Dosen Pengampu
Dr. Hj. Sulalah, M.Ag
OLEH:
ANDIKA
MARDIATUL MASRUROH
13770062
PROGRAM STUDI MAGISTER PENIDIKAN
AGAMA ISLAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
Mei, 2014
A. PENDAHULUAN
Urgensitas hadits dalam agama Islam
menempati tempat tertinggi setelah Al-Qur’an, tempat kedua. Artinya, bila
al-Qur’an sebagai rujukan pertama, maka rujukan kedua adalah hadits Nabi
Muhammad SAW. Sebab banyak praktek dalam kehidupan yang kemungkinan tidak
ditemukan pijakan hukumnya di dalam al-Qur’an, akan tetapi terdapat dalam
hadits[1].
Semisal aturan pelaksanaan shalat, puasa, zakat, dan haji yang merupakan rukun
Islam, tidak dijelaskan rinciannya dalam Al-Quran, akan tetapi dijabarkan
secara detail oleh hadits Nabi SAW. Demikian pula aturan muamalat dan
transaksi, pelaksanaan hukuman pidana, aturan moral, dan lainnya.
Inilah salah satu penyebab mengapa
kalangan non-islam, khususnya orientalis, begitu antusias mengkaji dan mengadakan penelitian terhadap
hadits. Hadits dipandang sebagai sekumpulan kalimat yang sakral bagi umat
Islam. Sebab mereka berkesimpulan bahwa umat Islam tidak bisa dihancurkan atau
dicerai-beraikan selama al-Qur’an dan hadits tetap mereka yakini. Vladston
berkata, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul ‘Al Salim: “Selagi kitab ini
(al-Qur’an dan termasuk hadits) masih tetap ada di muka bumi, kita tak akan
bisa menduduki Negara mereka”[2].
Tujuan mereka mengkaji hadits adalah untuk menggoyahkan kepercayaan umat Islam
pada Hadits. Sebab mereka memahami bahwa jika hadits dapat disingkirkan dari
kehidupan umat Islam maka otomatis Islam tidak akan dapat tegak, karena
mustahil mempraktekkan Islam tanpa Hadits Nabi. Dan seandainya Hadits Nabi
sudah dapat mereka sisihkan, terbukalah peluang untuk menyimpangkan Al-Quran
dan memahaminya menurut selera masing-masing. Selama ini, yang menjadi
penghalang utama mereka untuk menyimpangkan pemahaman Al-Quran adalah
petunjuk-petunjuk Hadits yang membingkai pemahaman terhadap Al-Quran secara
benar. Selama umat Islam berpegang teguh pada Al-Quran dan Hadits maka
upaya-upaya pihak luar akan senantiasa mengalami kegagalan.
Lambat laun mereka menyadari bahwa
kajian mereka terhadap al-Qur’an seolah-olah kurang efektif dalam melemahkan
akidah umat Islam, sebab bagaimanapun umat Islam telah terlanjur mensakralkan
al-Qur’an dan mereka yakin bahwa al-Qur’an dipelihara otentisitasnya oleh Allah
sendiri[3].
Sehingga kemudian usaha mereka untuk menghancurkan islam harus berpindah ke
hadits, sebagai kitab suci kedua bagi umat Islam, dengan mengangkat sejumlah
isu, di antaranya yang paling krusial dan fundamental adalah meragukan
otentisitas Hadits. Maka muncullah nama-nama orientalis semisal Ignaz Goldziher
dan Joseph Schacht, David Samuel Margoliouth, dan koleganya.
Goldziher dipandang sebagai
orientalis pertama yang mengkaji hadits, di mana hasil kajiannya ia tuangkan
dalam sebuah buku berjudul “Muhammedanische Studien”. Dan sejak saat itu
buku tersebut menjadi rujukan bagi orientalis lain dalam mengkaji sumber-sumber
Islam.
Goldziher merupakan orientalis yang intens
melakukan kajian terhadap hadits. Metode yang digunakan Goladziher adalah
historis-fenomenologis yang hanya ditujukan terhadap unsur matan hadits (teks),
yang cakupannya adalah aspek politik, sains, maupun sosio kultural, tanpa
memperhatikan dan mempertimbangkan unsur sanad sampai kepada Nabi. Hal
ini disebabkan oleh Goldziher yang secara tegas memang tidak menerima metode kritik
sanad sebagai metode ilmiah. Kondisi yang demikian berbeda dengan para Muhadditsin
umumnya menganggap bahwa kritik sanad lebih urgen dari pada kritik
matan, sedangkan Ignaz mementingkan kritik terhadap teks/matan,
sebab Ignaz bergerak dengan asumsi bahwa sumber informasi tidak selamanya
benar. Terlepas dari berbagai kelemahan kajian terhadap hadits yang telah
dilakukan oleh Ignaz maupun orientalis, yang pasti, hal ini telah membawa
nuansa baru dan cakrawala baru yang memperkaya khazanah kajian hadits Nabi.
B. BIOGRAFI IGNAZ
GOLDZIHER
Ignaz
Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di sebuah kota di Hongaria. Berasal dari
keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi tidak
seperti keluarga Yahudi Eropa yang sangat fanatik saat itu. Pendidikannya
dimulai dari Budhapes, kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869, hanya
satu tahun ia di sana, kemudian pindah ke Universitas Leipzig. Salah satu guru
besar ahli ketimuran yang bertugas di universitas tersebut adalah Fleisser,
sosok orientalis yang sangat menonjol saat itu. Dia termasuk pakar filologi. Di
bawah asuhannya, Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama tahun 1870
dengan topik risalah “Penafsir Taurat yang berasal dari Tokoh Yahudi Abad
Tengah”[4].
Kemudian
Goldziher kembali ke Budhapes dan ditunjuk sebagai asisten guru besar di
Universitas Budhapes pada tahun 1872, namun ia tidak lama mengajar. Sebab ia
diutus oleh Kementerian Ilmu Pengetahuan ke Luar negeri untuk meneruskan
pendidikannya di Wina dan Leiden. Setelah itu ia ditugasi untuk mengadakan
ekspedisi ke kawasan Timur, dan menetap di Kairo Mesir, lalu dilanjutkan ke
Suriah dan Palestina. Selama menetap di Kairo dia sempat bertukar kajian di
Universitas al-Azhar.
Ketika
diangkat sebagai pemimpin Universitas Budapes, dia sangat menekankan kajian
peradaban Arab, khususnya agama Islam. Gebrakan yang dilakukan Goldziher telah
melambungkan namanya di negeri asalnya. Oleh karena itu, ia dipilih sebagai
anggota Pertukaran Akademik Magara tahun 1871, kemudian menjadi anggota badan
pekerja tahun 1892, dan menjadi salah satu ketua dari bagian yang dibentuknya
pada tahun 1907.
Pada tahun 1894 Goldziher menjadi
professor kajian bahasa Semit, sejak saat itu dia hamper tidak kembali ke
negerinya, tidak juga ke Budaphes, kecuali untuk menghadiri konferensi
orientalis atau member orasi pada seminar-seminar di berbagai universitas asing
yang mengundangnya. Pada tanggal 13 November 1921, akhirnya dia menghembuskan
nafas terakhirnya di Budhaphes.
Perjalanan karir Goldziher dimulai
sejak berusia 16 tahun ketika dia mulai tertarik pada kajian ketimuran. Pada
usia itu, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah berbahasa Turki ke
dalam bahasa Hongaria, yang dimuat dalam majalah. Sejak tahun 1866, ketika usia
Goldziher mencapai 16 tahun, ia sudah terbiasa dengan membahas buku besar,
member ulasan dan kritikan-kritik terhadap buku-buku yang ada. Koleksi ulasan
yang dihasilkan mencapai 592 kajian. Buku pertama yang menjadi sasaran
kajiannya adalah Azh-Zhahiriyyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum, yang
dikerjakan pada tahun 1884. Sekalipun jika ditilik dari judul yang dibahasnya
hanya berhubungan dengan madzhab Zhahiriah, tetapi pada kenyataannya ulasannya
merupakan sebuah pengantar yang cukup bagus untuk memasuki kajian fiqih. Ia
tidak membatasi kajiannya hanya pada aliran Zhahiriah saja, tetapi juga ushul
fiqih dikajinya secara mendetail dan disertai dengan argument-argumen mendasar
yang melatarbelakangi timbulnya madzhab-madzhab dalam fiqih. Demikian pula
tentang ijma’ dan tokoh-tokoh tiap madzhab. Dikaji juga tentang korelasi antara
madzhab Zhahiriah dengan madzhab lainnya. Sehingga kajiannya merupakan
pengantar ke dalam kajian ushul fiqih dan fiqihnya secara holistik. Selain itu,
dibicarakan juga tentang pertumbuhan dan perkembangan madzhab Zhahiriah dalam
kaitannya dengan masalah-masalah teologi sejak Ibn Hazm sampai dengan Ibnu
Taimiyah dan al-Maqrizi. Dalam kajian ini, Goldziher merujuk pada sumber-sumber
utama dalam setiap pembahasannya.
Lima tahun kemudian, ia menulis
karangan besar yang berhubungan dengan kajian hadits dengan judul Dirasah
Islamiyyah, juz pertama terbit pada tahun 1889, sedangkan juz kedua terbit
pada tahun berikutnya. Pada juz pertama, Goldziher membahas tentang al-Watsaniyah
wa al-Islam, di mana ia memakai pendekatan baru dalam mengkaji masalah ini.
Goldziher tidak menggunakan metode yang umumnya dipakai oleh para orientalis
saat itu, seperti Julius Wilhawzen. Menurut Goldziher, pergulatan yang terjadi
pada masa Arab jahiliyah melawan semangat Islam ternyata tidak terbatas hanya
pada kalangan bangsa Arab saja, tetapi juga terjadi pada seluruh bangsa yang
akhirnya masuk Islam. Goldziher menjelaskan bagaimana proses terjadinya
pengislaman dan nilai-nilai Islam yang menjadi unggulan atas tradisi Jahiliyah.
Islam unggul dalam ketinggian moralnya, seperti memuliakan darah bangsa Arab.
Islam menyeru persamaan hak, tidak ada perbedaan derajat antara manusia, Islam
juga menolak ketinggian seseorang dikarenakan nasabnya. Semua tergambar dari
pondasi bahwa tidak ada keutamaan bangsa Arab atas non-Arab kecuali berdasar
ketakwaaannya.
Pada juz kedua dari karyanya inilah
yang perlu diwaspadai karena karya ini sangat penting dan mengandung unsure
pembelokan yang sangat berbahaya. Pada bagian pertama bahasannya tentang
hadits, Goldziher memaparkan sejarah dan perkembangan hadits serta
mengungkapkan urgensi hadits bukan dalam arti yang sebenarnya menurut Islam.
Menurutnya, hadits merupakan sumber utama untuk mengetahui perbincangan politik,
keagamaan, dan mistisisme dalam Islam. Masalah-masalah ini terjadi sepanjang
masa. Hadits dipakai sebagai senjata oleh masing-masing madzhab. Baik kelompok
politik maupun paham fiqih berupaya menggunakan hadits sebagai alat untuk
menguatkan persoalan kehidupan di tengah umat Islam. Jadi hadits nabi tidak
digunakan sebagai alat untuk mengetahui perilaku nabi, tetapi lebih untuk
kepentingan tiap kelompok aliran, baik politik maupun keagamaan. Pada bagian
lain dari juz kedua, Goldziher membahas tentang pengkultusan wali di kalangan
umat Islam dan berbagai hal yang berkaitan dengannya. Misalnya korelasi
pengkultusan yang terjadi dalam Islam dan pengkultusan pada masa Jahiliyah. Ia
membagi pengkultusan wali menurut lokasi-lokasinya yang tersebar di dunia Islam.
Goldziher menunjukkan kemahirannya
di bidang perbandingan agama. Dalam konferensi agama-agama pertama yang
diadakan di Paris tahun 1900, Goldziher menyampaikan makalahnya, yang kemudian
dimuat pada jilid ke-43 dari majalah sejarah Agama, dengan judul “Islam dan
Agama Persia”. Dalam makalah itu Goldziher menyatakan untuk pertama kalinya
tentang pengaruh agama terhadap kekuasaan. Buku-buku lain yang dihasilkan
Goldziher ialah al-Mu’ammarin-nya Abi Hatim as-Sijistani pada tahun
1899, dalam tulisan itu Goldziher menyinggung beberapa buku berbahasa Yunani,
seperti buku Lucian dan Phlegon aus Tralles. Goldziher juga menulis pendahuluan
bagi buku at-Tauhid-nya Muhammad ibn Tumart Mahdi al-Muwahhidun, buku
yang diterbitkan oleh Lucian pada tahun 1903 di Aljazair. Terakhir Goldziher
menerbitkan sejumlah bagian dari buku al-Mustadhhari, yang berisi
penolakan terhadap ajaran kebatinan al-Ghazali, diterbitkan pada tahun 1916 di
Leiden. Dalam pengantarnya Goldziher membahas tentang ijtihad dan taklid. Akan
tetapi karangan Goldziher yang paling monumental adalah Muhadharat fi
al-Islam (Heidelberg, 1910) dan Ittijahat
Tafsir al-Qur’an inda al-Muslimin (Leiden, 1920).
Muhadharat fi al-Islam membahas
penilaian umum yang diberikan Goldziher tentang Islam ditinjau dari berbagai
aspeknya. Pasal pertama membicarakan Muhammad dan Islam, pasal kedua membahas
Perkembangan Syariat, di sini dibahas sejarah hadits secara umum dan
spesifikasi fiqih pada masa awal terbentuknya madzhab. Pasal ketiga membahas
Perkembangan Ilmu Kalam, dalam pasal ini dibahas tentang paham Jabariyah dan
Qadariyah dalam al-Qur’an, serta kelompok Mu’tazilah dan Ahlussunnah ditinjau
dari aspek moral dan ibadah. Kemudian dibahas secara panjang lebar aliran
Asy’ariah dan madzhabnya. Penjelasan Goldziher tentang aliran ini lebih lengkap
daripada ulasan kitab-kitab lain yang menulis sejarah Islam. Pasal keempat
tentang Zuhud dan Tasawuf yang menguraikan sejarah timbulnya mistisime dalam
Islam dan perkembangannya, yaitu sejak peradaban Islam berkenalan dengan
Hellenis dan Hindu hingga timbulnya paham wahdat al-wujud pada abad ke-7
Hijriyah. Dalam bagian akhir karya ini dibahas juga berbagai aliran yang
terdapat dalam Islam, seperti Khawarij, Syi’ah, dan aliran-aliran yang muncul
pada masa kontemporer, seperti Wahabiyah, Bahaiyah, Babiyah, dan Ahmadiyah.
Dalam Ittijahat Tafsir al-Qur’an
inda al-Muslimin, Goldziher mengulas langkah-langkah dalam menafsirkan
al-Qur’an, sejarah penulisan al-Qur’an, ragam bacaan (qiraat), latar
belakang timbulnya beragam penafsiran, dan berbagai hal yang terkait dengan
tafsir al-Qur’an. Pembahasan diakhiri dengan pembicaraan kitab tafsir al-Kasysyaf
karya al-Zamakhsyari. Pada bagian akhir dikemukakan metode-metode tafsir modern
yang dipelopori oleh ulama modern yang menyatakan terbukanya kembali pintu
ijtihad.
Goldziher telah berkecimpung dalam
lapangan pengkajian Islam, sejarahnya, tafsir al-Qur’an dengan cara yang
profesional, dan pengkajian yang dihasilkannya dapat dipergunakan oleh jutaan
umat Islam dalam membandingkan hasil kajiannya[5].
C. PEMIKIRAN GOLDZIHER
TENTANG HADITS
1)
Kodifikasi
Hadits
Untuk memahami pemikiran dan kritik
Goldziher tentang hadits adalah hal yang tidak mungkin kita lakukan, jika kita
lewatkan begitu saja apa yang ia uraikan dalam Mohammedanische Studien yang
terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C.R.
Barber dan S.M. Stern ke dalam bahasa Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya terbesar itu seluruh pemikirannya tentang hadits tertuang
secara sempurna.[6]
Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang
hadis adalah ignaz goldziher dalam bukunya : Muhammadanische Studies, dia
mengatakan:”bagian terbesar dari hadis tak lain adalah hasil perkembangan Islam
pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial.
Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam
yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh
perkembangan Islam pada masa kematangan.[7]
Ada beberapa
alasan yang menyebabkan Goldziher meragukan kesahihah hadits nabi: pertama,
koleksi hadits belakangan tidak menyebutkan sumber tertulisnya dan memakai
istilah-istilah isnad yang lebih mengimplikasikan periwayatan lisan
daripada periwayatan tertulis. Kedua, adanya hadits-hadits yang
kontradiktif satu sama lain. Ketiga, perkembanga hadits secara massal
sebagaimana terdapat dalam koleksi hadits belakangan tidak termuat dalam
koleksi hadits yang lebih awal. Keempat, para sahabat kecil lebih banyak
mengetahui nabi, dalam arti mereka lebih banyak meriwayatkan hadits daripada
sahabat besar. Semua ini menjadi bukti bagi Goldziher bahwa telah terjadi
pemalsuan hadits dalam skala besar.
Dengan
demikian, kata Goldziher, tidak hanya hukum dan adat kebiasaan, tetapi juga
doktrin politik dan teologi pun mengambil bentuk dalam hadits. Apa saja yang
dihasilkan Islam sendiri atau dipinjam dari unsur luar diberi tempat dalam
hadits. Bahkan beberapa bagian, baik dari perjanjian Lama maupun perjanjian
Baru, kata-kata dari rabi, kutipan dari Injil Aporki, doktrin para filsuf
Yunani, ditampilkan kembali dan dinyatakan sebagai sabda-sabda nabi.[8]
Lebih lanjut bahwa Goldziher memiliki
aksentuasi dalam penolakannya terhadap hadits, sebagaimana berikut:
a)
Goldziher menganggap bahwa hadits
merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena kodifikasi hadits baru
terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi. Anggapan
semacam ini tidak benar. Sebab, kodifikasi hadits pada masa Nabi adalah
realitas yang tidak terbantahkan. Para sahabat menulis hadits-hadits ini pada
shahifah (lembaran)[9], seperti shahifah Abu Bakar, shahifah Ali bin
ABi Thalib, Shahifah Abdullah bin Amr bin ‘Ash, Shahifah Abu Musa al-Asy’ari,
dan lain sebagainya[10].
Jadi, inisiatif-inisiatif pribadi untuk melakukan kodifikasi dan penulisan
hadits sudah ada sejak zaman Rasul, meskipun perintah resminya baru terjadi
masa masa khalifah Umar bin Abdul Aziz.[11]
Jadi, anggapan
Goldziher bahwa hadits merupakan produk kreasi kaum muslimin belakangan, karena
kodifikasi hadits baru terjadi setelah beberapa abad dari masa hidup Nabi
semakin tidak relevan dan ilmiah. Bagaimana mungkin hadits disebut sebagai
produk kreasi kaum muslimin belakangan, padahal kaum muslimin belakangan itu
hanya mengumpulkan dari shahifah-shahifah yang sudah ada.
Selain itu, sebelum kedatangan Islam,
masyarakat Arab sudah dalam keadaan maju dan berkebudayaan dan banyak
bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi tulis-menulis di awal Islam
ini. Jadi, sejak masa pra Islam, tradisi tulisan pun sudah banyak dikenal dalam
pagan Arab, terutama di kalangan penyair. Senada dengan hal itu, seorang
sejarawan berkata : Dakhola al-Islam wa bi-Makkah bidl’ah ‘asyar rajul
yaktub (Islam masuk, saat di Mekkah terdapat sepuluh orang lebih yang bisa
menulis)[12].
Bukti lain adanya tradisi tulis menulis ini adalah bahwa di sekitar Nabi
Muhammad Saw terdapat 40 penulis wahyu yang setiap saat siaga dalam melakukan
penulisan[13].
b)
Ignaz Goldziher menganggap bahwa
hadits yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat yang terhimpun
dalam kumpulan hadits-hadits klasik bukan merupakan laporan yang autentik,
tetapi merupakan refleksi dari berbagai kecenderungan yang muncul dalam
masyarakat Islam pada tahap-tahap perkembangannya dan sebagai hasil dari
perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam pada dua abad pertama
hijriyah[14].
Anggapan bahwa hadits yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabat
yang terhimpun dalam kumpulan hadits-hadits klasik bukan merupakan laporan yang
autentik adalah tidak berdasar. Dengan asumsi yang demikian, secara otomatis
Goldziher menafikan tradisi Islam “al-ta’lim wa al-ta’allum” di kalangan
sahabat dan terus sampai tabi’in. Ketika hadits dikatakan produksi abad kedua, sama
saja dengan mengatakan bahwa generasi abad kedua memiliki ilmu secara otodidak,
tanpa menimba ilmu dari generasi sebelumnya. Hal ini tentu asumsi yang keliru. Sebab
tidak mungkin generasi awal Islam tidak mengajarkan ajaran-ajaran Islam yang
tertulis dalam al-Qur’an dan al-Hadits kepada generasi setelahnya.[15]
Lebih lanjut, posisi
sunnah yang begitu esensial, sangat dipahami oleh generasi Islam sepanjang
masa. Itulah sebabnya dalam khazanah ilmu hadits terdapat tradisi yang sangat
mengakar pada masa sahabat dan setelahnya, yaitu rihlah li thalab al-hadits
(melakukan perjalanan untuk mencari kebenaran hadits), yang dilakukan dengan
menempuh perjalanan panjang.[16] Demi
sebuah hadits, tidak sedikit di antara mereka yang rela melakukan perjalanan (rihlah)
ke berbagai kota hanya untuk mendengar satu hadits saja, upaya yang dilakukan
tidak berhenti hanya pada pengumpulan hadits-hadits Rasul melalui periwayatan.
Namun lebih dari itu, mereka berupaya
memisahkan antara hadits yang bisa dijadikan
sandaran hukum (seperti hadits shahih dan hasan), dengan haditsyang tidak layak
untuk diamalkan seperti hadits dha'if dan maudhu' (palsu).[17]
Mengenai pergolakan politik
dan teologi yang berkembang saat itu, bukanlah hal baru. Sebab jauh sebelum
itu, telah terjadi pergolakan, untuk tidak mengatakan konflik, politik antara
Ali dan Muawiyah yang kemudian berimplikasi pada munculnya sekte-sekte dalam
Islam. Sekte-sekte tersebut kemudian berusaha melegitimasi keyakinannya dengan
al-Qur’an atau as-Sunnah. Lebih dari itu, bila mereka tidak menemukan dalil
yang sesuai dengan keyakinan mereka, mereka akan memproduksi hadits palsu
sebagai legitimasi atas sekte mereka[18].
Namun, bukan berarti tidak ada upaya sterilisasi hadits dari
berbagai hadits maudhu’. Para ulama’ membuat berbagai batasan dalam
menerima hadits sebagai hujjah[19]:
a) Memperhatikan Isnad
b) Memperhatikan hal-ihwal
perawi
c) Dan batasan-batasan
lain untuk mengetahui status hadits tersebut.
2)
Kritik Matan
Goldziher mengakui
bahwa kritik hadits sebenarnya telah dilakukan sejak dahulu, namun menurutnya
kritik-kritik tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, hal itu
karena metode yang digunakannya lemah. Para ulama terdahulu, menurut Goldziher
lebih banyak menggunakan kritik sanad dan mengabaikan kritik matan.
Dan kritik semacam ini, menurut Goldziher hanya mampu mengeluarkan sebagian
hadits palsu saja[20]. Sebenarnya
para ulama telah melakukan kritik matan tersebut, namun yang dimaksud
Goldziher adalah kritik matan yang mencakup berbagai aspek seperti
politik, sains, sosio kultural dan sebagainya.
Salah satu kritiknya antara lain ia
alamatkan kepada Bukhari. Menurutnya pemilik kitab shahih ini hanya melakukan
kritik sanad dan mengabaikan kritik matan. Akibatnya setelah dilakukan
penelitian oleh Goldziher, salah satu hadits yang ada dalam sahihnya itu
ternyata palsu. Hadits yang
dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Zuhri yang berbunyi : [21]
حَدَّثَنَا
حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ
عُمَيْرٍ عَنْ قَزَعَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَرْبَعًا قَالَ سَمِعْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَكَانَ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ
عَشْرَةَ غَزْوَةً ح حَدَّثَنَا عَلِيٌّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ
عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Tidak
diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawi
dan Masjid al-Aqsa”.
Menurut
Goldziher hadits ini merupakan pesanan Abdul Malik bin Marwan, seorang khalifah
dari Dinasti Umayah di Damaskus yang merasa khawatir apabila Abdullah ibn
Zubair, yang memproklamirkan sebagai seorang khalifah di Makkah, mengambil
kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam yang melakukan ibadah haji di
Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik berusaha agar
orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah
Sakhra di al-Quds yang pada saat itu berada pada wilayah Syam. Untuk itulah ia
memerintahkan al-Zuhri untuk membuat hadits sebagaimana di atas.[22]
Kesimpulannya,
menurut Goldziher, hadits itu adalah bikinan ulama (al-Zuhri) meski ia ada
dalam Kitab Sahih Bukahri. Menurut Yaqub, dengan pendapatnya itu tidak terlalu
sulit untuk diidentifikasi bahwa Goldziher bertujuan untuk meruntuhkan
kepercayaan umat Islam terhadap Imam Bukhari yang kredibilitasnya telah diakui
kaum Muslimin, sehingga pada akhirnya semua kitab hadits dalam sahihnya tidak
dipakai lagi oleh kaum muslimin. Kemudian setelah Bukhari, maka imam-imam
Hadits pun akan ia bantai satu persatu, sehingga hilanglah hadits dari
peredaran dan hilang pula salah satu pilar agama Islam.
Pendapat
Goldziher ini mendapat bantahan dari para ulama ahli hadits. Azami, misalnya, mengatakan
bahwa Goldziher mendasarkan teorinya pada fakta sejarah yang salah
(diselewengkan). Menurutnya, al-Zuhri tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik
bin Marwan sebelum tahun 81 H. sedang Abdul Malik berfikir untuk membangun
Qubbah Sakhra -yang konon akan dijadikan pengganti Ka’bah itu- pada tahun 68 H.
lagi pula kalau diandaikan pada tahun 68 tersebut al-Zuhri bertemu dengan Abdul
Malik, maka usianya tak lebih dari 10 sampai 18 tahun, sebab menurut sejarawan
al-Zuhri lahir sekitar tahun 50 s.d. 58 H. karenanya sangat tidak logis, anak
seusia itu sudah demikian popular di luar daerahnya untuk diminta “membuat”
hadits. Inilah ketakrasionalan teori Goldziher. Argumen ini pun tertolak sebab
pada waktu itu di Syam masih banyak generasi sahabat dan tabi’in, dan mereka
tak mungkin berdiam diri.[23]
Lebih lanjut
Azami menambahkan bahwa perawi hadits tentang tiga masjid tersebut bukan hanya
az-Zuhri, akan tetapi masih terdapat beberapa perawi lain yang tidak diragukan
lagi kredibilitasnya, semisal:
a)
Abdul Malik bin Amir dari Qoz’ah
dari Abi Said al-Khudri
b)
Qasim dari Qoz’ah dari Abi Said
al-Khudri
c)
Qatadah dari Qoz’ah dari Abi Said
al-Khudri
d)
Ibrahim bin Sahl dari Qoz’ah dari
Abi Said al-Khudri
e)
Qushaim dari Qoz’ah dari Abi Said
al-Khudri
f)
Mujalid dari Abi al-Waddak dari Abi
Said al-Khudri
g)
Abdul Hamid dari Syahr dari Abi
Said al-Khudri
h)
Laits dari Syahr dari Abi Said
al-Khudri
i)
Abdul Malik bin Amir bin ‘Akramah Maula Ziyad dari Abi Said
al-Khudri.
j)
Aban bin Tsa’labah bin ‘Athiyah dari Abi Said al-Khudri
k)
Abdul Malik dari Umar bin Abdurrahman dari Abi Bashrah al-Ghofari.
l)
Yazid bin Abi Habib dari Mursyid bin ‘Ubaidillah dari Abi Bashrah
al-Ghofari
m)
Hisyam dari Nafi’ dari Ibnu Umar
n)
Salmah bin Kuhail dari Hajjiyah
bin ‘Ada dari Ali
o)
Yazid bin Abi Maryam dari Qoz’ah dari Abdullah bin Amr
p)
Muhammad bin Ibrahim dari Abi Salmah dari Abu Hurairah
q)
Muhammad bin Amr dari Abi Salmah
dari Abu Hurairah
r)
Imran bin Abi Anas dari Sulaiman al-Aghor dari Abu Hurairah
Kenapa Goldziher menutup mata
terhadap adanya riwayat lain tentang hadits keutamaan tiga masjid di atas.
Apakah beberapa riwayat di atas juga diragukan kredibilitasnya. Ataukah matan
hadits yang diriwayatkan oleh mereka juga pesanan politikus pada zamannya. Di
sini terlihat dengan jelas ke-kurang teliti-an seorang Goldziher dalam
melakukan penelitian ilmiah, dia hanya fokus pada satu obyek dengan meniadakan
obyek yang lain.
Ada indikasi lain, menurut hemat
penulis, mengapa Goldziher meneliti hadits yang diriwayatkan oleh az-Zuhri dan
kemudian menyimpulkannya sebagai pesanan penguasa, yaitu bahwa az-Zuhri dalam
khazanah ilmu hadits dikenal sebagai tabi’in yang paling ahli dalam bidang isnad[25]. Ia berusaha menegaskan bahwa system isnad yang dibangun oleh
ulama’ salaf tidak bisa dijadikan acuan dalam menentukan kevalidan sebuah
hadits.
Kembali ke permasalahan kritik matan
yang berusaha ditawarkan oleh Goldziher. Ia mengandaikan sebuah metode kritik
matan yang komprehensif (mencakup segala aspek kehidupan; politik, budaya,
ekonomi, dan sebagainya). Apa yang ditawarkan oleh Goldziher ini bukanlah hal
baru dalam ilmu hadits, sebab metodologi kritik matan yang ditetapkan oleh
ulama’ terdahulu justru lebih komprehensif dibanding dengan metode yang
ditawarkan oleh Goldziher sendiri. Secara detail, Ajjaj Khotib menjelaskan
tentang indikator hadits palsu dilihat dari matannya[26]:
a. Ditinjau dari aspek
bahasa, hadits tidak memiliki gaya bahasa tinggi yang biasa digunakan oleh
Nabi.
b. Substansi hadits bertentangan
dengan akal sehat (fasadul ma’na), seperti hadits “al-badzinjan
syifa’ min kulli da’” (Terong adalah obat segala penyakit).
c. Hadits bertentangan
dengan al-Qur’an, hadits mutawatir, dan ijma’ yang qath’i.
d. Hadits bertentangan
dengan fakta sejarah pada masa Rasulullah SAW, baik yang mencakup permasalahan
politik, ekonomi, budaya, ibadah, dan lain sebagainya.
e. Bila hadits sesuai
dengan madzhab perawi, di mana dia sangat fanatik terhadap madzhabnya.
D. Kesimpulan
Bagaimanapun kritik hadis merupakan usaha
yang sebenarnya lebih dulu dilakukan oleh kaum muslim sendiri. Tradisi lisan
atau verbal dalam transmisi hadis tidak menafikan adanya tradisi tulis-menulis.
Adanya fenomena pemalsuan hadis adalah akibat adanya intervensi
pendapat-pendapat pribadi dan adanya kasus iltibas. Namun dari fenomena
tersebut, melahirkan tradisi kritik hadis untuk mengecek validitas hadis. Di
samping itu, dengan adanya formalisasi penulisan hadis pada abad ke-2 H, telah
mengubah orientasi pemeliharaan hadis. Dan tradisi penulisan menghadirkan
beberapa karya monumental yang memuat kumpulan hadis sebagai upaya selektif
dari masing-masing tokoh yang telah menulisnya.
Dalam perkembangnya kritik inipun menjadi
bahan yang menarik bagi orang non islam yang disebut sebagai The Outsiders
maupun Orientalis. Kajian mereka ini tidaklah harus ditanggapi dengan emosi
yang menghilangkan nilai ilmiah bagi sebuah penelitian. Bahkan secara eksplisit
karena merekalah saat ini umat muslim mencoba bangkit dan berani mengkoreksi
nash-nash yang telah dianggap sakral dan tidak bisa tersentuh dari kritik.
Pengkoreksian ini bukanlah berarti menggap bahwa tesis yang dihasilkan para
orientalis ini merupakan sebuah hasil yang harus diterima secara mentah-mentah,
namun harus juga ditanggapi denga objektif, data yang valid serta metodologi
yang juga bisa diterima oleh kalangan akademis.
Sehingga sebenarnya para sarjana muslim
sendiri bersikap berbeda dalam memandang kegiatan para orientalis. Diantaranya
ada yang memandang sebagai murni kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak
yang menganggap sebagai sebuah propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan
gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir
ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu: 1) Bahwa orientalisme itu
lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang
manusia Timur (orient). 2) Bahwa Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran
yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. 3) Bahwa meskipun kajian
orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi
untuk tujuan politik.
Namun harus diakui bahwa selain dari
bidang-bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis banyak yang
berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya,
seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi
hadis dan sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana,
tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara
membabi buta. Umat Islam perlu bersikap kritis dan profesional dalam mengkaji
dan menanggapi karya-karya orientalis itu.
Daftar Pustaka
Abdul ‘Al Salim. Min Ad-Dirasat
al-Qur’aniyah. Kairo: Alamul Kutub.
Abdurrahman Badawi. Ensiklopedi Tokoh
Orientalis, terj. Amroni Drajat. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Ajjaj Khotib. al-Sunnah Qobla al-Tadwin.
Beirut: Darul Fikri.
Ali Masrur. Teori Common Link G.H.A.
Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits. Yogyakarta: LKiS, 2007.
Hakim ‘Abisan Matiri. Tarikh Tadwin
as-Sunnah wa Syubuhat al-Mustasyriqin. Kuwait: Majlis an-Nasyr al-Ilmi,
2002.
M. Ma’shum Zein. Ulumul Hadits dan
Musthalah Hadits. Jombang, Darul Hikmah: 2008.
M.M. Azami, Dirasah fi al-Hadits an-Nabawi
wa Tarikh Tadwinih. Riyadl: al-Maktab al-Islami. 1980.
Muhammad bin Mathr az-Zahrani. Tadwin
as-Sunnah an-Nabawiyah: Nasy’atuhu wa Tathawwuruhu min al-Qarn al-Awwal ila
Nihayah al-Qarn al-Tasi’ al-Hijri. Riyadl: Darul Minhaj.
Muhammad Dhiya’urrahman al-‘Azhami. Dirasat
fi al-Jarh wa al-Ta’dil. Riyadh: Darussalam. 1424 H
Wahyudin Darmalaksana, Hadits
di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht.
Bandung: Benang Merah Press,
2004.
Hafsa Mutazz, “Sosok
Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya,
diakses pada tanggal 27 Desember 2009.
[1]
Fungsi hadits terhadap al-Qur’an dikelompokkan menjadi 4, yaitu: Bayan
Taqriryi, Bayan Tafsiry, Bayan Tasyri’i, Bayan at-Taghyir. Lih. M. Ma’shum
Zein, Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits (Jombang, Darul Hikmah: 2008),
h. 53-60.
[2]
Abdul ‘Al Salim, Min Ad-Dirasat al-Qur’aniyah, (Kairo: Alamul Kutub), h.
20.
[3]
Lihat QS. Al-Hijr: 9.
[4]
Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroni Drajat,
(Yogyakarta: LKiS,
2003), h. 129.
[5]
Ibid., h. 130-133.
[6]
Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Josep Schacht. Bandung: Benang Merah Press, 2004. hal 88
[7]
Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet
website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html,
diakses tanggal 27 Desember 2009.
[8]
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits,
(Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 33-35.
[9]
Ada beberapa riwayat hadits yang melarang penulisan selain ayat-ayat al-Qur’an,
di samping juga terdapat beberapa hadits yang memperbolehkan menulis hadits.
Pendapat ulama’ dalam hal ini terbagi menjadi empat: 1) Hadits yang diriwayatkan Abi Said al-Khudri“la
taktubu ‘anni, wa man kataba ‘anni ghoiral Qur’an fal-yamhuhu” dianggap mauquf
sehingga tidak bias dijadikan hujjah. 2) Larangan menulis hadits dalam konteks
awal munculnya Islam, untuk menghindari percampuran antara al-Qur’an dan
hadits. Tapi, setelah Islam semakin berkembang dan umat Islam memiliki keahlian
dalam membedakan al-Qur’an dan hadits, larangan tersebut dicabut. 3) Larangan
ditujukan bagi sahabat yang memiliki ingatan kuat dalam menghafal dan khawatir
mereka mengandalkan tulisan, sementara bagi sahabat lain diperbolehkan. 4)
Larangan bersifat umum, sementara jawaz al-kitabah dikhususkan bagi
mereka yang memiliki keahlian dalam tulis-menulis. Lihat: Ajjaj Khotib, al-Sunnah
Qobla al-Tadwin, (Beirut: Darul Fikri), h. 306-308.
[10]
Muhammad bin Mathr az-Zahrani, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah: Nasy’atuhu wa
Tathawwuruhu min al-Qarn al-Awwal ila Nihayah al-Qarn al-Tasi’ al-Hijri,
(Riyadl: Darul Minhaj), h. 71-72.
[11]
Ajjaj, Op.Cit., h. 329.
[12]
Ibid., h. 296.
[13]
Ibid., h. 298.
[14]
Ali
Masrur, Op.Cit., h. 110.
[15]
Hakim ‘Abisan Matiri, Tarikh Tadwin as-Sunnah wa Syubuhat al-Mustasyriqin,
(Kuwait: Majlis an-Nasyr al-Ilmi, 2002), h. 139.
[16]
Ajjaj, Op.Cit., h. 176.
[17] Muhammad Dhiya’urrahman
al-‘Azhami, Dirasat fi al-Jarh wa al-Ta’dil, (Riyadh: Darussalam, 1424
H), h. 37.
[18]
Ajjaj, Op.Cit., h. 188.
[20]
Ali Masrur, Op.Cit., h. 116.
[21]
Hadits Bukhori: 1115.
[22]
M.M. Azami, Dirasah fi al-Hadits an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, (Riyadl:
al-Maktab al-Islami, 1980) h. 457.
[23]
Ibid.
[24]
Ibid., h. 459-460.
[25]
Ajjaj, Op.Cit., h. 224.
No comments:
Post a Comment