Mahasiswa STAIMA Al-Hikam Malang
Prodi PAI
Akreditasi: A
==========================================
BAB I
Prodi PAI
Akreditasi: A
==========================================
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Hadits
adalah salah satu sumber tasyri’ penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata
melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penfasir
al-Qur’an. Itulah sebabnya, di kalangan Ahl al-Sunnah, menjadi sangat penting
untuk menjaga dan mengawal pewarisan al-Sunnah ini dari generasi ke generasi.
Mereka misalnya menetapkan berbagai persyaratan yang ketat agar sebuah hadits
dapat diterima (dengan derajat shahih ataupun hasan). Setelah meneliti dan
membuktikan keabsahan sebuah hadits secara sanad, mereka tidak cukup berhenti
hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk mengkaji matannya; apakah ia
tidak syadz atau mansukh. Demikianlah seterusnya, hingga mereka
dapat menyimpulkan dan mendapatkan hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah.
Di
samping metodologi Jumhur sebagai salah satu kelompok Islam terbesar, ternyata Syiah
Imamiyah sebagai salah satu kelompok Syiah terbesar juga memiliki perhatian
khusus terhadap al-Hadits. Namun mereka memiliki jalur sanad dan sumber
khusus dalam menerima hadits yang berbeda dengan sanad dan sumber Jumhur. Ini
tentu saja tidak mengherankan, sebab Syiah Imamiyah memiliki pengertian
tersendiri tentang Jumhur. Maka perbedaan ini tidak pelak lagi kemudian
memunculkan perbedaan antara Jumhur dengan mereka dalam persoalan
keaqidahan maupun kefiqihan. Oleh karena itu, tentu menjadi
menarik untuk mengetahui lebih jauh tentang hadits menurut Syiah secara
umum, tanpa membahas perpecahan golonngan ini.
B. Rumusan
Masalah
1. Siapakah yang termasuk Ahl al-Sunnah dan
Syi’ah?
2. Bagaimana tadwin hadis perspektif
Sunni dan Syi’i?
3. Bagaimana epistemologi hadis Sunni dan Syi’i?
4. Apa literatur utama hadis Sunni dan
Syi’i?
5. Bagaimana klasifikasi dan syarat hadis
Sunni dan Syi’i?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui kaum yang termasuk Ahl al-Sunnah dan Syi’ah.
2. Untuk
memahami tadwin hadis perspektif Sunni dan
Syi’i.
3. Untuk
memahami epistemologi hadis Sunni dan Syi’i.
4. Untuk
mengetahui literatur utama hadis Sunni dan Syi’i.
5. Untuk
memahami klasifikasi dan syarat hadis Sunni dan
Syi’i.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara umum dikatakan dikatakan bahwa pada masa kini
ada dua kelompok umat Islam dengan jumlah pengikut yang besar, (1) yaitu
kelompok Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah dan (2) kelompok Syi’ah
1. Ahl al-Sunnah
Sunnah secara
harfiah berarti tradisi, Ahl as-Sunnah berarti orang-orang yang
secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad s.a.w., dalam hal ini adalah tradisi Nabi
dalam tuntunan lisan maupun amalan beliau serta sahabat mulia beliau.
M. Quraish Shihab dalam bukunya
“Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” menyatakan bahwa menemukan
kesukaran untuk menjelaskan siapa saja yang dinamai Ahl as-Sunnah dalam
pengertian terminology, karena banyaknya kelompok-kelompok yang termasuk di
dalamnya.[1]
Sementara pakar menyatakan bahwa kelompok Ahl as-Sunnah muncul sebagai reaksi atas
paham Mu’tazillah, yang disebarkan pertama kali oleh Washil bin ‘Atha’ (w. 131
H/748 M), dan yang sangat mengandalkan akal dalam memahami dan menjelaskan
ajaran-ajaran Islam.
Dalam surat Syaikh al-Azhar, Salim
al-Bisyri, kepada seorang tokoh Syiah, yaitu Abdul Husain Syarafuddin
al-Musawi, dipahami bahwa yang dimaksud dengan Ahl as-Sunnah adalah golongan
terbesar kaum Muslim yang mengikuti aliran Asy’ari dalam urusan akidah dan
keempat imam mazhab (Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan Hanafi), dalam
urusan Syari’ah.[2] Sedang
pengarang al-Farqu bain al-Firaq menyatakan dengan pasti bahwa termasuk
pula dalam kategori Ahl as-Sunnah adalah para pengikut al-Auza’iy (88-150
H/707-774 M), ats-Tsaury (w. 161 H), Ibn Ali Laila, dan Ahl adh-Dhahir.[3]
Ini dalam bidang fiqh/hukum. Sedang dalam bidang akidah, tokoh-tokoh utama
paham ini adalah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/936 M), al-Baqillani
(403 H/1013 M), walau tidak semua pendapat al-Ays’ari disetujuinya. Tokoh
penting lainnya adalah Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H/1085 M) dan yang
paling berperanan dalam penyebarannya adalah imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M).
2. Syi’ah
Syi’ah
menurut bahasa berarti “pengikut”, sedangkan menurut Istilah Syi’ah berarti sekelompok
orang yang mengagumi, mengikuti Ali bin Abi Thalib. Belakangan, golongan ini
memiliki beberapa istilah, yaitu al-Rafidhah, al-Imamiyah al-Itsna
‘Asyariyah, dan Ja’fariyah.[4]
Para
penulis Sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya syi’ah.
sebagaian menganggap syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Rasulullah saw.
yakni pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar.
Dibalai pertemuan Bani Saqifah Bani Saidah. Pada saat itu terdapat suara yang
menuntut ke-khalifahan Ali bin Abi Thalib dari bani Hasyim dan sejumlah kecil
Muhajirin.
Pendapat
lain menyebutkan bahwa syiah muncul pada akhir masa khalifah ketiga, Utsman bin
Affan Ra. atau tepatnya pada awal pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.
Namun pendapat yang paling populer dikalangan para sejarawan, bahwa syiah lahir
setelah gagalnya perundingan antar pihak pasukan Ali bin Abi Thalib Ra. dengan
pihak Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dipihak lain, pada saat perang siffin.[5]
Hanya
saja, fitnah dengan tameng kecintaan berlebihan kepada Ali bin Abi
Thalib sebenarnya telah didengungkan oleh Abdullah bin Saba’. Sehingga
keterikatan antara golongan Syiah dengan sosok Abdullah bin Saba’ ini tidak
dapat dihilangkan.
A.
Tadwin
Hadis
Sunni dan Syi’i
Mulai periode atba’
al-tabi’in, sejarah kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis memasuki
tahap perkembangan yang sangat penting. Tidak seperti halnya tadwin hadis
pada periode-peride sebelumnya yang umumnya dilakukan secara acak, tanpa upaya
klasifikasi dan sistematisasi, pada periode atba’ al-tabi’in, khususnya
sejak pertengahan abad II H, telah mulai dilakukan kompilasi dan kodifikasi
hadis secara sistematis berdasarkan bab-bab atau subjek-subjek tertentu (tashnif).[6]
Selama periode atba’
al-tabi’in telah ditulis sejumlah besar karya kompilasi hadis. Diantaranya
yang terpenting untuk kalangan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah karya
kompilasi hadis yang disusun oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ibn Ishaq (w. 151 H),
Ma’mar ibn Rasyid (w. 153 H), Sa’id ibn Abi Urubah (w. 156 H), ‘Abd al-Rahman
ibn ‘Amr al-Auza’iy (w. 156 H), al-Rabi’ ibn Shabih (w. 160 H), Syu’bah ibn
al-Hajjaj (w. 160 H), Sufyan al-Tsauriy (w. 161 H), al-Laits ibn Sa’ad (w. 175
H), Hammad ibn Salamah (w. 176 H), Malik ibn Anas (w. 179 H), ‘Abdullah ibn
al-Mubarak (w. 181 H), Jarir ibn ‘Abd al-Hamid al-Dlabbiy (w. 188 H), ‘Abdullah
ibn Wahb (w. 197 H), Waki’ ibn al-Jarrah (w. 197 H), Sufyan ibn ‘Uyainah (w.
198 H), al-Syafi’iy (w. 204 H), Abu Dawud al-Thayalisiy (w. 204 H), dan ‘Abd
al-Razzaq al-Shan’aniy (w. 211 H). sementara di kalangan syi’ah muncul beberapa
karya kompilasi hadis, diantaranya adalah karya musnad yang ditulis oleh
Musa ibn Ja’far al-Kazhim (w. 183 H), dan ‘Aliy ibn Musa Abi al-Hasan al-Ridla
(w. 202 H).[7]
Sepanjang
periode atba’ atba’ al-tabi’in juga berlangsung kompilasi dan kodifikasi
(tadwin) hadis yang lebih sistematis berdasarkan bab-bab atau
subjek-subjek tertentu. Hanya saja, dibanding dengan periode sebelumnya, tadwin
hadis sepanjang periode ini telah mengalami suatu perkembangan. Ada
beberapa ciri yang menandai proses tadwin hadis pada periode ini: (a)
telah dilakukan pemilahan atau pemisahan antara hadis Nabi s.a.w. dengan yang
lainnya. Hal ini berbeda dengan periode sebelumnya yang masih menggabungkan
antara hadis Nabi s.a.w. dengan pendapat-pendapat sahabat dan fatwa-fatwa
tabi’in; (b) sudah mulai ada perhatian untuk memberi penjelasan tentang derajat
hadis dari segi kesahihan dan kedla’ifannya; dan (c) karya-karya hadis yang
ditulis dapat mengambil judul: musnad, shahih, sunan, mukhtalif al-hadits, atau
lainnya.[8]
Selain itu, ada pula karya sejenis yang menggunakan judul lebih khusus seperti maghaziy,
misalnya al-Maghaziy karya Ibn Abi Syaibah.
Perjalanan
historis kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis, khususnya di kalangan
Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, mencapai puncaknya pada periode atba’ atba’
al-tabi’in. hal itu ditandai dengan munculnya enam kitab hadis utama yang
dikenal dengan al-Kutub al-Sittah, yakni Shahih al-Bukhariy (w.
256 H), Shahih muslim (w. 261 H), Sunan Abi Dawud (w. 275 H), Jami’
al-Tirmidziy (w. 279 H), Sunan al-Nasa’iy (w. 303 H), Sunan Ibn
Majah (w. 273 H). Selain itu, masih ada kitab-kitab hadis lainnya, seperti Musnad
Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Musnad ‘Abd ibn Humaid (w. 249 H), Musnad
Ishaq ibn Rahawaih (w. 237 H), Musnad al-Harits ibn Muhammad (w. 282
H), Musnad Ahmad ibn ‘Amr al-Bazar (w. 292 H), Mushannaf Ibn Abi
Syaibah (w. 235 H), dan Sunan al-Darimiy (w. 255 H). pada periode yang
sama, di kalangan syi’ah setidaknya telah muncul beberapa kitab hadis,
misalnya: al-Jami’ karya Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Nashr (w. 221 H), al-Jami’
karya Muhammad ibn al-Hasan ibn Ahmad (w. 243 H), Jami’ al-Atsar karya
Yunus ibn ‘Abd al-Rahman, al-Mahasin karya al-Barqiy (w. 280 H), Basha’ir
al-Darajat karya al-Shaffar al-Qummiy (w. 290 H), dan Nawadir al-Hikmah karya
Muhammad ibn Ahmad ibn Yahya al-Qummiy (w. sekitar 293 H).[9]
Setelah berakhirnya
periode atba’ atba’ al-tabi’in, proses kompilasi dan kodifikasi (tadwin)
hadis masih terus berlangsung. Paling tidak pada abad IV H hingga V H, di
kalangan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah telah disusun kitab-kitab koleksi hadis
dengan metode dan materi yang beragam. Dalam hal penyusunannya, ada sebagian
kitab hadis yang masih mengikuti judul-judul sebelumnya, seperti shahih,
sunan, dan musnad, tetapi ada pula yang telah menggunakan
judul-judul baru, seperti mustadrak, mustakhraj, mu’jam, dan majma’.[10]
Sementara di kalangan syi’ah sepanjang dua abad ini juga telah disusun
karya-karya kompilasi hadis dengan metode dan materi yang beragam. Ada sebagian
karya hadis syi’ah yang disusun berdasarkan sistematika fikih dan ada pula yang
memuat topik-topik secara lebih luas. Periode pasca atba’ atba’ al-tabi’in ini
lahirnya kitab-kitab utama syi’ah, antara lain: al-Kafy fi ‘Ilm al-Din karya
karya al-Kulainiy (w. 329 H), Man la Yahdluruh al-Faqih karya Ibn
Babawaih (w. 381 H), Tahdzib al-Ahkam fi Syarh al-Muqqni’a dan al-Istbshar
fi Ma Ukhtulifa min al-Akhbar karya al-Thusiy (w. 460 H), dan Nahj
al-Balaghah karya al-Syarif al-Radliy (w. 406 H).[11]
Dengan melihat perjalanan historis
kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis sebagaimana diuraikan di atas,
dan juga pemaparan panjang sebelumnya, dapat diketahui bahwa ada perbedaan
tertentu dalam karya kompilasi hadis yang ditulis oleh kalangan Ahl sunnah wa
al-Jama’ah dan Syi’ah. Munculnya perbedaan itu diantaranya:
1. Sejumlah sarjana menilai bahwa faktor
mazhab atau aliran menjadi penyebab utama munculnya perbedaan itu. Gibb, misalnya,
menyebutkan bahwa aliran-aliran yang berbeda dalam Islam cenderung menggunakan
koleksi-koleksi hadis standar sendiri yang berasal dari mereka, missal syi’ah
yang tidak mau mengakui hadis-hadis dari kalangan Ahl sunnah wa al-Jama’ah.[12]
2. Adanya akar kultural yang berbeda dari
masing-masing kelompok yang bersaing untuk monopoli hadis dan mengontrolnya,
sehingga tadwin hadis pun tidak terlepas untuk kepentingan penetapan
otoritas kelompok.
3. Ali Ahmad al-Salus menilai bahwa adanya
penguatan akidah dalam kelompok dan menancapkan pengaruh kepada para
pengikutnya.
Sejumlah pandangan yang telah
diutarakan secara umum mengakui bahwa faktor aliran merupakan penyebab utama
bagi munculnya perbedaan sejarah kompilasi dan kodifikasi hadis di kalangan
umat Islam.[13]
B.
Epistemologi
Hadis Sunni dan Syi’i
Untuk melihat
konstruk epistemologi hadis yang dibangun oleh masing-masing, baik Sunni maupun
Syi’ah adalah melalui tiga persoalan pokok dalam bidang epistemologi,
yaitu (1) persoalan asal pengetahuan atau sumber, dalam hal ini siapa sumber
utama yang bisa mengeluarkan hadis; (2) apa hakekatnya, artinya bagaimana kedudukan
hadis menurut Syi’ah dan Sunni dalam cakupan wilayah Islam; dan (3) persoalan
verifikasi, yaitu bagaimana mengukur validitas atau otentisitas hadis, sehingga
bisa dijadikan dasar hukum yang kuat.
Upaya ini sangat
urgen lantaran hadis sebagai laporan sejarah masa lampau mengenai kehidupan
Nabi yang telah lenyap ditelan waktu, sebuah pengalaman yang berada jauh dari
jangkauan pengetahuan inderawi. Jarak waktu yang cukup lama antara Nabi dan
para penghimpun hadis serta adanya perbedaan visi dan misi politik mazhab
menambah rumitnya pembuktian otentisitas hadis. Tingkat akurasi hadis diukur
dari segi isi (kritik matan) dan periwayatannya (kritik sanad). Dalam hal ini
para ulama hadis baik Sunni maupun Syi’ah membuat kriteria kualitas periwayat,
baik dari segi sanad maupun integritas pribadi periwayat. Ini menjadi landasan
penemuan metodologi yang tepat agar hadis itu benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akidah.
1.
Hadis
Perspektif Sunni
a.
Sumber
Hadis
Dalam
tradisi Sunni, yang dimaksud dengan hadis ialah segala sabda, perbuatan, taqrir,
dan hal-ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Hadis dalam
pengertian ini oleh ulama hadis disinonimkan dengan istilah al-sunnah.[14]
Dengan demikian, menurut umumnya jumhur ulama hadis, bentuk-bentuk hadis atau al-sunnah
ialah segala berita berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal
Nabi Muhammad saw.
Dari
definisi hadis yang ditetapkan Sunni di atas, memberikan batasan tentang segala
sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad s.a.w., sekaligus adanya anggapan bahwa
wahyu telah terhenti setelah wafatnya Nabi Muhammad. Dengan demikian apapun
yang bersumber dari Nabi dapat dijadikan dasar hukum dan sekaligus sumber
ajaran Islam. Sebaliknya apapun yang tidak bersumber langsung dari Nabi bukan
termasuk hadis, dan karenanya tidak wajib diikuti dan tidak dapat dijadikan
dasar hukum apalagi dijadikan sebagai sumber ajaran Islam. Dengan demikian
sumber utama yang dapat mengeluarkan hadis menurut Sunni hanya Nabi Muhammad
saw.
b.
Hakekat
Hadis
Pada
dasarnya, hampir semua mazhab[15]
dalam Islam, sepakat akan pentingnya peranan hadis sebagai salah satu sumber
ajaran Islam. Otoritas Nabi s.a.w. dalam hal ini (selain al-Qur’an) tidaklah
terbantahkan dan mendapat legitimasi melalui wahyu juga,[16]
Di sisi lain, keberadaan Muhamad s.a.w. sebagai penyampai apa yang diturunkan
Allah s.w.t. kepada umat manusia[17],
mestinya tidaklah dipahami sebagaimana petugas pos yang hanya mementingkan
sesampainya surat ke alamat yang dituju tanpa tahu dan peduli isinya.[18]
sehingga secara faktual, Nabi s.a.w. adalah manifestasi al-Qur’an yang
pragmatis. Aktualisasi prinsip-prinsip dasar al-Qur’an yang bersifat teoritik
dioperasionalisasikan oleh Muhammad s.a.w. melalui peneladanan.[19]
Dalam
diskursus Islam, terdapat berbagai permasalahan yang tidak cukup dijelaskan
hanya dengan mengacu kepada al-Qur’an, tetapi juga harus mengacu kepada hadis
Nabi s.a.w. Hal ini dikarenakan al-Qur’an lebih banyak menerangkan secara
global. Sesuatu yang global inilah yang harus dijelaskan dan dijabarkan. Dan di
sinilah hadis mempunyai fungsi menafsirkan yang mubham, memerinci yang mujmal,
membatasi yang mutlaq, mengkhususkan yang ‘am, dan menjelaskan
hukum-hukum sasarannya (bayan al-tafsir), bahkan hadis juga mengemukakan
hukum-hukum yang belum dijelaskan oleh al-Qur’an (sunah pembentuk). Pernyataan
seperti ini, banyak ditegaskan oleh al-Qur’an, misalnya Q.S. al-Hasyr (57): 7,
Q.S, al-Nahl (47): 80, Q.S. al-Ahzab (33): 21, dan lain sebagainya. Kenyataan
ini menunjukkan betapa penting dan strategisnya posisi hadis dalam bangunan
(pondasi) ajaran Islam.
Dengan
demikian, menurut Sunni hakekat hadis pada dasarnya adalah wahyu Allah yang
diberikan melalui Nabi Muhammad s.a.w. berupa peneladanan langsung yang
melibatkan rumusan-rumusan verbal (living tradition). Karena itulah,
hadis mempunyai peranan yang sangat urgen ketika disandingkan dengan al-Qur’an.
Keduanya menjadi sumber hukum yang harus diyakini oleh umat Islam.
c.
Verifikasi
Otentisitas Hadis
Pengertian
hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis Sunni adalah mencakup
sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam
sanad harus bersambung dan seluruh periwayat harus adil dan dhabit adalah
kriteria untuk kesahihan sanad, sedang keterhindaran dari syadz dan ‘illat,
selain merupakan kriteria untuk kesahihan sanad, juga kriteria untuk kesahihan
matan hadis.[20]
Definisi
hadis sahih yang disepakati oleh ulama Sunni meliputi beberapa unsur. Di antara
kriteria yang ditetapkan ulama untuk mendapatkan suatu hadis sahih adalah:
1) Sanad bersambung.
2) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat
adil.
3) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith.
4) Sanad dan matan hadis terhindar dari syadz.
5) Sanad dan matan hadis terhindar dari ‘illat.[21]
Sedangkan dari segi matannya harus sesuai dengan al-Qur’an, sunnah yang sahih,
tidak menyalahi fakta historis dan tidak bertentangan dengan akal dan panca
indera.[22]
Demikianlah,
kriteria-kriteria kesahihan hadis yang dibangun oleh ulama Sunni. Sekaligus
menetapkan bahwa suatu hadis yang tidak memenuhi kelima unsur tersebut adalah
dha’if dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Dengan demikian
keberadaan hadis sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an telah memberi pengaruh
yang besar pada seluruh aktivitas muslim dalam mencari pijakan dan memberi
teladan bagi kaum muslim dalam bertindak.
2.
Hadis
Perspektif Syi’i
a.
Sumber
Hadis
Hadis
dalam tradisi syi’ah yang mempunyai pengertian segala sesuatu yang disandarkan
kepada yang ma’sum, Nabi s.a.w. dan Imam dua belas, baik itu berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan adalah sumber hukum yang kedua setelah
al-Qur’an.[23] Imam dua belas yang ma'shum ,
diantaranya:
1) Ali
ibn Abi Thalib “al-Murtadha” (w. 40 H/661 M)
2) Al-Hasan
ibn ‘Ali “al-Zaky” (w. 49 H/669 M)
3) Al-Husain
ibn ‘Ali “Sayyid al-Syuhada’” (w. 61 H/680 M)
4) Ali
ibn Al-Husain, Zain Al-Abidin “Zainal ‘Abidin” (w. 95 H/714 M)
5) Abu
Ja’far Muhammad Ali “Al-Baqir” (w. 115 H/733 M)
6) Abu
Abdillah Ja’far bin Muhammad “Al-Shadiq” (w. 148 H/765 M)
7) Abu
Ibrahim Musa bin Ja’far “Al-Kazhim” (w. 183 H/799 M)
8) Abu
Hasan Ali bin Musa “Al-Ridha” (w. 203 H/818 M)
9) Abu
Ja’far Muhammad bin Ali “al-Jawad” Al-Taqi (w. 220 H/835 M)
10) Abu
Hasan Ali bin Muhammad “al-Hadi”(w. 254H/868 M)
11) Abu
Muhammad Al-Hasan bin Ali “Al-Askari” (w. 260 H/874 M)
12) Abu
al-Qasim Muhammad bin Hasan “Al-Mahdi”, Al-Qa’im Al-Hujjah (memasuki kegaiban
besar pada 329 H/940 M).[24]
Syi’ah menjadikan imam seperti
kedudukan Nabi Muhammad dalam menjelaskan Al-Qur’an. Mereka mengatakan bahwa
imam mempunyai ilham yang sebanding dengan wahyu bagi Rasulullah s.a.w.
Dari definisi hadis di atas,
memberi kesimpulan bahwa sumber hadis bukan hanya Nabi Muhammad, melainkan
setiap imam yang ma’shum juga dapat mengeluarkan hadis yang dapat
dijadikan hujjah. Dengan demikian, syi’ah juga mempunyai keyakinan tentang
berlangsungnya wahyu pasca wafatnya Nabi Muhammad s.a.w.
b.
Hakekat
Hadis
Menurut Syi’ah, substansi atau
hakekat hadis mempunyai tiga macam: Pertama: Khabar dan riwayat
yang mengandung petunjuk pembersihan jiwa, akhlak, nasehat dan cara-cara
pengobatan penyakit hati. Dengan muatan berisi ancaman, dan dorongan. Atau yang
berkaitan dengan tubuh, seperti kesehatan, penyakit, sakit dan pengobatan. Juga
manfaat buah-buahan, tumbuh-tumbuhan, pepohonan, air dan batu. Di samping itu
khabar tersebut mengandung do’a, zikir, dan keutamaan ayat-ayat. Serta semua
hal yang disunnahkan, baik dalam pembicaraan, perbuatan, maupun sikap. Itu
semua, menurut kaum Syi’ah, bisa dijadikan landasan untuk beramal ibadah. Dan
tidak perlu mencari tahu apakah sanad dan matannya shahih atau tidak. Kecuali
jika ada tanda-tanda yang menunjukkan kepalsuannya.
Kedua:
Yang mengandung hukum syara’ parsial, taklifi atau wadl’i.
Seperti taharah, berwudlu, cara shalat, zakat, khumus, jihad dan semua bagian
muamalat, transaksi yang diperbolehkan. Juga tentang nikah, thalaq, warisan,
hudud dan diyat. Semua khabar dan riwayat tersebut tidak boleh langsung
dijalankan. Namun diberikan kepada faqih yang mujtahid untuk menterjemahkannya.
Sedangkan orang awam harus mengikuti mujtahid marji’.
Ketiga:
Khabar dan riwayat yang mengandung pokok-pokok aqidah, seperti pengitsbatan
al-Khaliq s.w.t., juga tentang hasyr, barzakh, sirâth, mîzân, hisâb dan
lain-lain.
Jadi, pada hakekatnya hadis menurut
Syi’ah adalah Khabar dan riwayat yang jika berkaitan dengan aqidah dan pokok
agama mereka, seperti tauhid, ‘adl, nubuwwah, imâmah dan ma’ad.
Jika khabar tersebut sesuai dengan dalil-dalil ‘aqli, urgensi, dan tanda-tanda
yang qath’i, maka ia dapat dijalankan, dan tidak perlu menyelidiki sanad.
c.
Verifikasi
Otentisitas Hadis
Dalam kaitannya dengan kesahihan hadis,
para ulama Syi’ah dalam kajian sanad telah memberikan kriteria-kriteria sebagai
periwayat hadis. Ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi sebagai seorang
periwayat hadis untuk dapat diterima riwayatnya. Diantaranya adalah:
1) Sanadnya bersambung kepada Nabi s.a.w.
atau imam ma’sum tanpa terputus.
2) Seluruh periwayat dalam sanad berasal
dari kelompok Imamiyah dalam semua tingkatan.
3) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat ‘adil,
4) Seluruh periwayat bersifat dhabit.
5) Terhindar dari kejanggalan (syudzudz).[25]
Dengan demikian, hadis sahih menurut Syi’ah adalah, hadis yang memiliki
standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka yang ma’shum.[26]
Pengaruh Imamiyah disini tampak
pada pembatasan imam yang ma’shum dengan persyaratan periwayat harus
dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Jadi hadis tidak sampai pada tingkatan sahih
jika para periwayatnya bukan dari Ja’fariyah Isna ‘Asyariyah dalam semua
tingkatan.[27]
Berdasarkan pada pengertian di
atas, ulama Syi’ah membatasi hadis sahih pada setiap hadis yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad dan Imam dua belas. Suatu keterangan yang dapat dipetik
dari pemahaman di atas adalah bahwa derajat para Imam sama dengan derajat Nabi
s.a.w. dan itu juga berarti dalam periwayatan, segala yang disandarkan kepada
Imam juga sama terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi s.a.w dalam hal
kehujjahannya.[28]
Enam Kompilasi
Hadis Utama Sunni (al-Kutub al-Sittah)
|
Empat
Kompilasi Hadis Utama Syi’ah (al-Kutub al-Arba’ah)
|
1. Shahih al-Bukhariy, karya Bukhari (w. 256 H)
|
1. Al-Kafiy fi ‘Ilm al-Din, karya Syaikh
Abu Ja'far Muhammad bin Ya'qub al-Kulaini ar-Razi (w. 329 H)
|
2. Shahih Muslim, karya Muslim (w. 261 H)
|
2. Man La Yahdluruh al-Faqih, karya
Ibn Babawaih (w. 381 H)
|
3. Sunan Abi Dawud, karya Abu Dawud (w. 275 H)
|
3. Tahdzib al-Ahkam,
karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad bin Hasan al-Thusiy (w. 460 H)
|
4. Jami’ at-Tirmidziy, karya At-Turmudzi (w. 279 H)
|
4. Al-Istibshar fi Ma Ukhtulifa
min al-Akhbar, karya Syakih Abu Ja'far Muhammad
bin Hasan al-Thusiy (w. 460 H)
|
5. Sunan al-Nasa’iy, karya al-Nasa’iy (w. 303 H)
|
|
6. Sunan Ibnu Majah, karya Ibnu Majah (w. 273 H)
|
D. Klasifikasi dan Syarat Hadis Sunni dan Syi’i
Klasifikasi adalah derajat atau
tingkatan yang digunakan ulama dalam mengkategorikan hadis dilihat dari aspek
kuantitas dan kualitas rawi. Telaah ini dilakukan dalam upaya menelusuri
secara akurat sanad pada setiap hadis yang dikumpulkannya. Dengan penelitian
kedua aspek inilah, upaya pembuktian sahih tidaknya suatu hadis lebih dapat
dipertanggungjawabkan.
Perbedaan konsep-konsep dasar yang
sangat substansial mengenai hadis antara Sunni dan Syi’ah membawa implikasi
pada kualitas hadis yang dapat dijadikan pegangan sekaligus sebagai dasar
hukum. Perbedaan kriteria yang ditetapkan oleh Sunni dan Syi’ah berimplikasi
klasifikasi terhadap kualitas hadis masing-masing.
1. Hadis Dilihat dari Aspek Kuantitas Rawi
Dalam menyampaikan sebuah hadis
terkadang Nabi berhadapan dengan sahabat yang banyak jumlahnya, terkadang hanya
beberapa sahabat, bahkan terkadang hanya satu atau dua orang saja. Begitu
seterusnya sampai dengan generasi yang menghimpun hadis dalam berbagai kitab.
Sudah barang tentu, informasi yang dibawa oleh banyak orang lebih meyakinkan
dibanding informasi yang dibawa oleh hanya satu atau dua orang saja. Dengan
demikian, maka menurut pembagian hadis dari aspek kuantitas periwayat adalah
sebagai berikut:
Ø Hadis Mutawatir
Menurut al-Baghdadi, hadis mutawatir
adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah
tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya.[30]
Sedangkan ulama yang paling jelas dan rinci menerangkan hadis mutawatir adalah
al-’Asqalani, menurutnya, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah orang yang mustahil, menurut kebiasaan, mereka melakukan kesepakatan
untuk berdusta dan merekalah yang meriwayatkan hadis itu dari awal sampai akhir
sanad. Jadi berdasarkan definisi di atas, terlihat secara jelas bahwa proses
mutawatir ada dan berjalan secara gradual dari generasi ulama ke generasi ulama
lainnya.
Ø Hadis Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang
diriwayatkan dari Nabi oleh beberapa orang sahabat tetapi tidak mencapai
derajat mutawatir. Boleh jadi di tingkat tabi’in dan seterusnya pada generasi
yang lebih muda, hadis tersebut diriwayatkan secara mutawatir.
Ø Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang
diriwayatkan oleh satu, dua atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat
masyhur, apalagi mutawatir.
2. Hadis Dilihat dari Aspek Kualitasnya (Maqbul
atau Mardud)
Seluruh jenis hadis dilihat dari
segi kualitasnya dibagi menjadi dua: (1) maqbul (dapat diterima sebagai
dalil) yang nantinya dikenal dengan sebutan shahih dan hasan. Dan
(2) mardud (tidak dapat diterima sebagai dalil) yang nantinya dikenal
dengan sebutan dla’if. Mulai abad III H, atau tepatnya pada masa
al-Tirmidziy, telah dikenal pembagian hadis antara shahih, hasan, dan
dla’if. Dengan begitu kategori hadits ini sudah muncul di kalangan Ahl
as-Sunnah wa al-Jama’ah sejak era ulama mutaqoddimun.
Berikut maksud hadis yang
dimaksudkan di atas:
Ø Hadis Shahih
Ulama hadis Sunni sepakat mengenai definisi hadis
sahih yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yang
adil dan dhabit, serta tidak ada syadz (janggal) dan tidak ada‘illat
(cacat).
Ø Hadis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan hafalannya,
tidak rancu dan tidak bercacat
Ø Hadis Dla’if
Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi
persyaratan dari hadis sahih di atas, misalnya, sanadnya ada yang terputus, di
antara periwayat ada yang pendusta atau tidak dikenal, dan lain-lain.
Dalam sekte syi’ah hadits terbagi diklasifikasikan
menjadi empat bagian:
Ø Hadis Sahih
Hadis sahih menurut mereka
adalah, hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta
adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang. Dengan kata lain, hadis sahih
menurut mereka adalah hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik dari
imam-imam di kalangan mereka yang ma’shum.[31]
Mereka
sepakat bahwa syarat-syarat hadis sahih adalah:
1) Sanadnya
bersambung kepada imam yang ma’shum tanpa terputus.
2) Para
periwayatnya dari kelompok imamiah dalam semua tingkatan.
3) Para
periwayatnya juga harus adil dan kuat hafalan.
Dari definisi hadits Shahih ini,
dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun hadits shahih kecuali jika rawinya
berasal dari kalangan dua belas Imam yang ma’shum.[32]
Ø Hadis Hasan
Hadis hasan menurut Syi’ah
adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dari
periwayat adil, sifat keadilannya sesuai dalam semua atau sebagian tingkatan
para rawi dalam sanadnya.[33]
Dari
definisi tersebut tampak bahwa mereka mensyaratkan hadis hasan sebagai berikut:
1) Bertemu
sanadnya kepada imam yang ma’shum tanpa terputus.
2) Semua
periwayatnya dari kelompok imamiah.
3) Semua
periwayatnya terpuji dengan pujian yang diterima dan diakui tanpa mengarah pada
kecaman. Dapat dipastikan bahwa bila periwayatnya dikecam, maka dia tidak
diterima dan tidak diakui riwayatnya.
4) Tidak
ada keterangan tentang adilnya semua periwayat. Sebab jika semua periwayat adil
maka hadisnya menjadi sahih sebagaimana syarat yang ditetapkan di atas.
5) Semua
itu harus sesuai dalam semua atau sebagian rawi dalam sanadnya.
Pengaruh
akidah imamiyah dalam bentuk ini tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
1) Periwayatnya
disyaratkan harus dari kelompok imamiyah.
2) Diterimanya
riwayat orang yang bermazhab imamiah yang tidak adil, dan menolak riwayat orang
yang tidak bermazhab imamiyah, meskipun dia adil dan wara’.
3) Diterimanya
riwayat orang yang bermazhab imamiyah yang terpuji dan kadang tercela dengan
syarat tercelanya bukan sebab kerusakan mazhab. Karena yang dimaksud dengan
kerusakan mazhab adalah keluar dari garis Ja’fariyah. Jika demikian maka
tercelanya tidak dimaafkan.
Ø Hadis Muwatstsaq
Hadis
muwatstsaq yaitu hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum
dengan orang yang dinyatakan siqah oleh para pengikut Syi’ah imamiyah,
namun dia rusak akidahnya, seperti dia termasuk salah satu firqah yang berbeda
dengan imamiyah.
Al-Mamqani
berpendapat, hadis muwatstsaq adalah hadis yang sahih secara bahasa,
tetapi menyalahi pengertiannya sebagai istilah.
Definisi
ini memberikan pengertian tentang persyaratan sebagai berikut:
1) Bersambungnya
sanad kepada imam yang ma’shum.
2) Para
periwayatnya bukan dari kelompok imamiah, tapi mereka dinyatakan siqah
oleh ja’fariyah secara khusus.
3) Sebagian
periwayatnya sahih, dan tidak harus dari imamiah.
Pengaruh
akidah mereka tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
1) Posisi
hadis muwassaq diletakkan setelah hadis sahih dan hadis hasan karena adanya
periwayat dari selain Ja’fariyah.
2) Pernyataan
siqah harus dari kelompok Ja’fariyah sendiri. Karena bagi mereka
pernyataan siqah dari selain Ja’fariyah tidak cukup, bahkan orang yang
dinyatakan siqah oleh mereka (selain Ja’fariyah) adalah dla’if
menurut mereka.
Al-Mamqani
menjelaskan bahwa pengukuhan siqah harus dari para pengikutnya dengan
mengatakan, menerima penilaian siqah selain imamiyah, jika dia dipilih
imam untuk menerima atau menyampaikan persaksian dalam wasiat, wakaf talak,
atau imam mendoakan rahmat dan ridha kepadanya, atau diberi kekuasaan untuk
mengurusi wakaf atas suatu negeri, atau dijadikan wakil, pembantu tetap atau
penulis, atau diizinkan berfatwa dan memutuskan hukum, atau termasuk syaikh
ijazah, atau mendapat kemuliaan dengan melihat imam kedua belas.
Ø
Hadis
Dla’if
Menurut pandangan syi’ah, hadis dla’if
adalah hadis yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas.
Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang yang cacat sebab fasik, atau
orang yang tidak diketahui kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari itu,
seperti orang yang memalsukan hadis.[34]
Dalam hadis sahih, mereka menilai
periwayat selain Ja’fariyah sebagai orang kafir atau fasik, sehingga riwayatnya
dinyatakan dha’if yang tidak
boleh diterima, begitu juga tidak diterima riwayat dari selain Ja’fariyah
kecuali orang yang dinyatakan siqah oleh mereka.
Atas dasar itu mereka menolak
hadis-hadis sahih dari tiga khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, dan
Usman) dan sahabat yang lain, tabiin, serta para imam ahli hadis dan fuqaha,
pasalnya mereka tidak percaya dengan akidah imamiyah isna ‘asyariyah. Sebab
riwayat-riwayat sahih yang di dalam sanadnya terdapat para
sahabat senior dan para imam yang amanah, tetapi tidak percaya dengan akidah
dua belas imam, maka riwayat-riwayat tersebut dinyatakan dha’if oleh
Syi’ah.
Adapun hadis-hadis yang dha’if
bukan berarti tidak dapat diamalkan. Keberadaan hadis tersebut dapat
disejajarkan dengan hadis sahih manakala hadis tersebut populer dan
sesuai dengan ajaran mereka.
Hal yang penting diperhatikan bahwa
hujjah keagamaan di kalangan Syi’ah tidak serta merta berakhir dengan wafatnya
Rasulullah, namun tetap berjalan sampai imam dua belas. Dari sinilah baru wahyu
berhenti. Pada perkembangannya, semua masalah keagamaan kemudian dituangkan
dalam kitab standar, termasuk kitab al-Kafi.
E.
Penggunaan
Hadis sebagai Hujjah
Syi'ah,
dengan berdasar pada doktrin imamah dan ‘ishmah bahwa para imam
dua belas mempunyai kedudukan dan kualitas pribadi seperti Nabi s.a.w. dan
karenanya juga terjaga dari kesalahan, menegaskan bahwa hujjah keagamaan tidak
serta merta berakhir dengan kewafatan Nabi s.a.w., melainkan terus berlangsung
ke wakil-wakil beliau sampai Imam kedua belas. Dengan demikian, apa yang
bersumber dari Nabi s.a.w. dan apa yang bersumber dari para Imam dua belas, kedudukannya
sama dalam hal kehujjahan agama. Dari sisi yang berbeda, hal ini berarti
ketersambungan sanad dalam Syi'ah tidak disyaratkan harus selalu sampai kepada
Nabi s.a.w., tetapi bisa juga kepada imam yang ma'sum. Sementara Sunni hanya
membatasi pada segala sesuatu yang bersumber dari Nabi s.a.w. sebagai hadis dan
sumber kehujjahan agama. Karenanya, Sunni sama sekali tidak mengakomodasi
hadis-hadis yang ketersambungan sanadnya tidak sampai kepada Nabi s.a.w. Adapun
riwayat-riwayat yang berasal sahabat disebut hadis mauquf dan riwayat-riwayat
dari tabi'in disebut hadis maqtu', keduanya tidak dapat dijadikan hujjah.
Perbedaan ini berimplikasi kepada banyaknya materi hadis yang bisa dijadikan hujjah.
Di
samping itu, perbedaan yang juga tidak kalah pentingnya antara Syi'ah dan Sunni
adalah Syi'ah masih mengakomodasi para periwayat lain di luar para Imam,
sekalipun derajat hadis dari jalur ini berbeda dengan derajat hadis dari jalur
Imam mereka. Sedangkan Sunni (dalam hal ini al-Bukhari), tidak satu pun
mengutip riwayat-riwayat yang mengkhabarkan tentang kekhalifahan Ali bin Abi Talib
atau menjelaskan keutamaan-keutamaannya, dan riwayat hidup putra-putranya yang
diberkahi yang tidak lain adalah keluarga Rasulullah s.a.w.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Ahl
as-Sunnah berarti orang-orang yang secara
konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad
s.a.w., dalam hal ini adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupun
amalan beliau serta sahabat mulia beliau. Syi’ah berarti sekelompok orang yang
mengagumi, mengikuti Ali bin Abi Thalib.
2.
Munculnya
karya kompilasi dan kodifikasi hadis utama di kalangan Ahl al-Sunnah tepat pada
periode atba’ atba’ al-tabi’in, sedangkan kalangan Syi’ah literature
utamanya muncul setelahnya, yaitu periode pasca atba’ atba’ al-tabi’in.
3.
Hadis dalam pandangan Sunni hanya
disandarkan kepada Nabi s.a.w., sehingga segala yang bersumber dari Nabi s.a.w.
itu merupakan sunnah yang dijadikan sebagai hujjah keagamaan. Sedangkan dalam
perspektif Syi’ah, hadis disandarkan kepada Nabi dan Imam yang ma’shum.
4.
Klasifikasi hadis dalam pandangan
Sunni terbagi menjadi tiga, yaitu hadis shahih, hasan, dan dlo’if, sedangkan
dalam pandangan Syi’ah hadis menjadi hadis shahih, hasan, muwatstsaq, dan
dlo’if.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish.
2007. Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep
Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati
Saifuddin. 2011. Arus
Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam; Kajian Lintas Aliran. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Amin, Moh. 1991. Ijtihad
Ibnu Taimiyah dalam Bidang Fikih Islam. Jakarta: INIS
al-Qardawi, Yusuf.
1997. al-Qur’an dan al-Sunnah, Terj. Bahrudin Fanani. Jakarta: Rabbani
Press
al-Khatib, M. Ajaj.
1989. Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr
Zahra’, Muhammad Abu.
T.t. al-Imam al-Sadiq Hayatuhu wa ‘Asruhu wa Fiqhuhu. Beirut: Dar
al-Fikr
al-Salus, Ali Ahmad.
1997. Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih. Jakarta:
Pustaka al-Kausar
al-Baghdadi, Abu
Bakar ibn Ahmad ibn Sabit al-Khatib. T.t. al-Kifayah fi ‘ilm al-Riwayah. Kairo:
Dar al-Kutub al-Hadisah
Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam. 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve
al-Siba’i, Mustafa.
1991. Sunah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam; Sebuah Pembelaan
Kaum Sunni, Terj. Nurcholis Madjid. Jakarta: Pustaka Firdaus
Azami, Muhammad Mustafa.
1999. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Mustafa Ya’qub. Jakarta:
Pustaka Firdaus
Nasr, Hossein dan
Seyyed, Oliver Leaman. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam diterjemahkan
dari History Of Islamic Philosophy. Mizan, Bandung
al-Harabi, Mamduh.
2009. Mujmalu ‘Aqaidi al-Syi’ah fi Mizani Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah.
al-Jizah: Imraniyyah lil Aufasat
al-Zahraniy, Muhammad
ibn Mathar. 1412 H. Tadwin al-Sunnat al-Nabawiyyah. Tha’if: Maktabat
al-Shadiq
[1] M. Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah
Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), hlm. 57
[2] Ibid, hlm. 58,
lihat juga Abdul Husain Syarafuddin al-Musawi, Al-Muraja’at, (Irak:
al-Adab, t.t.), hlm. 31
[3] Ibid, hlm. 59,
lihat juga Abu al-Khair bin Thaher al-Baghdadi, Al-Farqu baina al-Firaq, (Mesir:
Muhammad Ali Shubauh, t.t.), 314-315
[4] Mamduh al-Harabi, Mujmalu
‘Aqaidi al-Syi’ah fi Mizani Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah, (al-Jizah;
Imraniyyah lil Aufasat, 2009/1430 H), hlm. 9
[5] Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), hlm. 5. Pendapat yang populer ini dapat dilihat dalam kitab
Dr. Ahmad Muhammad al-Turkumani, Ta’rifun Bi Madzhabi al-Syi’ah al-Imamiyah,
(Oman: Jam’iyah ‘Ummal al-Mathabi’ al-Ta’awuniyah, 1983), hlm. 9
[6] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam; Kajian Lintas Aliran, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 148
[7] Ibid, hlm. 149
[8] Muhammad ibn Mathar
al-Zahraniy, Tadwin al-Sunnat al-Nabawiyyah, (Tha’if: Maktabat
al-Shadiq, 1412 H), hlm. 96
[9] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin Hadis……, Op.Cit., hlm. 158
[10] al-Zahraniy, Tadwin
al-Sunnat….., Op.Cit., hlm. 145-182
[11] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin Hadis……, Op.Cit., hlm. 163-164
[12] Ibid, hlm.
170, lihat juga Hamilton A.R. Gibb, Mohammedanism, (London, Oxford, New
York: Oxford University Press, 1970), hlm. 59
[13] Ibid, hlm. 171
[14] Mustafa al-Siba’I, al-Sunnah
wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (t.k.: al-Dar al-Qawmiyyah, 1966),
hlm. 53.
[15] Dikatakan hampir
semua mazhab, karena ada sebagian kecil umat Islam yang tidak mempercayai dan
menolaknya sebagai sumber ajaran Islam. Mereka inilah yang dinamakan Munkir
al-Sunnah. Lihat Mustafa al-Siba’i, Sunah
dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam; Sebuah Pembelaan Kaum Sunni,
Terj. Nurcholis Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 1991), hlm. 122. Muhamad
Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Mustafa
Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm. 46-50.
[16] Dalam sejumlah ayat
al-Qur’an, umat Islam diperintahkan untuk mematuhi perintah Allah dan
Rasul-Nya. QS. Ali Imran (3): 32 dan 132, QS. Al-Hasyr (5): 93, QS. Al-Nisa’
(4): 193.
[17] {QS. Al-H}asyr (5):
67}
[18] Moh. Amin, Ijtihad
Ibnu Taimiyah dalam Bidang Fikih Islam (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 24
[19] Lihat Yusuf
al-Qardawi, al-Qur’an dan al-Sunnah, Terj. Bahrudin Fanani, (Jakarta:
Rabbani Press, 1997), hlm. 61.
[20] Nur al-Din al-’Itr, al-Madkhal
ila ‘Ulum al-Hadis (Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-’Ilmiyyah, 1972),
hlm. 15
[21] M. Ajaj al-Khatib, Usul
al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989). 250
[22] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin Hadis….., hlm. 275, lihat juga Salah al-Din al-Idlibi,
Manhaj Naqd al-Matn ‘ind ‘Ulama al-Hadis (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadida,
1983), hlm. 238
[23] Hasan Amin, Dairat
al-Ma’arif al-Islamiyyah al-Syi’iyyah, juz 11, jilid 3 (Beirut: Dar
al-Ta’aruf, 1971), hlm. 117
[24] Hossein Nasr, Seyyed,
Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam diterjemahkan dari
History Of Islamic Philosophy, (Mizan, Bandung, 2003), hlm. 213-214. Lihat
juga dalam Dr. Ahmad Muhammad al-Turkumani, Ta’rifun Bi Madzhabi al-Syi’ah
……, hlm. 11-12
[25] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin Hadis….., Op.Cit, hlm. 276
[26] Muhammad Abu Zahra’,
al-Imam al-Sadiq Hayatuhu wa ‘Asruhu wa Fiqhuhu, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.), hlm. 425-426
[27] Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi
Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka
al-Kausar, 1997), hlm. 127
[28] Muhammad Abu Zahra’,
al-Imam al-Sadiq…. Op. Cit, hlm. 317
[29] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin Hadis….., Op.Cit, hlm. 181
[30] Abu Bakar ibn Ahmad
ibn Sabit al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm al-Riwayah, (Kairo:
Dar al-Kutub al-Hadisah, t.th.), hlm. 50.
[31] Ali Ahmad al-Salusi, Ensiklopedi
Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih, (Jakarta: Pustaka
al-Kausar, 1997), hlm. 127
[32] Al-Salusi, Ma’a
al-Itsna Asyariyah ……, hlm. 706
[33] Al-Salusi, Ensiklopedi
Sunnah-Syi’ah…., hlm. 129
[34] Ibid, hlm. 130
No comments:
Post a Comment