Tuesday, March 5, 2013

ZAKAT KONSUMTIF DAN ZAKAT PRODUKTIF


ZAKAT KONSUMTIF DAN ZAKAT PRODUKTIF

A. Pendahuluan
1. Kronologi Permasalahan
Di Indonesia, selama ini dalam menyalurkan Zakat, Muzakki belum bisa membedakan mana Mustahiq yang layak diberi zakat konsumtif dan mana yang diberi zakat produktif. Sehingga yang seharusnya Mustahiq yang mendapat zakat produktif malah mendapat zakat konsumtif maka tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Sebenarnya pembicaraan tentang zakat produktif kian hari makin hangat dibicarakan, baik itu di kalangan akademisi, praktisi bahkan telah menyentuh lapisan masyarakat umum. Munculnya pembicaraan tentang zakat produktif ini, agaknya tidak terlepas dari kekecewaan masyarakat tentang zakat yang seyogyanya adalah salah satu elemen penting dalam mengentaskan kemiskinan yang juga tidak kunjung terlihat membuahkan hasil dalam mengurangi angka kimiskinan di Indonesia. Karena sistem pendistribusian zakat yang ada selama ini hanya digunakan untuk hal-hal konsumtif saja.
Sebenarnya zakat produktif ini bukan lagi barang baru. Penyaluran zakat secara produktif ini pernah terjadi dan dilakukan di zaman Rasulullah SAW. Hal ini dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, “bahwa Rasulullah telah memberikan zakat kepadanya lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi”.
Zakat produktif juga bukan jenis zakat baru. Zakat pruduktif ini lebih kepada tata cara pengelolaan zakat, dari yang sebelumya hanya digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif dan pemenuhan kebutuhan sesaat saja, lalu diubah penyaluran dana zakat yang telah dihimpun itu kapada hal-hal yang bersifat produktif dalam rangka pemberdayaan umat. Dengan kata lain dana zakat tidak lagi diberikan kepada mustahik lalu habis dikonsumsi. Akan tetapi dana zakat itu diberikan kepada mustahik untuk mengembangkan sebuah usahaproduktif dimana pelaksanaanya tetap dibina dan dibimbing olehpihak yang berwenang.
Jika kita tetap bertahan pada sistem pendistribuisan zakat yang bersifat konsumtif maka kenginan dan cita-cita untuk cepat mengurangi dan menghapus kemiskinan di ranah Indonesia ini hanya akan jadi mimpi belaka. Karena mustahik yang menerima zakat pada tahun ini akan kembali menerima zakat pada tahun tahun berikutnya. Dengan kata lain, mustahik saat ini akan melahirkan mustahik-mustahik baru dari keturunanya. Hal ini tentu tidak akan bisa menggambarkan bahwa zakat itu adalah salah satu media untuk mencapai pemerataan kesejahtaraan masyarakat.
Nah, jika kita mau sedikit merubah tata cara pendistribusian zakat kepada yang bersifat produktif, maka diharapkan zakat sebagai salah satu instrumen penting kebijakan fiskal Islam akan dapat mengurangi atau bahkan mengahapuskan kemiskinan di Republik ini. Kita berharap dengan adanya zakat produktif ini akan bisa memunculkan muzakki-muzakki baru. Dengan bahsa lain, mereka yang tahun ini adalah penerima zakat mungkin dengan adanya zakat produktif akan bisa membayar zakat satu, dua atau tiga tahun ke depan. Tidak hanya itu, dengan adanya kebijakan zakat prduktif ini juga akan bisa mengenjot laju pertumbuhan ekonomi umat.
Bukankah salah satu tujuan disyaria’tkannya zakat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umat khususnya kaum du’afa, baik dari segi moril maupun materil. Penyaluran zakat secara produktif adalah salah satu cara cerdas untuk meujudkan itu semua.
Dari permasalahan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa selama ini masyarakat indonesia kurang mengetahui dan memahami tentang zakat produkrif dan selama ini mereka menyalurkan zakat kepada yang berhak menerima zakat hanya bersifat konsumtif saja padahal perlu dibedakan mana yang berhak mendapat zakat konsumtif dan produktif. Selama ini Indonesia telah mengalami peningkatan jumlah angka kemiskinan. Untuk bisa mengatasi permasalahan tersebut maka perlu adanya kajian tentang zakat konsumtif dan produktif agar masyarakat indonesia membedakan Mustahik yang berhak menerima zakat konsumtif dan mana yang Produktif. Sehingga Muzakki tidak hanya mengelauaran zakat yang bersifat konsumtif saja tapi juga bisa mengelauarkan zakat bersifat produktif karena dengan adanya hal tersebut dapat membantu permasalahan kemiskinan dinegara kita.
1.1    Pembagian Zakat Berdarah di Pasuruan
     Pembagian zakat yang dilakukan seorang pengusaha pasuruan, H.Syaikon, dikediamannya RT 03 RW IV, Kelurahan Purutrejo, Kecamatan Purworejo, Pasuruan senin (15/9) berubah menjadi petaka. sebanyak 21 warga tewas akibat berdesakan dan terinjak-injak.
     Pembagian zakat tersebut bukan kali pertama dilaksanakan.
tahun-tahun sebelumnya,kegiatan serupa juga dilakukan keluarga H Syaikon. Jumlah kaum duafa yang datang dalam kegiatan tersebut jumlahnya mencapai ribuan,dan tidak hanya terbatas bagi mereka yang berasal dari Pasuruan, namun warga dari berbagai daerah sekitarnya.
     Mereka mengharap akan mendapatkan zakat uang yang nilainya 10.000 sampai 40.000.informasi tentang kegiatan yang biasa dilaksanakan tanggal 15 Ramadhan ini sudah santer beredar, bahkan disiarkan salah satu stasiun radio setempat. sejak subuh warga sudah mulai berdatangan menuju rumah Syaikon. banyak kalangan menyesalkan terjadinya insiden dalam pembagian zakat di Pasuruan Jatim tersebut yang mengakibatkan 21 nyawa melayang sia-sia. Kasus memilukan ini diharapkan yang terakhir terjadi dan tidak terjadi lagi dimasa yg akan datang bahkan menteri agama Maftuh Basyuni merasa geram dengan insiden tersebut. agar hal serupa tidak terulang, MENAG meminta pihak-pihak yang ingin memberikan zakat agar menyalurkannya kelembaga yang sudah ada,seperti badan amil zakat. KAPOLRI Jenderal Pol Sutanto mengimbau para Muzakki mengubah cara penyaluran zakat,lebih bagus mendatangi warga yang hendak diberi zakat.jangan pakai diumumkan karena nanti berdatangan bnyak dan tidak terkendali warga yang datang berebutan melewati satu-satu nya pintu yang tersedia.akibatnya suasana didalam gang menjadi kisruh ,saling desak dan saling injak terjadi. maka terjadilah insiden berdarah yang mengakibatkan 21 kaum duafa tewas.yang kebanyakan adalah para lanjut usia (lansia) dan ibu-ibu. korban tewas kemudian dibawa ke RSUD R Soedarsono Purut Pasuruan. Keluarga H Syaikon sejak awal sebenarnya sudah diperikatkan mengenai mekanisme penyaluran zakat ini. Walikota Pasuruan Aminurrohman Senin siang mengunjungi RSUD R Soedarsono menyatakan keprihatinannya dan sangat menyayangkan penyelenggara tidak melakukan koordinasi dengan Pemkot maupun aparat keamanan hingga berita ini diturunkan H Syaikon belum ditahan. tapi polisi memeriksanya bersama belasan orang lainnya yang terlibat sebagai panitia pembagian zakat. pemeriksaan masih berjalan dan Kasat Reskrim Polresta Pasuruan AKPA Sunarto mengatakan,bila terbukti mereka akan dikenakan pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang meninggal dunia atau luka-luka. dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.

Dikutip dari Solo Pos 16 september 08


B. Substansi kajian
1. Kajian teori
a.    Pengertian Zakat Bersifat Konsumtif
Zakat yang bersifat konsumtif adalah harta zakat secara langsung diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu dan sangat membutuhkan, terutama fakir miskin. Harta zakat diarahkan terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, seperti kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal secara wajar.
Kebutuhan pokok yang bersifat primer ini terutama dirasakan oleh kelompok fakir, miskin, gharim, anak yatim piatu, orang jompo/ cacat fisik yang tidak bisa berbuat apapun untuk mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya. Serta bantuan-bantuan lain yang bersifat temporal seperti: zkat fitrah, bingkisan lebaran dan distribusi daging hewan qurban khusus pada hari raya idul adha. Kebutuhan mereka memang nampak hanya bisa diatasi dengan menggunakan harta zakat secara konsumtif, umpama untuk makan dan minum pada waktu jangka tertentu,pemenuhan pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan hidup lainnya yang bersifat mendesak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan fakir miskin yang mendapatkan harta secara konsumtif adalah mereka yang dikategorikan dalam tiga hal perhitungan kuantitatif, antara lain: pangan, sandang dan papan. Pangan asal kenyang, sandang asal tertutupi dan papan asal untuk berlindung dan beristirahat. Pemenuhan kebutuhan bagi mereka yang fakir miskin secara konsumtif ini diperuntukkan bagi mereka yang lemah dalam bidang fisik, seperti orang-orang jompo. Dalam arti kebutuhan itu, pada saat tertentu tidak bisa diatasi kecuali dengan mengkonsumsi harta zakat tersebut.
Nabi dalam suatu haditsnya mengenai zakat konsumtif ini, hanya berkaitan dengan pelaksanaan zakat fitrah, di mana pada hari itu (hari raya) keperluan mereka fakir miskin harus tercukupi.

Bunyi Hadits:
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Artinya:“Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho’ kurma atau satu sho’ sya’ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, besar kecil dari orang-orang islam, dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat Ied”. (Muttafaq Alaihi).
Dalam penjelesan hadits di atas dapat dipahami bahwa zakat yang dikeluarkan pada waktu hari raya dapat membantu secara psikologis yaitu menghilangkan beban kesedihan pada hari raya tersebut, juga secara objektif memang ada kebutuhan yang mendesak yang bersifat konsumtif yang harus segera disantuni dan dikeluarkan dari harta zakat. Dalam arti kebutuhan itu pada saat tertentu tidak bisa diatasi kecuali dengan mengkonsumsi harta zakat tersebut. Dalam keadaan demikian harta zakat benar-benar didaya gunakan dengan mengkonsumsinya (menghabiskannya), karena dengan cara itulah penderitaan mereka teratasi.
b. Pengertian Zakat Bersifat Produktif
Kata produktif secara bahasa berasal dari dari bahasa inggris “productive” yang berarti banyak menghasilkan; memberikan banyak hasil; banyak menghasilkan barang-barang berharga; yang mempunyai hasil baik. “productivity” daya produksi.
Secara umum produktif berarti “banyak menghasilkan karya atau barang.” Produktif juga berarti “banyak menghasilkan; memberikan banyak hasil.”
Pengartian produktif dalam karya tulis ini lebih berkonotasi kepada kata sifat. Kata sifat akan jelas maknanya apabila digabung dengan kata yang disifatinya. Dalam hal ini kata yang disifati adalah kata zakat, sehingga menjadi zakat produktif yang artinya zakat dimana dalam pendistribusiannya bersifat produktif lawan dari konsumtif
Lebih tegasnya zakat produktif dalam karya tulis ini adalah pendayagunaan zakat secara produktif yang pemahamannya lebih kepada bagaimana cara atau metode menyampaikan dana zakat kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas, sesuai dengan ruh dan tujuan syara’. Cara pemberian yang tepat guna, efektif manfaatnya dengan sistem yang serba guna dan produktif, sesuai dengan pesan syari’at dan peran serta fungsi sosial ekonomis dari zakat.
Zakat produktif dengan demikian adalah pemberian zakat yang dapat membuat para penerimanya menghasilkan sesuatu secara terus menerus, dengan harta zakat yang telah diterimanya. Zakat produktif dengan demikian adalah zakat dimana harta atau dana zakat yang diberikan kepada para mustahik tidak dihabiskan akan tetapi dikembangkan dan digunakan untuk membantu usaha mereka, sehingga dengan usaha tersebut mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup secara terus-menerus.
c. Dasar Hukum Zakat Konsumtif dan Produktif
1. Dasar Hukum Zakat Konsumtif
Zakat yang bersifat konsumtif antara lain dinyatakan antara lain dalam surah Al-Baqarah ayat 273:
                    •             
Artinya: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) dimuka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu mengenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apasaja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka sesungguhnya Allah maha mengetahui.”
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang menerima zakat konsumtif adalah orang yang tidak bisa berbuat sesuat untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, seperti: orang jompo, fakir miskin, orang cacat, anak yatim piatu dan garim.
A. Tafsir surat Al-Baqarah ayat 273
     Dalam ayat ini Allah swt. menyebutkan ciri-ciri dan hal-ihwal orang-orang yang lebih berhak untuk menerima sedekah, yaitu:
1. Mereka yang dengan ikhlas telah mengikatkan diri pada tugas dalam rangka jihad fisabilillah sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lain untuk mencari rezekinya. Misalnya yang menjadi kaum Muhajirin, yang pada permulaan Islam adalah termasuk fakir miskin, karena telah meninggalkan harta benda mereka di Mekah untuk dapat berhijrah ke Madinah demi mempertahankan dan mengembangkan agama Islam. Dan mereka sering bertempur di medan perang, menangkis kezaliman orang-orang kafir.
2. Fakir miskin yang tidak mampu berusaha, baik dengan berdagang maupun dengan pekerjaan lainnya karena mereka sudah lemah, atau sudah lanjut usia atau karena sebab-sebab lainnya.
3. Fakir miskin yang dikira oleh orang-orang lain sebagai orang-orang berkecukupan lantaran mereka itu sabar dan menahan diri dari meminta-minta.
     Fakir miskin tersebut dapat diketahui kemiskinan mereka dari tanda-tanda atau gejala-gelaja yang tampak pada diri mereka. Mereka sama sekali tidak mau meminta-minta atau kalau mereka minta tidak dengan sikap yang mendesak atau memaksa-maksa.
     Dalam hubungan ini Rasulullah saw. pernah bersabda:

ليس المسكين الذي ترده اللقمة و اللقمتان إنما المسكين الذي يتعفف اقرءوا إن شئتم : لا يسألون الناس إلحافا

Artinya:
Yang dinamakan "orang miskin" itu bukanlah orang yang mau diberi sesuap atau dua suap makanan, orang miskin yang sebenarnya ialah orang yang di rumahnya senantiasa menjaga martabat dirinya. Jika kamu mau bacalah firman Allah yang mengatakan: "Mereka itu tidak mau meminta-minta kepada orang lain dengan cara mendesak."
(HR Bukhari dari Abi Hurairah) 
     Di dalam agama Islam, mengemis atau meminta-minta itu tidak dibolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Rasulullah saw.telah bersabda:

المسألة لا تحل إلا لثلاثة : لذي فقر مدفع و لذي غرم مفظع أو لذي دم موجع
Artinya:
Meminta hanya diperbolehkan pada tiga keadaan; pada saat-saat orang mengalami kemiskinan yang sangat, atau mempunyai utang yang berat, atau bagi orang yang memegang diyat yang menyedihkan.
(HR Ahmad, Ibnu Majah, dan At Tirmizi.)

     Dalam hubungan infak, yaitu zakat dan sedekah, perlu ditegaskan di sini hal-hal sebagai berikut:
1. Agama Islam telah menganjurkan kepada orang-orang yang berharta agar mereka bersedekah kepada fakir miskin. Dan apabila bersedekah hendaklah diberikan barang yang baik, berupa makanan, pakaian dan sebagainya. Dan tidak boleh disertai dengan kata-kata yang menyakitkan hati. Ringkasnya, fakir miskin itu haruslah diperlakukan sebaik mungkin.
2. Akan tetapi dengan ketentuan-ketentuan tersebut tidaklah berarti bahwa agama Islam memperbanyak fakir miskin dan memberikan dorongan kepada mereka untuk mengemis dan selalu mengharapkan sedekah orang lain sebagai sumber rezeki mereka. Sebab, walaupun di satu pihak agama Islam mewajibkan zakat dan menganjurkan sedekah kepada orang-orang kaya untuk fakir miskin, namun di lain pihak, Islam menganjurkan kepada fakir miskin ini untuk berusaha melepaskan diri dari kemiskinan itu, sehingga hidup mereka tidak lagi tergantung kepada sedekah dan pemberian orang lain. Dalam hubungan ini kita dapati banyak ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Rasulullah yang memberikan anjuran-anjuran untuk giat bekerja, menghilangkan sifat malas dan lalai, serta memuji orang-orang yang dapat mencari rezekinya dengan usaha dan jerih payahnya sendiri. Allah swt. berfirman:


إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S Ar Ra'du: 11) 
     Yang dimaksudkan dengan "apa yang terdapat pada diri mereka" itu antara lain ialah sifat-sifat yang jelek yang merupakan sebab bagi kemiskinan mereka itu. Misalnya sifat malas, lalai, tidak jujur, tidak mau belajar untuk menuntut ilmu pengetahuan dan memiliki kecakapan bekerja, dan sebagainya. Apabila mereka merubah sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat yang baik, yaitu rajin bekerja, maka Allah akan memberikan jalan kepadanya untuk perbaikan kehidupannya. Dalam ayat lain, Allah swt. berfirman:


فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ

Artinya:
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah. (Al Jum'ah: 10)
Rasulullah saw. memuji orang-orang yang memperoleh rezekinya dari hasil jerih payah dan keringatnya sendiri. Beliau bersabda: "Makanan yang terbaik untuk dimakan seseorang ialah dari hasil kerjanya sendiri."
     Dan untuk mempertinggi harga diri serta menjauhkannya dari meminta-minta atau mengharapkan pemberian orang lain, maka Rasulullah saw. bersabda:


اليد العليا خير من اليد السفلي

Artinya:
Tangan yang di atas (yaitu tangan yang memberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (yaitu tangan yang menerima sedekah atau pemberian orang lain).  (HR Bukhari dan Muslim) 
     Demikianlah, agama Islam menghendaki orang-orang yang mempunyai harta suka membantu fakir-miskin, sebaliknya, Islam menuntun fakir miskin agar berusaha keras untuk melepaskan diri dari kemiskinan itu.

2. Dasar Hukum Zakat Produktif
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan zakat produktif di sini adalah pendayagunaan zakat dengan cara produktif. Hukum zakat produktif pada sub bab ini dipahami hukum mendistribusikan atau memberikan dana zakat kepada mustahiq secara produktif. Dana zakat di berikan dan di pinjamkan untuk dijadikan modal usaha bagi orang fakir, miskin, dan orang-orang yang lemah.
Al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’ tidak menyebutkan secara tegas tentang cara pemberian zakat apakah dengan cara konsumtif atau produktif. Dapat dikatakan tidak ada dalil naqli dan sharih yang mengatur tentang bagaimana pemberian zakat itu kepada para mutsahik. Ayat 60 surat al-Taubah (9), oleh sebagian besar ulama’ dijadikan dasar hukum dalam pendistribusian zakat.  Namun ayat-ayat ini hanya menyebutkan pos pos di mana zakat harus diberikan. Tidak menyebutkan cara pemberian zakat kepada pos-pos tersebut.
                          
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk oarang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang -orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana,”(QS. At-Taubah: 60)

Teori hukum Islam menunjukkan bahw dalam menghadapi masalah-masalah yang tidak jelas rinciannya dalam Al-Qur’an atau petunjuk yang ditinggalkan Nabi SAW, penyelesaiaanya adalah dengan metode Ijtihad. Ijtihad atau pemakaian akal dengan tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam sejarah hukum Islam dapat dilihat bahwa Ijtihad diakui sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an dan Hadits. Apalagi problematika zakat tidak pernah absen, selalu menjadi topik pembicaraan umat Islam, topik aktual dan akan terus ada selagi umat Islam ada. Fungsi sosial, Ekonomi, dan pendidikan dari zakat bila dikembangkan dan di budidayakan dengan sebaik-baiknya akan dapat mengatasi masalah sosial, Ekonomi, dan pendidikan yang sedang dihadapi bangsa.
Disamping itu zakat merupakan sarana, bukan tujuan karenanya dalam penarapan rumusan-rumusan tentang zakat harus ma’qulu al ma’na, rasional, ia termasuk bidang fiqh yang dalam penerapannya harus dipertimbangkan kondisi dan situasi serta senafas dengan tuntutan da pekembangan zaman, (kapan, dan di mana dilaksanakan). Menurut Ibrahim Hosen, hal demikian adalah agar tujuan inti pensyari’atan Huku Islam yaitu jablu al-ma-shalihi al- ibad (menciptakan kemaslahatan umat) dapat terpenuhi, dan dengan dinamika fiqh semacam itu, maka hukum Islam selalu dapat tampil ke depan untuk menjawab segala tantangan zaman.
Dengan demikian berarti bahwa teknik pelaksanaan pembagian zakat bukan sesuatu yang mutlak, akan tetapi dinamis, dapat disesuaikan dengan kebutuhan di suatu tempat. Dalam artian peubahan dan perbedaan dalam cara pembagian zakat tidaklah dilarang dalam Islam  karena tidak ada dasar hukum yang secara jelas menyebutkan cara pembagian zakat tersebut.
Di Indonesia misalnya, BAZIS DKI jakarta berdasarkan hasil lokakarya zakat, menentukan kebijakan pembagian zakat sebagai berikut:
1.    Pembagian zakat harus bersifat edukatif, produktif dan ekonomis, sehingga pada akhirnya penerima zakat menjadi tidak memerlukan zakat lagi, bahkan menjadi wajib zakat.
2.    Hasil pengumuman zakat selama belum dibagikan kepada mustahiq dapat  merupakan dana yang bisa dimanfaatkan bagi pembangunan, dengan disimpan dalam bank pemarintah berupa deposito, sertifikat atau giro biasa.
Menurut penulis, kebijakan BAZIS dengan memproduktifkan dana zakat ini adalah agar zakat berguna dan berdaya guna bagi masyarakat. Khususnya fuqara’-masakin dan dhu’afa. Demikian pula KH. Sahal (di pati), melalui banada pengembangan masyarakat pesantren (BPPM) melaksanakan pengelolaan dana zakat kepada kaum fakir miskin melalui pendekatan kebutuhan dasar ini. Lebih jauh menurut kiai Sahal:
Pendekatan kebutuhan dasar bertujuan mengetahui kebutuhan dasar masyarakat (fakir miskin), sekaligus mengetahui apa latar belakang kemiskinan itu. Apabila si miskin itu mempunyai ketrampilan menjahit, maka diberi mesin jahit, kalau ketrampilannya mengemudi becak, si fakar miskin itu diberi becak. Maka dalam hal ini, memberi motivasi kepada masyarakat miskin juga merupakan sesuatu yang sangat mendasar, agar mereka mau berusaha dan tidak sekedar menunggu uluran tangan orang kaya. Dalam hal ini dilakukan secara rill oleh beliau dengan penuturannya: “pernah satu kali saya mencobanya terhadap seorang pengemudi  becak di kebupaten pati, saya lihat dia tekun mangkal di pasar untuk bekerja sebagai tukang becak. Pada saat pembagian zakat tiba, saya zakati dia. Hasil zakat bula syawal itu berupa zakat mal, zakat fitrah dan infaq.” Semua saya kumpulkan dan sebagian saya belikan ecak untuknya. Sebelumnya dia hanya mengemudikan becak milik orang non pribumi, namun sekang dia telah memiliki dua buah becak. Usaha itu berkembang dan sehari-hari ia tidak harus mengemudikan becak dengan mengejar setoran. Dengan mengemudikan becak sampai jam tiga sore, hasilnya sudah cukup untuk makan da untuk menjaga kesehatan, setelah itu ia bisa kumpul-kumpul mengikuti pengajia. Dengan cara ini, meskipun dia tidak menjadi kaya, tetapi jelas ada perubahan.
KH. Sahal juga melembagakandana zakat melalui koperasi. Dana zakat yang terkumpul tidak langsung diberikan dalam bentuk uang. Mustahiq  diserahi zakat berupa uang, tetapi kemudian ditarik kembali sebagai tabungan si miskinuntuk keperluan pengumpulan modal. Menurutnya cara ini, mereka (fakir miskin) dapat menciptakan pekerjaan dengan modal  yang dikumpulkan dari harta zakat.
Salah satu tujuan zakat adalah adalah agar harta benda tidak menumpuk pada satu golongan saja, dinikmati orang-orang kaya sedang orang-orang miskin pada larut dengan ketidakmampuan dan hanya menonton saja. Padahal orang kaya tidak akan ada dan tidak sempurna hidupnya tanpa adanya orang-orang miskin. Disebitkan bahwa:
“Zakat itu adalah milik bersama, karena mendapatkannya atas usaha bersama masyarakat. Orang yang kaya tidak akan ada kalau tidak adad orang miskin. Seorang pedagang tidak akan sukses menjadi konglomerat bila tidak ada pembeli, distributor dan para karyawab. Uang itu ibarat darah dalam tubuh manusia. Jika darah tidak menjangkau seluruh bagian anggota tubuh, di mana sebagia anggota tubuh kebagian terlalu banyak sehingga bagian yang lain mendapatkan terlalu sedikit, maka badan menjaddi sakit dan terserang penyakit”.
Artinya dalam berbagai bidang kehidupan fakir miskin harus diperhitungkan dan diikiut sertakan aalagi jumlah mereka tidaklah sedikit. Di bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan lainya, agar tidak terjadi gejolak ekonomi, kesenjangan sosial dan masyarakat yang terbelakangkarena kebodohan dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan zakat produktif. Karena bila zakat selalu atau semuanya diberikan dengan cara konsumtif, maka bukannya mengikutsertakan mereka tetapi malah membuat mereka malas dan selalu berharap kepada kemurahan hati si kaya, membiasakan mereka tangan dibawah, meminta dan menunggu belas kasihan, padahal ini sangat tidak di sukai dalam ajaran agama Islam.
d. Analisis Hukum Islam terhadap Zakat Konsumtif dan Pendayagunaan Zakat Produktif
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa pendayagunaan harta zakat secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pendayagunaan harta zakat dalam bentuk konsumtif dan pendayagunaan harta zakat dalam bentuk produktif. Maksud konsumtif disini adalah harta zakat secara langsung diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu dan sangat membutuhkan, terutama fakir miskin. Harta zakat diarahkan terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, seperti kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal secara wajar.
Kebutuhan pokok yang bersifat primer ini terutama dirasakan oleh kelompok fakir, miskin, gharim, anak yatim piatu, orang jompo/ cacat fisik yang tidak bisa berbuat apapun untuk mencari nafkah demi kelangsungan hidupnya. Serta bantuan-bantuan lain yang bersifat temporal seperti: zkat fitrah, bingkisan lebaran dan distribusi daging hewan qurban khusus pada hari raya idul adha. Kebutuhan mereka memang nampak hanya bisa diatasi dengan menggunakan harta zakat secara konsumtif, umpama untuk makan dan minum pada waktu jangka tertentu,pemenuhan pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan hidup lainnya yang bersifat mendesak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan fakir miskin yang mendapatkan harta secara konsumtif adalah mereka yang dikategorikan dalam tiga hal perhitungan kuantitatif, antara lain: pangan, sandang dan papan. Pangan asal kenyang, sandang asal tertutupi dan papan asal untuk berlindung dan beristirahat. Pemenuhan kebutuhan bagi mereka yang fakir miskin secara konsumtif ini diperuntukkan bagi mereka yang lemah dalam bidang fisik, seperti orang-orang jompo. Dalam arti kebutuhan itu, pada saat tertentu tidak bisa diatasi kecuali dengan mengkonsumsi harta zakat tersebut.
Nabi dalam suatu haditsnya mengenai zakat konsumtif ini, hanya berkaitan dengan pelaksanaan zakat fitrah, di mana pada hari itu (hari raya) keperluan mereka fakir miskin harus tercukupi.
Bunyi Hadits:
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Artinya: “Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho’ kurma atau satu sho’ sya’ir atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, besar kecil dari orang-orang islam, dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat Ied”. (Muttafaq Alaihi).
Dalam penjelesan hadits di atas dapat dipahami bahwa zakat yang dikeluarkan pada waktu hari raya dapat membantu secara psikologis yaitu menghilangkan beban kesedihan pada hari raya tersebut, juga secara objektif memang ada kebutuhan yang mendesak yang bersifat konsumtif yang harus segera disantuni dan dikeluarkan dari harta zakat. Dalam arti kebutuhan itu pada saat tertentu tidak bisa diatasi kecuali dengan mengkonsumsi harta zakat tersebut. Dalam keadaan demikian harta zakat benar-benar didaya gunakan dengan mengkonsumsinya (menghabiskannya), karena dengan cara itulah penderitaan mereka teratasi.
Adapun mengenai pendayagunaan harta zakat secara produktif, sebenarnya sebagian ulamasebagaimana dalam kitab kuning, mereka sesungguhnya telah melangkah lebih jauh, di mana ketika menetapkan perlunya pemberian kepada fakir miskin untuk mencukupi kebutuhan hidup selama hidupnya, juga adanya pemberian harta zakat kepada mereka para mustahiq secara produktif.
Pengertian harta zakat secara produktif artinya harta zakat yang dikumpulkan dari Muzakkitidak habis dibagikan sesaat begitu saja untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif, melainkan harta zakat itu sebagian ada yang diarahkan pendayagunaanya kepada yang bersifat produktif. Dalam arti harta zakat itu didayagunakan (dikelola), dikembangkan sedemikian rupa sehingga bisa mendatangkan manfaat yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan orang yang tidak mampu (fakir miskin) tersebut dalam jangka panjang. Dengan harapan secara bertahap, pada suatu saat nanti ia tidak lagi masuk kepada kelompok mustahiq zakat, melainkan kelamaan menjadi muzakki.
Contoh penerapan zakat bersifat produktif ini adalah orang fakir miskin yang mempunyai ketrampilan dan kemampuan dalam berusaha diberi harta zakat menurut ukuran umumnya yang wajar, lalu kemudian dengan harta zakat tersebut si fakir miskin dapat membeli tanah/ lahan untuk digarapnya. Sehingga nantinya apabila sudah dapat hasil, keuntungannya tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Seirama dengan pendapat diatas, M.A. Mannan mengatakan, dana zakat dapat didayagunakan untuk investasi produktif, membiayai bermacam-macam proyek pembangunan dalam bidang pendidikan, pemeliharaan kesehatan, air bersih dan aktivitas-aktivitas kesejahteraan sosial lainnya, yang semata-mata untuk kepentingan fakir miskin. Pendapatan fakir miskin diharapkan bisa meningkat sebagai hasil produktivitas mereka yang lebih tinggi.
Yusuf al-Qardawi dalam kitabnya Fiqh az-Zakah, menjelaskan tentang diperbolehkannya pendayagunaan harta zakat dengan sistem Qimahyaitu penukaran benda zakat yang sudah ditentukan dalam hadits Nabi Muhammad SAW.dengan benda lain atau dengan uang tunai yang seharga. Ia mengatakan pendapat  ini disepakati oleh ulama hanafiyah dan sebagian ulama fuqaha.
Adapun alasan mereka berdasarkan pada dalil Aql dan Naql, yaitu:
1.    Qimah itu juga termasuk harta sebagaimana yang disebut dalam firman Allah QS. At-Taubah: 103:
          •          
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan (658) dan mensucikan (659) mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Tafsir surat At- Taubah ayat 103
     Menurut riwayat Ibnu Jarir bahwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya yang mengikatkan diri di tiang-tiang mesjid datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata: "Ya Rasulullah, inilah harta benda kami yang merintangi kami untuk turut berperang. Ambillah harta itu dan bagi-bagikanlah, serta mohonkanlah ampun untuk kami atas kesalahan kami." Rasulullah menjawab: "Aku belum diperintahkan untuk menerima hartamu itu." Maka turunlah ayat ini. Perintah Allah swt. pada permulaan ayat ini ditujukan kepada Rasul-Nya, yaitu agar Rasulullah saw. mengambil sebagian dari harta benda mereka itu sebagai sedekah atau zakat untuk menjadi bukti tentang benarnya tobat mereka, karena sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka dari dosa yang timbul karena mangkirnya mereka dari peperangan dan untuk menyucikan dari mereka dari sifat "cinta harta" yang mendorong mereka untuk mangkir dari peperangan itu. Selain itu sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka pula dari semua sifat-sifat jelek yang timbul karena harta benda, seperti kikir, tamak, dengki, dan sebagainya. 
     Di samping itu juga dapat dikatakan, bahwa penunaian zakat adalah juga membersihkan harta benda yang tinggal sebab pada harta benda seseorang ada hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama Islam telah ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta bendanya tetap bercampur dengan hak orang lain yang haram untuk dimakannya. Akan tetapi, bila ia mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka bersihlah harta tersebut dari hak orang lain.
     Juga terkandung suatu pengertian, bahwa menunaikan zakat itu akan menyebabkan timbulnya keberkatan pada harta yang masih tinggal, sehingga ia tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka harta benda seseorang tidak akan memperoleh keberkatan dan tidak akan berkembang biak dengan baik, bahkan kemungkinan akan ditimpa malapetaka dan menyusut sehingga lenyap sama sekali dari tangan pemiliknya sebagai hukuman.
     Allah swt. terhadap pemiliknya.  Perlu diketahui, bahwa walaupun perintah Allah swt. dalam ayat ini pada lahirnya ditujukan kepada Rasul-Nya dan turunnya ayat ini ialah berkenaan dengan peristiwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya namun ia juga berlaku terhadap semua pemimpin atau penguasa dalam setiap masyarakat kaum Muslimin untuk melaksanakan perintah Allah dalam masalah zakat ini, yaitu untuk menunggu zakat tersebut dari orang-orang Islam yang wajib berzakat dan kemudian membagi-bagikan zakat itu kepada yang berhak menerimanya. Dengan demikian, maka zakat akan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang efektif untuk membina kesejahteraan masyarakat. 
     Selanjutnya dalam ayat ini Allah swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya dan juga kepada setiap pemimpin dan penguasa dalam masyarakat agar setelah melakukan pemungutan dan pembagian zakat itu, mereka berdoa kepada Allah bagi keselamatan dan kebahagiaan pembayar zakat karena doa tersebut akan menenangkan jiwa mereka, dan akan menenteramkan hati mereka, serta menimbulkan kepercayaan dalam hati mereka bahwa Allah swt. benar-benar telah menerima tobat mereka.
     Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah swt. Maha Mendengar setiap ucapan hamba-Nya, antara lain ucapan pengakuan dosa serta ucapan doa. Dan Allah Maha Mengetahui semua yang tersimpan dalam hati sanubari hamba-Nya antara lain ialah rasa penyesalan dan kegelisahan yang timbul karena kesadaran atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
2.    Adapun Penjelasan Rasulullah SAW terhadap  ayat itu dengan hadits yang Artinya:
 “Dalam setiap 40 ekor kambing, maka zakatnya 1 ekor kambing.”
Penjelasan itu hanya untuk mempermudah orang yang punya harta dalam menyampaikan zakat saja.
Maksud dari harta zakat adalah untuk menutup kebutuhan hidup dan menjadikan orang fakir berkecukupan menyeleggarakan kemaslahatan umum baik bagi agama maupun bagi umat, hal ini mudah tercapai denga sirkulasi uang tunai atau dengan Qimah, karena lebih luwes dan lentur.
Ada sebuah peristiwa yang mana penduduk Yaman terkenal dengan industri tekstil dan pertenunan. Mengeluarkan zakat dengan bahan tekstil lebih mudah bagi mereka, sementara penduduk madinah membutuhkan pakaian. Sebagai catatan bahwa zakat yang dikirim ke madinah kala itu adalah sisa pembagian zakat bagi penduduk Yaman.
Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa pendapat Hanafiyah ini dapat diterima, karena ma’qul al-ma’nanya sesuai dengan perkembangan zaman dan dapat menjawab tuntunan kemaslahatan umat, kapan dan dimanapun berada. Sistem pendayagunaan harta zakat dengan bentuk Qimah lebih condong kepada pendapat Hanafiyah, yaitu sahnya mengeluarkan zakat dengan Qimah jika dikehendaki oleh hajat atau kemaslahatan.
Berdasarkan pada pendapat tersebut diatas, ringkasnya pendayagunaan harta secara produktif dan berdayaguna dibenarkan oleh syara’ dan sah-sah saja, selama harta zakat tersebut tetap diarahkan ke segala usaha dan bidang yang menyangkut kebutuhan manusia seutuhnya, lahiriyah dan batiniyah bagi golongan fakir miskin untuk meneyelamatkannya dari jerat ketidakmampuannya serta dapat meningkatkan harkat martabat manusiawinya.

C. Peta konsep



















D. Kesimpulan
Setelah penulis mengadakan penelaahan dan pembahasan secukupnya tentang system penentuan mustahiq dan pendayagunaan harta zakat secara produktif, kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan yang nantinya dapat dijadikan sebagai bahan renungan dan masukan khususnya bagi lembaga atau badan amil zakat yang selama ini relative belum banyak melakukan terobosan baru, antara lain:
1.    System penentuan criteria mustahiq zakat dengan skala prioritas, di peruntukan bagi pemenuhan kebutuhan terhadap delapan asnaf (mustahiq zakat) yang paling membutuhkan, bertujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, serta untuk melaksanakan fungsi alokatif pendayagunaan harta zakat dalam kebijaksanaan fiscal sangatlah tepat dan dibenarkan oleh hukum Islam.
2.    System pengelolaan dan distribusi harta zakat diarahkan kepada sasaran dalam pengertian yang lebih luas lagi, secara tepat guna, efektif, dan efisien, dengan pendayagunaan harta zakat serbaguna dan produktif. Dimana harta zakat yang terkumpul tidak dibagikan semua secara konsumtif, tetapi ada sebagian yang di investasikan dalam proyek produktif, dan nantinya keuntungan dari proyek tersebut dapat dan nantinya keuntungan dari proyek tersebut dapat dibagikan kepada golongan ekonomi lemah dalam bentuk modal usaha atau dana zakat. Hal ini dilakukan untuk memelihara dari bahaya inflasi akibat distribusi zakat yang membawa kecenderungan konsumtif yang lebih tinggi.
3.    Adapun pandangan hukum Islam terhadap pendayagunaan harta zakat secara produktif di benarkan oleh hukum Islam. Sepanjang tetap memperhatikan kebutuhan pokok (daruri) bagi masing-masing mustahiq zakat dalam bentuk konsumtif yang bersifat mendesak untuk segera diatasi, seperti untuk keperluan makan, sandang dan perumahan yang layak. Pendayagunaan dan pengelolaan harta zakat secara produktif berdayaguna di benarkan hukum Islam, selama harta zakat tersebut cukup banyak. Karena dengan harta zakat yang cukup itu ,bias di sisihkan untuk pendayagunaan yang bersifat produktif jangka panjang di samping konsumtif jangka pendek.

DAFTAR PUSTAKA
Bulughul Maram

Rafi’,Muinan.2001.Potensi Zakat (dari komsuntif-karikatif ke produktif-berdayaguna) Perspektif Hukum Islam.Yogyakarta: Citra Pustaka.

Asnaini.2007.Zakat Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam.Yogyakarta: pustaka belajar.

Mukhtar Sadili, amru (ed).2003.Problematika Zakat Kontemporer: Artikulasi Proses Sosial Politik Bangsa.Jakarta: Forum Zakat.

An-Nawawi. U’ta kifayah al-umr, lihat an-Nawawi, al-majmu’, VI

Yusuf al-Qaradawi, Fiqh az-Zakah, II








.

No comments:

Post a Comment