis di atas, memberi kesimpulan bahwa sumber hadis bukan hanya Nabi Muhammad, melainkan setiap imam yang ma’shum juga dapat mengeluarkan hadis yang dapat dijadikan hujjah. Dengan demikian, syi’ah juga mempunyai keyakinan tentang berlangsungnya wahyu pasca wafatnya Nabi Muhammad s.a.w.
b.   Hakekat Hadis
Menurut Syi’ah, substansi atau hakekat hadis mempunyai tiga macam: Pertama: Khabar dan riwayat yang mengandung petunjuk pembersihan jiwa, akhlak, nasehat dan cara-cara pengobatan penyakit hati. Dengan muatan berisi ancaman, dan dorongan. Atau yang berkaitan dengan tubuh, seperti kesehatan, penyakit, sakit dan pengobatan. Juga manfaat buah-buahan, tumbuh-tumbuhan, pepohonan, air dan batu. Di samping itu khabar tersebut mengandung do’a, zikir, dan keutamaan ayat-ayat. Serta semua hal yang disunnahkan, baik dalam pembicaraan, perbuatan, maupun sikap. Itu semua, menurut kaum Syi’ah, bisa dijadikan landasan untuk beramal ibadah. Dan tidak perlu mencari tahu apakah sanad dan matannya shahih atau tidak. Kecuali jika ada tanda-tanda yang menunjukkan kepalsuannya.
Kedua: Yang mengandung hukum syara’ parsial, taklifi atau wadl’i. Seperti taharah, berwudlu, cara shalat, zakat, khumus, jihad dan semua bagian muamalat, transaksi yang diperbolehkan. Juga tentang nikah, thalaq, warisan, hudud dan diyat. Semua khabar dan riwayat tersebut tidak boleh langsung dijalankan. Namun diberikan kepada faqih yang mujtahid untuk menterjemahkannya. Sedangkan orang awam harus mengikuti mujtahid marji’.
Ketiga: Khabar dan riwayat yang mengandung pokok-pokok aqidah, seperti pengitsbatan al-Khaliq s.w.t., juga tentang hasyr, barzakh, sirâth, mîzân, hisâb dan lain-lain.
Jadi, pada hakekatnya hadis menurut Syi’ah adalah Khabar dan riwayat yang jika berkaitan dengan aqidah dan pokok agama mereka, seperti tauhid, ‘adl, nubuwwah, imâmah dan ma’ad. Jika khabar tersebut sesuai dengan dalil-dalil ‘aqli, urgensi, dan tanda-tanda yang qath’i, maka ia dapat dijalankan, dan tidak perlu menyelidiki sanad.
c.    Verifikasi  Otentisitas Hadis
Dalam kaitannya dengan kesahihan hadis, para ulama Syi’ah dalam kajian sanad telah memberikan kriteria-kriteria sebagai periwayat hadis. Ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi sebagai seorang periwayat hadis untuk dapat diterima riwayatnya. Diantaranya adalah:
1)  Sanadnya bersambung kepada Nabi s.a.w. atau imam  ma’sum tanpa terputus.
2)  Seluruh periwayat dalam sanad berasal dari kelompok Imamiyah dalam semua tingkatan.
3)  Seluruh periwayat dalam sanad bersifat ‘adil,
4)  Seluruh periwayat bersifat dhabit.
5)  Terhindar dari kejanggalan (syudzudz).[25] Dengan demikian, hadis sahih menurut Syi’ah adalah, hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka yang ma’shum.[26]
Pengaruh Imamiyah disini tampak pada pembatasan imam yang ma’shum dengan persyaratan periwayat harus dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Jadi hadis tidak sampai pada tingkatan sahih jika para periwayatnya bukan dari Ja’fariyah Isna ‘Asyariyah dalam semua tingkatan.[27]
Berdasarkan pada pengertian di atas, ulama Syi’ah membatasi hadis sahih pada setiap hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad dan Imam dua belas. Suatu keterangan yang dapat dipetik dari pemahaman di atas adalah bahwa derajat para Imam sama dengan derajat Nabi s.a.w. dan itu juga berarti dalam periwayatan, segala yang disandarkan kepada Imam juga sama terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi s.a.w dalam hal kehujjahannya.[28]
C.      Literatur Utama Hadis Sunni dan Syi’i[29]
Enam Kompilasi Hadis Utama Sunni (al-Kutub al-Sittah)
Empat Kompilasi Hadis Utama Syi’ah (al-Kutub al-Arba’ah)
1.   Shahih al-Bukhariy, karya Bukhari (w. 256 H)
1.      Al-Kafiy fi ‘Ilm al-Din, karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad bin Ya'qub al-Kulaini ar-Razi (w. 329 H)
2.   Shahih Muslim, karya Muslim (w. 261 H)
2.      Man La Yahdluruh al-Faqih, karya Ibn Babawaih (w. 381 H)
3.   Sunan Abi Dawud, karya Abu Dawud (w. 275 H)
3.      Tahdzib al-Ahkam, karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad bin Hasan al-Thusiy (w. 460 H)
4.   Jami’ at-Tirmidziy, karya At-Turmudzi (w. 279 H)
4.      Al-Istibshar fi Ma Ukhtulifa min al-Akhbar, karya Syakih Abu Ja'far Muhammad bin Hasan al-Thusiy (w. 460 H)
5.   Sunan al-Nasa’iy, karya al-Nasa’iy (w. 303 H)

6.   Sunan Ibnu Majah, karya Ibnu Majah (w. 273 H)


D.      Klasifikasi dan  Syarat Hadis Sunni dan Syi’i
Klasifikasi adalah derajat atau tingkatan yang digunakan ulama dalam mengkategorikan hadis dilihat dari aspek kuantitas dan kualitas rawi. Telaah ini dilakukan dalam upaya menelusuri secara akurat sanad pada setiap hadis yang dikumpulkannya. Dengan penelitian kedua aspek inilah, upaya pembuktian sahih tidaknya suatu hadis lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Perbedaan konsep-konsep dasar yang sangat substansial mengenai hadis antara Sunni dan Syi’ah membawa implikasi pada kualitas hadis yang dapat dijadikan pegangan sekaligus sebagai dasar hukum. Perbedaan kriteria yang ditetapkan oleh Sunni dan Syi’ah berimplikasi klasifikasi terhadap kualitas hadis masing-masing.
1.   Hadis Dilihat dari Aspek Kuantitas Rawi
Dalam menyampaikan sebuah hadis terkadang Nabi berhadapan dengan sahabat yang banyak jumlahnya, terkadang hanya beberapa sahabat, bahkan terkadang hanya satu atau dua orang saja. Begitu seterusnya sampai dengan generasi yang menghimpun hadis dalam berbagai kitab. Sudah barang tentu, informasi yang dibawa oleh banyak orang lebih meyakinkan dibanding informasi yang dibawa oleh hanya satu atau dua orang saja. Dengan demikian, maka menurut pembagian hadis dari aspek kuantitas periwayat adalah sebagai berikut:
Ø Hadis Mutawatir
Menurut al-Baghdadi, hadis mutawatir adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya.[30] Sedangkan ulama yang paling jelas dan rinci menerangkan hadis mutawatir adalah al-’Asqalani, menurutnya, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil, menurut kebiasaan, mereka melakukan kesepakatan untuk berdusta dan merekalah yang meriwayatkan hadis itu dari awal sampai akhir sanad. Jadi berdasarkan definisi di atas, terlihat secara jelas bahwa proses mutawatir ada dan berjalan secara gradual dari generasi ulama ke generasi ulama lainnya.
Ø Hadis Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh beberapa orang sahabat tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. Boleh jadi di tingkat tabi’in dan seterusnya pada generasi yang lebih muda, hadis tersebut diriwayatkan secara mutawatir.
Ø Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat masyhur, apalagi mutawatir.
2.   Hadis Dilihat dari Aspek Kualitasnya (Maqbul atau Mardud)
Seluruh jenis hadis dilihat dari segi kualitasnya dibagi menjadi dua: (1) maqbul (dapat diterima sebagai dalil) yang nantinya dikenal dengan sebutan shahih dan hasan. Dan (2) mardud (tidak dapat diterima sebagai dalil) yang nantinya dikenal dengan sebutan dla’if. Mulai abad III H, atau tepatnya pada masa al-Tirmidziy, telah dikenal pembagian hadis antara shahih, hasan, dan dla’if. Dengan begitu kategori hadits ini sudah muncul di kalangan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah sejak era ulama mutaqoddimun.
Berikut maksud hadis yang dimaksudkan di atas:
Ø Hadis Shahih
Ulama hadis Sunni sepakat mengenai definisi hadis sahih yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabit, serta tidak ada syadz (janggal) dan tidak ada‘illat (cacat).
Ø Hadis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan hafalannya, tidak rancu dan tidak bercacat


Ø Hadis Dla’if
Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi persyaratan dari hadis sahih di atas, misalnya, sanadnya ada yang terputus, di antara periwayat ada yang pendusta atau tidak dikenal, dan lain-lain.
Dalam sekte syi’ah hadits terbagi diklasifikasikan menjadi empat bagian:
Ø Hadis Sahih
Hadis sahih menurut mereka adalah, hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang. Dengan kata lain, hadis sahih menurut mereka adalah hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka yang ma’shum.[31] Mereka sepakat bahwa syarat-syarat hadis sahih adalah:
1)  Sanadnya bersambung kepada imam yang ma’shum tanpa terputus.
2)  Para periwayatnya dari kelompok imamiah dalam semua tingkatan.
3)  Para periwayatnya juga harus adil dan kuat hafalan.
Dari definisi hadits Shahih ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun hadits shahih kecuali jika rawinya berasal dari kalangan dua belas Imam yang ma’shum.[32]
Ø Hadis Hasan
Hadis hasan menurut Syi’ah adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dari periwayat adil, sifat keadilannya sesuai dalam semua atau sebagian tingkatan para rawi dalam sanadnya.[33]
Dari definisi tersebut tampak bahwa mereka mensyaratkan hadis hasan sebagai berikut:
1)   Bertemu sanadnya kepada imam yang ma’shum tanpa terputus.
2)   Semua periwayatnya dari kelompok imamiah.
3)   Semua periwayatnya terpuji dengan pujian yang diterima dan diakui tanpa mengarah pada kecaman. Dapat dipastikan bahwa bila periwayatnya dikecam, maka dia tidak diterima dan tidak diakui riwayatnya.
4)   Tidak ada keterangan tentang adilnya semua periwayat. Sebab jika semua periwayat adil maka hadisnya menjadi sahih sebagaimana syarat yang ditetapkan di atas.
5)   Semua itu harus sesuai dalam semua atau sebagian rawi dalam sanadnya.
Pengaruh akidah imamiyah dalam bentuk ini tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
1)   Periwayatnya disyaratkan harus dari kelompok imamiyah.
2)   Diterimanya riwayat orang yang bermazhab imamiah yang tidak adil, dan menolak riwayat orang yang tidak bermazhab imamiyah, meskipun dia adil dan wara’.
3)   Diterimanya riwayat orang yang bermazhab imamiyah yang terpuji dan kadang tercela dengan syarat tercelanya bukan sebab kerusakan mazhab. Karena yang dimaksud dengan kerusakan mazhab adalah keluar dari garis Ja’fariyah. Jika demikian maka tercelanya tidak dimaafkan.
Ø Hadis Muwatstsaq
Hadis muwatstsaq yaitu hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dengan orang yang dinyatakan siqah oleh para pengikut Syi’ah imamiyah, namun dia rusak akidahnya, seperti dia termasuk salah satu firqah yang berbeda dengan imamiyah.
Al-Mamqani berpendapat, hadis muwatstsaq adalah hadis yang sahih secara bahasa, tetapi menyalahi pengertiannya sebagai istilah.
Definisi ini memberikan pengertian tentang persyaratan sebagai berikut:
1)   Bersambungnya sanad kepada imam yang ma’shum.
2)   Para periwayatnya bukan dari kelompok imamiah, tapi mereka dinyatakan siqah oleh ja’fariyah secara khusus.
3)   Sebagian periwayatnya sahih, dan tidak harus dari imamiah.
Pengaruh akidah mereka tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
1)   Posisi hadis muwassaq diletakkan setelah hadis sahih dan hadis hasan karena adanya periwayat dari selain Ja’fariyah.
2)   Pernyataan siqah harus dari kelompok Ja’fariyah sendiri. Karena bagi mereka pernyataan siqah dari selain Ja’fariyah tidak cukup, bahkan orang yang dinyatakan siqah oleh mereka (selain Ja’fariyah) adalah dla’if menurut mereka.
Al-Mamqani menjelaskan bahwa pengukuhan siqah harus dari para pengikutnya dengan mengatakan, menerima penilaian siqah selain imamiyah, jika dia dipilih imam untuk menerima atau menyampaikan persaksian dalam wasiat, wakaf talak, atau imam mendoakan rahmat dan ridha kepadanya, atau diberi kekuasaan untuk mengurusi wakaf atas suatu negeri, atau dijadikan wakil, pembantu tetap atau penulis, atau diizinkan berfatwa dan memutuskan hukum, atau termasuk syaikh ijazah, atau mendapat kemuliaan dengan melihat imam kedua belas.
Ø Hadis Dla’if
Menurut pandangan syi’ah, hadis dla’if adalah hadis yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas. Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang yang cacat sebab fasik, atau orang yang tidak diketahui kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari itu, seperti orang yang memalsukan hadis.[34]
Dalam hadis sahih, mereka menilai periwayat selain Ja’fariyah sebagai orang kafir atau fasik, sehingga riwayatnya dinyatakan dha’if  yang tidak boleh diterima, begitu juga tidak diterima riwayat dari selain Ja’fariyah kecuali orang yang dinyatakan siqah oleh mereka.
Atas dasar itu mereka menolak hadis-hadis sahih dari tiga khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, dan Usman) dan sahabat yang lain, tabiin, serta para imam ahli hadis dan fuqaha, pasalnya mereka tidak percaya dengan akidah imamiyah isna ‘asyariyah. Sebab riwayat-riwayat sahih yang di dalam sanadnya terdapat para sahabat senior dan para imam yang amanah, tetapi tidak percaya dengan akidah dua belas imam, maka riwayat-riwayat tersebut dinyatakan dha’if oleh Syi’ah.
Adapun hadis-hadis yang dha’if bukan berarti tidak dapat diamalkan. Keberadaan hadis tersebut dapat disejajarkan dengan hadis sahih manakala hadis tersebut populer dan sesuai dengan ajaran mereka.
Hal yang penting diperhatikan bahwa hujjah keagamaan di kalangan Syi’ah tidak serta merta berakhir dengan wafatnya Rasulullah, namun tetap berjalan sampai imam dua belas. Dari sinilah baru wahyu berhenti. Pada perkembangannya, semua masalah keagamaan kemudian dituangkan dalam kitab standar, termasuk kitab al-Kafi.
E.      Penggunaan Hadis sebagai Hujjah
Syi'ah, dengan berdasar pada doktrin imamah dan ‘ishmah bahwa para imam dua belas mempunyai kedudukan dan kualitas pribadi seperti Nabi s.a.w. dan karenanya juga terjaga dari kesalahan, menegaskan bahwa hujjah keagamaan tidak serta merta berakhir dengan kewafatan Nabi s.a.w., melainkan terus berlangsung ke wakil-wakil beliau sampai Imam kedua belas. Dengan demikian, apa yang bersumber dari Nabi s.a.w. dan apa yang bersumber dari para Imam dua belas, kedudukannya sama dalam hal kehujjahan agama. Dari sisi yang berbeda, hal ini berarti ketersambungan sanad dalam Syi'ah tidak disyaratkan harus selalu sampai kepada Nabi s.a.w., tetapi bisa juga kepada imam yang ma'sum. Sementara Sunni hanya membatasi pada segala sesuatu yang bersumber dari Nabi s.a.w. sebagai hadis dan sumber kehujjahan agama. Karenanya, Sunni sama sekali tidak mengakomodasi hadis-hadis yang ketersambungan sanadnya tidak sampai kepada Nabi s.a.w. Adapun riwayat-riwayat yang berasal sahabat disebut hadis mauquf dan riwayat-riwayat dari tabi'in disebut hadis maqtu', keduanya tidak dapat dijadikan hujjah. Perbedaan ini berimplikasi kepada banyaknya materi hadis yang bisa dijadikan hujjah.
Di samping itu, perbedaan yang juga tidak kalah pentingnya antara Syi'ah dan Sunni adalah Syi'ah masih mengakomodasi para periwayat lain di luar para Imam, sekalipun derajat hadis dari jalur ini berbeda dengan derajat hadis dari jalur Imam mereka. Sedangkan Sunni (dalam hal ini al-Bukhari), tidak satu pun mengutip riwayat-riwayat yang mengkhabarkan tentang kekhalifahan Ali bin Abi Talib atau menjelaskan keutamaan-keutamaannya, dan riwayat hidup putra-putranya yang diberkahi yang tidak lain adalah keluarga Rasulullah s.a.w.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.       Ahl as-Sunnah berarti orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad  s.a.w., dalam hal ini adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupun amalan beliau serta sahabat mulia beliau. Syi’ah berarti sekelompok orang yang mengagumi, mengikuti Ali bin Abi Thalib.
2.       Munculnya karya kompilasi dan kodifikasi hadis utama di kalangan Ahl al-Sunnah tepat pada periode atba’ atba’ al-tabi’in, sedangkan kalangan Syi’ah literature utamanya muncul setelahnya, yaitu periode pasca atba’ atba’ al-tabi’in.
3.       Hadis dalam pandangan Sunni hanya disandarkan kepada Nabi s.a.w., sehingga segala yang bersumber dari Nabi s.a.w. itu merupakan sunnah yang dijadikan sebagai hujjah keagamaan. Sedangkan dalam perspektif Syi’ah, hadis disandarkan kepada Nabi dan Imam yang ma’shum.
4.       Klasifikasi hadis dalam pandangan Sunni terbagi menjadi tiga, yaitu hadis shahih, hasan, dan dlo’if, sedangkan dalam pandangan Syi’ah hadis menjadi hadis shahih, hasan, muwatstsaq, dan dlo’if.





DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. 2007. Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati
Saifuddin. 2011. Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam; Kajian Lintas Aliran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Amin, Moh. 1991. Ijtihad Ibnu Taimiyah dalam Bidang Fikih Islam. Jakarta: INIS
al-Qardawi, Yusuf. 1997. al-Qur’an dan al-Sunnah, Terj. Bahrudin Fanani. Jakarta: Rabbani Press
al-Khatib, M. Ajaj. 1989. Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr
Zahra’, Muhammad Abu. T.t. al-Imam al-Sadiq Hayatuhu wa ‘Asruhu wa Fiqhuhu. Beirut: Dar al-Fikr
al-Salus, Ali Ahmad. 1997. Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih. Jakarta: Pustaka al-Kausar
al-Baghdadi, Abu Bakar ibn Ahmad ibn Sabit al-Khatib. T.t. al-Kifayah fi ‘ilm al-Riwayah. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve
al-Siba’i, Mustafa. 1991. Sunah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam; Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Terj. Nurcholis Madjid. Jakarta: Pustaka Firdaus
Azami, Muhammad Mustafa. 1999. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Mustafa Ya’qub. Jakarta: Pustaka Firdaus
Nasr, Hossein dan Seyyed, Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam diterjemahkan dari History Of Islamic Philosophy. Mizan, Bandung
al-Harabi, Mamduh. 2009. Mujmalu ‘Aqaidi al-Syi’ah fi Mizani Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah. al-Jizah: Imraniyyah lil Aufasat
al-Zahraniy, Muhammad ibn Mathar. 1412 H. Tadwin al-Sunnat al-Nabawiyyah. Tha’if: Maktabat al-Shadiq




[1] M. Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 57
[2] Ibid, hlm. 58, lihat juga Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi, Al-Muraja’at, (Irak: al-Adab, t.t.), hlm. 31
[3] Ibid, hlm. 59, lihat juga Abu al-Khair bin Thaher al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq, (Mesir: Muhammad Ali Shubauh, t.t.), 314-315
[4] Mamduh al-Harabi, Mujmalu ‘Aqaidi al-Syi’ah fi Mizani Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah, (al-Jizah; Imraniyyah lil Aufasat, 2009/1430 H), hlm. 9
[5] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 5. Pendapat yang populer ini dapat dilihat dalam kitab  Dr. Ahmad Muhammad al-Turkumani, Ta’rifun Bi Madzhabi al-Syi’ah al-Imamiyah, (Oman: Jam’iyah ‘Ummal al-Mathabi’ al-Ta’awuniyah, 1983), hlm.  9
[6] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam; Kajian Lintas Aliran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 148
[7] Ibid, hlm. 149
[8] Muhammad ibn Mathar al-Zahraniy, Tadwin al-Sunnat al-Nabawiyyah, (Tha’if: Maktabat al-Shadiq, 1412 H), hlm. 96
[9] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis……, Op.Cit., hlm. 158
[10] al-Zahraniy, Tadwin al-Sunnat….., Op.Cit., hlm. 145-182
[11] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis……, Op.Cit., hlm. 163-164
[12] Ibid, hlm. 170, lihat juga Hamilton A.R. Gibb, Mohammedanism, (London, Oxford, New York: Oxford University Press, 1970), hlm. 59
[13] Ibid, hlm. 171
[14] Mustafa al-Siba’I, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (t.k.: al-Dar al-Qawmiyyah, 1966), hlm. 53.
[15] Dikatakan hampir semua mazhab, karena ada sebagian kecil umat Islam yang tidak mempercayai dan menolaknya sebagai sumber ajaran Islam. Mereka inilah yang dinamakan Munkir al-Sunnah.  Lihat Mustafa al-Siba’i, Sunah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam; Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Terj. Nurcholis Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 1991), hlm. 122. Muhamad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Mustafa Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 46-50.
[16] Dalam sejumlah ayat al-Qur’an, umat Islam diperintahkan untuk mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya. QS. Ali Imran (3): 32 dan 132, QS. Al-Hasyr (5): 93, QS. Al-Nisa’ (4): 193.
[17] {QS. Al-H}asyr (5): 67}
[18] Moh. Amin, Ijtihad Ibnu Taimiyah dalam Bidang Fikih Islam (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 24
[19] Lihat Yusuf al-Qardawi, al-Qur’an dan al-Sunnah, Terj. Bahrudin Fanani, (Jakarta: Rabbani Press, 1997), hlm. 61.
[20] Nur al-Din al-’Itr, al-Madkhal ila ‘Ulum al-Hadis (Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-’Ilmiyyah, 1972), hlm. 15
[21] M. Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989). 250
[22] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis….., hlm. 275, lihat juga Salah al-Din al-Idlibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘ind ‘Ulama al-Hadis (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadida, 1983), hlm. 238
[23] Hasan Amin, Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah al-Syi’iyyah, juz 11, jilid 3 (Beirut: Dar al-Ta’aruf, 1971), hlm. 117
[24] Hossein Nasr, Seyyed, Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam diterjemahkan dari History Of Islamic Philosophy, (Mizan, Bandung, 2003), hlm. 213-214. Lihat juga dalam Dr. Ahmad Muhammad al-Turkumani, Ta’rifun Bi Madzhabi al-Syi’ah ……, hlm. 11-12
[25] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis….., Op.Cit, hlm. 276
[26] Muhammad Abu Zahra’, al-Imam al-Sadiq Hayatuhu wa ‘Asruhu wa Fiqhuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 425-426
[27] Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 127
[28] Muhammad Abu Zahra’, al-Imam al-Sadiq…. Op. Cit, hlm. 317
[29] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis….., Op.Cit, hlm. 181
[30] Abu Bakar ibn Ahmad ibn Sabit al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-Riwayah, (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, t.th.), hlm. 50.
[31] Ali Ahmad al-Salusi, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 127
[32] Al-Salusi, Ma’a al-Itsna Asyariyah ……, hlm. 706
[33] Al-Salusi, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah…., hlm. 129
[34] Ibid, hlm. 130

No comments:

Post a Comment