BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Agama dan Masyarakat
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut .
Sedangkan, istilah masyarakat berasal dari bahasa arab “Syaraka” yang berarti ikut serta, berpartisipasi atau “musyaraka” yang berarti saling bergaul. Di dalam bahasa inggris dipakai istilah society, yang sebelumnya berasa dari bahasa latin “socius” berarti kawan. Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Menurut Abdul Syani masyarakat berasal dari kata musyarak yang artinya bersama-sama kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi, selanjutnya mendapatkan kesepakatan menjadi masyarakat.
Pada hal demikian, golongan masyarakat dapat diartikan sebagai penggolongan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama atau sejenis. Ary H. Gunawan juga mengutip pendapat dari Patirim A. yang menyatakan bahwa penggolongan masyarakat menurut strata (kata jamak dari stratum) hierarkinya (tingkatannya) disebut stratifikasi sosial. Misalnya: petani, buruh, pegawai mahasiswa, guru, dosen, dan sebagainya. Brahma, ksatria, syudra, paria (dalam stratifikasi hindu).
Dalam kamus sosiologi dinyatakan sebagai kategori orang-orang tertentu, dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada cirri-ciri mental tertentu. Soerjono Soekanto , menyatakan pelapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Berdasarkan definisi di atas, penggolongan masyarakat dapat dibuat berdasarkan ciri yang sama. Misalnya :
1. penggolongan berdasarkan jenis kelamin adalah pria dan wanita;
2. penggolongan berdasarkan usia adalah tua dan muda;
3. penggolongan berdasarkan pendidikan adalah cendekia dan buta huruf;
4. penggolongan berdasarkan pekerjaan adalah petani, nelayan, golongan buruh, pengrajin, pegawai negeri, eksekutif, dan lain-lain. Menurut Hendropuspito, meskipun tidak dapat dibuat berdasarkan kedudukan social yang sama, seperti pada lapisan sosial, penggolongan ini pada dasarnya untuk kepentingan pengamat sosial alam penelitian-penelitian terhadap masyarakat .
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya .
Pemahaman sosiologi atas agama tidak ditimba dari segi “pewahyuan” yang datang dari “dunia lain, akan tetapi diangkat dari eksperiensi atau pengalaman konkret sekitar agama yang dikumpulkan dari sana-sini baik dari masa lampau (sejarah) maupun dari kejadian-kejadian sekarang. Dengan kata singkat, definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi yang evaluative (menilai). Sosiologi angkat tangan mengenai hakekat agama, baik atau buruknya agama atau agama-agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini sosiologi hanya sanggup memberikan definisi yang deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya .
Menurut aliran fungsionalis, mereka memandang agama itu sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup local, regional, maupun nasional. Maka dalam tinjauannya yang dipentingkan ialah daya guna dan pengaruh agama terhadap masyarakat .
Sejarah mengungkapkan bahwa manusia itu berusaha dan bergerak pada dua bidang kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan kebahagiaan sekarang, dan kebutuhan akan kebahagiaan nanti. Dua jenis kebutuhan yang mendasar ini dapat dikatakan dengan istilah yang lebih abstrak sebagai kesejahteraan dalam dunia empiris “nyata” dan dunia supra-empiris. Yang satu terletak disini dan kini, yang lain digambarkan sebagai diatas dunia ini, dunia transenden , yang tak terjangkau oleh pengalaman (empiri) manusia, karena ada di luar pengalaman manusia .
Jika seseorang mengikuti sejarah agama menurut teori evolusi dari situ orang akan diperkenalkan perkembangan bentuk-bentuk keagamaan dari bentuk yang masih sederhana hingga bentuk yang modern. Melalui urutan klasik muncullah pra-animisme yang meliputi magisme, fetisyisme, animisme, hingga kemudian muncul religi atau agama. Dalam pra-animisme manusia menggunakan kekuatan “gaib” (supra-empiris) yang dipercayai berada di dalam benda-benda tak bernyawa, seperti pada batu yang aneh, besi (keris), dsb. Dalam animisme manusia berhubungan dengan dengan makhluk yang bernyawa, khususnya makhluk halus atau roh-roh yang dipercayai memiliki kekuatan lebih tinggi daripada manusia secara kategorial. Misalnya para arwah nenek moyang, roh-roh yang dipercayai menguasai sumber mata air, sungai, lautan, gunung, dsb. Dalam religi, manusia mengadakan hubungan dengan (roh yang tertinggi) yang dipercayai memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang oleh agama-agama besar disebut TUHAN, yang menciptakan dan menguasai alam semesta .
Dengan uraian diatas, maka dapat didefinisikan bahwa agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya .
Dari uraian diatas, ada beberapa unsur-unsur yang dapat kita rangkum, yakni :
1. Agama disebut sebagai sejenis system social. Disini menjelaskan bahwa agama adalah suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu system dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan pada tujuan tertentu.
2. Agama berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris. Ungkapan ini menyatakan bahwa agama khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang dihuni oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh, dan roh tertinggi.
3. Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan diatas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud kepentingan (keselamatan) ialah keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan di “dunia lain” yang dimasuki manusia sesudah kematian .
B. Ruang Lingkup dan Unsur-unsur Agama
Secara garis besar ruang lingkup agama mencakup :
1. Hubungan manusia dengan tuhannya
Hubungan dengan tuhan disebut ibadah. Ibadah bertujuan untuk mendekatkan diri manusia kepada tuhannya.
2. Hubungan manusia dengan manusia
Agama memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan dan kemasyarakatan. Konsep dasar tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran agama mengenai hubungan manusia dengan manusia atau disebut pula sebagai ajaran kemasyarakatan.Sebagai contoh setiap ajaran agama mengajarkan tolong-menolong terhadap sesama manusia.
3. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya atau lingkungannya.
Di setiap ajaran agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga keharmonisan antara makluk hidup dengan lingkungan sekitar supaya manusia dapat melanjutkan kehidupannya.
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok :
1. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi
2. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
3. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama
4. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
5. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama
C. Fungsi dan Peran Agama Dalam Masyarakat
Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahakan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :
1. Fungsi edukatif
Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.
2. Fungsi penyelamatan
Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa mereka temukan dalam agama. Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.
3. Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
a. Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat.
b. Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang dianggap baik )dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
4. Fungsi memupuk Persaudaraan
Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.
a. Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti liberalism, komunisme, dan sosialisme.
b. Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa bergabung dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN dll.
c. Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama
5. Fungsi transformatif
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat. Sedangkan menurut Thomas F. O’Dea menuliskan enam fungsi agama dan masyarakat yaitu:
a. Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.
b. Sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat.
c. Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.
d. Pengoreksi fungsi yang sudah ada.
e. Pemberi identitas diri.
f. Pendewasaan agama.
Sedangkan menurut Hendropuspito lebih ringkas lagi, akan tetapi intinya hampir sama. Menurutnya fungsi agama dan masyarakat itu adalah edukatif, penyelamat, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif. Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah sistem nilai yang memiliki derivasi pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya.Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme .
Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara. Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agama dalam kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas, dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsur asing agama diwarnainya. Yang lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan, yang mempunyai seperangkat arti mencakup perilaku sebagai pegangan individu (way of life) dengan kepercayaan dan taat kepada agamanya .
Peran agama di dalam masyarakat sangat berpengaruh penting bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. agama menjadi suatu tolak ukur bagi masyarakat untuk melakukan dan menilai suatu. di indonesia terdapat berbagai macam agama di dalam masyarakat, tapi setiap agama mempunyai suatu kedaulatan masing masing. dan semuanya telah di atur dalam undang-undang dan pancasila. agama didalam masyarakat adalah kumpulan norma-norma serta toleransi antar sesama manusia atau masyarakat.
D. Pelembagaan Agama
Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan. Dalam kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, hendaknya cara berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan besar, serta gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem dalam masyarakat .
Para sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling sedikit 4 kelompok lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan khusus), yakni :
1. Lembaga-lembaga politik yang ruang lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada penggunaan kekuasaan secara sah.
2. Lembaga-lembaga ekonomi yang mencakup produksi dan distribusi barang dan jasa.
3. Lembaga-lembaga integrative-ekspresif
4. Lembaga-lembaga kekerabatan mencakup kaedah-kaedah yang mengatur hubungan seksual serta pengarahan terhadap golongan muda. Walaupun tampaknya, suatu lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek kemasyarakatan tertentu, namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga tersebut saling berkaitan secara fungsional. Setiap lembaga berpartisipasi dan memberikan kontribusi dengan cara-cara tertentu pada kehidupan masyarakat setempat (“community”) .
E. Pengaruh Agama Terhadap Golongan Masyarakat
Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial dan kepribadian ketiga aspek itu merupakan fenomena social yang berhubungan dengan perilaku manusia. Berkaitan dengan hal ini, Nottingham menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan masyarakat yang menurutnya, terbagi tipe-tipe. Tampaknya pembagia ini mengikutui konsep August Comte tentang proses tahapan pwembentukan masyarakat. Adapun tipe-tipe yang di maksud Nottingham itu adalah sebagai berikut .
1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyatakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukan pengaruh yang sakral ke dalam sistem nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
2. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang sama, lingkungan yang sacral dan yang sekuler sedikit-banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan sosial masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat-istiadat saja. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya, anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah- masalah kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.
Memiliki karakter-karakter yang dikemukakan Notting ham tersebut, tampaknya pengaruh agama terhadap kehidupan masyarakat, jika dilihat dari karakter masing-masing golongan pekerjaan, tidak akan berbeda jauh dengan pengaruh agama terhadap masyarakat yang digambarkan Notting ham secara umum, karena sistem masyarakat akan mencerminkan budaya masyarakatnya.
a. Golongan petani. Pada umumnya, golongn petani termasuk masyarakat yang terbelakang. Lokasinya berada didaerah terisolasi sistem masyarakatnya masih sederhana,lembaga-lembaga sosialnyapun belum banyak berkembang. Mata pencaharian utamanya bergantung pada alam yang tidak bisa dipercepat, diperlambt atau dperhitungkan secara cermat sesuai dengan keinginan petani. Faktor subur tidaknya tanah, dan sebagainya merupakan faktor-faktor yang berada di luar jangkauan petani oleh sebab itu, mereka mencari kekuatan dan kemampuan di luar dirinya yang dipandang mampu dandapat mengatasi semua persoalan yang telah atau akan menimpa dirinya. Maka, diadakanlah upacara-upacara atau ritus-ritus yang dianggap sebagai tolak bala atau menghormati dewa. Menyediakan sesajen bagi Dewi Sri, yang dipercayai sebagai pelindung sawah dan ladang. Dengan pengamatan selintas pengaruh agama tehadap golongan petani cukup besar. Jiwa keagamaan mereka relaitf lebih besar karena kedekatannya dengan alam.
b. Golongan nelayan. Karakter pekerja golongan nelayan hampir sama dengan karakter golongan petani. Mata pencahariannya bergantung pada keramahan alam. Jika musimnya sedang bagus,tidak ada badai, boleh jadi tangkapan ikannya melimpah. Biasanya pada waktu-waktu tertentu ada semacam upacara untuk menghormati penguasa laut,yang pada masyarakat Indonesia dikenal sebagai Nyi Roro Kidul.Berdasarkan fakta tersebut, pengaruh agama pada kehidupan nelayan dapat dikatakan signifikan.
c. Golongan pengrajin dan pedagang kecil. Golongan pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam situasi yang berbeda dengan golongan petani. Kehidupan golongan ini tidak terlalu berkutat dengan situasi alam dan tidak terlalu bergantung pada alam. Hidup mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan rasional. Mereka tidak menyadarkan diri pada keramahan alam yang tidak bisa dipastikan,tetapi lebih mempercayai perencanaan yang teliti danpengarahan yang pasti. Menurut Weber yang mempelajari sejarah agama-agama dengan cara yang berlaku pada zamannya,yaitu agama Kristen, Yahudi, Islam, Hindu, Budha, dan konfusianisme, Taoisme golongan pengrajin dan pedagang kecil suka menerima pandangan hidup yang mencakup etika pembalasan. Mereka menaati kaidah moral dan pola sopan santun dan percaya bahwa pekerjaan yang baik dilakukan dengan tekun dan teliti akan membawa balas jasa yang setimpal.
d. Golongan pedagang besar.Kategori yang paling menonjol dari golongan pedagang besar adalah memiliki sikapnya yang lain terhadap agama.Pada umumnya kelompok ini mempunyai jiwa yang jauh dari gagasan tentang imbalan jasa (compaintion) moral,seperti yang dimiliki golongan tingkat menengah bawah.mereka lebih berorientasi pada kehidupan nyata (mundane) dan cenderung menutup agama profetis dan etis. Perasaan keagamaannya lebih bersifat fungsional, kemampuan yang mereka miliki terletk pada kekuatan ekonominya.
e. Golongan karyawan.Weber menyebut golongan karyawan sebagai kaum birokrat. Hal ini dilihat dari pembagian fungsi-fungsi kerja yang ada sudah jelas dan adanya penyelesaian suatu masalah kemanusiaan berdasarkan penalaran dan efisiensi.
f. Golongan buruh. Yang dimaksud dengan golongan buruh adalah mereka yang bekerja dalam industri-industri atau perusahan-perusahaan modern. Golongan buruh termasuk kelas proletar yang tidak diikutsertakan dalam kehidupan masyarakat,disingkirkan dari system social yang berlaju.Kelas ini merupakan golongan yang dijadikan sapi perahan untuk meraup keuntungan yang sangat besar oleh kaum borjuis.Agama yang dibutuhkan oleh golongan buruh tampaknya agama yang bisa membebaskan dirinya dari penghisapan tenega kerja segara berlebihan.
g. Golongan tua-muda. Meskipun secara social penggolongan tua muda ini ada, tetapi susah ditentukan batasannya secara praktis. Berdasarkan pengamatan sepintas tersebut, dapat dikatakan bahwa agama pada golongan tua lebih kental dibandingkan dengan golongan muda. Nanun, bila asumsi ini diterapkan pada zaman sekarang, ternyata mengalami kesulitan juga, karena tidak jarang banyak orang yang berumur 40 ke atas berlaku seperti anak muda.
h. Golongan pria-wanita. Secara psikologis, watak umum pria dan wanita berbeda. Dalam menghadapi suatu keadaan, watak pria lebih dominan menggunakan pertimbangan rasional, sedangkan wanita lebih rasa / emosinya .
Jika dlihat secara keseluruhan, tujuan beragama seseorang itu rata-rata untuk mencari ketenangan bathin. Dalam masalah penghayatan keagamaan, tampaknya golongan wanita lebih dominan, karena faktor pembawaan mereka umumnya cenderung emosional.
F. Interelasi (Hubungan Timbal-balik) antara Agama dengan Masyarakat
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga, setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. Karena itu, Wach lebih jauh beranggapan bahwa keagamaan yang bersifat subyektif, dapat diobjektifkan dalam pelbagai macam ungkapan, dan ungkapan-ungkapan tersebut mempunyai struktur tertentu yang dapat dipahami .
Dalam bukunya, American Piety: The Nature of Religious Commitment, C.Y. Glock dan R. Stark (1968: 11-19) menyebutkan lima dimensi agama. Pertama, dimensi keyakinan yang berisikan pengharapan sambil berpegang teguh pada teologis tertentu. Kedua, dimensi praktik agama yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna keagamaan yang terkandung di dalamnya. Ketiga, dimensi pengalaman keagamaan yang merujuk pada seluruh ketrlibatan subjektif dan individual dengan hal-hal yang suci dari suatu agama. Keempat, dimensi pengetahuan agama , artinya orang beragama memiliki pengetahuan tentang keyakinan , ritus, kitab suci, dan tradisi. Kelima, dimensi konsekuensi yang mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari .
Ketika mengungkap hubungan interdipendensi antara agama dan masyarakat, Wach menunjukkan adanya pengaruh timbal-balik antara kedua faktor tersebut. Pertama, pengaruh agama terhadap masyarakat, seperti yang terlihat dalam pembentukan, pengembangan, dan penentuan kelompok keagamaan spsesifik yang baru. Kedua, pengaruh masyarakat terhadap agama. Dalam hal ini, Wach memusatkan perhatiannya pada faktor-faktor sosial yang memberikan nuansa dan keragaman perasaaan serta sikap keagamaan yang terdapat dalam suatu lingkungan atau kelompok sosial tertentu .
Pada dasarnya dimensi esoterik dari suatu agama atau kepercayaan itu tidak bisa berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dimensi lain di luar dirinya. Selain dibentuk oleh substansi ajarannya, dimensi ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial dimana suatu keyakinan itu dimanivestasikan oleh para pemeluknya. Sehingga dalam konteks tertentu, di satu sisi, agama juga dapat beradaptasi, dan pada sisi yang berbeda dapat berfungsi sebagai alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan para pemeluknya .
Sejalan dengan pemikiran di atas, Peter L. Berger (1991) melihat relasi manusia dan masyarakat secara dialektis. Berger memberikan alternatif terhadap determinisme yang menganggap individu semata-mata dibentuk oleh struktur sosial dan tidak mempunyai peran dalam pembentukan struktur sosial. Ia menolak kausalitas sepihak. Dengan pandangan ini, Berger ingin memperlihatkan bahwa manusia dapat mengubah struktur sosial, dan manusia pun akan selalu dipengaruhi bahkan dibentuk oleh institusi sosialnya .
Selanjutnya, Berger mengatakan bahwa hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses dialektis yang terdiri atas tiga momen: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Melalui eksternalisasi ini, masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia. Kenyataan menjadi realitas objektif, kenyataan yang berpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Proses ini disebut objektivasi. Masyarakat, dengan segala pranata sosialnya, akan mempengaruhi bahkan membentuk prilaku manusia. Dari sudut ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat diserap kembali oleh manusia melalui proses internalisasi .
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para tasauf. Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis .
Agama sebagai suatu sistem mencakup individu dan masyarakat, seperti adanya emosi keagamaan, keyakinan terhadap sifat faham, ritus, dan upacara, serta umat atau kesatuan sosial yang terikat terhadap agamanya. Agama dan masyarakat dapat pula diwujudkan dalam sistem simbol yang memantapkan peranan dan motivasi manusianya, kemudian terstrukturnya mengenai hukum dan ketentuan yang berlaku umum, seperti banyaknya pendapat agama tentang kehidupan dunia seperti masalah keluarga, bernegara, konsumsi, produksi, hari libur, prinsip waris, dan sebagainya .
Dalam hal ini, hubungan antara manusia dengan agama dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Fitrah terhadap Agama
Dalam masyarakat sederhana banyak peristiwa yang terjadi dan berlangsung di sekitar manusia dan di dalam diri manusia, tetapi tidak dapat dipahami oleh mereka. Yang tidak dipahami itu dimasukkan ke dalam kategori gaib. Karena banyak hal atau peristiwa gaib ini menurut pendapat mereka, mereka merasakan hidup dan kehidupan penuh kegaiban. Menghadapi peristiwa gaib ini mereka merasa lemah tidak berdaya. Untuk menguatkan diri, mereka mencari perlindungan pada kekuatan yang menurut anggapan mereka menguasai alam gaib yaitu Dewa atau Tuhan. Karena itu hubungan mereka dengan para Dewa atau Tuhan menjadi akrab. Keakraban hubungan dengan Dewa-Dewa atau Tuhan itu terjalin dalam berbagai segi kehidupan: sosial, ekonomi, kesenian dan sebagainya. Kepercayaan dan sistem hubungan manusia dengan para Dewa atau Tuhan ini membentuk sistem agama. Karena itu, dalam masyarakat sederhana mempunyai hubungan erat dalam agama. Gmbaran ini berlaku di seluruh dunia.
Kenyataan ditemukannya berbagai macam agama dalam masyarakat sejak dahulu hingga kini membuktikan bahwa hidup di bawah sistem keyakinan adalah tabiat yang merata pada manusia. Tabiat ini telah ada sejak manusia lahir sehingga tak ada pertentangan sedikit pun dari seseorang yang tumbuh dewasa dalam sebuah sistem kehidupan. Agama-agama yang berbeda-beda tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat tersebut.
Susunan jagat raya yang demikian mengagumkan telah menggiring manusia kepada keberadaan Sang Pencipta yang Maha Sempurna. Pendapat bahwa kemunculan alam ini sebagai sebuah proses kebetulan sangat tidak memuaskan hati manusia dari masa ke masa. Bahkan teori-teori tentang tentang peluang tidak dapat menjawab proses-proses penciptaan pada makhluk bersel satu sekalipun yang merupakan bagian yang amat kecil dalam penciptaan. Keberadaan Sang Pencipta lebih mendatangkan rasa tentram pada intelek manusia.
Watak-watak yang ada pada seluruh unsur alam ini baik yang mati maupun yang hidup lebih mengagumkan lagi. Proses terjadinya hujan, pergerakan planet-planet mengelilingi matahari, burung-burung yang mengudara dengan ringannya dan mengembara ke berbagai belahan dunia menempuh jarak puluhan ribu kilometer, keunikan lebah menata masyarakatnya dan lain-lainnya, seakan-akan mencerminkan sikap ketundukan kepada hukum universal yang diletakkan Sang Pencipta di alam raya ini. Oleh karena itu, penyembahan manusia kepada Pencipta adalah suatu bagian dari karekteristik penciptaan itu sendiri sebagaimana sebagaiman penciptaan satelit mengorbit pada planetnya. Allah SWT berfirman:
•
“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah kepada-Nyabertasbih apa yang ada di langit dan di bumi dan ( juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) shalatnya dan tasbihnya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S: An-Nuur, 24:41)
Keteraturan seluruh elemen alam ini membangkitkan kesadaran bahwa kehidupan manusia pun memerlukan keteraturan tersebut. Penerimaan manusia pada sebuah sistem aturan hidup terus berlangsung dari masa ke masa. Agama adalah suatu bentuk sistem tersebut yang kehadirannya berlangsung sejak lama di berbagai sudut bumi dengan bentuk yang berbeda-beda. Kekhasan watak manusia memunculkan dimensi yang berbeda-beda pada hukum-hukumnya. Penyimpangan atas hukum alam menyebabkan kehancuran fisik dan penyimpangan pada hukum manusia yang dapat menyebabkan kehancuran fisik dan juga sosial.
Dimensi pahala dan dosa serta hari pembalasan terdapat pada hampir semua agama yang ada di dunia. Dimensi ini secara luas diterima manusia bahkan dalam cara berpikir modern sekalipun. Paham materialisme yang menganggap materi sebagai hakikat yang abadi di alam ini justru tidak mendapat tempat di dunia moden. Bertrand Russel menyatakan bahwa Teori Relativitas telah menjebol pengertian tradisional mengenai substansi lebih dahsyat dari argumen filosofi mana pun. Materi bagi pengertian sehari-hari adalah sesuatu yang bertahan dalam waktu dan bergerak dalm ruang. Tetapi bagi ilmu alam, relativitas pandangan tersebut tak dapat lagi dibenarkan. Sebongkah materi tidak lagi merupakan sebuah benda yang tetap dengan keadaan yang bermacam-macam tetapi merupakan suatu sistem peristiwa, yang saling berhubungan. Yang semula dianggap sifat padat dari benda-benda sudah tidak ada lagi, dan juga sifat-sifat yang menyebabkan materi di mata seorang materialisme nampak lebih nyata daripada kilasan pikiran, juga tidak ada lagi. Alla SWT berfiman:
“Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Mereka tidak mempunyai Pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanya menduga-duga saja”. (Q.S: Al-Jaasiyah, 45:24)
2. Pencarian Manusia terhadap Agama
Akal yang sempurna akan senantiasa menuntut kepuasan berpikir. Oleh karena itu, pencarian manusia terhadap kebenaran agama tak pernah lepas dari muka bumi ini. Penyimpangan dari sebuah ajaran agama dalam sejarah kehidupan manusia dapat diketahui pada akhirnya oleh pemenuhan kepuasan berpikir manusia yang hidup kemudian. Nabi Ibrahim a.s. dikisahkan sangat tidak puas menyaksikan bagaimana manusia mempertuhankan benda-benda mati di alam ini seperti patung, matahari, bulan, dan bintang. Demikian pula Nabi Muhammad SAW, pada akhirnya memerlukan tahannus karena jiwanya tak dapat menerima aturan hidup yang dikembangkan masyarakat Quraisy di Mekkah yang mengaku masih menyembah Tuhan Ibrahim. Allah berfiman;
”Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberi petunjuk”. ( Q.S: Ad-Dhuhaa, 93:7)
Seiring dengan sifat-sifat mendasar pada diri manusia itu Alqur’an dalam sebagian besar ayat-ayatnya menantang kemampuan berpikir manusia untuk menemukan kebenaran yang sejati sebagaimana yang dibawa dalam ajaran islam. Keteraturan alam dan sejarah bangsa-bangsa masa lalu menjadi obyek yang dianjurkan untuk dipikirkan. Perbandingan ajaran antar berbagai agama pun diketengahkan Alqur’an dalam rangka mengokohkan pengambilan pendapat manusia.
Akibat adanya proses berpikir ini, baik itu merupakan sebuah kemajuan atau kemunduran, terjadilah perpindahan (transformasi) agama dalam kehidupan manusia. Tatkala seseorang merasa gelisah dengan jalan yang dilaluinya kemudian ia menemukan sebuah pencerahan, maka niscaya ia akan memasuki dunia yang lebih memuaskan akal dan jiwanya itu. Ketenangan adalah modal dasar dalam upaya mengarungi kehidupan pribadi. Padahal masyarakat itu adalah kumpulan pribadi-pribadi. Masyarakat yang tenang, bangsa yang cerah sesungguhnya lahir dari keputusan para anggotanya dalam memilih jalan kehidupan. Allah berfirman:
”Orang-orang kafir berkata: ”Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mukjizat) dari Tuhannya?” Katakanlah: Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertobat kepada-Nya. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. ( Q.S: Ar-Ra’d, 13:27-28)
3. Konsistensi Keagamaan
Manusia diciptakan dengan hati nurani yang sepenuhnya mampu mengatakan realitas secara benar dan apa adanya. Namun, manusia juga memiliki ketrampilan kejiwaan lain yang dapat menutupi apa-apa yang terlintas dalam hati nuraninya, yaitu sifat berpura-pura. Meskipun demikian seseorang berpura-pura hanya dalam situasi tertentu yang sifatnya temporal atau aksidental. Tiada keberpura-puraan yang permanen dan esensial. Sikap konsisten seseorang terhadap agamanya terletak pada pengakuan hati nuraninya terhadap agama yang dipeluknya. Konsistensi ini akan membekas pada seluruh aspek kehidupannya membentuk sebuah pandangan hidup. Namun membentuk sikap konsistensi, juga bukanlah persoalan yang mudah .
PEMBAHASAN
A. Definisi Agama dan Masyarakat
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut .
Sedangkan, istilah masyarakat berasal dari bahasa arab “Syaraka” yang berarti ikut serta, berpartisipasi atau “musyaraka” yang berarti saling bergaul. Di dalam bahasa inggris dipakai istilah society, yang sebelumnya berasa dari bahasa latin “socius” berarti kawan. Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Menurut Abdul Syani masyarakat berasal dari kata musyarak yang artinya bersama-sama kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi, selanjutnya mendapatkan kesepakatan menjadi masyarakat.
Pada hal demikian, golongan masyarakat dapat diartikan sebagai penggolongan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama atau sejenis. Ary H. Gunawan juga mengutip pendapat dari Patirim A. yang menyatakan bahwa penggolongan masyarakat menurut strata (kata jamak dari stratum) hierarkinya (tingkatannya) disebut stratifikasi sosial. Misalnya: petani, buruh, pegawai mahasiswa, guru, dosen, dan sebagainya. Brahma, ksatria, syudra, paria (dalam stratifikasi hindu).
Dalam kamus sosiologi dinyatakan sebagai kategori orang-orang tertentu, dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada cirri-ciri mental tertentu. Soerjono Soekanto , menyatakan pelapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Berdasarkan definisi di atas, penggolongan masyarakat dapat dibuat berdasarkan ciri yang sama. Misalnya :
1. penggolongan berdasarkan jenis kelamin adalah pria dan wanita;
2. penggolongan berdasarkan usia adalah tua dan muda;
3. penggolongan berdasarkan pendidikan adalah cendekia dan buta huruf;
4. penggolongan berdasarkan pekerjaan adalah petani, nelayan, golongan buruh, pengrajin, pegawai negeri, eksekutif, dan lain-lain. Menurut Hendropuspito, meskipun tidak dapat dibuat berdasarkan kedudukan social yang sama, seperti pada lapisan sosial, penggolongan ini pada dasarnya untuk kepentingan pengamat sosial alam penelitian-penelitian terhadap masyarakat .
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya .
Pemahaman sosiologi atas agama tidak ditimba dari segi “pewahyuan” yang datang dari “dunia lain, akan tetapi diangkat dari eksperiensi atau pengalaman konkret sekitar agama yang dikumpulkan dari sana-sini baik dari masa lampau (sejarah) maupun dari kejadian-kejadian sekarang. Dengan kata singkat, definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi yang evaluative (menilai). Sosiologi angkat tangan mengenai hakekat agama, baik atau buruknya agama atau agama-agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini sosiologi hanya sanggup memberikan definisi yang deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya .
Menurut aliran fungsionalis, mereka memandang agama itu sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup local, regional, maupun nasional. Maka dalam tinjauannya yang dipentingkan ialah daya guna dan pengaruh agama terhadap masyarakat .
Sejarah mengungkapkan bahwa manusia itu berusaha dan bergerak pada dua bidang kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan kebahagiaan sekarang, dan kebutuhan akan kebahagiaan nanti. Dua jenis kebutuhan yang mendasar ini dapat dikatakan dengan istilah yang lebih abstrak sebagai kesejahteraan dalam dunia empiris “nyata” dan dunia supra-empiris. Yang satu terletak disini dan kini, yang lain digambarkan sebagai diatas dunia ini, dunia transenden , yang tak terjangkau oleh pengalaman (empiri) manusia, karena ada di luar pengalaman manusia .
Jika seseorang mengikuti sejarah agama menurut teori evolusi dari situ orang akan diperkenalkan perkembangan bentuk-bentuk keagamaan dari bentuk yang masih sederhana hingga bentuk yang modern. Melalui urutan klasik muncullah pra-animisme yang meliputi magisme, fetisyisme, animisme, hingga kemudian muncul religi atau agama. Dalam pra-animisme manusia menggunakan kekuatan “gaib” (supra-empiris) yang dipercayai berada di dalam benda-benda tak bernyawa, seperti pada batu yang aneh, besi (keris), dsb. Dalam animisme manusia berhubungan dengan dengan makhluk yang bernyawa, khususnya makhluk halus atau roh-roh yang dipercayai memiliki kekuatan lebih tinggi daripada manusia secara kategorial. Misalnya para arwah nenek moyang, roh-roh yang dipercayai menguasai sumber mata air, sungai, lautan, gunung, dsb. Dalam religi, manusia mengadakan hubungan dengan (roh yang tertinggi) yang dipercayai memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang oleh agama-agama besar disebut TUHAN, yang menciptakan dan menguasai alam semesta .
Dengan uraian diatas, maka dapat didefinisikan bahwa agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya .
Dari uraian diatas, ada beberapa unsur-unsur yang dapat kita rangkum, yakni :
1. Agama disebut sebagai sejenis system social. Disini menjelaskan bahwa agama adalah suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu system dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan pada tujuan tertentu.
2. Agama berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris. Ungkapan ini menyatakan bahwa agama khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang dihuni oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh, dan roh tertinggi.
3. Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan diatas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud kepentingan (keselamatan) ialah keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan di “dunia lain” yang dimasuki manusia sesudah kematian .
B. Ruang Lingkup dan Unsur-unsur Agama
Secara garis besar ruang lingkup agama mencakup :
1. Hubungan manusia dengan tuhannya
Hubungan dengan tuhan disebut ibadah. Ibadah bertujuan untuk mendekatkan diri manusia kepada tuhannya.
2. Hubungan manusia dengan manusia
Agama memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan dan kemasyarakatan. Konsep dasar tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran agama mengenai hubungan manusia dengan manusia atau disebut pula sebagai ajaran kemasyarakatan.Sebagai contoh setiap ajaran agama mengajarkan tolong-menolong terhadap sesama manusia.
3. Hubungan manusia dengan makhluk lainnya atau lingkungannya.
Di setiap ajaran agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga keharmonisan antara makluk hidup dengan lingkungan sekitar supaya manusia dapat melanjutkan kehidupannya.
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok :
1. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi
2. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
3. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama
4. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
5. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama
C. Fungsi dan Peran Agama Dalam Masyarakat
Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahakan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :
1. Fungsi edukatif
Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.
2. Fungsi penyelamatan
Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa mereka temukan dalam agama. Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.
3. Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
a. Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat.
b. Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang dianggap baik )dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
4. Fungsi memupuk Persaudaraan
Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.
a. Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti liberalism, komunisme, dan sosialisme.
b. Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa bergabung dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN dll.
c. Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama
5. Fungsi transformatif
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat. Sedangkan menurut Thomas F. O’Dea menuliskan enam fungsi agama dan masyarakat yaitu:
a. Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.
b. Sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat.
c. Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.
d. Pengoreksi fungsi yang sudah ada.
e. Pemberi identitas diri.
f. Pendewasaan agama.
Sedangkan menurut Hendropuspito lebih ringkas lagi, akan tetapi intinya hampir sama. Menurutnya fungsi agama dan masyarakat itu adalah edukatif, penyelamat, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif. Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah sistem nilai yang memiliki derivasi pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya.Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme .
Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara. Yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agama dalam kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas, dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsur asing agama diwarnainya. Yang lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan, yang mempunyai seperangkat arti mencakup perilaku sebagai pegangan individu (way of life) dengan kepercayaan dan taat kepada agamanya .
Peran agama di dalam masyarakat sangat berpengaruh penting bagi kelangsungan hidup bermasyarakat. agama menjadi suatu tolak ukur bagi masyarakat untuk melakukan dan menilai suatu. di indonesia terdapat berbagai macam agama di dalam masyarakat, tapi setiap agama mempunyai suatu kedaulatan masing masing. dan semuanya telah di atur dalam undang-undang dan pancasila. agama didalam masyarakat adalah kumpulan norma-norma serta toleransi antar sesama manusia atau masyarakat.
D. Pelembagaan Agama
Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan. Dalam kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, hendaknya cara berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan besar, serta gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem dalam masyarakat .
Para sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling sedikit 4 kelompok lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan khusus), yakni :
1. Lembaga-lembaga politik yang ruang lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada penggunaan kekuasaan secara sah.
2. Lembaga-lembaga ekonomi yang mencakup produksi dan distribusi barang dan jasa.
3. Lembaga-lembaga integrative-ekspresif
4. Lembaga-lembaga kekerabatan mencakup kaedah-kaedah yang mengatur hubungan seksual serta pengarahan terhadap golongan muda. Walaupun tampaknya, suatu lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek kemasyarakatan tertentu, namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga tersebut saling berkaitan secara fungsional. Setiap lembaga berpartisipasi dan memberikan kontribusi dengan cara-cara tertentu pada kehidupan masyarakat setempat (“community”) .
E. Pengaruh Agama Terhadap Golongan Masyarakat
Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial dan kepribadian ketiga aspek itu merupakan fenomena social yang berhubungan dengan perilaku manusia. Berkaitan dengan hal ini, Nottingham menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan masyarakat yang menurutnya, terbagi tipe-tipe. Tampaknya pembagia ini mengikutui konsep August Comte tentang proses tahapan pwembentukan masyarakat. Adapun tipe-tipe yang di maksud Nottingham itu adalah sebagai berikut .
1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyatakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukan pengaruh yang sakral ke dalam sistem nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
2. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang sama, lingkungan yang sacral dan yang sekuler sedikit-banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan sosial masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat-istiadat saja. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya, anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah- masalah kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.
Memiliki karakter-karakter yang dikemukakan Notting ham tersebut, tampaknya pengaruh agama terhadap kehidupan masyarakat, jika dilihat dari karakter masing-masing golongan pekerjaan, tidak akan berbeda jauh dengan pengaruh agama terhadap masyarakat yang digambarkan Notting ham secara umum, karena sistem masyarakat akan mencerminkan budaya masyarakatnya.
a. Golongan petani. Pada umumnya, golongn petani termasuk masyarakat yang terbelakang. Lokasinya berada didaerah terisolasi sistem masyarakatnya masih sederhana,lembaga-lembaga sosialnyapun belum banyak berkembang. Mata pencaharian utamanya bergantung pada alam yang tidak bisa dipercepat, diperlambt atau dperhitungkan secara cermat sesuai dengan keinginan petani. Faktor subur tidaknya tanah, dan sebagainya merupakan faktor-faktor yang berada di luar jangkauan petani oleh sebab itu, mereka mencari kekuatan dan kemampuan di luar dirinya yang dipandang mampu dandapat mengatasi semua persoalan yang telah atau akan menimpa dirinya. Maka, diadakanlah upacara-upacara atau ritus-ritus yang dianggap sebagai tolak bala atau menghormati dewa. Menyediakan sesajen bagi Dewi Sri, yang dipercayai sebagai pelindung sawah dan ladang. Dengan pengamatan selintas pengaruh agama tehadap golongan petani cukup besar. Jiwa keagamaan mereka relaitf lebih besar karena kedekatannya dengan alam.
b. Golongan nelayan. Karakter pekerja golongan nelayan hampir sama dengan karakter golongan petani. Mata pencahariannya bergantung pada keramahan alam. Jika musimnya sedang bagus,tidak ada badai, boleh jadi tangkapan ikannya melimpah. Biasanya pada waktu-waktu tertentu ada semacam upacara untuk menghormati penguasa laut,yang pada masyarakat Indonesia dikenal sebagai Nyi Roro Kidul.Berdasarkan fakta tersebut, pengaruh agama pada kehidupan nelayan dapat dikatakan signifikan.
c. Golongan pengrajin dan pedagang kecil. Golongan pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam situasi yang berbeda dengan golongan petani. Kehidupan golongan ini tidak terlalu berkutat dengan situasi alam dan tidak terlalu bergantung pada alam. Hidup mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan rasional. Mereka tidak menyadarkan diri pada keramahan alam yang tidak bisa dipastikan,tetapi lebih mempercayai perencanaan yang teliti danpengarahan yang pasti. Menurut Weber yang mempelajari sejarah agama-agama dengan cara yang berlaku pada zamannya,yaitu agama Kristen, Yahudi, Islam, Hindu, Budha, dan konfusianisme, Taoisme golongan pengrajin dan pedagang kecil suka menerima pandangan hidup yang mencakup etika pembalasan. Mereka menaati kaidah moral dan pola sopan santun dan percaya bahwa pekerjaan yang baik dilakukan dengan tekun dan teliti akan membawa balas jasa yang setimpal.
d. Golongan pedagang besar.Kategori yang paling menonjol dari golongan pedagang besar adalah memiliki sikapnya yang lain terhadap agama.Pada umumnya kelompok ini mempunyai jiwa yang jauh dari gagasan tentang imbalan jasa (compaintion) moral,seperti yang dimiliki golongan tingkat menengah bawah.mereka lebih berorientasi pada kehidupan nyata (mundane) dan cenderung menutup agama profetis dan etis. Perasaan keagamaannya lebih bersifat fungsional, kemampuan yang mereka miliki terletk pada kekuatan ekonominya.
e. Golongan karyawan.Weber menyebut golongan karyawan sebagai kaum birokrat. Hal ini dilihat dari pembagian fungsi-fungsi kerja yang ada sudah jelas dan adanya penyelesaian suatu masalah kemanusiaan berdasarkan penalaran dan efisiensi.
f. Golongan buruh. Yang dimaksud dengan golongan buruh adalah mereka yang bekerja dalam industri-industri atau perusahan-perusahaan modern. Golongan buruh termasuk kelas proletar yang tidak diikutsertakan dalam kehidupan masyarakat,disingkirkan dari system social yang berlaju.Kelas ini merupakan golongan yang dijadikan sapi perahan untuk meraup keuntungan yang sangat besar oleh kaum borjuis.Agama yang dibutuhkan oleh golongan buruh tampaknya agama yang bisa membebaskan dirinya dari penghisapan tenega kerja segara berlebihan.
g. Golongan tua-muda. Meskipun secara social penggolongan tua muda ini ada, tetapi susah ditentukan batasannya secara praktis. Berdasarkan pengamatan sepintas tersebut, dapat dikatakan bahwa agama pada golongan tua lebih kental dibandingkan dengan golongan muda. Nanun, bila asumsi ini diterapkan pada zaman sekarang, ternyata mengalami kesulitan juga, karena tidak jarang banyak orang yang berumur 40 ke atas berlaku seperti anak muda.
h. Golongan pria-wanita. Secara psikologis, watak umum pria dan wanita berbeda. Dalam menghadapi suatu keadaan, watak pria lebih dominan menggunakan pertimbangan rasional, sedangkan wanita lebih rasa / emosinya .
Jika dlihat secara keseluruhan, tujuan beragama seseorang itu rata-rata untuk mencari ketenangan bathin. Dalam masalah penghayatan keagamaan, tampaknya golongan wanita lebih dominan, karena faktor pembawaan mereka umumnya cenderung emosional.
F. Interelasi (Hubungan Timbal-balik) antara Agama dengan Masyarakat
Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga, setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. Karena itu, Wach lebih jauh beranggapan bahwa keagamaan yang bersifat subyektif, dapat diobjektifkan dalam pelbagai macam ungkapan, dan ungkapan-ungkapan tersebut mempunyai struktur tertentu yang dapat dipahami .
Dalam bukunya, American Piety: The Nature of Religious Commitment, C.Y. Glock dan R. Stark (1968: 11-19) menyebutkan lima dimensi agama. Pertama, dimensi keyakinan yang berisikan pengharapan sambil berpegang teguh pada teologis tertentu. Kedua, dimensi praktik agama yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna keagamaan yang terkandung di dalamnya. Ketiga, dimensi pengalaman keagamaan yang merujuk pada seluruh ketrlibatan subjektif dan individual dengan hal-hal yang suci dari suatu agama. Keempat, dimensi pengetahuan agama , artinya orang beragama memiliki pengetahuan tentang keyakinan , ritus, kitab suci, dan tradisi. Kelima, dimensi konsekuensi yang mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari .
Ketika mengungkap hubungan interdipendensi antara agama dan masyarakat, Wach menunjukkan adanya pengaruh timbal-balik antara kedua faktor tersebut. Pertama, pengaruh agama terhadap masyarakat, seperti yang terlihat dalam pembentukan, pengembangan, dan penentuan kelompok keagamaan spsesifik yang baru. Kedua, pengaruh masyarakat terhadap agama. Dalam hal ini, Wach memusatkan perhatiannya pada faktor-faktor sosial yang memberikan nuansa dan keragaman perasaaan serta sikap keagamaan yang terdapat dalam suatu lingkungan atau kelompok sosial tertentu .
Pada dasarnya dimensi esoterik dari suatu agama atau kepercayaan itu tidak bisa berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dimensi lain di luar dirinya. Selain dibentuk oleh substansi ajarannya, dimensi ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial dimana suatu keyakinan itu dimanivestasikan oleh para pemeluknya. Sehingga dalam konteks tertentu, di satu sisi, agama juga dapat beradaptasi, dan pada sisi yang berbeda dapat berfungsi sebagai alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan para pemeluknya .
Sejalan dengan pemikiran di atas, Peter L. Berger (1991) melihat relasi manusia dan masyarakat secara dialektis. Berger memberikan alternatif terhadap determinisme yang menganggap individu semata-mata dibentuk oleh struktur sosial dan tidak mempunyai peran dalam pembentukan struktur sosial. Ia menolak kausalitas sepihak. Dengan pandangan ini, Berger ingin memperlihatkan bahwa manusia dapat mengubah struktur sosial, dan manusia pun akan selalu dipengaruhi bahkan dibentuk oleh institusi sosialnya .
Selanjutnya, Berger mengatakan bahwa hubungan manusia dengan masyarakat merupakan suatu proses dialektis yang terdiri atas tiga momen: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Melalui eksternalisasi ini, masyarakat menjadi kenyataan buatan manusia. Kenyataan menjadi realitas objektif, kenyataan yang berpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Proses ini disebut objektivasi. Masyarakat, dengan segala pranata sosialnya, akan mempengaruhi bahkan membentuk prilaku manusia. Dari sudut ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat diserap kembali oleh manusia melalui proses internalisasi .
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para tasauf. Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis .
Agama sebagai suatu sistem mencakup individu dan masyarakat, seperti adanya emosi keagamaan, keyakinan terhadap sifat faham, ritus, dan upacara, serta umat atau kesatuan sosial yang terikat terhadap agamanya. Agama dan masyarakat dapat pula diwujudkan dalam sistem simbol yang memantapkan peranan dan motivasi manusianya, kemudian terstrukturnya mengenai hukum dan ketentuan yang berlaku umum, seperti banyaknya pendapat agama tentang kehidupan dunia seperti masalah keluarga, bernegara, konsumsi, produksi, hari libur, prinsip waris, dan sebagainya .
Dalam hal ini, hubungan antara manusia dengan agama dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Fitrah terhadap Agama
Dalam masyarakat sederhana banyak peristiwa yang terjadi dan berlangsung di sekitar manusia dan di dalam diri manusia, tetapi tidak dapat dipahami oleh mereka. Yang tidak dipahami itu dimasukkan ke dalam kategori gaib. Karena banyak hal atau peristiwa gaib ini menurut pendapat mereka, mereka merasakan hidup dan kehidupan penuh kegaiban. Menghadapi peristiwa gaib ini mereka merasa lemah tidak berdaya. Untuk menguatkan diri, mereka mencari perlindungan pada kekuatan yang menurut anggapan mereka menguasai alam gaib yaitu Dewa atau Tuhan. Karena itu hubungan mereka dengan para Dewa atau Tuhan menjadi akrab. Keakraban hubungan dengan Dewa-Dewa atau Tuhan itu terjalin dalam berbagai segi kehidupan: sosial, ekonomi, kesenian dan sebagainya. Kepercayaan dan sistem hubungan manusia dengan para Dewa atau Tuhan ini membentuk sistem agama. Karena itu, dalam masyarakat sederhana mempunyai hubungan erat dalam agama. Gmbaran ini berlaku di seluruh dunia.
Kenyataan ditemukannya berbagai macam agama dalam masyarakat sejak dahulu hingga kini membuktikan bahwa hidup di bawah sistem keyakinan adalah tabiat yang merata pada manusia. Tabiat ini telah ada sejak manusia lahir sehingga tak ada pertentangan sedikit pun dari seseorang yang tumbuh dewasa dalam sebuah sistem kehidupan. Agama-agama yang berbeda-beda tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat tersebut.
Susunan jagat raya yang demikian mengagumkan telah menggiring manusia kepada keberadaan Sang Pencipta yang Maha Sempurna. Pendapat bahwa kemunculan alam ini sebagai sebuah proses kebetulan sangat tidak memuaskan hati manusia dari masa ke masa. Bahkan teori-teori tentang tentang peluang tidak dapat menjawab proses-proses penciptaan pada makhluk bersel satu sekalipun yang merupakan bagian yang amat kecil dalam penciptaan. Keberadaan Sang Pencipta lebih mendatangkan rasa tentram pada intelek manusia.
Watak-watak yang ada pada seluruh unsur alam ini baik yang mati maupun yang hidup lebih mengagumkan lagi. Proses terjadinya hujan, pergerakan planet-planet mengelilingi matahari, burung-burung yang mengudara dengan ringannya dan mengembara ke berbagai belahan dunia menempuh jarak puluhan ribu kilometer, keunikan lebah menata masyarakatnya dan lain-lainnya, seakan-akan mencerminkan sikap ketundukan kepada hukum universal yang diletakkan Sang Pencipta di alam raya ini. Oleh karena itu, penyembahan manusia kepada Pencipta adalah suatu bagian dari karekteristik penciptaan itu sendiri sebagaimana sebagaiman penciptaan satelit mengorbit pada planetnya. Allah SWT berfirman:
•
“Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah kepada-Nyabertasbih apa yang ada di langit dan di bumi dan ( juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) shalatnya dan tasbihnya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S: An-Nuur, 24:41)
Keteraturan seluruh elemen alam ini membangkitkan kesadaran bahwa kehidupan manusia pun memerlukan keteraturan tersebut. Penerimaan manusia pada sebuah sistem aturan hidup terus berlangsung dari masa ke masa. Agama adalah suatu bentuk sistem tersebut yang kehadirannya berlangsung sejak lama di berbagai sudut bumi dengan bentuk yang berbeda-beda. Kekhasan watak manusia memunculkan dimensi yang berbeda-beda pada hukum-hukumnya. Penyimpangan atas hukum alam menyebabkan kehancuran fisik dan penyimpangan pada hukum manusia yang dapat menyebabkan kehancuran fisik dan juga sosial.
Dimensi pahala dan dosa serta hari pembalasan terdapat pada hampir semua agama yang ada di dunia. Dimensi ini secara luas diterima manusia bahkan dalam cara berpikir modern sekalipun. Paham materialisme yang menganggap materi sebagai hakikat yang abadi di alam ini justru tidak mendapat tempat di dunia moden. Bertrand Russel menyatakan bahwa Teori Relativitas telah menjebol pengertian tradisional mengenai substansi lebih dahsyat dari argumen filosofi mana pun. Materi bagi pengertian sehari-hari adalah sesuatu yang bertahan dalam waktu dan bergerak dalm ruang. Tetapi bagi ilmu alam, relativitas pandangan tersebut tak dapat lagi dibenarkan. Sebongkah materi tidak lagi merupakan sebuah benda yang tetap dengan keadaan yang bermacam-macam tetapi merupakan suatu sistem peristiwa, yang saling berhubungan. Yang semula dianggap sifat padat dari benda-benda sudah tidak ada lagi, dan juga sifat-sifat yang menyebabkan materi di mata seorang materialisme nampak lebih nyata daripada kilasan pikiran, juga tidak ada lagi. Alla SWT berfiman:
“Dan mereka berkata: Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Mereka tidak mempunyai Pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanya menduga-duga saja”. (Q.S: Al-Jaasiyah, 45:24)
2. Pencarian Manusia terhadap Agama
Akal yang sempurna akan senantiasa menuntut kepuasan berpikir. Oleh karena itu, pencarian manusia terhadap kebenaran agama tak pernah lepas dari muka bumi ini. Penyimpangan dari sebuah ajaran agama dalam sejarah kehidupan manusia dapat diketahui pada akhirnya oleh pemenuhan kepuasan berpikir manusia yang hidup kemudian. Nabi Ibrahim a.s. dikisahkan sangat tidak puas menyaksikan bagaimana manusia mempertuhankan benda-benda mati di alam ini seperti patung, matahari, bulan, dan bintang. Demikian pula Nabi Muhammad SAW, pada akhirnya memerlukan tahannus karena jiwanya tak dapat menerima aturan hidup yang dikembangkan masyarakat Quraisy di Mekkah yang mengaku masih menyembah Tuhan Ibrahim. Allah berfiman;
”Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberi petunjuk”. ( Q.S: Ad-Dhuhaa, 93:7)
Seiring dengan sifat-sifat mendasar pada diri manusia itu Alqur’an dalam sebagian besar ayat-ayatnya menantang kemampuan berpikir manusia untuk menemukan kebenaran yang sejati sebagaimana yang dibawa dalam ajaran islam. Keteraturan alam dan sejarah bangsa-bangsa masa lalu menjadi obyek yang dianjurkan untuk dipikirkan. Perbandingan ajaran antar berbagai agama pun diketengahkan Alqur’an dalam rangka mengokohkan pengambilan pendapat manusia.
Akibat adanya proses berpikir ini, baik itu merupakan sebuah kemajuan atau kemunduran, terjadilah perpindahan (transformasi) agama dalam kehidupan manusia. Tatkala seseorang merasa gelisah dengan jalan yang dilaluinya kemudian ia menemukan sebuah pencerahan, maka niscaya ia akan memasuki dunia yang lebih memuaskan akal dan jiwanya itu. Ketenangan adalah modal dasar dalam upaya mengarungi kehidupan pribadi. Padahal masyarakat itu adalah kumpulan pribadi-pribadi. Masyarakat yang tenang, bangsa yang cerah sesungguhnya lahir dari keputusan para anggotanya dalam memilih jalan kehidupan. Allah berfirman:
”Orang-orang kafir berkata: ”Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mukjizat) dari Tuhannya?” Katakanlah: Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertobat kepada-Nya. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. ( Q.S: Ar-Ra’d, 13:27-28)
3. Konsistensi Keagamaan
Manusia diciptakan dengan hati nurani yang sepenuhnya mampu mengatakan realitas secara benar dan apa adanya. Namun, manusia juga memiliki ketrampilan kejiwaan lain yang dapat menutupi apa-apa yang terlintas dalam hati nuraninya, yaitu sifat berpura-pura. Meskipun demikian seseorang berpura-pura hanya dalam situasi tertentu yang sifatnya temporal atau aksidental. Tiada keberpura-puraan yang permanen dan esensial. Sikap konsisten seseorang terhadap agamanya terletak pada pengakuan hati nuraninya terhadap agama yang dipeluknya. Konsistensi ini akan membekas pada seluruh aspek kehidupannya membentuk sebuah pandangan hidup. Namun membentuk sikap konsistensi, juga bukanlah persoalan yang mudah .
No comments:
Post a Comment