PascaSarjana Maulana Malik Ibrahim Malang
Mei,
2014
Oleh: Nurul
Hidayah Irsyad
Harald Matzki: Otentikasi Hadits Dan Sanggahan
Atas Skeptisme Para Orientalis Terhadap Hadits
A. PENDAHULUAN
Setiap
zaman senantiasa muncul para pemikir yang tertarik untuk meneliti hadis. Ini
dapat dilihat dari buku-buku ilmu hadis yang banyak berkembang dewasa ini.
Kajian terhadap hadis dalam karya-karya itu, pada umumnya bersifat filosofis.
Para orientalis mengkaji hadis dengan pendekatan murni ilmiah baru pada abad
19. Namun umumnya hasil studi mereka khususnya terhadap hadis, kurang bisa
diterima oleh umat Islam. Karena mereka selain bukan muslim, juga konklusi
mereka terhadap hadis umumnya negatif.[1]
Hal yang tak bisa
dihindari dari orientalisme ketika bersentuhan dengan kajian keislaman adalah
mengkaji hadis Nabi yang diyakini oleh umat Islam sebagai sumber ajaran Islam
selain al-Quran. Tidak sedikit dari kalangan orientalis yang mengkaji hadis
Nabi baik dalam hubungannya dengan masalah matan, validitas isnad, otentisitas
hadis itu sendiri dalam kaitannya dengan tadwin hadis, kritik matan dan
lain-lain.
Secara
umum kajian orientalisme terhadap Islam, khususnya hadis menurut Sahiron
Syamsuddin[2]
dapat dipetakan menjadi tiga asumsi, yakni asumsi skeptis,[3]
asumsi non-skeptis[4]
dan asumsi middle ground.[5]
Tokoh asumsi skeptis Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, HA. Juynboll, Michael
Cook dan Eckatt Stetter. Tokoh asumsi non-skeptis diantaranya Nabia Abbot dan
asumsi middle ground diwakili oleh Harald Motzki.[6]
Dalam
makalah ini akan dijelaskan otentifikasi hadis dan sanggahan Harald Motzki
terhadap para skeptisme hadis.
B. PEMBAHASAN
1.
Biografi
Harald Motzki dikenal
sebagai sosok sarjana studi Islam yang terkonsentrasi terhadap materi
hadis dan berbagai keilmuan penyangganya, dan berupaya untuk mengkritisinya
dengan objektif. Dan beliau adalah seorang orientalis yang menjadi Guru Besar
Hadis sekaligus Profesor di Institut Bahasa dan Budaya dari Timur Tengah,
Universitas Nijmegen, Belanda. Motzki adalah sosok yang dikenal para pemerhati
orientalisme dan sebagai sosok yang banyak mengkaji hadis, sirah dan
sejarah asal-usul hukum Islam.[7]
2. Metode Metode Penelitian
Harald
Harald Motzki tidak secara eksplisit
menyebutkan langkah-langkah penelitian yang sistematis ketika melakukan
penelitian kitab Musannaf Abd ar-Razaq. Meskipun demikian, dari data yang ada,
penyusun mencoba menggambarkan metode, pendekatan, dan langkah-langkah
sistematis yang ditempuh Harald Motzki sebagai berikut:
a.
Meletakkan dating, yakni menentukan asal-muasal dan
umur terhadap sumber sejarah yang merupakan salah satu substansi penelitian
sejarah. Jika dating yang dilakukan oleh seorang peneliti terhadap sebuah
sumber sejarah terbukti tidak valid di kemudian hari, maka seluruh premis
teori dan kesimpulan yang dibangun atas sumber sejarah tersebut menjadi colleps
(roboh). Teori inilah yang menjadi epistemologi Motzki dalam merekonstruksi
sejarah awal Islam dalam karyanya The Origins of Islamic Jurisprudence.
b.
Tidak melakukan penelitian secara
keseluruhan hadis-hadis yang terdapat dalam sumber primernya Musannaf Abd
ar-Razaq. Namun, ia menggunakan metode sampling, yakni mengambil beberapa
bagian yang diangap telah mewakili populasi dari yang diteliti. Tujuan dari
penentuan sampel ini adalah untuk menghindari kekeliruan generalisasi dari
sampel ke populasi. Motzki dalam hal ini meneliti 3810 hadis dari keseluruhan
kitab Musannaf Abd ar-Razzaq yang berjumlah 21033 hadis. Dengan demikian ia
meneliti sekitar 21% hadis.
c.
Setelah data terkumpul, kemudian
Motzki menganalisis sanad dan matan dengan menggunakan metode isnad cum
analisis dengan pendekatan traditional-historical, yakni sebuah metode yang cara
kerjanya menarik
sumber-sumber awal dari kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara sebagai
karya-karya terpisah, dan memfokuskan diri pada materi-materi para perawi tertentu
ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul pada topik tertentu. Jadi,
traditional-historical dijadikan sebagai alat untuk menganalisa dan menguji
materi-materi dari perawi. Oleh karena itu, penelitian struktur periwayatan
yang dilakukannya memberikan kesimpulan bahwa materi-materi yang diletakkan
atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya adalah sumber yang otentik, bukan
penisbatan fiktif yang direkayasa.
d.
Terkait dengan materi periwayatan
(matan) hadis, Motzki mengajukan teori external criteria dan formal criteria of
authenticity sebagai alat analisa periwayatan.
e.
Penyusunan atau disebut sebagai tahap aplikasi. Yakni berangkat dari metode-metode di
atas, Motzki kemudian mengklasifikasikan terhadap riwayat yang terdapat dalam
kitab Musannaf.
Penggunaan
Moztki terhadap teori dating (menentukan umur dan asal muasal terhadap sumber
sejarah) yang di dasarkan atas sumber orisinil berupa kitab Musannaf karya Abd
ar-Razzaq ditambah dengan metode isnad cum analisis dengan pendekatan traditional-historical
merupakan penelitian yang dapat dipertangungjawabkan secara akademisi. Hal ini
berbeda jauh dengan analisis historisnya Schacht yang didasarkan atas keragu-raguan
dalam menginterpretasi
terhadap fenomena semata sebagaimana tampak dalam projecting back
(penyandaran ide kepada tokoh yang memiliki otoritas-nya). Meskipun demikian,
jika dicermati lebih mendalam teori yang dibangun oleh Motzki sebenarnya sudah
ada dalam kajian ilmu hadis dalam Islam. Misal teorinya tentang traditional-historical
dapat disejajarkan dengan ilmu al-rijal al-hadis dan teorinya tentang external
criteria dan argument internal formal criteria of authenticity dalam
periwayatan hadis dapat disejajarkan dengan teori al-tahammul wa al-‘ada
al-hadis.
Dalam
memahami sebuah teks, menarik bila kita menelaah pemikiran Julia Kristeva,
seorang pemikir post-strukturalis Perancis. Dalam kedua bukunya: Revolution
in Poetic Language (Kristeva: 1974) dan Desire in Language: A Semiotic
Approach to Literature and Art (Kristeva: 1979). Ia memperkenalkan istilah
‘intertekstualitas’ sebagai kunci untuk menganalisis sebuah teks. Menurutnya,
relasi dalam sebuah teks tidaklah sesederhana relasi-relasi antara ‘bentuk’ dan
‘makna’ atau ‘penanda’ (signifier) dan ‘petanda’ (signified)
sebagaimana dipertahankan oleh semiotika konvensional. [8]
Sebaliknya,
Kristeva melihat pentingnya dimensi ruang dan waktu. Sebuah teks dibuat di
dalam ruang dan waktu yang konkret. Karena itu mesti ada relasi-relasi antara
satu teks dengan teks lainnya dalam suatu ruang, dan antara satu teks dengan
teks sebelumnya di dalam garis waktu. Hal inilah yang terlupakan dari kajian
Motzki, di mana ia terlalu “asyik” dengan kajian teks dalam Mus}annaf dan
jarang sekali ia melakukan interpretasi sejarah di luar teks. Pemberian porsi
yang sebanding antara keduanya dengan mensintesakan secara kreatif antara teori
Schacht dengan teori Motzki dapat dijadikan sebagai salah satu solusi untuk
mengatasi kelemahan ini, agar pemahaman terhadap teks (al-Qur'an dan hadis)
tidak tercerabut dari konteks kesejarahannya.
3.
Kajian Harald Motzki atas
Kitab al-Mushannaf Karya Abdurrazzaq as-San’ani
Sebelum masuk pada pembahasan usaha
Motzki tentang otentisitas hadis, pengetahuan atas Mushannaf Abdul Razzaq
dirasa penting. Hal ini dikarenakan jika riwayat yang terdapat dalam kitab ini
oyentik, maka hadis memang telah ada sejak abad pertama hijriah. Ditinjau dari
segi jenis kitab-kitab hadis, kitab ini termasuk kitab hadis yang disusun
berdasarkan bab fiqh. Hal ini dapat dilihat dari tehnik penyusunannya yang
khas, yakni mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema serupa. Penulis kitab
ini adalah Abdul Razzaq yang memiliki nama lengkap al-Hafiz al-Kabir Abi Bakar
‘Abd al-Razzaq Ibn Hamman al-San’ani (w. 211H). Ia dilahirkan pada tahun 126
H/744 M. Ia dibesarkan di Yaman dan pernah mengenyam pendidikan di Yaman. Kitab
Musannaf ‘Abd al-Razzaq sudah dipublikasikan sejak tahun 1972 sebanyak 11
volume, yang disajikan oleh Habib al-Rahman al-A’zami, dan diterbitkan oleh
al-Majelis al-Ilmi, Beirut. Kitab Musannaf ‘Abd al-Razzaq ini memuat hadis
sebanyak 21033 buah.[9]
Ada beberapa alasan, mengapa Harald
Motzki mengambil Kitab Musannaf Abd al-Razzaq ini sebagai objek penelitiannya:[10]
a. Musannaf Abd
al-Razzaq ini merupakan salah satu kitab yang mewakili dari banyak kitab-kitab
hadis tertua pada abad kedua hijriah;
b. Musannaf Abd
al-Razzaq tidak terpengaruh oleh mazhab as-Syafi’i, karena di dalamnya masih
murni mengandung materi-materi dari qaul Nabi, qaul Shahabat dan qaul Tabi’in;
c. Musannaf Abd
al-Razzaq adalah kitab yang memuat informasi yang cukup mewakili perkembangan
hukum Islam di Makkah;
d. Musannaf Abd
al-Razzaq adalah kitab yang lebih tua dan lebih tebal dibandingkan dengan
musannaf-musannaf yang lain.
Maka wajarlah Motzki mengambil kitab ini sebagi
objek kajiannya, karena kitab ini dianggap representatif, sekaligus membuktikan
tesa yang dibangun bahwa otentisitas hadis dapat dipertanggung jawabkan. Dengan alasan tersebut di atas, Harald Motzki menjadikan Musannaf ‘Abd
al-Razzaq sebagai sumber penelitiannya yang utama.[11]
· عبد الرزاق عن بن جريج قال قلت لعطاء فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق فيما يغسل قال نعم لا شك في ذلك
· عبد الرزاق عن بن جريج قال أخبرني زياد أن فليح بن سليمان أخبره أن أبا هريرة توضأ فغسل الرفغين فقيل له ما تريد بهذا قال أريد أحسن تحجيلي أو قال تحليلي
· عبد الرزاق عن بن جريج عن عمرو بن يحيى بن عمارة بن أبي حسن أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يمسح رأسه مرة واحدة بكفيه يقبل بيديه ويدبر بهما على رأسه مرة واحدة
4. Teori Dating dengan Pendekatan Isnad Cum Matn Analysis
Pendekatan isnad
cum matn analysis sudah dimulai oleh Jan Hendrik Kramers dalam artikelnya
yang terbit tahun 1953 dan Joseph van Ess dalam bukunya Zwischen Hadit und Theologie, terbit tahun 1975. Kedua tulisan yang
sangat serius ini tidak mendapat perhatian memadai dalam kesarjanaan hadis di
Barat sampai Harald Motzki menulis sejumlah buku dan artikel yang menggunakan
pendekatan ini. Dengan isnad cum matn
analysis Motzki mengkritik dengan sangat serius metode, premise, kesimpulan
dari para pendukung madhhab skeptis, mulai dari Gldziher, Joseph Schacht,
Norman Calder, Michael cook, G.H.A. Juynboll dan lain-lain.[13]
Diantara karakteristik pendekatan isnad cum
matn analysis adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada
komentar atau penilaian ulama tentang perawi tersebut. Komentar ulama
tentangnya menjadi sekunder. Kualitas perawi primarily ditentukan terutama oleh
matn atau teks dari perawi tersebut. Dengan kata lain, apakah seorang
perawi thiqa atau tidak tidak hanya berdasar pada kitab-kitab biografi yang
membahas tentang kualitas perawi, tetapi berdasar terutama pada analisa sanad
dan matan hadis yang sedang diteliti.[14]
Kalau kita meneliti sebuah hadis, maka yang
pertama kita lakukan adalah:
a.
Semua varian-varian hadis yang dapat ditemukan
dikumpulkan, bukan hanya dalam Sahih Buhari atau Muslim saja, tapi disamping kutub
al-sitta (canonical collections), juga Muwatta Malik, Musnad
al.Tayalisi, Musnad Ibn Rahawayh, Musannaf Abd Razzaq, Sunan al-Darimi, Ibn
al-Jad dan lain lain (pre-canonical collections), al-Bayhaqi, Ibn Hibban,
al-Tabarani, Ibn Khuzayma dan lain lain (post canonical collections), bahkan
kalau perlu dalam kitab hadis koleksi Shiah, misalnya Musnad al-Allama
al-mujlisi, al-Shamiyyin dll. Semua varian hadis dalam kitab-kitab tersebut
dikumpulkan.
b.
Setelah terkumpul semua data yang dibutuhkan,
kemudian dibuat diagram untuk melihat siapa perawi yang menerima hadis dari
mana. Dengan demikian akan kelihatan siapa yang menjadi madar atau common
link dari setiap generasi. Siapa yang menjadi sumber hadis tersebut dari
generasi kegenerasi.
c.
Diagram isnad yang dibuat harus diuji
kebenarannya melalui analisis matn. Karena klaim perawi telah menerima dari informan
yang ia sebutkan boleh jadi hanya pengakuan belaka.
d.
Grup varian matan dan grup varian isnad
dibandingkan untuk dicek apakah ada korelasi atau tidak. Dalam hal ini
membandingkan matn antara para perawi segenarasi dan seperguruan menjadi
mutlak. Apakah hadis tersebut hanya beredar pada abad kedua ketiga atau sudah
beredar pada abad pertama hanya dengan cara ini kita dapat mengetahui apakah
hadis tersebut berasal dari nabi, Sahabat, Tabiin atau setelahnya. Disamping
itu, independensi dan interdependensi setiap riwayat harus kita buktikan, juga
dengan menguji matannya. Benarkah si A menerima hadis dari B seperti yang ia
klaim, benarkah B menerima hadis dari C seperti yang ia kutip, Benarkah C
menerima dari D seperti yang ia katakan, dstnya. Analisa sanad dan matn
menjadi sangat menentukan.[15]
Harald Motzki tidak secara eksplisit
menyebutkan langkah-langkah penelitian yang sistematis ketika melakukan
penelitian kitab Musannaf Abd ar-Razaq. Meskipun demikian, dari data yang ada,
penyusun mencoba menggambarkan metode, pendekatan, dan langkah-langkah
sistematis yang ditempuh Harald Motzki sebagai berikut:
f. Meletakkan
dating, yakni
menentukan asal-muasal dan umur terhadap sumber sejarah yang merupakan salah
satu substansi penelitian sejarah. Jika dating yang dilakukan oleh seorang
peneliti terhadap sebuah sumber sejarah terbukti tidak valid di kemudian
hari, maka seluruh premis teori dan kesimpulan yang dibangun atas sumber
sejarah tersebut menjadi colleps (roboh). Teori inilah yang menjadi
epistemologi Motzki dalam merekonstruksi sejarah awal Islam dalam karyanya The
Origins of Islamic Jurisprudence.
g. Tidak melakukan
penelitian secara keseluruhan hadis-hadis yang terdapat dalam sumber primernya
Musannaf Abd ar-Razaq. Namun, ia menggunakan metode sampling, yakni mengambil
beberapa bagian yang diangap telah mewakili populasi dari yang diteliti. Tujuan
dari penentuan sampel ini adalah untuk menghindari kekeliruan generalisasi dari
sampel ke populasi. Motzki dalam hal ini meneliti 3810 hadis dari keseluruhan
kitab Musannaf Abd ar-Razzaq yang berjumlah 21033 hadis. Dengan demikian ia
meneliti sekitar 21% hadis.
h. Setelah data
terkumpul, kemudian Motzki menganalisis sanad dan matn dengan menggunakan
metode isnad cum analisis dengan pendekatan traditional-historical,
yakni sebuah metode yang cara kerjanya menarik sumber-sumber awal dari
kompilasi yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya-karya terpisah, dan
memfokuskan diri pada materi-materi para perawi tertentu ketimbang pada
hadis-hadis yang terkumpul pada topik tertentu.
Jadi, traditional-historical
dijadikan sebagai alat untuk menganalisa dan menguji materi-materi dari perawi.
Oleh karena itu, penelitian struktur periwayatan yang dilakukannya memberikan
kesimpulan bahwa materi-materi yang diletakkan atas nama empat tokoh sebagai
sumber utamanya adalah sumber yang otentik, bukan penisbatan fiktif yang
direkayasa.
i. Terkait dengan
materi periwayatan (matan) hadis, Motzki mengajukan teori external
criteria dan formal
criteria of authenticity sebagai alat analisa periwayatan.
j. Penyusunan atau disebut
sebagai tahap aplikasi. Yakni berangkat dari
metode-metode di atas, Motzki kemudian mengklasifikasikan terhadap riwayat yang
terdapat dalam kitab Musannaf.
Hasil Motzki dalam penelitiannya menemukan tiga
sumber dominan yang sering dirujuk oleh Abd ar-Razaq, yang memberikan
kontribusi ribuan hadis, mereka adalah Ma’mar, Ibn Jurayj, dan Sufyan As-Sauri.
Guna membuktikan masalah ini, Motzki meneliti empat tokoh sebagai sumber
otoritas utama dari Abd ar-Razzaq, yakni Ma’mar di mana ar-Razzaq meriwayatkan materinya
sekitar 32%, Ibnu Jurayj 29%, As-Sauri 22%, dan Ibn Uyainah 4%. Sisanya adalah
sekitar 13% yang berasal dari 90% tokoh yang berbeda dan kurang dari 1% tokoh
yang berasal dari abad ke-2 H seperti Abu Hanifah 0,7%, dan Imam Malik sebesar
0,6%. [16]
Dari pemilahan tersebut, menurut Motzki setiap
koleksi memiliki karakteristik tersendiri, dan hampir mustahil seorang pemalsu
dapat memberikan sumber yang begitu bervariasi, apalagi jika penelitian ini
difokuskan pada asal perawi dan karakter teks yang diriwayatkan. Guna mendukung
pandangannya bahwa ar-Razzaq bukan seorang pemalsu, maka Motzki mengutip
biografinya khususnya terkait dengan guru-gurunya ar-Razzaq. Lebih lanjut,
Motzki mengklasifikasikan riwayat yang terdapat dalam Musannaf Abd ar-Razzaq
sebagai berikut:
1)
Ma’mar
(w. 153 H) 32% dengan konfigurasi materi yang berasal darinya adalah Ibn Syihab
az-Zuhri 28%, Qatadah bin Diama 25%, Ayyub bin Abi Tamima 11%, orang tanpa nama
(anynamous) 6%, Ibn Tawus 5%, Ma’mar 1%, 77 orang 24% jumlah total 100%.
2)
Ibn
Jurayj (w. 150 H) 29% dengan konfigurasi materi yang berasal darinya adalah
‘Ata’ ibn Rabah 39%, orang tanpa nama (anynamous) 8%, Amr bin Dinar 7%, Ibn
Syihab az-Zuhri 6%, Ibn Tawus 5%, Ibn Jurayj 1%, 103 orang 34%, jumlah total
100%.
3)
Sufyan
as-Sauri (w. 161 H) 22%. Profil teks yang yang berasal darinya mencakup
pendapat hukum as-Sauri sendiri yang lebih dominan, yakni Sufyan as-Sauri 19%,
Mansur bin al-Mu’tamir 7%, Jabir bin Yazid 6%, orang tanpa nama (anynamous) 3%,
161 informan 65%, jumlah total 100%.
4)
Ibn
‘Uyayna 4% sumber hadis riwayatnya adalah Amr bin Dinar 23%, Ibn Abi Najih 9%,
yahya bin Said al-anshari 8%, Ismail bin Abi Khalid 6%, orang tanpa nama
(anynamous) 4%, 37 orang 50%, jumlah total 100%.
5)
90
orang 13% jumlah keseluruhan dari poin a hingga point e adalah 100%.[17]
Berdasarkan data ini Moztki menyatakan “bahwa profil masing-masing periwayat hadis tersebut menunjukkan bahwa keempat
koleksi teks tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Kekhasan masing-masing
struktur mengindikasikan tidak mungkin seseorang melakukan pemalsuan (forge)
dalam menyusun materi, karena jika demikin
tentu dalam teks hadis
tersebut akan ditemukan perbedaan-perbedaan
yang signifikan. Di samping itu, semakin detail dan mendalam penelusuran
terhadap teks-teks tersebut mengenai kekhasan teks dan asal muasal sumber
informasi, maka akan
semakin signifkan perbedaan-perbedaan yang dijumpai.[18]
Selanjutnya, Motzki berkesimpulan bahwa
materi-materi hadis yang
disandarkan kepada Abd ar-Razzaq kepada keempat informan utamanya adalah otentik (murni). Gaya penyajian materi
ar-Razzaq yang kerap kali mengekspresikan keraguanya atas sumber yang pasti
terhadap sebuah hadis menunjukan sikapnya yang terbuka dan jujur. Hal ini
menjadi ta’kid keotentikannya. Sebab, tidak mungkin seorang pemalsu akan
menunjukkan sikap seperti itu yang hanya akan melemahkan riwayat yang
disampaikannya.
Motzki kemudian menganalisa lebih jauh mengenai
hubungan guru antara Ar-Razzaq dengan perawi di atasnya yakni Ibn Jurayj.
Distribusi otoritas yang tidak seimbang dan keinginan Jurayj menyampaikan
pendapatnya sendiri merujuk otoritas yang lebih awal, menunjukkan bahwa ia
bukan pemalsu. Hal ini didukung oleh pengujian sumber Jurayj meliputi:
perbedaan isi (misal, pengunaan ra’yu didistribusikan secara tidak seimbang); perbedan
pengunaan riwayat guru-murid, anak-bapak, maula-patron, perbedaan proporsi
hadis dari nabi, sahabat, dan tabi’in; perbedaan penggunaan isnad dan perbedaan
terminologi periwayatan (misal, penggunaan istilah ‘an atau sami’tu). [19]
Lebih lanjut, Motzki memfokuskan dari sumber yang
sering diikuti Jurayj, yakni ‘Ata’. Dalam hal ini ia menggunakan teori External
Criteria dan argument internal formal criteria of Authenticity yang
merupakan dua alat analisa yang dihasilkan ketika Motzki meneliti penyandaran (transformasi
ilmu) yang dilakukan Jurayj kepada ‘Ata’. Sementara
External Criteria
dibagi menjadi dua, yakni pertama, Magnitude (banyak sanad dan penyebarannya).
Dalam konteks ini, proporsi sumber Jurayj pada klasifikasi Motzki di atas betentangan
dengan asumsi bahwa ia adalah pemalsu. Sebab ia memilih cara yang sangat
complicated dengan menyandarkan materi hukumnya kepada sumber yang ia sebutkan.
Jika ia pemalsu, tentunya ia akan memilih satu atau beberapa informan saja dari
fuqaha’ atau perawi terkenal.[20]
Dilihat dari frekwensi gaya pertanyaan (direct,
indirect, anonymous, and not-anonymous), menunjukkan jika Jurayj tidak
melakukan projection back atau telah mengatribusikan pendapatnya kepada
generasi sebelumnya. Dengan bahasa sederhana, analisis Motzki atas gaya
penyajian materi ‘Ata’ oleh Jurayj menunjukkan implausibility asumsi bahwa ia
telah melakukan pemalsuan. Sementara dilihat dari kualitas dan kuantitas
responsa ‘Ata’ atas pertanyaan Jurayj menunjukkan keduanya terdapat korelasi
historis yang panjang. [21]
Motzki juga menggunakan teori argument internal
formal criteria of authenticity yang menunjukkan keotentikan materi
Jurayj dengan ‘Ata’. Ia kemudian menginventarisir enam hal yang ia kategorikan
sebagai internal formal criteria of authenticity. Yaitu
sebagai berikut:[22]
1) Jurayj tidak hanya menyajikan pendapat
hukum dari generasi sebelumnya, namun juga menyajikan pendapat hukumnya
sendiri.
2) Jurayj tidak hanya menyajikan materi
dari ‘Ata’, melainkan juga memberikan tafsir, komentar, dan bahkan kritik
terhadap materi tersebut. Motzki membayangkan tidak rasional Jurayj membuat
teks sendiri, kemudian menyandarkannya secara palsu kepada ‘Ata’, dan pada saat
bersamaan ia memberi komentar dan kritik.
3) Jurayj terkadang mengekspresikan
ketidakyakinannya atas maksud dan perkataan ‘Ata’. Keraguan Jurayj dinilai
Motzki sebagai sesuatu yang positif, yakni sebagai bukti kejujurannya dalam
memproduksi ajaran dari gurunya.
4) Jurayj terkadang meriwayatkan materi
‘Ata’ dari orang lain.
5) Jurayj menyajikan materi secara tepat
dan verbatim.
6) Jurayj terkadang menunjukan kelemahan
sumber informasinya. [23]
Berangkat dari dua External Criteria dan enam
point argument internal formal criteria of Authenticity di atas, Motzki kemudian membuat kesimpulan berikut:
1)
Materi
Ibn Jurayj dari ‘Ata’ yang diabadikan
dalam Musannaf Abd ar-Razzaq adalah benar-benar sumber otentik.
2)
Sumber
tersebut dapat dikatakan sebagai historically reliable source untuk fase
perkembangan hukum di Makkah pada dekade pertama abad ke-2 H.[24]
Kemudian setelah Motzki
melanjutkan penelitian dan analisanya mengenai sejauh mana ‘Ata’ menerima
materinya. Motzki pun mengambil kesimpulan
bahwa hirarki sumber otoritas ‘Ata’ adalah
Sahabat nabi 15%, al-Qur'an 10%, anynamous traditions 3%, dan okoh yang semasa
dengannya 1,5%. Hassil penelitian
Motzki tersebut juga menunjukkan
bahwa Ibn ‘Abas adalah di antara sahabat yang sering dirujuk oleh ‘Ata’.[25]
Adapun hasil
analisa
Motzki terhadap periwayatan ‘Ata’ adalah sebagai berikut:
1) Responsa, rujukan ‘Ata’ kepada ibn
‘Abbas hanya bersifat supplementary dan Confirmative untuk mendukung pendapat
‘Ata’. Artinya, rujukan ‘Ata’ kepada ‘Abbas atau sahabat lain tidak dimaksudkan
untuk memberikan
“muatan otentisitas” pada pendapat hukumnya. Realita ini Motzki pahami sebagai
indikasi kredibilitas ‘Ata’.
2) Secara umum, ‘Ata’ mengutip Ibn ‘abbas
secara langsung (direct references), meskipun tidak menutup kemungkinan ia
mengutip secara tidak langsung (indirect references).
3) Dalam beberapa kasus, ‘Ata’ merujuk Ibn
‘Abbas bukan untuk mengkonfirmasikan pendapatnya, melainkan untuk berbeda
pendapat dengannya.
4) Di samping sebagian besar riwayat ‘Ata’
dari Ibn ‘Abbas menurut legal dicta, terdapat pula sejumlah teks yang memuat
qisas. Dalam qisas ini ‘Ata’ mempresentasikan dirinya sebagai murid Ibn ‘Abbas.
Hal ini menurut Motzki “kriteria isi” tersebut menunjukkan otentisitasnya.
5) Mengingat jumlah hadis Nabi yang
allegedy diriwayatkan oleh Ibn ‘Abas dalam literatur hadis yang sangat besar
(sekitar 1.660 hadis), maka ‘Ata’ tidak mengutip dalam materi hukumnya. Dengan
kata lain, materi ‘Ata’ dari Ibn ‘Abbas yang terekam dalam Musannaf , status
Ibn ‘Abbas bukan sebagai perawi hadis Nabi. Melainkan materi tersebut otentik
dari pendapatnya Ibn ‘Abbas sendiri. [26]
Dari kelima hal ini, Motzki berpendapat bahwa ada
indikasi otentisitas riwayat ‘Ata’ dari Ibn ‘Abas. Selain dari materi ‘Ata’ yang
didapat dari Ibn ‘Abbas, Motzki juga menganalisa dari materi ‘Ata’ yang lain,
yakni ‘Umar, abu Hurairah, Jabir dan lain-lain. Motzki melihat ada indikasi
kuat kejujuran ‘Ata’ dalam penyebutan sumber otoritasnya. Sampai di sini, maka
Motzki berkesimpulan bahwa Musanaf karya Abd ar-Razzaq adalah dokumen hadis
otentik abad pertama Hijriyah.[27]
5.
Karya Harald Motzki
a.
Berupa penelitian De
ontstaansgeschiedenis van de islamitische jurisprudentie (sejarah yurisprudensi
Islam).
1)
De methoden van
bronnenkritiek op het gebied van de overleveringen over de vroege Islam (Metode
kritik terhadap sumber dasar hadits).
2)
Het ontstaan van de
geschreven tekst van de Koran (Asal dari teks tertulis Qur’an).
3)
De reconstructie van
het leven van Muhammad (Rekonstruksi kehidupan Muhammad).
4)
Historisch-antropologische
aspecten van de islamitische beschaving (Historis-Antropologis Kebudayaan
Islam).
b.
Berupa Ceramah Ilmiah
Inleiding Islam 1 & 2
1)
(moslims en de moderne
tijd) (Muslim dan Modernitas-Sebuah Pendahuluan Pengenalan Islam),
2)
Lektuur Islamitische
Teksten (Teks literatur Islam),
3)
Werkgroep Jihad
(Pemahaman Kelompok Jihad),
4)
Werkgroep de
overlevering over de vroege Islam (Kelompok Pergerakan pada tradisi Islam
awal),
5)
Werkgroep het
islamitische Midden-Oosten in beweging (met dr. R. Meijer) (Gerakan Pembaharu
Islam di Timur Tengah (ditulis dengan R. Meyer).
c.
Berupa Jurnal Ilmiah dan Buku
diantaranya:
1)
Harald Motzki, Die
Anfange der islamischen Jurisprudenz. Ihre Entwicklung in Mekkah bis zur Mitte
des 2./8. Jahrhunderts, Stuttgart 1991. Engl. Trans. The Origins of
Islamic Jurisprudence. Mekahn Fiqh
before the Classical schools, trnasl. Marion H. Katz, Leiden 2002.
2)
Harald Motzki, “Der
Fiqh des—zuhri: die Quellenproblematik,“ Der Islam 68, 1991, 1-44. edisi
Iggris, “The Jurisprudence of Ibn Sihab Al-Zuhri. A Source-critical Study,“
dalam
http:/webdok.ubn.kun.nl/mono/m/motzki_h/juriofibs.pdf
3)
Harald Motzki, “The
Musannaf of Abd. Al-Razzaq Al-San’ani as a Source of Authentic ahadith of the
First Century A.H.,” Journal of Near Eastern Studies 50, 1991, h. 1-21.
4)
Harald Motzki, “Quo
vadis Hadit Forschung? Eine kritische Untersuchung von G.H.A. Juynboll, Nafi’,
the mawla of Ibn Umar, and his position in Muslim Hadith Literature,“ Der
Islam 73, 1996, h. 40-80, 193-229.
5)
Harald Motzki, “The
Prophet and the Cat: on Dating Malik’s Muwatta’ and Legal Traditions,“
Jurusalem Studies in Arabic and Islam, 21, 1998, h. 18-83.
6)
Harald Motzki, “The
Role Of Non-Arab Converts in The Development of Early Islamic Law,” dalam
Islamic Law Society, Leiden, Vol. 6, No. 3, 1999.
7)
Harald Motzki, “The
Murder of Ibn Abi l-Huqayq: on the Reliability of Some maghaji Reports,”
dalam H. Motzki, ed., The Biography of Muhammad: the Issue of the Sources,
Leiden, 2000, h. 170-239.
8)
Harald Motzki, “Der
Prophet und die Schuldner. Eine hadit-Untersuchung auf dem Prufstand,“ Der
Islam, 77, 2000, h. 1083.
9)
Harald Motzki, “The
Collection of the Qur’an. A Reconsideration of Western Views in Light of Recent
Methodological Developments,” Der Islam 78, 2001, h. 1-34.
10) Harald Motzki, “Ar-radd ‘ala r-radd – Zur Methodik
der hadit-Analyse,“ Der Islam 78, 2001, h. 147-163.
11) Harald Motzki, ed., Hadith. Origins and the
Developments, Aldershot: Ashgate/Variorum, 2004.
12) Harald Motzki, “Dating Muslim Traditions . A
Survey,” Arabica, 52, 2005. Hadith: Origins and Developments (Hadits:
Asal-usul dan Perkembangannya) ISBN 0860787044.
[1] Badri
Khaeruman, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 243-244.
[2]
Sahiron syamsuddin, “Pemetaan Penelitian Orientalis terhadap Hadis” dalam
M.NurKholis Setiawan dan Sahiron dkk, Orientalisme al-Qur’an dan al-Hadis
(Yogyakarta: Nawesea, 2007), hal. 46-49.
[3] Asumsi
skeptis adalah asumsi /persepsi yang meragukan otentisitas hadis Nabi.
[4] Asumsi
non-skeptis adalah lawan dan kebalikan dari asumsi skeptic, yakni asumsi yang
tidak meragukan otentisitas hadis-hadis Nabi.
[5] Asumsi
middle ground merupakan asumsi yang menengahi dua teori yang berlawanan
(skeptik dan non-skeptis.
[6] Umi Sumbulah,
Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hal. 169.
[7] Lihat pengantarnya dalam buku Kamarudin Amin, Menguji
Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. (Bandung:
Hikmah, 2009) hlm. ix. Lihat juga, Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh
Before the Classical Schools. (Leiden: Brill, 2002). Lihat juga Wael B. Hallaq
dalam pengantar The Origins of Muhammadan
Jurisprudence. Hlm. xli. Lihat juga, Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Hlm.
35-36 dan 42-44
[8] Harald Motzki, The Musannaf of
ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near
Easern Studies, vol. 50. No. 1,.... hlm. 12.
[9] http://tafsirhaditsuinsgdbdgangkatan2009.blogspot.com/2012/04/pemikiran-harald-motzki-tentang-hadis.html,
diakses tanggal 16 Mei 2013.
[10] Ibid.,
[11]M. Nurdin Zuhdi, Otentisitas, makalah pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga yang sudah diseminarkan pada tanggal 22 Desember 2009, hlm. 12.
[12] Abu
Bakar Abdur Razzaq. Mushonnaf Abd ar-Razzaq (Beurut: al-Maktab al-Islami,
1403), hal. 5-6.
[13] Phil. H. Kamaruddin Amin,
Western Methods of Dating vis-a-vis Ulumul Hadis Refleksi Metodologis atas Diskursus Kesarjanaan Hadis Islam dan Barat, http://www.uin-alauddin.ac.id/uin-982-.html, diakses tanggal 19 Mei 2013
[14] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Harald Motzki, The Musannaf of
ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near
Easern Studies, vol. 50. No. 1 di download
dari http://www.scribd.com, pada tanggal
16 Juni
2013.
[19] Harald Motzki, The Musannaf of
ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near
Easern Studies......, hal. 5.
[23] Harald Motzki, The Musannaf of
ar-Razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near
Easern Studies, ....., hal. 6.
[26] Harald Motzki, The Musannaf of
ar-razaq as-San’ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century, dalam journal of Near
Easern Studies, vol. 50. No. 1, hal. 7s
No comments:
Post a Comment