Thursday, June 30, 2011
Tuesday, June 28, 2011
*Kumpulan Catatan Kecil Seorang Istri Mujahid*
Mujahid itu.. Rasulullah SAW bersabda "Seorang mujahid itu adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah."
Mujahid itu…Dia lah pemegang panji Tuhan…Dialah penyebar sinar suci..Dialah di hatinya mencintai Al-Qur’an, di tangannya kekuatan, di wajahnya keberanian..Dialah yang merintih dan lebur di tikar sejadah di malam hari..Dan dialah pejuang sejati segagah singa rimba di siang hari…Hatinya cuma ada Tuhan nya..Hatinya cuma rindu Tuhan nya..Alloh SWT. Setiap langkah yang ditapak..Setiap nafas yang dihembus..Setiap detik yang dijejak..Hatinya cuma satu…Mengharap bertemu kekasihnya dalam pertemuan teragung dalam perpisahan teragung jasad dan tubuh.
Seorang pejuang atau mujahid selalu memiliki resiko baik keterbatasan waktu yang dimiliki bersama keluarganya, keselamatan hidup terhadap diri maupun keluarganya dan hal lainnya. Tidak hanya seorang mujahid pun. Setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini pasti memiliki resiko terhadap jalan yang ditempuh maupun dipilihnya dalam mengarungi hidup ini... Dakwah yang ditempuh seorang mujahid merupakan sebuah jalan pilihan yang diambil oleh orang-orang beriman dan bertaqwa yang menyadari akan kondisi di sekelilingnya yang jauh dari nilai-nilai kebenaran dan Islam. Jalan dakwah yang menjadi pilihan hidup bagi siapa pun (muslim/ah) yang mau melewatinya dengan segala konsekuensi yang ada.
Dibalik keberanian dan kegigihan perjuangan seorang mujahid, maka tersimpan pula peran seseorang wanita di belakangnya. Oleh karena itu, biasa kita bercermin dan melihat siapa ibunya atau pula melihat siapa istrinya.
Seorang ulama besar Imam Syafi’i ketika dilahirkan dalam keadaan yatim. Kala diasuh dan dibesarkan oleh seorang ibu yang tangguh secara mental dan spiritual sehingga sebelum usia baligh beliau telah hafal Al-Qur’an. Imam Bukhari ketika dilahirkan mengalami buta. Namun, karena doa ikhlas yang kerap dipanjatkan oleh seorang ibu yang melahirkannya sehingga Allah SWT mengabulkan doanya, Imam Bukhari dapat melihat kembali dan dunia telah mengakui kejeniusan dan kecemerlangan otaknya. Di dalam salah satu tulisan Sayyid Quthb (ulama besar Mesir) menulis, “Dimana saja saya bermain, terdengar ibuku sedang membaca Al-Qur’an.” Hal ini pulalah yang menjadikan saudara-saudara kandung Sayyid Quthb merupakan para penghapal Al-Qur’an. Muhammad Quthb, Aminah Quthb dan Hamidah Quthb, semuanya merupakan hafidz Al-Qur’an (hapal Al-Qur’an)
Betapa banyak kita mendengar serta menemui muslimah-muslimah yang tangguh di dalamnya. Muslimah ini mampu memberi motivasi pada ayah, suami, saudara laki-laki dan anak-anak laki-lakinya agar pergi berjihad, menunjukkan pembelaan kepada dienullah dan pengorbanan diri untuk Alloh dan agama Islam. Ia memotivasi dengan memberikan semangat untuk mereka, memotivasi dengan menyumbangkan harta untuk mereka dalam rangka jihad fi sabilillah, memotivasi dengan tidak mengeluh kala ditinggalkan, memotivasi dengan tetap sabar atas kepergian mereka dan ujian yang menimpa mereka. Sungguh, inilah tugas muslimah dalam kancah jihad baik dari dahulu hingga saat ini. Seorang muslimah yang terbina akan memahami pula posisi dirinya sebagai mitra suami dalam menjalankan tugas dakwah. Maka ia akan berusaha bahu membahu dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakatnya. Ia akan memahami betul bagaimana menjadi seorang istri yang shalihah, yang senantiasa taat kepada suami dalam kebaikan, menjaga kehormatan dan harta suami, serta menyenangkan bila dipandang. Muslimah yang terbina juga akan senantiasa mendukung dan memotivasi suami untuk selalu istiqamah di jalan dakwah, dan tidak akan menghalang-halangi suami dalam amal kebaikan.
Konsekuensi status sebagai seorang istri mujahid kerap dirasakan terhadap rasa rindu pada suami tercintanya kala ditinggalkan demi jihad dan dakwah karena mengharap ridho Alloh SWT semata.Walau kerapkali ditinggalkan dalam kesendirian serta pula mengemban amanah berupa taat, tunduk terhadap suami dan mengajarkan nilai-nilai kebaikan terhadap sang anak, tidaklah menjadikan seorang istri mujahid untuk duduk termenung, terdiam maupun berpangku tangan akan diri dan tanggungjawab tersebut. Melainkan menjalani tiap episode kehidupan dunia ini dengan selalu bersungguh-sungguh, tabah serta bekerja keras demi mewujudkan kehidupan yang Islami dalam rumah tangganya, di bawah perlindungan sang mujahid yang menjadi suaminya.
Pernahkah kita melihat, bercermin serta mengambil ibroh terhadap perjuangan seorang Siti Hajar yang dikisahkan sebagai seorang perempuan pejuang penegakan hak hidup manusia. Seorang sosok perempuan yang dengan ikhlas menerima keputusan Tuhan dan menghadapi cobaan hidup dengan keteguhan hati luar biasa. Siti Hajar telah memanifestasikan semangat perjuangan, ketegaran, dan keteguhan hati perempuan dalam menghadapi cobaan Tuhan. Ia beribadah dalam sukacita, dalam suasana hati yang senang. Ia tidak pernah putus asa untuk terus berharap akan datangnya pertolongan Allah. Upaya tak kenal lelah inilah yang akhirnya mengundang barakah Allah. Sebuah perpaduan antara iman, ilmu dan amal yang terpatri kuat mengantarkannya Siti Hajar sebagai seorang wanita bermanajerial tinggi dalam menghadapi problem kehidupan.
Di lain era zaman, dikisahkan pula bagaimana para istri sahabat Rasulullah SAW yang selalu bersemangat mempertanyakan bagian apa yang bisa mereka lakukan demi membantu perjuangan di medan perang. Mereka tidak mempertanyakan apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin keselamatan suami-suami mereka. Namun, sebaliknya Istri-istri para sahabat kerap mempertanyakan, hal apa yang bernilai sama dengan para suami yang pergi ke medan perang yang bisa mereka lakukan.
Begitu pun dengan kisah seorang istri rasulullah Muhammad SAW Khadijah radhiyallahu ‘anha yang senantiasa memotivasi rasul untuk senantiasa berdakwah dan menyebarkan ajaran agama Islam. Ketabahan beliau selama mendampingi rasul Muhammad SAW di jalan tauhid dan jihad, baik dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan sempit maupun lapang, adalah sebuah teladan yang sangat mengagumkan. Beliau dengan tenang menghibur Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan yang akan terus dikenang sejarah, “Demi Alloh, Alloh tidak akan menghinakan anda selamanya. Sesungguhnya anda menyambung hubungan kerabat, jujur dalam berbicara, menanggung letih dan menolong yang tertimpa musibah”. Beliau pula secara total menyerahkan apa saja yang dimilikinya untuk kepentingan dakwah Islam, baik harta, waktu, serta jiwanya.
“Rasulullah SAW bersabda, aku dikaruniahi oleh Allah rasa cinta yang mendalam kepada Khadijah. Demi Allah, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia yang beriman kepadaku ketika semua orang ingkar. Ia yang mempercayaiku ketika semua orang mendustakanku. Ia yang memberiku harta pada saat semua orang enggan memberi. Dan darinyalah aku memperoleh keturunan, sesuatu yang tidak pernah kuperoleh dari istri-istriku yang lain” (HR. Ahmad).
Sosok Khadijah lahir dari proses pembinaan yang intensif. Berbahagialah seorang suami yang memiliki pendamping yang setia dan penuh pengorbanan seperti pengorbanan siti hajar, para istri sahabat rasul dan Khadijah RA serta contoh teladan lainnya.
Agar muslimah dapat mendukung dakwah suami secara optimal, maka dirinya dituntut untuk mampu mengelola/mengatur semua sumber daya yang ada dengan baik, baik sumber daya yang berupa harta, tenaga, ataupun waktu. Di sinilah pentingnya seorang muslimah memiliki keterampilan-keterampilan rumah tangga ataupun keterampilan tambahan yang akan mendukung tugas-tugasnya.
Muslimah membutuhkan banyak keterampilan dalam menjalankan seluruh aktivitas kehidupannya, baik dalam lingkungan rumah tangga, maupun dalam lingkungan kehidupan sosial masyarakat. Mulai dari keterampilan mengurus diri dengan manajemen waktu, keterampilan dalam kehidupan rumah tangga dengan tugas-tugas merawat dan mendidik anak, menjaga kerapian dan keindahan rumah dll. Juga keterampilan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Keterampilan-keterampilan tersebut mungkin nampaknya sepele, tetapi jika tidak disiasati dengan baik, akan berakibat pada kualitas hidup yang tidak baik, karena terjadi pemborosan sumber daya. Seorang muslimah di tuntut untuk dapat bekerja dengan cerdas, ikhlas dan tuntas, dan bukan sekadar bekerja keras, sehingga ia dapat mendukung tugas dakwah suami, dan melaksanakan tugas dakwah bagi dirinya.
Dikisahkan dalam sejarah kala seorang muslimah al Khansa, berhasil menanamkan jiwa syuhada kepada kelima anaknya, sehingga semuanya mendapatkan anugerah syahid. Dikisahkan pula tatkala anak dari sosok pejuang Cut Nyak Dhien, Cut Gambang, menangis menerima kabar kematian ayahnya, Teuku Umar. Cut Nyak Dhien segera memegang pipi anak perempuannya tersebut lalu memeluknya sambil berkata, “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.”
“Betapa banyak wanita-wanita desa yang tidak mampu membaca dan menulis, mampu melahirkan mujahid-mujahid agung yang mengukir sejarah di pentas dunia.”
Cermin sikap terbaik ini pulalah yang senantiasa sewajarnya dimiliki seorang wanita muslimah dalam membina rumah tangganya dalam situasi, kondisi, konsekuensi seorang suami yang dihadapkan berjuang di jalan jihad dan dakwah agama Islam.
Walau diakui tidaklah mudah menjadi seorang akhwat yang menyandang status sebagai seorang istri mujahid, namun sudah menjadi konsekuensi bahwa setiap muslimah harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi terburuk. Tujuan yang hendak diraih pun bukan hanya kebahagiaan diri sendiri dan keluarga semata. Namun, saat memasuki gerbang pernikahan, setiap wanita muslimah harus menyadari bahwa keluarga merupakan pijakan untuk mewujudkan cita-cita yang lebih besar, yaitu mewujudkan sebuah tatanan dunia yang tunduk patuh pada perintah Allah SWT semata.
Wanita muslimah adalah cahaya. Sejatinya, ia bisa menjadi penunjuk jalan untuk membedakan mana jalan yang benar dan yang salah pada suami. Cahaya juga yang akan menerangi ketika setiap persiapan perjuangan dimulai dan menjadi bara semangat saat peperangan maupun perjuangan berlangsung.
Sebuah kerukunan dalam suatu rumah tangga tidak akan tercipta bila sang istri bercita-cita dan mengangankan kehidupan normal seperti layaknya orang biasa pada umumnya. Seorang istri yang taat, baik, serta patuh di dalam balutan kehidupan rumah tangga, sudah selayaknya memaklumi dan menyadari bahwa suaminya atau anaknya, atau ayahnya bukan lagi atau bukanlah seseorang yang biasa, melainkan ia merupakan sosok seseorang yang luar biasa. Oleh karena itu, mental dan pola berpikir sang istri dan anak anak sudah sewajarnya pula dididik untuk siap menjadi seseorang yang luar biasa menurut pola garis perjuangan Islam dan sesuai tuntunan sunnah rasul. Tarbiyah adalah jalan bagi seorang muslimah untuk dapat memahami, termotivasi dan membekali diri agar dapat melaksanakan tugas-tugas dan fungsinya sebagai seorang istri dalam membantu tugas suami dengan baik.
Dengan tarbiyah, muslimah akan dapat sukses mendidik anak. Pemahaman akan nilai strategis seorang anak sebagai investasi pahala yang tak pernah putus bagi orang tuanya, akan memotivasi para muslimah untuk senantiasa memperhatikan dan bersemangat dalam mendidik anak-anaknya menjadi generasi rabbani, saleh dan muslih. Pemahaman dan kesadaran demikian akan muslimah dapatkan dalam proses tarbiyah. Berawal dari pemahaman dan kesadaran inilah seorang muslimah akan berjuang sungguh-sungguh dalam mendidik anak-anaknya. Adapun posisi seorang ayah dalam keluarga lebih banyak berperan pada hal-hal yang bersifat strategis dalam pendidikan anak, sedangkan manajemennya lebih banyak berada di tangan seorang ibu. Oleh karena itu, seorang muslimah dituntut untuk memiliki dan memahami banyak ilmu, keterampilan, dan hal-hal lain terkait dengan pendidikan anak, sehingga anak-anaknya akan menjadi sukses dunia akhirat.
“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.”” (QS. At Taubah: 105)
"Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridloan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya" (Qs al-Baqarah [2] : 207)
Katakanlah "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalan-Nya,"maka tunggulah sampai Allah Mendatangkan keputusan-Nya."Dan Allah tidak Memberi Petunjuk kepada orang-orang fasik.(Qs At-Taubah [9] : 24)
“Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat, sampai Allah sebagai satu-satunya sembahan tidak ada kesyirikan baginya dan dijadikan rizki dibawah bayangan tombakku, dan dijadikan hina dan rendah bagi siapa saja yang menyelisihi urusanku. Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia menjadi bagian kaum itu”.(HR.ahmad dan ibnu umar).
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung pada niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya” (HR Bukhari Muslim)
*************
Tidaklah mudah mempunyai seorang suami pengemban dakwah. Hampir tiap hari ditinggal pergi. Keyakinannya terhadap janji Allah sungguhlah membuat saya iri. Meski belum lama masuk Islam, tapi semangatnya memperjuangkan syariat-Nya mampu mengalahkan kebanyakan orang yang sudah mengenal Islam lebih lama. Subhanallah. Mudah-mudahan tetap istiqamah dan selalu ikhlas. Ummi dan Alila selalu berdoa untuk Abi. (Iin, Istri Felix Siauw)
“Kapan pun saya diminta mendampingi Kak Arifin, pasti saya ikut”
“Sejak kecil saya sudah memiliki keinginan untuk menjadi istri ustad, karena saya memang dibesarkan dalam keluarga ulama. Karena itulah, saya memilih jadi ibu rumah tangga (Wahyuniwati Al-Wali, Istri Ust.Arifin Ilham)
"Aku mendampingi suami ceramah di mushalla dan masjid. Terkadang aku harus syuting dakwah di JakTV," Sumber: Kapanlagi.com, 20 September 1997
"Sebagai seorang istri, saya harus mendampingi suami kemanapun pergi. Sumber: Kapanlagi.com, 20 juni 2006 (Che Che Kirani, Istri Ust. Aa’ Hadi)
Teknik komunikasi memegang peranan utama dalam mendidik anak. Yaitu menggunakan teknik komunikasi ideologis. ”Jadi kalau mereka nggak sholat, ya saya bilang ’Kamu tahu, kalau nggak sholat tempatnya dimana? Dan itu bukan Mama yang bilang, lho, ya. Itu ada di Al Quran.
Di kala saat buah hati tercinta tengah marah-marah. ”Saya akan bilang ’Sayang, Mama sebenernya nggak papa, lho, kalau kamu ngomong nada tinggi sama Mama. Mama ridho aja, karena Mama sayang sama kamu. Tapi Penciptamu yang nggak bolehin.
”Kami ingin menekankan bahwa kami bukanlah orangtua yang gila hormat. Jadi saat kami ada salah, kami juga langsung minta maaf. Alhamdulillah, begitu pula sebaliknya.”
”Kalau kita ingin anak kita saleh, kita harus saleh duluan (Astri Ivo)
Pagi sampai malam saya yang banyak bareng dengan anak-anak, tapi ustad tetap komunikasi lewat telepon,” “Kalau tidak ada jadwal (ceramah), ustad lebih banyak ke anak-anak (Pipik, Istri Uje)
#####
Laki-laki di masa dewasanya tergantung bagaimana ibunya membesarkannya di masa kanak-kanak. [Qasim Ameen]
Untuk mengetahui seekor gajah, lihat saja ekornya, untuk menilai seorang gadis, perhatikan ibunya. [Pepatah Sudan]
Kita menjadi apa yang kita lakukan. Maka lakukanlah sesuatu yang penting. (Mario Teguh)
Dia yang tidak memimpikan yang besar akan sulit untuk merasa berhak untuk mencapai yang besar. (Mario Teguh)
Anda bisa mencapai lebih dengan cara menjadi lebih. (Mario Teguh)
Menguatkan kaum laki-laki tanpa wanitanya akan memunculkan ketidak stabilan. Keduanya harus sama-sama dikuatkan (Aa’Gym)
Wanita yang cerdas adalah yang mampu menempatkan diri dengan baik sebagai anak, istri, dan ibu serta mampu membaca potensi kebaikan dimanapun dia berada (Aa’Gym)
"Siapapun yang merindukan sukses, maka harus bertanya pada dirinya seberapa jauh dan sungguh-sungguh untuk berjuang, karena tiada kesuksesan tanpa perjuangan."(Aa Gym)
"Ketika rumah tangga dihiasi dengan kebaikan dan tujuannya untuk mencari kebaikan maka itulah yang dinamakan surga rumah tangga sebelum surga yang sebenarnya (Aa’ Hadi)
Ciri kehidupan itu minimal yaitu yang berpengetahuan, yang punya kepekaan, yang memiliki gerak..yang tidak mempunyai pengetahuan, yang tidak punya kepekaan (perasaan), dan yang tidak punya kemampuan menggerakkan dirinya itu bukanlah kehidupan. Kualitas kehidupan bertingkat”; semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki berbuah kesadaran. Semakin peka seseorang dan semakin banyak gerak manfaat. Maka ia semakin tinggi nilai kehidupannya. Orang yang tidak berilmu yang tidak punya kesadaran tentang hidup, yang tidak punya kepekaan&tidak punya manfaat makin rendah nilai kehidupannya. (Tausyiah Aa'Gym @ Masjid BI, 27-12-2010)
Rasulullah Saw bersabda: “Bergaullah dengan orang yang apabila engkau memandangnya, dia akan mengingatkanmu kepada Allah, sedangkan perkataannya dapat menambah ilmumu, dan perbuatannya akan membantumu cenderung beramal untuk akhirat.” (Hadits)
HIJRAH NOW
Setiap insan individu berhak menafsirkan beragam definisi terkait makna dari hijrah itu sendiri..
Setiap manusia selama ia hidup di dunia ini tentu selalu memiliki gerak..baik berupa langkah yang memijak, nafas yang menghirup udara, jantung yang berdetak, suara yang berbicara maupun lainnya.
Selain itu terdapat pula rangkaian silih bergantinya siang dan malam, waktu yang selalu berjalan memainkan durasinya..bumi yang mengelilingi matahari..matahari yang menyinari bumi..semua hal tersebut sudahlah menjadi sunnatullah yang menandakan bahwa segala sesuatu hal yang disebutkan tersebut merupakan suatu siklus kehidupan dan terdapat gerak di dalamnya.
Setiap makhluk hidup, malaikat dan diciptakannya unsur benda maupun komponen dalam alam semesta ini tidak luput dari memuji kebesaran nama Alloh SWT sebagai tanda syukur telah diciptakan sesuai tugas dan fungsinya.
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
(QS. al-Isra' (17) : 44)
Gerak terkait dengan kata melangkah dan dinamis. Sesuatu yang bergerak lumrahnya adalah berubah dan berpindah.
Dikaitkan dengan kata hijrah..
Secara bahasa, hijrah berasal dari kata-kata “ ha-ja-ra ” yang berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain atau dari suatu keadaan kepada keadaan yang lebih baik. Hijrah merupakan sunatullah bagi mereka yang menginginkan hidup lebih baik.
Sudahkah kita berhijrah saat ini???
Di kala episode kehidupan yang tak kunjung usai dilanda masalah
Di kala kualitas ibadah tak kunjung kian meningkat bahkan kian menurun,
Di kala kinerja bekerja yang tak kunjung membuahkan hasil serta tidak kunjung berubah menjadi lebih baik.
Di kala mempelajari ilmu dan belajar giat hanya sebuah angan dan mimpi
Di kala titik jenuh sudah mencapai puncaknya dan ingin segera berubah
Di kala situasi, suasana, keselamatan diri & keluarga kian mengkhawatirkan
Di kala semua masalah kehidupan tak kunjung berbuah solusi dan perubahan lebih baik
Di kala sindrom futur melanda..
Di kala semuanya sudah tidak memungkinkan...di kala itu pulalah kita harus Hijrah dari segala sesuatu masalah yang melanda hidup kita.
Hijrah tidaklah semata perubahan ataupun perpindahan suatu tempat, melainkan dapat berupa perubahan pola pikir, pola menjalani aktifitas hidup serta perubahan dari sesuatu hal apapun sebagai upaya berubah untuk menjadi lebih baik..oleh karena itu saya mengistilahkannya kesemua hal tersebut yaitu dengan HIJRAH NOW...
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung pada niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya” (HR Bukhari Muslim)
Hijrahlah..karena Alloh
Hijrah meliputi ‘dari’ dan ‘menuju’ : Dari kecintaan kepada selain Alloh menuju kecintaan kepada-Nya, dari peribadahan kepada selain-Nya menuju peribadahan kepada-Nya, dari takut kepada selain Alloh menuju takut kepada-Nya. Dari berharap kepada selain Alloh menuju berharap kepada-Nya. Dari tawakal kepada selain Alloh menuju tawakal kepada-Nya. Dari berdo’a kepada selain Alloh menuju berdo’a kepada-Nya. Dari tunduk kepada selain Alloh menuju tunduk kepada-Nya.
Oleh karena itu teruslah belajar dan selalu memperbaiki diri..bersegeralah kembali ke jalan Alloh dan tuntunan Rasul Muhammad SAW dan bersegeralah untuk melakukan perubahan yaitu dengan Hijrah Now...
Dalam Islam, belajar itu ibadah atau sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Karena bagian dari ibadah, maka umat Islam harus melakukannya sepanjang hidup. Jika motivasi belajar adalah untuk mendapatkan pekerjaan, maka orang yang sudah mendapatkan pekerjaan sesuai dengan tujuannya, tidak mau lagi belajar. Belajarlah karena belajar adalah ibadah, belajar adalah juga merupakan bagian dari jihad, belajar karena tuntunan Rasul dan perintah Alloh SWT. Lakukanlah semua aktivitas yang kita lakukan semata-mata dikarenakan mengharap dan mendapat ridho Alloh SWT semata.
**********
“Maka segeralah kembali pada Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50)
Dan Tidaklah Aku Menciptakan Jin dan Manusia Kecuali untuk Beribadah Kepada-Ku (Adz Dzariyat : 56)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (QS.Al-Alaq:1)
“ Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran) (QS. Al A’raf [7] : 168).
barang siapa yang menghendaki dunia maka dengan ilmu, barang siapa yang menghendaki akhirat dengan ilmu dan barang siapa yang menghendaki keduanya maka dengan ilmu.
Dengan cinta hidup menjadi indah, dengan ilmu hidup menjadi mudah dan dengan iman hidup menjadi terarah
Belajarlah, karena tak seorangpun dilahirkan berilmu! Dan tidaklah orang berilmu spt orang yg bodoh. Biarpun petinggi bangsa,tapi tak berilmu, ia kecil ketika pasukan mengepungnya. Biarpun orang kecil, tapi berilmu, ia besar ketika banyak orang merujuk kepadanya. Tak seorangpun yang mencari sesuatu dengan sungguh-sungguh dan jujur kecuali ia pasti meraihnya,kalau ia tidak meraih semuanya,ia pasti meraih sebagiannya.
Manusia dilahirkan di bumi ini dalam keadaan bodoh, tidak mengerti apa-apa. Lalu Allah Subhanahu waTa'ala mengajarkan kepadanya berbagai macam nama dan pengetahuan agar ia bersyukur dan mengabdikan dirinya kepada Allah Subhanahu waTa'ala dengan penuh kesadaran dan pengertian. Allah Subhanahu waTa'ala berfirman:, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (an-Nahl: 78)
Tiada kebenaran kecuali apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Wahai manusia belajarlah, sesungguhnya ilmu itu hanya dengan belajar dan fiqh (faham agama) itu hanya dengan bertafaqquh (belajar ilmu agama/ilmu fiqh). Dan barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia akan difaqihkan (difahamkan) dalam agama ini.” (HR. Ibnu Abi Ashim, Thabrani, al-Bazzar dan Abu Nu’aim, hadits hasan). (Abu Hamzah As-Sanuwi).
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu sebanyak beberapa derajat
(QS.Al-Mujadilah (58): 11)
perilaku manusia terbentuk karena faktor ‘kebiasaan’. Jika seseorang terbiasa bersikap rajin dan bersemangat maka ia akan selalu rajin dan bersemangat, begitu juga sebaliknya. Sehingga jika Anda tergolong pemalas, jalan untuk merubahnya adalah dengan membiasakan diri untuk melawan sikap malas (Dollard&Miller,Psikolog)
Bersyukurlah kalau punya masalah, sebab kamu akan menjadi kuat - Ust. Yusuf Mansyur
*Banyak yang Mau Berubah, tapi Memilih Jalan Mundur*
Satu hari saya jalan melintas di satu daerah. Tertidur di dalam mobil. Saat terbangun, ada tanda pom bensin sebentar lagi. Saya berpesan ke supir saya, “Nanti di depan ke kiri ya.”
“Masih banyak, Pak Ustad,” jawab sopir saya.
Saya paham. Si sopir mengira, saya ingin membeli bensin. Padahal bukan.
“Saya mau pipis,” jelas saya pada sopir.
Begitu berhenti dan keluar dari mobil, ada seorang sekuriti.
“Pak Ustadz!” panggilnya seraya melambaikan tangan dari kejauhan dan mendekati saya.
Saya menghentikan langkah. Menunggu si sekuriti.
“Pak Ustadz, alhamdulillah nih bisa ketemu Pak Ustadz. Biasanya kan hanya melihat di TV saja,” ujarnya sembari tersenyum sumringah.
Saya juga tersenyum. Insya Allah, saya tidak merasa gede rasa. “Saya ke toilet dulu ya,” kata saya meminta pengertian sang sekuriti.
“Nanti saya pengen ngobrol. Boleh Ustadz?” laki-laki itu berusaha menahan langkah saya.
“Saya buru-buru, lho. Tentang apaan sih?” jawab saya sembari menatapnya tajam.
“Saya bosen jadi satpam Pak Ustad.”
Sejurus kemudian saya sadar. Ini pasti Allah pasti yang memberhentikan langkah saya.
Lagi enak-enak tidur di perjalanan, saya terbangun karena ingin pipis, lantas sampai di sebuah pom bensin, hingga akhirnya bertemu sekuriti ini. Berarti barangkali saya harus berbicara dengannya. Sekuriti ini barangkali “target operasi” dakwah hari ini. Bukan jadwal setelah ini. Demikian saya membatin.
“Ok, nanti setelah dari toilet ya,” jawab saya pada sang satpam.
“Jadi, gimana? Bosen jadi satpam? Emangnya nggak gajian?” tanya saya membuka percakapan. Saya mencari warung kopi, untuk bicara-bicara dengan beliau ini. Alhamdulillah ini pom bensin bagus banget. Ada minimart-nya yang dilengkapi fasilitas ngopi-ngopi ringan.
“Gaji mah ada, Ustadz. Tapi masak gini-gini aja nasib saya?”
“Gini-gini aja itu karena ibadah Bapak juga gini-gini aja. Disetel bagaimanapun, agak susah merubahnya.”
“Wah, ustadz langsung nembak aja nih.”
Saya meminta maaf kepada sekuriti ini umpama ada perkataan saya yang salah. Tapi umumnya begitulah manusia. Rezeki mau banyak, tapi kepada Allah tidak mau mendekat. Rezeki mau bertambah, tapi ibadah tidak mau ditambah. Dari dulu tetap begitu-begitu saja.
“Sudah shalat ashar?”
“Barusan, Pak Ustadz. Soalnya kita kan tugas. Tugas juga kan ibadah, iya nggak? Ya saya pikir sama saja.”
“Oh, jadi nggak apa-apa telat, ya? Karena menurut Bapak, kerja Bapak adalah juga ibadah?”
Sekuriti itu tersenyum meringis. Mungkin ia jujur mengatakan demikian. Mungkin juga tidak. Artinya, sekuriti itu bisa benar-benar menganggap pekerjaannya sebagai ibadah. Namun bisa juga tidak. Anggapan pekerjaan sebagai ibadah cuma sebatas ucapan saja. Lagi pula jika menganggap pekerjaan-pekerjaan kita adalah ibadah, maka apa yang kita lakukan di dunia ini semuanya juga ibadah kalau kita niatkan sebagai ibadah.
Tapi, hal itu ada syaratnya. Apa syaratnya? Yakni kalau ibadah wajib dijadikan prioritas nomor satu. Kalau ibadah wajibnya dijadikan prioritas nomor tujuh belas, tentu adalah bohong belaka jika menganggap pekerjaan sebagai ibadah. Lantas, apakah kita tidak boleh meniatkan pekerjaan sebagai ibadah? Tentu saja boleh! Bahkan bagus sekali, bukan hanya boleh. Tapi kemudian kita umpamakan demikian. Suatu saat, kita menerima tamu, kemudian Allah datang. Artinya kita menerima tamu, tepat ketika waktu shalat tiba. Kemudian kita abaikan shalat. Kita abaikan Allah. Nah, apakah demikian masih pantas pekerjaan kita disebut sebagai ibadah? Apalagi kalau kemudian hasil pekerjaan dan usaha, hanya sedikit yang diberikan kepada Allah daripada untuk kebutuhan-kebutuhan kita sendiri. Tampaknya, kita perlu memikirkan kembali ungkapan “pekerjaan sebagai ibadah.”
Saya kembali bertanya pada si sekuriti, “Kata ‘barusan’ itu maksudnya jam setengah limaan, ya? Saya kan baru jam 5 nih masuk ke pom bensin ini.”
“Ya, kurang lebih, deh,” ujar si sekuriti seraya tersenyum kecut.
Saya masih ingat, dulu saya dikoreksi oleh seorang faqih, seorang alim, bahwa shalat itu harus tepat waktu. Di awal waktu. Bagaimana mungkin kita ingin diperhatikan oleh Sang Maha Memberi Rezeki jika shalat kita tidak tepat waktu?!
Aqimish shalaata lidzikrii. Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. Lalu, kita bersantai-santai dalam mendirikan shalat. Menunda-nunda. Itu kan jadi sama saja dengan menunda-nunda dalam mengingat Allah. Maka lalu saya ingatkan sekuriti itu. Entahlah, saya merasa he is the man yang Allah sedang berkenan mengubahnya dengan mempertemukan dia dengan saya.
“Gini ya, Pak. Kalau Bapak shalat asar jam setengah lima, maka Bapak jauh sekali tertinggal untuk mengejar dunia. Bapak sudah telat sejam setengah jika waktu ashar sekarang dimulai pada jam tiga kurang sedikit. Bila dalam sehari semalam kita shalat telat terus, dan kemudian dikalikan sejak akil baligh, sejak diwajibkan shalat, kita telat terus, maka berapa jarak ketertinggalan kita? 5 x 1,5 jam, lalu dikalikan sekian hari dalam sebulan, dan sekian bulan dalam setahun, dan dikalikan lagi sekian tahun kita telat. Itu baru soal telat saja. Belum kalau ketinggalan atau kelupaan. Lebih bahaya lagi kalau benar-benar sengaja tidak shalat! Wah, makin jauh saja mestinya kita dari senang!”
Mudah-mudahan sekuriti ini paham apa yang saya katakan. Dari raut mukanya, tampaknya ia paham. Mudah-mudahan demikian juga saudara-saudara, ya. He…he..he. Belagu ya saya? Masa perkataan cetek begini harus ditanyakan pada lawan bicara, paham apa tidak.
Saya juga menjelaskan pada si sekuriti. Jika dia merupakan alumni SMU yang selama ini telat shalatnya, maka kawan-kawan seangkatannya mungkin sudah banyak yang maju. Sementara dia sendiri seperti diam di tempat. Misalkan, seseorang membuka suatu usaha. Lalu ada orang lain lagi yang juga membuka usaha. Sementara yang satu usahanya maju, dan yang lainnya sempit usahanya. Nah, bisa jadi hal itu karena ibadah yang satu itu bagus, sedangkan yang lain tidak.
Dan saya mengingatkan kepada Anda sekalian untuk tidak menggunakan mata telanjang guna mengukur kenapa si Fulan tidak shalat, dan cenderung jahat lalu hidupnya seperti penuh berkah? Sedang si Fulan yang satu rajin shalat dan banyak kebaikannya, namun hidupnya susah. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti ini cukup kompleks. Tapi bisa diurai satu-satu dengan bahasa-bahasa kita, bahasa-bahasa kehidupan yang cair dan dekat dengan fakta. Insya Allah ada waktunya pembahasan yang demikian.
“Terus, mau berubah?” tanya saya kembali kepada si sekuriti.
“Mau, Pak Ustad! Ngapain juga coba saya kejar Pak Ustadz nih, kalau tidak serius?”
“Ya udah, deketin Allah, deh. Ngebut ke Allah.”
“Ngebut gimana?”
“Satu: benahi shalatnya. Jangan setengah lima-an lagi shalat asharnya. Pantangan telat! Kejar rezeki dengan kita yang datang menjemput Allah. Jangan sampai keduluan Allah.” Si sekuriti mengaku mengerti, maksudnya adalah bahwa sebelum azan ia sudah siap di atas sajadah. Kita ini menginginkan rezeki dari Allah, tapi tidak berusaha mengenali Dia Yang Membagi-bagikan rezeki.
Contohnya, para pekerja di tanah air ini. Mereka bekerja supaya memperoleh gaji. Dan gaji itu merupakan rezeki. Tapi giliran Allah memanggilnya, malah perilakunya seperti tidak menghargai Allah. Padahal hakikatnya, Allah yang menjadikan seseorang bisa bekerja. Ini kan aneh. Saat menemui, penampilan rapi, wangi, dan betul-betul dipersiapkan sedemikian rupa. Namun, giliran mereka menemui Allah, pakaian mereka sembarangan. Amit-amit. Tidak ada persiapan. Bahkan, tidak segan-segan mereka menunjukkan wajah dan fisik yang lelah. Hal itu berarti tidak mengenal Allah.
“Kedua,” saya teruskan, “keluarkan sedekahnya!”
Saya ingat betul. Sekuriti itu tertawa.
“Pak Ustadz, bagaimana saya bisa sedekah, hari ini saja belanjaan di rumah sudah habis? Saya terpaksa berhutang lagi di warung. Saya sudah mulai mengambil barang dulu, bayar belakangan.”
“Ah, Bapak saja yang barangkali kebanyakan beban. Memang gajinya berapa?”
“Satu koma tujuh, Pak Ustadz.”
“Wuah, itu mah besar sekali. Maaf, ya, untuk ukuran sekuriti, yang orang sering sebut orang kecil, gaji segitu sudah besar.”
“Yah, kan saya harus bayar cicilan motor, kontrakan, susu anak. Bayar ini, bayar itu. Emang nggak cukup, Pak ustadz.”
“Itu gaji bisa gede, emang sudah lama kerjanya?”
“Kerjanya sih sudah tujuh tahun. Tapi gaji gede bukan karena sudah lama kerjanya. Saya ini kerjanya pagi siang sore malem, Ustadz.”
“Kok bisa?”
“Ya, sebab saya tinggal di mess. Saya nggak tahu gimana boss menghitung sampai ketemu angka 1,7jt.”
“Terus, kenapa masih kurang?”
“Ya itu, sebab saya punya tanggungan banyak.”
“Secara matematis, lepaskan saja tanggungan yang tidak perlu, seperti motor. Ngapain juga ente kredit motor? Kan nggak perlu?”
“Pengen kayak orang-orang, Pak Ustadz.”
“Ya susah kalau begitu, mah. Ingin meniru orang lain hanya pada soal motornya saja. Bukan ilmu dan ibadahnya. Bukan cara dan kebaikannya. Repot!”
Sekuriti ini nyengir. Memang kalau motor ini dilepas, dia bisa menghemat 900 ribu.
Rupanya angsuran motornya itu 900 ribu. Tidak jelas bagaimana ia menutupi kebutuhannya yang lain. Biaya kontrakan saja, termasuk air dan listrik, sudah Rp. 450 ribu. Kalau melihat keuangan model begini, tentu saja defisit terus.
“Ya sudah. Sudah terlanjur, ya. Oke, shalatnya gimana? Mau diubah?”
“Mau, Ustadz. Saya mau benahi shalat saya.”
“Bareng sama istri, ya. Ajak dia. Jangan sendirian. Ibarat sandal, lakukan berdua. Tambah baik kalau anak-anak juga diajak. Ajak semua anggota keluarga untuk membenahi shalat!”
“Siap, Ustad!”
“Tapi sedekahnya tetap harus dilaksanakan, lho!”
“Yah, Ustadz. Kan saya sudah bilang, tidak ada yang bisa disedekahkan!”
“Sedekahkan saja motornya. Kalau tidak motor, barang apa saja yang lain!”
“Jangan, Ustadz. Saya masih sayang motor ini. Susah lagi belinya. Tabungan juga nggak ada. Emas juga nggak punya.”
Sekuriti ini berpikir, saya kehabisan akal untuk nembak dia. Tapi saya terus berpikir keras untuk mencari solusinya. Kalau dia hanya memperbaiki shalatnya saja, tapi sedekah tidak dilaksanakan, maka keajaiban akan lama muncul. Demikianlah, menurut ilmu yang saya peroleh. Namun tentu saja, lain cerita ceritanya jika Allah berkehendak lain.
“Pak, kalau saya tunjukkan bahwa sebenarnya Bapak bisa sedekah, bahkan besar jumlah sedekah yang bisa dikeluarkan, Bapak mau percaya, nggak?” ujar saya kemudian.
Si sekuriti mengangguk.
“Oke, kalau sudah saya tunjukkan, mau melaksanakannya?”
Sekuriti ini mengangguk lagi. “Selama saya bisa, saya akan laksanakan,” katanya mantap.
“Gajian bulan depan masih ada nggak?”
“Masih. Kan belum bisa diambil?”
“Bisa! Dicoba dulu!”
“Nanti bulan depan saya hidup gimana?”
“Yakin nggak sama Allah?”
“Yakin.”
“Nah, kalau yakin, titik. Jangan koma. Jangan pakai kalau.”
Sekuriti ini saya bimbing untuk kasbon guna bersedekah sebisa mungkin. Tapi saya jelaskan kepada sekuriti agar diusahakan menyedekahkan semua gajinya. Hal itu agar jumlah sedekah betul-betul signifikan. Dengan demikian, perubahan yang akan terjadi juga betul-betul dirasakan. Dia berjanji akan membenahi mati-matian shalatnya. Termasuk dia akan laksanakan semaksimal mungkin shalat taubat, hajat, dhuha, dan tahajjud. Dia juga berjanji untuk rajin mengisi waktu senggang dengan membaca Alquran.
Tampaknya, si sekuriti itu sudah lama tidak berlari kepada Allah. Shalat Jum’at saja menunggu qomat. Wah, susah juga. Keadaan seperti justru ia anggap sebagai sesuatu yang wajar. Hal itu karena tugasnya sebagai sekuriti. Toh, tugas yang dilakukannya ia anggap sebagai ibadah. Itulah barangkali yang telah membuat Allah mengunci mati dirinya hanya menjadi seorang sekuriti sekian tahun. Padahal dia Sarjana Akuntansi! Ya, rupanya dia ini Sarjana Akuntansi. Pantas saja dia merasa bosan dengan posisinya sebagai sekuriti. Tidak sesuai dengan keinginan hatinya. Tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Tapi demikianlah hidup. Apa boleh buta, eh, apa boleh buat. Mungkin yang penting bagi dia saat itu adalah memperoleh pekerjaan dan mendapat gaji.
Bagi saya sendiri, tidak masalah memiliki banyak keinginan. Asal keinginan itu sesuatu yang diperbolehkan dan masih dalam batas-batas wajar. Juga tidak masalah memimpikan sesuatu yang belum tercapai. Asal hal itu dibarengkan dengan peningkatan ibadah kita. Sebagaimana realitas sosial sekarang ini, meskipun harga barang-barang melejit naik, kita tidak perlu khawatir. Ancam saja diri kita sendiri agar mau meningkatkan ibadah-ibadah kita. Jangan malah berleha-leha karena akan membuat hidup kita justru tergilas dengan tingginya harga barang-barang.
Sekuriti ini kemudian menemui atasannya guna meminjam uang. Ketika ditanya oleh sang atasan untuk apa, dia hanya nyengir tidak menjawab. Tapi ketika ditanya jumlah yang mau dipinjam, ia pun menjawab, “Semuanya! 1,7 juta. Utuh sejumlah gaji yang biasa diterima.”
“Tidak bisa!” kata komandannya.
“Tolonglah, Pak,” jawab sekuriti memelas, “Saya kan belum pernah kasbon. Tidak pernah berani. Baru kali ini saya berani.”
Sang komandan terus mengejar alasan si sekuriti berhutang. Akhirnya, ia pun menceritakan pertemuannya dengan saya. Singkat cerita, sekuriti ini direkomendasikan untuk bertemu langsung dengan owner SPBU ini. Menurut sang komandan, permohonan bon lewat jalur formal susah dikabulkan. Kalau pun dikabulkan, paling hanya sejumlah 30% dari total jumlah gaji. Itu juga belum tentu bisa dicairkan dalam waktu cepat.
Di luar dugaan, sang owner justru menyetujui permohonan bon si sekuriti. Persetujuan itu juga karena dibantu sang komandan yang ikut merayu.
“Katanya, buat sedekah, Pak,” jelas sang komandan kepada sang big boss.
Subhaanallaah! Semua orang di pom bensin itu mengetahui perubahan yang terjadi. Kisah sang sekuriti yang bertemu dengan saya serta kisah perjuangannya bersama sang komandan untuk meminjam uang, menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan the end story-nya. Termasuk dinanti oleh sang pemilik pom bensin.
“Kita coba lihat, berubah nggak tuh nasib si sekuriti,” begitulah pemikiran kawan-kawannya yang tahu bahwa ia i ingin berubah bersama Allah melalui jalan shalat dan sedekah.
Hari demi hari, sekuriti ini diperhatikan oleh kawan-kawannya. Ia kini rajin sekali shalat. Selalu tepat waktu. Ibadah-ibadah sunah juga lumayan istiqamah. Mengetahui hal itu, sang bos pun senang, sebab tempat kerjanya jadi barokah dengan adanya orang yang mendadak jadi saleh begini. Apalagi kenyataannya si sekuriti tidak mengurangi kedisiplinan kerja. Raut mukanya justru selalu tampak cerah. Keceriaan sang sekuriti itu karena, menurutnya, ia sedang menunggu janji Allah. Dan dia yakin, janji Allah pasti datang. Demikian ia jelaskan kepada teman-temannya yang meledek dirinya. Mereka mau ikut rajin shalat dan sedekah jika ia memang berhasil dengan “eksperimen gila”-nya itu.
Saya tertawa mendengar dan menuliskan kembali kisah ini. Bukan apa-apa, saya justru suka tantangan yang demikian. Sebab insya Allah, pasti Allah tidak akan tinggal diam. Dan barangkali Allah akan betul-betul mempercepat perubahan nasib si sekuriti. Hal itu agar sang sekuriti benar-benar menjadi tambahan uswatun hasanah bagi yang belum memiliki iman. Saya pun tersenyum dengan keadaan ini, sebab Allah pasti tidak akan mempermalukan si sekuriti.
Suatu hari sang bos berkata, “Kita lihat saja dia. Kalau dia tidak mengambil kasbon, berarti dia berhasil. Tapi kalau dia kasbon, maka kelihatannya dia gagal. Sebab buat apa menyedekahkan gaji bulan depan, kalau kemudian ia mengambil kasbon lagi. Percuma!”
Tapi subhaanallah! Sampai akhir bulan berikutnya, si sekuriti ini tidak mengambil kasbon. Berhasilkah? Tunggu dulu. Kawan-kawannya ini tidak melihat motor besarnya lagi. Jadi, ia tidak mengambil kasbon karena ia masih memiliki uang dari hasil jual motor, bukan dari keajaiban mendekati Allah. Hingga akhirnya ketika sang sekuriti bertemu dengan si boss, ia pun ditanya tentang sesuatu yang sesungguhnya adalah rahasia dirinya sendiri.
“Benar nih, nggak kasbon? Udah akhir bulan, lho. Yang lain bakal menerima gaji. Sedang gaji Bapak kan sudah diambil bulan kemarin,” kata si boss serius.
Kepada saya, sekuriti ini mengatakan bahwa ia memang sudah siap-siap mau kasbon kalau sampai pertengahan bulan ini tidak ada tanda-tanda keberhasilan. Tapi kemudian cerita si sekuriti ini benar-benar membikin orang tercengang! Apa pasal? Hal itu karena ternyata betul-betul terjadi keajaiban setelah ia membenahi shalatnya dan memberikan sedekah dengan jumlah besar yang belum pernah ia lakukan seumur hidup! Mempertaruhkan hidupnya dengan menyedekahkan semua gaji bulan depannya. Semuanya tanpa tersisa!
Keajaiban itu berawal ketika di kampung halaman si sekuriti terjadi transaksi tanah, yang melibatkan dirinya. Padahal dirinya tidak terlibat secara fisik. Ia sekedar menjadi mediator lewat SMS ke pembeli dan penjual. Dari transaksi inilah, Allah mengganti sedekah yang ia keluarkan dari gajinya sebesar Rp 1,7 juta menjadi 10 kali lipat. Bahkan lebih!
Allah memberinya karunia berupa komisi penjualan tanah di kampungnya sebesar Rp 17,5 juta! Dan hal itu terjadi begitu cepat. Kejadian itu terjadi masih dalam bulan yang sama, belum berganti bulan. Sadar betapa besarnya anugerah Allah, akhirnya dia malu sendiri kepada Allah. Motor yang selama ini dia sayang-sayang, dia jual! Uangnya digunakan untuk sedekah. Uang hasil penjualan motor dia gunakan untuk membiayai keberangkatan haji ibunya, satu-satunya orang tuanya yang masih hidup. Subhaanallaah!
Sayang sekali, uang hasil penjualan motor itu tetap tidak cukup untuk menutupi ongkos haji. Karena dijual cepat, harga motornya tidak sampai Rp 13 juta. Akhirnya, ia tambahkan sendiri sebesar Rp 12 juta yang berasal dari uangnya sendiri yang ia peroleh dari komisi penjualan tanah. Dengan demikian, sang ibu memiliki uang sebesar Rp 25 juta. Jumlah itu sudah cukup untuk daftar naik haji. Tambahan ongkos yang lain berasal dari simpanan ibunya sendiri.
Masih menurut cerita si sekuriti, ia merasa aman dengan uang Rp 5 juta, sisa dari komisi transaksi tanah itu. Dan dia merasa tidak memerlukan motor lagi. Dengan uang ini, ia aman dan tidak perlu kasbon.
Tak ayal, sang bos pun berdecak kagum. Dia lalu kumpulkan semua karyawannya dan menyuruh si sekuriti ini bercerita tentang keberkahan yang dilaluinya selama 1 bulan setengah ini. Apakah cukup sampai di situ perubahan yang terjadi pada diri si sekuriti?
Tidak! Si sekuriti ini kemudian diketahui oleh owner pom bensin tersebut sebagai sarjana S1 Akuntansi. Lalu dia dimutasi di perusahaan si owner yang lain, dan dijadikan staf keuangan di sana. Masya Allah, masya Allah, masya Allah! Berubah, berubah, berubah! Saudara-saudaraku sekalian. Cerita ini bukan sekedar cerita tentang Keajaiban Sedekah dan Shalat saja. Tapi soal tauhid. soal keyakinan dan iman seseorang kepada Allah, Tuhannya. Tauhid, keyakinan, dan imannya ini bekerja menggerakkan dia hingga mampu berbuat sesuatu. Tauhid yang menggerakkan!
Begitu saya mengistilahkan. Sekuriti ini mengenal Allah. Dan dia baru sedikit mengenal Allah. Tapi lihatlah, ilmu yang sedikit ini diterapkan olehnya dan diyakini. Akhirnya? Jadi! Bekerja penuh buat perubahan dirinya, buat perubahan hidupnya. Subhaanallaah, masya Allah. Dan lihat juga cerita ini, seribu kali si sekuriti ini berhasil keluar sebagai pemenang, siapa kemudian yang mengikuti cerita ini? Kayaknya kawan-kawan sepom bensinnya pun belum tentu ada yang mengikuti jejak suksesnya si sekuriti ini. Barangkali cerita ini akan lebih dikenang sebagai sebuah cerita manis saja. Setelah itu, kembali lagi pada rutinitas dunia.
Yah, barangkali tidak semua ditakdirkan menjadi manusia-manusia pembelajar.
--Ust. Yusuf Mansur--
-----
Allah Ta’ala berfirman, “Perumpamaan ( nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki . Dan Allah maha luas (kurnia-Nya) lagi maha mengetahui” .
(Qs. Al Baqarah (2) : 261)
Allah Ta’ala berfirman, ” Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga) maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah “.
(Qs. Al Lail (92) : 5-8)
Rasulullah SAW mengingatkan dalam pidatonya ketika beliau sampai di Madinah pada waktu hijrah dari Makkah : “Wahai segenap manusia! Sesungguhnya amal itu tergantung kepada niat, dan seseorang akan mendapatkan (pahala) sesuai dengan apa yang diniatkannya”.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap awal pagi, semasa terbit matahari, ada dua malaikat menyeru kepada manusia dibumi. Yang satu menyeru, “Ya Tuhan, karuniakanlah ganti kepada orang yang membelanjakan hartanya kepada Allah “. Yang satu lagi menyeru “musnahkanlah orang yang menahan hartanya”.
*kisah Perjalanan Hidup Cat Stevens menjadi Yusuf Islam*
Terlahir dengan pemberian nama oleh ayahnya Steven Demetre Georgiou. Ayahnya merupakan warga Siprus keturunan Yunani bernama Stavros Georgiou dan ibunya berasal dari Swedia bernama Ingrid Wickman.
Berikut ini adalah ringkasan kisahnya:
Aku dilahirkan di london (21 Juli 1948), jantung dunia Barat. Aku dilahirkan di era televisi dan angkasa luar. Aku dilahirkan di era teknologi mencapai puncaknya di negara yang terkenal dengan peradabannya, negara Inggris. Aku tumbuh dalam masyarakat tersebut dan aku belajar di sekolah Katholik yang mengajarkanku tentang agama Nashrani sebagai jalan hidup dan kepercayaan. Dari sini pula aku mengetahui apa yang harus kuketahui tentang Allah, al-Masih ‘Alaihis-salaam dan taqdir, yang baik maupun yang buruk.”
“Mereka banyak memberitahuku tentang Allah, sedikit tentang al-Masih dan lebih sedikit lagi tentang Ruhul Qudus (Jibril).”
“Kehidupan di sekelilingku adalah kehidupan materi. Paham materialis gencar diserukan dari berbagai media informasi. Mereka mengajarkan, kekayaan adalah kekayaan harta benda yang sesungguhnya, dan kefakiran adalah ketiadaan harta benda secara hakiki. Amerika adalah contoh negara kaya dan negara-negara dunia ketiga adalah contoh kemiskinan, kelaparan, kebodohan, dan kepapaan.
Karena itu, aku harus memilih dan meniti jalan kekayaan, supaya aku bisa hidup bahagia; supaya aku dapat kenikmatan hidup. Karena itu, aku membangun falsafah hidup bahwa dunia tidaklah ada kaitannya dengan agama. Falsafah inilah yang aku jalani, agar aku mendapatkan kebahagiaan jiwa.”
“Lalu, aku mulai melihat kepada sarana untuk meraih kesuksesan. Dan, cara yang paling mudah menurutku adalah dengan membeli gitar, mengarang lagu, dan menyanyikannya sendiri. Aku lalu tampil di hadapan mereka. Inilah yang benar-benar aku lakukan dengan membawa nama “Cat Stevens”. Dan tidak berapa lama, yakni ketika aku berusia 18 tahun, aku telah menyelesaikan rekaman dalam delapan kaset. Setelah itu banyak sekali tawaran. Dan aku pun bisa mengumpulkan uang yang banyak. Di samping itu, pamorku pun mencapai puncak.”
“Ketika aku berada di puncak ketenaran, aku melihat ke bawah. Aku takut jatuh! Aku dihantui kegelisahan. Akhirnya, aku mulai minum minuman keras satu botol setiap hari, supaya memotivasi keberanianku untuk menyanyi. Aku merasa orang-orang di sekelilingku berpura-pura puas. Padahal, dari wajah mereka, tak seorang pun tampak puas, kepuasan yang sesungguhnya. Semuanya harus munafik, bahkan dalam jual beli dan mencari sesuap nasi, bahkan dalam hidup! Aku merasa, ini adalah sesat. Dari sini, aku mulai membenci kehidupanku sendiri. Aku menghindar dari orang banyak. Aku lalu jatuh sakit. Aku kemudian diopname di rumah sakit karena sakit paru-paru. Ketika di rumah sakit kondisiku lebih baik karena mengajakku berpikir.”
Pada saat itulah aku mempunyai kesempatan untuk merenung hingga aku temui bahwa diriku hanya sepotong jasad dan apa yang selama ini aku lakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasad. Aku menilai bahwa sakit yang aku derita merupakan cobaan ilahi dan kesempatan untuk membuka mataku. Mengapa aku berada disini? Apa yang aku lakukan dalam kehidupan ini?
Sejak saat itulah pengembaraan dan pencarian akan kebenaran ia jalani. Keyakinan yang selama ini ia pegang ia anggap belum mampu membasuh dahaga spiritualnya.
Setelah sembuh, aku mulai banyak memperhatikan dan membaca seputar permasalahan ini, lantas aku membuat beberapa kesimpulan yang intinya bahwa manusia terdiri dari ruh dan jasad. Alam ini pasti mempunyai Ilah. Selanjutnya aku kembali ke gelanggang musik namun dengan gaya musik yang berbeda. Aku menciptakan lagu-lagu yang berisikan cara mengenal Allah. Ide ini malah membuat diriku semakin terkenal dan keuntungan pun semakin banyak dapat aku raih. Aku terus mencari kebenaran dengan ikhlas dan tetap berada di dalam lingkungan para artis.
“Aku memiliki iman kepada Allah. Tetapi, gereja belum mengenalkanku siapakah Tuhan itu dan aku tak mampu sampai pada hakikat Tuhan sebagaimana yang dibicarakan gereja! Pikiranku buntu. Maka, aku memulai berpikir tentang jalan hidup yang baru.
Beberapa ajaran Timur ia pelajari dan coba mendalaminya. Demi dahaganya ini juga yang membawanya pada ajaran klenik Timur.
“Aku tidak puas berpangku tangan, duduk dengan pikiran kosong. Aku mulai berpikir dan mencari kebahagiaan yang tidak kudapatkan dalam kekayaan, ketenaran, puncak karir maupun di gereja. Maka aku mulai mengetuk pintu Budha dan falsafah China. Aku pun mempelajarinya. Aku mengira, kebahagiaan adalah dengan mencari berita apa yang akan terjadi di hari esok, sehingga kita bisa menghindari keburukannya. Aku berubah menjadi penganut paham Qadariyyah. Aku percaya dengan bintang-bintang, mencari berita apa yang akan terjadi. Tetapi, semua itu ternyata keliru.
Aku lalu pindah kepada ajaran komunis. Aku mengira bahwa kebajikan adalah dengan membagi kekayaan alam ini kepada setiap manusia. Tetapi, aku merasa bahwa ajaran komunis tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, keadilan adalah engkau mendapat sesuai apa yang telah engkau usahakan, dan ia tidak lari ke kantong orang lain.”
“Lalu, aku berpaling pada obat-obat penenang. Agar aku memutuskan mata rantai berbagai pikiran dan kebimbangan yang menyesakkan. Setelah itu, aku mengetahui bahwa tidak ada akidah yang bisa memberikan jawaban kepadaku. Yang bisa menjelaskan kepadaku hakikat yang sedang aku cari. Aku putus asa.
Aku memiliki buku-buku tentang akidah dan masalah ketimuran. Aku mencari tentang Islam dan hakikatnya. Dan seperti ada perasaan, aku harus menuju pada titik tujuan tertentu, tetapi aku tidak tahu keberadaan dan pengertiannya.”
Dan ketika itu aku belum mengetahui tentang Islam sama sekali. Maka aku tetap pada keyakinanku semula, pada pemahamanku yang pertama, yang aku pelajari dari gereja. Aku menyimpulkan bahwa kepercayaan-kepercayaan yang aku pelajari itu adalah keliru. Dan bahwa gereja sedikit lebih baik daripadanya. Aku kembali lagi kepada gereja. Aku kembali mengarang musik seperti semula. Dan aku merasa Kristen adalah agamaku. Aku berusaha ikhlas demi agamaku. Aku berusaha mengarang lagu-lagu dengan baik. Aku berangkat dari pemikiran Barat yang bergantung pada ajaran-ajaran gereja. Yakni, ajaran yang memberikan inspirasi kepada manusia bahwa dia akan sempurna seperti Tuhan jika ia melakukan pekerjaannya dengan baik serta ia mencintai dan ikhlas terhadap pekerjaannya.”
Pada suatu hari temanku yang beragama Nasrani pergi melawat ke masjidil Aqsha.
Ketika kembali, ia menceritakan kepadaku ada suatu keanehan yang ia rasakan di saat melawat masjid tersebut. Ia dapat merasakan adanya kehidupan ruhani dan ketenangan jiwa di dalamnya.
Hal ini berbeda dengan gereja, walau dipadati orang banyak namun ia merasakan kehampaan di dalamnya. Ini semua mendorongnya untuk membeli al-Qur'an terjemahan dan ingin mengetahui bagaimana tanggapanku terhadap al-Qur'an.
“Pada tahun 1975 terjadi suatu yang luar biasa, yakni ketika saudara kandungku tertua (david) memberiku sebuah hadiah berupa satu mushaf Alquran dari sebuah pameran di london. Walau Kakak bukan seorang Muslim, tetapi mengenal Islam di Jerusalem ketika pergi ke sana dan tinggal setahun. Mushaf itu masih tetap bersamaku sampai aku mengunjungi al-Quds Palestina. Setelah kunjungan tersebut, aku mulai mempelajari kitab yang dihadiahkan oleh saudaraku itu. Suatu kitab yang aku tidak mengetahui apa isi di dalamnya, juga tak mengetahui apa yang dibicarakannya. Lalu aku mencari terjemahan Alquran al-Karim setelah aku mengunjungi al-Quds. Pertama kalinya, melalui Alquran aku berpikir tentang apa itu Islam. Sebab, Islam menurut pandangan orang Barat adalah agama yang fanatik dan sektarian. Dan umat Islam itu sama saja. Mereka adalah orang-orang asing, baik Arab maupun Turki. Kedua orang tua saya berdarah Yunani. Dan orang Yunani sangat benci kepada orang Turki Muslim. Karena itu, seyogyanya aku membenci Alquran yang merupakan agama dan pedoman orang-orang Turki, sebagai dendam warisan. Tetapi, aku memandang, aku harus mempelajarinya (terjemahannya). Tidak mengapa aku mengetahui isinya.”
Ketika aku membaca al-Qur'an aku dapati bahwa al-Qur'an mengandung jawaban atas semua persoalanku, yaitu siapa aku ini? Dari mana aku datang? Apa tujuan dari sebuah kehidupan? Aku baca al-Qur'an berulang-ulang dan aku merasa sangat kagum terhadap tujuan dakwah agama ini yang mengajak untuk menggunakan akal sehat, dorongan untuk berakhlak mulia dan akupun mulai merasakan keagungan Sang Pencipta.
“Sejak pertama, aku merasa bahwa Alquran dimulai dengan Bismillah (dengan nama Allah), bukan dengan nama selain Allah. Dan ungkapan Bismillahirrahmanirrahiim begitu sangat berpengaruh dalam jiwaku. Lalu surat al-Fatihah itu berlanjut dengan Faatihatul Kitab, Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin. Segala puji milik Allah Sang Pencipta sekalian alam, dan Tuhan segenap makhluk.
Sampai waktu itu, pemikiran saya tentang Tuhan begitu lemah tak berdaya. Mereka mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya Allah adalah Maha Esa, tetapi terbagi menjadi tiga dzat! Bagaimana? Saya tidak mengerti’!”
“Dan, mereka mengatakan kepadaku, “Sesungguhnya Tuhan kita bukanlah Tuhannya orang Yahudi.”
Adapun Alquran, maka ia mulai dengan beribadah kepada Allah Yang Maha Esa, Tuhan segenap alam semesta. Alqura menegaskan keesaan Sang Pencipta. Dia tidak memiliki sekutu yang berbagi kekuasaan dengan-Nya. Dan, ini adalah pemahaman baru bagiku. Sebelumnya, sebelum aku mengetahui Alquran, aku hanya mengetahui adanya pemahaman kesesuaian dan kekuatan yang mampu mengalahkan mu’jizat. Adapun sekarang, dengan pemahaman Islam, aku mengetahui bahwa hanya Allah semata yang mampu dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
“Hal itu masih dibarengi dengan keimanan terhadap hari akhir dan bahwa kehidupan akhirat itu abadi. Jadi, tidaklah manusia itu dari segumpal daging kemudian berubah setiap hari kemudian menjadi debu, sebagaimana yang dikatakan oleh ahli biologi. Sebaliknya, apa yang kita lakukan dalam kehidupan dunia ini sangat menentukan keadaan yang akan terjadi dalam kehidupan di akhirat nanti. Alquran-lah yang menyeruku kepada Islam. Maka aku pun memenuhi seruannya. Adapun gereja yang menghancurkanku dan membuatku lelah dan letih, maka dialah yang mengantarkanku kepada Alquran. Yakni, ketika aku tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan jiwa dan kalbuku.”
“Di dalam Alquran aku melihat sesuatu yang asing. Ia tidak sama dengan kitab-kitab lain. Ia tidak mengandung beberapa bagian atau sifat-sifat yang ada dalam kitab-kitab agama lain yang telah kubaca. Di sampul Alquran juga aku tidak mendapatkan nama pengarangnya. Karena itu, aku yakin betul dengan makna wahyu yang Allah wahyukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus-Nya. Kini aku telah memahami dengan jelas betul tentang perbedaan Alquran dengan Injil yang ditulis oleh tangan-tangan pengarang yang berbeda-beda sehingga melahirkan kisah-kisah yang bertentangan.
Aku berusaha untuk mencari kesalahan di dalam Alquran, tetapi aku tidak menemukannya. Semua isi Alquran adalah sesuai dengan pemikiran keesaan Allah yang murni. Dari sini, aku mulai mengenal tentang apa itu Islam.”
“Alquran bukanlah satu-satunya risalah. Sebaliknya, di dalam Alquran didapatkan nama-nama semua nabi yang dimuliakan oleh Allah. Alquran tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Dan teori ini sangat logis. Sebab, jika anda beriman kepada seorang nabi dan tidak kepada yang lainnya, berarti anda telah mengingkari dan menghancurkan kesatuan risalah. Dari sejak itu, aku memahami bagaimana berantainya risalah sejak awal penciptaan manusia. Dan bahwa manusia sepanjang sejarah selalu terdiri dari dua barisan, mu’min dan kafir. Alquran telah menjawab semua hal yang kupertanyakan. Dengan demikian, aku merasa bahagia. Kebahagiaan mendapatkan kebenaran.”
“Aku mulai membaca Alquran semuanya, sepanjang satu tahun penuh. Aku mulai menerapkan pemahaman yang aku baca dari Alquran. Saat itu aku merasa bahwa akulah satu-satunya muslim di muka bumi ini. Lalu aku berpikir bagaimana aku menjadi muslim yang sesungguhnya. Maka aku pergi ke masjid London dan aku mengumumkan keislamanku. Aku mengatakan, ‘Asyhadu anlaa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah’.”
“Ketika itu, aku yakin bahwa Islam yang kupeluk adalah risalah yang berat, bukan suatu pekerjaan yang selesai dengan sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat. Aku telah dilahirkan kembali. Dan aku telah mengetahui ke mana aku berjalan bersama saudara-saudara muslimku yang lainnya. Sebelumnya, aku sama sekali tidak pernah menemui salah seorang dari mereka. Seandainya pun ada seorang muslim yang menemuiku dan mengajakku kepada Islam, tentu aku menolak ajakkannya, karena keadaan umat Islam yang diremehkan dan diolok-olok oleh media informasi Barat. Bahkan, media umat Islam sendiri sering mengolok-olok hakikat Islam. Mereka justru sering mendukung berbagai kedustaan dan kebohongan yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam, padahal mereka ini tidak mampu memperbaiki bangsa mereka sendiri yang kini telah dihancurkan oleh penyakit-penyakit akhlak, sosial, dan sebagainya.”
“Aku telah mempelajari Islam dari sumbernya yang utama, yaitu Alquran. Selanjutnya, aku mempelajari sejarah hidup (sirah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana beliau dengan perilaku dan sunnahnya mengajarkan Islam kepada umat Islam. Aku lalu mengetahui kekayaan yang agung dari kehidupan dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku sudah lupa musik. Aku bertanya kepada kawan-kawanku, “Apa aku mesti melanjutkan karir musikku?” Mereka menasihatiku agar aku berhenti, sebab musik akan melalaikan dari mengingat Allah. Dan itu bahaya besar. Aku menyaksikan pemuda-pemudi yang meninggalkan keluarga mereka dan hidup di tengah-tengah musik dan lagu. Ini adalah sesuatu yang tidak diridhai oleh Islam, yang menganjurkan dibangunnya generasi-generasi tangguh.”
Semakin kuat perasaan ini muncul dari jiwaku, membuat perasaan bangga terhadap diriku sendiri semakin kecil dan rasa butuh terhadap Ilah Yang Maha Berkuasa atas segalanya semakin besar di dalam relung jiwaku yang terdalam.
Pada hari Jum'at, aku bertekad untuk menyatukan akal dan pikiranku yang baru tersebut dengan segala perbuatanku. Aku harus menentukan tujuan hidup. Lantas aku melangkah menuju masjid dan mengumumkan keislamanku.
Aku mencapai puncak ketenangan di saat aku mengetahui bahwa aku dapat bermunajat langsung dengan Rabbku melalui ibadah shalat. Berbeda dengan agama-agama lain yang harus melalui perantara."
**
Stevens secara formal masuk Islam pada tanggal 23 Desember 1977 dan mengubah namanya menjadi Yusuf Islam pada tahun 1978, dengan alasan ia “selalu mencintai nama Joseph (Yusuf)” dan tertarik khususnya oleh kisah Yusuf dalam Al-Quran.
Setelah masuk Islam, ia sempat meninggalkan dunia musik dengan pemahaman bahwa musik diharamkan dalam Islam. Namun, setelah pemahamannya bertambah, pada 1985 ia kembali ke dunia musik.
Pada 1990-an, ia merekam lirik-lirik mengenai tema-tema Islam hanya diiringi perkusi dasar. Pada akhir 1990-an, ia menjadi penyanyi tamu pada lagu God Is the Light di album Raihan. Pada 2000, ia menelurkan album anak-anak A Is for Allah.
Pada 2003, didukung dunia Muslim, ia merekam lagi Peace Train untuk sebuah kompilasi CD, yang juga menampilkan David Bowie dan Paul McCartney. Tahun itu juga ia untuk pertama kali tampil di publik Inggris setelah 25 tahun.
Akhir tahun berikutnya, ia dan Ronan Keating mengeluarkan versi baru Father and Son. Pendapatan album ini disumbangkan ke badan amal Band Aid.
Sejak masuk Islam, ia banyak mencurahkan hidupnya untuk amal dan pendidikan. Ia mendirikan banyak sekolah. Ia mendirikan lembaga amal Small Kindness. Pada 1985 hingga 1993, ia menjadi ketua Muslim Aid.
**
Beberapa lagu terdahulu sebelum ia memutuskan memilih Islam yang sempat menjadi hitsnya “Morning Has Broken” sempat menduduki anak tangga Top 10 tingkat internasional dimasa kejayaannya. Selain itu terdapat pula lagu father and son yang saat ini di recycle ulang oleh beberapa musisi. Lagu father and son bahkan sempat diisukan beragam media dijiplak oleh grup sheila on 7 yang tatkala itu menjadi jawara papan atas tangga lagu di Indonesia dengan tembangnya yang mirip dengan lagu tersebut, "Anugerah terindah yang pernah kumiliki"
Link cuplikan Video Klip Father and Son (Cat Stevens)
http://www.youtube.com/watch?v=Q29YR5-t3gg
A is for Allah (Yusuf Islam)
http://www.youtube.com/watch?v=-L-GOHa5-YQ
Link video..Cat Stevens' transition to Yusuf Islam
http://www.youtube.com/watch?v=pcgCdn8I8kU&feature=related
Sesungguhnya agama (yang diridhoi) disisi Allah Hanyalah Islam (QS. Al Imran :19)
Sunday, June 26, 2011
CONTOH PENELITIAN HADITS
A. PENGANTAR
Disebabkan bahwa syarat sebuah hadits dinyatakan berkualitas sahih manakala memenuhi 4(empat) syarat, yaitu : 1. Diriwayatkan oleh para periwayat yang Adl dan Dhabit (keduanya disebut Tsiqah), 2. Sanadnya bersambung, 3. Bebas dari Syadz dan 4. Bebas dari Illat, maka langkah meneliti hadits harus ditempuh melalui 4 (empat) langkah.
Langkah pertama menguji ketsiqahan para periwayat. Langkah ini dilakukan untuk memenuhi terwujud – tidaknya syarat adl dan dhabit pada periwayat. Cara yang dilakukan adalah dengan menelusuri biografi masing-masing periwayat dalam kitab Tarajum (biografi) untuk mendapatkan data-data periwayat tersebut yang meliputi antara lain : nama lengkapnya, tempat dan tahun dilahirkan dan wafatnya, guru-gurunya, murid-muridnya dan yang paling penting kualitas jarh dan ta’dilnya.
Langkah kedua adalah menguji persambungan sanadnya. Langkah ini ditempuh untuk menilai terwujud-tidaknya syarat persambungan sanad para periwayat. Cara ini dilakukan dengan menganalisis redaksi tahammul wa al-ada’ yang digunakan oleh para periwayat.
Langkah ketiga adalah menguji apakah matan hadits terbebas dari unsur syudzudz. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui terpenuhi-tidaknya syarat bebas dari syadz atau syudzudz. Cara yang dilakukan adalah mengkofirmasikan teks matan dan atau maknanya dengan dalil Naqli, yaitu dengan mendatangkan ayat dan semua matan yang sama atau satu tema dari jalur sanad lainnya, untuk dianalisis dan dibandingkan guna menentukan mana matan yang mahfudz dan mana matan yang syadz.
Langkah keempat adalah menguji apakah matan hadits terbebas dari unsur illat atau tidak. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui apakah syarat terbebas dari illat itu terpenuhi atau tidak. Cara yang dilakukan adalah mengkofirmasikan teks matan dan atau maknanya dengan dalil Aqli, ilmu pengetahuan, panca indera dan fakta sejarah. Apabila teks matan dan atau maknanya kontradiksi dengan semua itu, maka matan hadits dapat dinyatakan dhaif.
Untuk menelusuri biografi masing-masing periwayat yang tercantum dalam sanad dari hadits yang diteliti, yaitu hadits riwayat Al-Nasa’I, penelitian ini menggunakan rujukan kitab-kitab biografi sebagai berikut :
1. Tahdzib al-Tahdzib karya Ibn Hajar.
2. Taqrib al-Tahdzib karya Ibn Hajar juga.
3. Al-Kasyif karya Al-Dzahabi.
4. Khulashah Tadzhib Tahdzib al-Kamal karya Al-Khazraji.
Keempat kitab biografi ini disusun berdasarkan sistematika alfabetis.
B. TEKS HADITS LENGKAP
أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مَسْعُودٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ قَالَ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ الْمُعَلِّمُ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَمَّا فَتَحَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَكَّةَ قَامَ خَطِيبًا فَقَالَ فِى خُطْبَتِهِ « لاَ يَجُوزُ لاِمْرَأَةٍ عَطِيَّةٌ إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا »( رواه النسائي)
“Ismail Ibn Mas’ud mengkhabarkan kepada saya, berkata dia,Khalid Ibn al-Harits bercerita kepada saya,berkata dia, Husain al-Muallim bercerita kepada saya dari Amr Ibn Syuaib bahwa bapaknyabercerita kepadanya dariAbd Allah Ibn Amr berkata: Ketika Rasul Allah saw. menaklukkan kota Mekkah Beliau berdiri berkhotbah yang didalam khotbahnya berkata : Perempuan tidak diperbolehkan memberikan apapun (dari harta suaminya) kecuali dengan seizin suaminya. HR. al-Nasa’i.”
C. STRUKTUR SANAD HADITS
Didalam hadits diatas terdapat 6 (enam) periwayat, yaitu :
1. Isma’il Ibn Mas’ud.
2. Khalid Ibn al-Harits.
3. Husain al-Muallim.
4. Amr Ibn Syuaib.
5. Syuaib (Bapaknya Amr).
6. Abd Allah Ibn Amr Ibn al-Ash.
Bagan sanadnya dapat disusun sebagai berikut:
Nabi saw
ا
Abd Allah Ibn Amr Ibn al-Ash
ا
Syuaib
ا
Amr Ibn Syuaib
ا
Husain al-Muallim
ا
Khalid Ibn al-Harits
ا
Isma’il Ibn Mas’ud
ا
Al-Nasa`i
D. BIOGRAFI MASING-MASING PERIWAYAT :
1. Nama Lengkap
2. Tahun Kelahiran dan Wafatnya
3. Guru-gurunya
4. Murid-muridnya
5. Jarh dan Ta’dilnya.
E. UJI KETSIQAHAN PARA PERIWAYAT
Penyajian data-data tentang al-Jarh wa al-Ta’dilnya para periwayat dalam sanad hadits yang diteliti dan analisisnya dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Isma’il Ibn Mas’ud.
a. Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib Juz 1 halaman 74, dikatakan : ثقة
b. Dalam kitab Al-Kasyif Juz 1 halaman 128, dikatakan : ثقة
c. Dalam kitab Khulashah Tadzhib Tahdzib al-Kamal halaman 36, dikatakan : Abu Hatim mengatakan : صدوق , dan dalam kitab Al-Hasiyah, Al-Nasa’I mengatakan : ثقة .
Dari sajian data-data diatas, dapat disimpulkan bahwa Isma’il Ibn Mas’ud adalah periwayat yang tsiqah.
2. Khalid Ibn al-Harits.
a. Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib Juz 1 halaman 211-212, dikatakan :
ثقة ثبت
b. Dalam kitab al-Kasyif Juz 1 halaman 266-267, dikatakan : Ahmad mengatakan : اليه المنتهي في التثبت بالبصرة , dan Al-Qatthan mengatakan :
ما رايت خيرا منه ومن سفيان .
c. Dikatakan dalam kitab Al-Khulashah halaman 99-100 : Al-Nasa’I mengatakan : ثقة ثبت , dan al-Qatthan mengatakan :
ما رايت خيرا منه ومن سفيان
Dari paparan data-data diatas dapat disimpulkan bahwa periwayat yang bernama : Khalid Ibn al-Haris adalah periwayat yang sangat tsiqah.
3. Husain al-Muallim.
a. Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib Juz 1 halaman 175-176 dikatakan : ثقة ربما وهم .
b. Dalam kitab al-Kasyif dikatakan : الحسين بن ذكوان المعلم البصري الثقة .
c. Dalam kitab Khulashah dikatakan, Ibn Ma’in dan Abu Hatim menilai
Husain al-Muallim :ثقة .
Data-data diatas menunjukkan bahwa Husain al-Muallim adalah periwayat yang tsiqah.
4. Amr Ibn Syuaib.
a. Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib Juz 2 halaman 72, dikatakan :صدوق .
b. Dalam kitab al-Kasyif Juz 2 halaman 332, dikatakan : al-Qatthan mengatakan : Bila belajar kepadanya periwayat yang tsiqah, maka dia dapat dijadikan hujjah. Imam Ahmad mengatakan : Kami menjadikannya hujjah. Al-Bukhari mengatakan : saya melihat Imam Ahmad, Ali, Ishaq Abu Ubaidah dan seluruh sahabat kami menjadikannya hujjah. Abu dawud mengatakan : Tidak bisa dijadikan hujjah.
c. Dalam kitab al-Khulashah halaman 290 dikatakan : al-Qatthan mengatakan : Jika dia berguru kepada periwayat yang tsiqah, maka dia itu tsiqah dan dapat dijadikan Hujjah. Riwayat Ibn Ma’in mengatakan : Jika dia meriwayatkan dari selain bapaknya, maka dia tsiqah. Abu Dawud mengatakan : Riwayat Amr Ibn Syuaib dari bapaknya dari kakeknya tidak dapat dijadikan Hujjah. Abu Ishaq mengatakan : Dia itu seperti Ayyub dari Nafi’ dari Ibn Umar, dan al-Nasa’I menilainya tsiqah. Al-Hafidh Abu Bakar Ibn Zayyad mengatakan : Mendengarnya Amr dari bapaknya adalah sah (benar). Mendengarnya Syuaib dari kakeknya Abd Allah Ibn Amr juga sah (benar). Imam Bukhari mengatakan : Syuaib pernah mendengarkan dari kakeknya Abd Allah Ibn Amr.
Data-data diatas menunjukkan bahwa Amr Ibn Syuaib adalah periwayat yang diperselisihkan ketsiqahannya. Ulama yang tidak mentsiqahkannya tidak sampai pada men-jarh-nya dalam keadilan dan kedhabitannya, tetapi mereka menilainya negative karena factor eksternal diluar keadilan dan kedhabitannya, yaitu persoalan periwayatannya dari bapaknya. Apakah benar dia pernah mendengar dan belajar kepada bapaknya?. Kalau memang ya, apakah semua hadits yang ia riwayatkan itu memang didengar semuanya dari bapaknya?. Itulah sebabnya mengapa kebanyakan Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil mengatakan: Jika dia meriwayatkan dari selain bapaknya, maka dia Tsiqah.
Kesimpulannya, secara pribadi Amr Ibn Syuaib adalah periwayat yang Tsiqah walaupun tidak penuh atau dengan ungkapan redaksi lain shaduq. Jika dia mengatakan mendengar dari bapaknya, maka haditsnya bisa dijadikan hujjah.
5. Syuaib Ibn Muhammad (Bapaknya Amr).
a. Dalam kitab Taqrib al-Tahdzib Juz 1 halaman 353 dikatakan :صدوق .
b. Dalam kitab al-Kasyif Juz 2 halaman 13-14 dikatakan : صدوق .
c. Dalam kitab al-Khulashah halaman 168 dikatakan: Ibn Hibban menilainya :ثقة .
Paparan data diatas menunjukkan bahwa Syuaib Ibn Muhammad adalah periwayat yang berkualitas Shaduq dan hadits yang diriwayatkannya berkualitas Hasan serta dapat diterima sebagai hujjah.
6. Abd Allah Ibn Amr Ibn al-Ash.
Abd Allah Ibn Amr Ibn al-Ash adalah seorang Sahabat Nabi saw. yang tidak perlu diragukan ketsiqahannya.
F. UJI PERSAMBUNGAN SANAD
Penyajian dan analisis data persambungan sanad dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Imam al-Nasai mengatakan : احبرنا اسماعيل بن مسعود . Ungkapan atau redaksi ini digunakan oleh Muhadditsin untuk periwayatan hadits dalam bentuk Qira’ah yaitu pembacaan hadits oleh murid dihadapan gurunya. Dengan demikian berarti ada pertemuan antara al-Nasai dengan gurunya Isma’il Ibn Mas’ud, dan sanadnya dengan demikian : Muttasil.
2. Isma’il Ibn Mas’ud mengatakan : حدثنا خالد بن الحارث . Redaksi ini oleh Muhadditsin digunakan dalam periwayatan hadits dalam bentuk Sima’ah,yaitu pembacaan hadits oleh guru kepada murid. Dengan demikian berarti ada pertemuan antara Isma’il Ibn Mas’ud dengan gurunya Khalid Ibn al-Harits, dan ini berarti bahwa sanadnya : Muttasil.
3. Khalid Ibn al-Harits mengatakan : حدثنا حسين المعلم .Redaksi periwayatan ini sama dengan diatas menunjukkan bahwa sanadnya : Muttasil.
4. Adapun Husain al-Muallim mengatakan : عن عمرو بن شعيب . Periwayatan Husain ini memang menggunakan redaksi ‘An (عن), tetapi ‘An’anahnya tidak ada indikasi menunjukkan adanya keterputusan sanad, bahkan dapat dinyatakan bahwa sanadnya adalah : Muttasil, karena : (1) Husain al-Muallim adalah periwayat yang Tsiqah, (2) Dia bukan periwayat Mudallis, dan (3) Dimungkinkan ada atau pernah bertemu antara Husain dengan gurunya Amr Ibn Syuaib. Dalam biografinya dia mengatakan pernah berguru kepada Amr Ibn Syuaib, dan dalam biografi Amr Ibn Syuaib, Husain disebutkan sebagai muridnya dalam pembelajaran hadits.
5. Amr Ibn Syuaib mengemukakan bahwa bapaknya menceritakan kepadanya ( ان اباه حدثه ). Redaksi Haddatsahu sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa sanadnya : Muttasil.
6. Adapun Syuaib Ibn Muhammad Ibn Abd Allah mengatakan :
عن عبد الله بن عمرو . ‘An’anahnya Syuaib Ibn Muhammad ini bermasalah, karena Syuaib ternyata periwayat yang mudallis.
Namun al-Hafidh Ibn Hajar memasukkannya dalam kategori mudallis tabaqah kedua, yaitu tabaqah dimana para periwayat yang ada didalamnya ditoleransi ketadlisannya dan dimasukkan dalam kelompok periwayat yang dinilai sahih karena ketokohannya dan sangat kecilnya tadlis yang dilakukan dibandingkan dengan jumlah yang diriwayatkannya.
Atas dasar itu semua, peneliti mentolerir ketadlisan yang sangat minim dari Syuaib Ibn Muhammad dan memutuskan bahwa ‘An’anahnya Syuaib Ibn Muhammad adalah Muttasil In Syaa Allah.
G. UJI SYADZ - TIDAKNYA MATAN HADITS
Sejauh yang peneliti tahu, hadits tentang : larangan bagi istri untuk memberikan harta suami tanpa izin, tidak mengandung syadz, dalam arti : tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur;an atau bertentangan dengan hadits-hadits lain yang satu tema yang lebih tinggi derajatnya. Dengan demikian dapat peneliti nyatakan bahwa hadits riwayat Al-Nasai ini terbebas dari unsur syadz atau syudzudz.
H. UJI BERILLAT – TIDAKNYA MATAN HADITS
Sejauh yang peneliti amati dan renungkan, hadits tentang : larangan bagi istri memberikan harta suami tanpa izin suami ini, teksnya maupun makna yang dikandungnya, tidak ada yang bertentangan dengan akal, ilmu pengetahuan, indra maupun fakta sejarah. Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa hadits yang diteliti terbebas dari unsur illat.
I. Paparan Jalur lain :
J. KESIMPULAN
1. Semua periwayat yang berjumlah 6 (enam) periwayat yang ada dalam sanad hadits, seluruhnya berkualitas : Tsiqah penuh, kecuali Amr Ibn Syuaib dan Syuaib Ibn Muhammad, keduanya berkualitas Shaduq atau Hasan.
2. Seluruh sanadnya bersambung, walaupun ada sedikit kemungkinan terputusnya sanadnya Syuaib Ibn Muhammad dari kakeknya Abd Allah Ibn Amr.
3. Sejauh yang peneliti tahu, matan hadits terbebas dari unsur syadz.
4. Sejauh yang peneliti amati, matan hadits juga terbebas dari unsur illat.
Atas dasar uraian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa hadits yang diteliti berkualitas Hasan Lidzatihi, bisa diterima untuk dijadikan Hujjah, karena otentik berasal dari Nabi saw. Wa Allah a’lam bi al-shawab.
Kritik Matan Konfimasi Hadis Dengan Dalil Al Qur’an
PENDAHULUAN
Hal terpenting mempelajari sebuah agama adalah sumber ajarannya. Banyak agama yang terkejut ketika ditanya, apa sumber ajarannya yang anda peluk. Bagi orang islam, sumber ajarannya al-qur’an serta hadis nabi. Untuk memahami makna dari al Qur’an harus mengerti berbagai yang berkaitan dengannya. Begitupula Hadis.
Pada kesempatan kali penulis diberi kesempatan untuk memberikan pemahaman tentang hadis yang berkaitan dengan al qur’an. Semoga penjelasan yang dapat memberikan kepada para pendengar dan pembaca.
PEMBAHASAN
1. Konfimasi Hadis Dengan Dalil Al Qur’an
Semenjak masa sahabat, untuk menguji kebenaran sebuah Hadis apakah benar-benar dari Rasulullah SAW., al Qur’an dijadikan sebagai tolok ukurnya. Dalam riwayat disebutkan, Umar bin al Khattab, beliau mempertanyakan dan kemudian menolak hadis yang diriwayatkan oleh Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa wanita yang dicerai tidak berhak menerima uang nafkah (dari mantan suaminya). Menurut Umar (matan) hadis tersebut, bila dibandingkan tidak sejalan dengan bunyi ayat al-Qur'an.hadist .
Sebagaimana sering disebutkan bahwa Hadis itu catatan tentang kehidupan Rasulullah SAW, maka teori besarnya, Hadist berfungsi atau menjadi contoh bagaimana melaksanakan ajaran al Qur’an. Kalau al Qur’an itu bersifat konsep, maka Hadis lebih bersifat operasional dan operasional.sering kali hadis itu berupa reaksi spontan . Ada kalanya jawaban atas pertanyaan sahabat, teguran, petunjuk dan contoh prilaku ibadah tertentu. Itu mengesankan bahwa Hadis itu “parsial”, dalam arti informasinya terlepas dari ide besar al Qur’an karena itu ketika kita ragu terhadap sebuah Hadis maka kita boleh bersikap bahwa kalau memang ia benar dari Rasulullah, tidak akan bertentangan dengan al Qur’an. Hadis yang sedang dicermati perlu didudukkan sebagai penjelas ajaran al Qur’an dalam surat apa dan ayat yang mana. Oleh karena itu keterkaitan Hadis dengan al Qur’an memiliki hubungan yang sangat erat melalui fungsi-fungsinya. Maka perlu dijelaskan fungsi-fungsinya terhadap al Qur’an yaitu sebagai berikut :
1. Bayân Taqrîr
Posisi Hadis sebagai penguat atau memperkuat keterangan al Qur’an. Sebagian ulama menyebut bayân ta’kid atau bayan taqrir. Artinya hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al Qur’an. Misalnya Hadis tentang shalat, zakat, puasa, dan haji menjelaskan ayat-ayat tentang hal itu juga :
حدثنا عبيد الله بن موسى قال اخبرنا حنظلة بن أبي سفيان عن عكرمة بن خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان(. (أخرجه البخارى)
Hadis tersebut memperkuat keterangan perintah shalat, zakat, dan puasa dalam al Qur’an surah al Baqarah (2) : 83 dan 183. Dan perintah haji pada surah Ali Imran : 97.
2. Bayân Tafsîrl
a. Tafshil al mujmal
Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat al Qur’an yang bersifat global, baik menyangkut masalah ibadah maupun hokum, sebagai ulama menyebut bayan tafshil atau bayan tafsir. misalnya perintah shalat pada beberapa ayat dalam al Qur’an hanya menerangkan secara global kemudian perinci oleh hadis Nabi :
خْبَرَنَا أَبُو زَكَرِيَّا بْنُ أَبِى إِسْحَاقَ الْمُزَكِّى حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ : مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانُ الْمَرَادِىُّ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِىُّ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِىُّ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو سُلَيْمَانَ : مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ ». رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ فِى الصَّحِيحِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُثَنَّى عَنْ عَبْدِ الْوَهَّابِ.
b. Takhsîsh al ‘A m
Hadis mengkhususkan ayat-ayat al Qur’an yang umum, sebagian ulama menyebut bayan takhsish. Misalnya ayat tentang waris dalam surah al Nisa (4) : 11. Ayat tersebut memiliki kandungan menjelaskan pembagian harta pusaka terhadap ahli Waris, baik laki-laki, anak perempuan, satu dan atau lebih dari satu dan seterusnya . Ayat tersebut bersifat umum kemudian dikhusukan dengan hadis Nabi yang melarang mewarisi harta peninggalan para Nabi, berlainan agama dan pembunuh.
c. Taqyid al Muthlaq
Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat al Qur’an. Artinya, al Qur’an keterangannya secara mutlaq, kemudian di takhsish dengan hadis yang khusus. Sebagian ulama menyebut bayan taqyid. Misalnya firman Allah SWT.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Pemotongan tangan pencuri dalam ayat diatas secara mutlak tanpa adanya penjelasan tentang had pemotongan tersebut. Lalu pembatasan dijelaskan oleh Hadis Nabi. Yaitu ketika ada seseorang pencuri dating ke hadapan Nabi dan diputuskan hukuman dengan pemotongan tangan, maka dipotong pada pergelangan tangan.
3. Bayan Naskhi
Hadis menghapus hokum yang diterangkan dalam al Qur’an.seperti disebutkan dalam al Qur’an yang menerangkan kewajiban wasiat :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Ayat diatas di Nasakh dengan Hadis Nabi :
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ شَابُورَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِى سَعِيدٍ أَنَّهُ حَدَّثَهُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ إِنِّى لَتَحْتَ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسِيلُ عَلَىَّ لُعَابُهَا فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ أَلاَ لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
4. Bayan Tasyri’i
Hadis menciptakan hukum syari’at yang belum dijelaskan oleh al Qur’an. Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi sunnah sebagai dalil sesuatu hal yang tidak disebutkan dalam al Qur’an. Mayoritas dari mereka berpendapat bahwa sunnah berdiri sendiri sebagai dalil hukum dan yang lain berpendapat bahwa sunnah menetapkan dalil yang terkandung secara implisit dalam teks al Qur’an
Dalam Hadis terdapat hukum-hukum yang tidak dijelaskan al Qur’an, ia bukan penjelas dan bukan penguat. Tetapi sunnah sendirilah yang menjelaskan sebagai dalil atau ia menjelaskan yang tersirat dalam ayat-ayat al Qur’an sebagai dalil atau ia menjelaskan yang tersirat dalam ayat al Qur’an.
2. Aplikasi Hadis yang dikonfirmasikan dengan dalil Al Qur’an
Telah dibahas diatas untuk meneliti keabsahan matan suatu Hadis adalah dengan menghadap Hadis tersebut dengan al Qur’an. Bila hadis telah memperoleh penilaian maqbul dan diterima kehujjahannya, namun konsep yang dikandung diduga berlawanan dengan petunjuk sharih al Qur’an, yakni dalalah yang mahkum,maka rumusan konsep hadis harus berpihak pada eksplisitas al Qur’an . Berbeda halnya bila antara konsep yang berasumsi kontroversial itu sama-sama berasal dari ungkapan hadis dan ayat yang berdalalah zhanni karena unsur mutasyabih (metaforis), bangunan konsep seyogyanya diarahkan ke ta’wil (interpretasi alorgis). Selanjutnya kami akan memberi beberapa hadis yang dikonfimasikan dengan ayat al Qur’an :
a. Hadis tentang proses penciptaan alam semesta, hadis ini ketika dihadapkan pada ajaran al Qur’an menimbulkan keraguan akan faliditasnya :
عن أبى هريرة قال أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم: خلق الله التربة يوم السبت وخلق فيها الجبال يوم الأحد وخلق الشجر يوم الإثنين وخلق المكروه يوم الثلثاء وخلق النور يوم الأربعاء و بث فيه الدواب يوم الخميس وخلق أدم عليه السلام بعد العصر من سوم الجمعة فى أخر ساعة من ساعات الجمعة فيما بين العصر والليل
Hadis ini menyatakan bahwa allah menciptakan tanah pada hari sabtu, menjadikan gunung hari ahad, mencipta pohon hari senin, mencipta sesuatu yang tidak menyenangkan hari selasa, mencipta cahaya hari sabtu, menyebar hewan ternak hari kamis, dan mencipta adam Asar hari Jum’at. Informasi hadis ini berbeda dengan yang ada dalam al Qur’an yang berbunyi :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Ayat diatas menyatakan bahwa allah SWT. Menciptakan langit dan bumi selama enam hari, bukan tujuh hari seperti yang disebutkan dalam dalam hadis. Kalau hadis ini hanya menyebut penciptaan bumi dan seisinya, maka al Qur’an menyebutkan penciptaan bumi dan seisinya. Jadi kandungan Hadis ini dinilai menyimpang dari informasi al Qur’an. Maka Ibn Qoyyim berpendapat, ada kesalahan dalam riwayat/penyandaran hadis tersebut. Seharusnya Hadis ini disandarkan kepada Ka’b al Akhbar (pendeta yahudi yang masuk islam di masa kekhalifahan Umar bin al Khattab) bukan kepada Nabi. Pendapat senada dikemukan oleh Imam al Bukhori begitu pula dengan Hadis yang berbicara tentang matahari terbenam. Hadis semacam ini menimbulkan kecurigaan akan kesalahan persepsi periwayat ketika menerima hadis seperti ini perlu ditinjau ulang secara terbuka, tidak dipengaruhi oleh prakonsepsi paham tertentu
b. Pembenaran Rasulullah atas jawaban budak perempuan Muawiyah bin al Ahkam al Sulami terdapat pertanyaan aina allah ? dijawab singkat oleh yang bersangkutan fi al sama’i. dialog dengan unsur narasi seperti terkoleksi salam Shahih Muslim, Sunan al Baihaqi, Muwatta’, Musnad Ahmad, Sunan Abi Dawud dan Sunan Al Nasa’I. implikasi teks dan jawaban budak tersebut mengandung faham Tajsim dan Tuhan dikonsepkan mengambil tempat. Akan tetapi konsep tersebut bertemu gaya metaforis ungkapan Qs. Al Mulk 17.
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Dan Qs. Al Fathir 10.
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
Oleh karena itu nuansa metaforis tampak pada ungkapan Hadis dan al Qur’an, maka konsep pemaknaan yang ditawarkan adalah pembenaran Rasulullah SAW atas jawaban budak tersebut kondusif dan relevan sesederhana keyakinannya. Yang penting budak perempuan tersebut telah benar-benar mengakui Allah minimal dalam narasi Verbal yang mengangkat dialog itu terjadi penyaduran, karena tidak semua koleksi Hadis menyertakan penggal pertanyaan aina allah.
PENUTUP
Keontetikan suatu Hadis perlu diuji kembali apabila hadis tersebut bertentangan dengan al qur’an. Hal dapat dilakukan dengan menghadapkan Hadis tersebut dengan al Qur’an secara teliti dan cermat.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an al Karim
Abbas. Hasjim. Kritik matan Hadis. Teras: Yogyakarta. 2004.
Muslim. Shahih muslim. (CD Room Maktabah Syamilah)
Zuhri. Prof, Dr. Muh. Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran metodologis. LESFI: Jakarta. 2003.
Khon, Abdul Majid. ‘Ulum al Hadis. Amzah : Jakarta. 2008.
Bukhori. Shahih Bukhori (CD Room Maktabah Syamilah)
Ibn Majah. Sunan Ibn Majah Bab: La Washiyyata Li Warits. 8:2818 (CD Room Maktabah Syamilah)
Mukhtalafu Al-Hadits
A. PENDAHULUAN
Untuk mengkaji dan memahami Hadîts secara mendalam dibutuhkan seperangkat ilmu dan kaedah-kaedah pokok yang mendasarinnya. Semua itu akan dijadikan sebagai pisau analisis sekaligus sebagai landasan teoritis dalam meneliti dan memahami Hadîts. Metode menjadi sangat penting ketika dihadapkan dengan penelitian ilmiyah, karena tanpa metode, penelitian tidak bisa dikatakan ilmiyah. Berangkat dari kata “metode” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai dengan cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Dalam kajian Hadîts mukhtalif, para ulama telah merumuskan teori atau ilmu yang berkaitan dengannya, yaitu ilmu mukhtalif al-Hadîts. Dengan memahami ilmu ini seseorang akan terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam memahami Hadîts-Hadîts mukhtalif. Bisa saja sesorang meninggalkan Hadîts yang sebenarnya harus diperpegangi lantaran tidak mengetahui wujud pemahaman yang ditampilkan oleh Hadîts-Hadîts yang saling bertentangan tersebut. Oleh karena itu, ilmu mukhtalif al-Hadîts merupakan salah satu ilmu yang sangat penting dalam memahami Hadîts,. Ajjâj al-Khatib mendefenisikan ilmu mukhtalif al-Hadîts sebagai:
العلم الذي يبحث في الأحاديث التى ظاهرها متعارض, فيزيل تعارضها, أو يوفق بينها . كما يبحث في الأ حاديث التى يشكل فهمها أو تصورها, فيدفع أشكالها, ويوضح حقيقتها
(Ilmu mukhtalif al-Hadîts) ialah ilmua yang membahas Hadîts-Hadîts yang secara lahiriyahnya tampak bertentangan, untuk kemudian dapat menghilangkan pertentangan tersebut atau untuk dapat menemukan pengkompromiannya. Sebagaimana pembahasan tentang Hadîts-Hadîts yang sulit memahami atau menggambarkannya, untuk kemudian dihilangkan kesulitan-kesulitan itu serta menjelaskan hakikat pemahamannya.
Tambahan keterangan ini menunjukkan bahwa ilmu mukhtalif al-Hadîts juga dapat digunakan untuk memahami Hadîts Mukhtalif serta berupaya untuk menjelaskan kandungan yang termuat di dalam Hadîts tersebut. Jika disimak defenisi di atas dengan cermat, diperoleh gambaran bahwa ilmu mukhtalif al-Hadîts merupakan seperangkap teori untuk menyelesaikan Hadîts-Hadîts yang secara lahiriyahnya tampak bertentangan yang bertujuan menghilangkan pertentanagan tersebut. Secara tidak lansung Ajjâj al-Khatib telah menyatakan bahwa pada hakekatnya tidak ada Hadîts yang bertentangan apabila dipahami pertentangan tersebut dengan baik. Lalu di kalangan muhadditsûn terdapat istilah Hadîts-Hadîts mukhtalif. apakah istilah ini menggambarkan adanya Hadîts-Hadîts yang saling bertentangan, apakah yang dimaksud dengan Hadîts mukhtalif dan bagaimana cara memahami atau menyelesaikannya?
Berangkat dari pertanyaan di atas, makalah ini akan melihat beberapa aspek kajian tentang Hadîts-Hadîts mukhtalif dan metode dalam menyelesaikannya dengan tidak lupa membubuhkan contoh-contoh yang relevan. Serta diharapkan dapat dijadikan bahan diskusi dalam mata kuliah fiqh al-Hadîts.
B. PENGERTIAN HADÎTS MUKHTALIF
Secara bahasa mukhtalif (مختلف ) adalah bentuk isim fa’il (sabjek) dari kata اختلافا yakni bentuk mashdar dari kata اختلف. Menurut Ibn Manzhûr, ihktilâf merujuk pada makna لم يتفق (tidak serasi/tidak cocok) dan كل مالم يتساو (segala sesuatu yang tidak sama/beragam), hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’ân surat al-An’âm ayat 141:
وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ
(pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya).
Sedangkan menurut Lois Ma’lûf, ikhtilâf mempunyai beberapa makna di antaranya, تعارض (bertentangan), تنوع (beragam) atau تعدد (bermacam-macam), dan تردد (saling bertolak belakang). Dengan melihat pengertian yang dikemukakan di atas, pada intinya ikhtilâf mengandung dua makna, yaitu, تعارض dan تنوع .
Secara istilah ada beberapa rumusan defenisi Hadîts mukhtalif di antaranya:
1. Al-Nawâwiy (dikutib oleh al-Syuyûthiy)
أن يأتي حديثان متضادان في المعنى ظاهرا فيوفق بينهما أو يرجح أحدهما
(Hadîts mukhtalif) ialah dua Hadîts yang saling bertentangan pada makna zahirnnya, maka kedua Hadîts tersebut dikompromikan atau di-tarjîh (untuk diambil mana yang kuat dari salah satunya).
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs wa Musyakilihi sebagai:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau mengompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.
Edi Safri mengkritik defenisi ini dengan menyebutkan bahwa defenisi ini sebenarnya mengendung kelemahan yakni kekurangtegasan di dalam rumusannya. Dikatakan demikian karena rumusan defenisi tersebut mencakup semua Hadîts yang secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan antara satu dengan lainnya, baik Hadîts-Hadîts dalam kategori maqbûl atau mardûd, tanpa ada batasan. Pada hal, tidak semua Hadîts yang tampak saling bertentangan perlu dikaji untuk dapat ditemukan pengkompromian atau penyelesaiannya, maliankan apabila Hadîts-Hadîts tersebut sama-sama maqbûl. Apabila salah satunya maqbûl dan yang lainnya mardûd, maka dalam hal seperti ini pertentangan yang tampak tidak perlu diindahkan. Cukuplah dipegang yang maqbûl dan ditinggalkan yang mardûd.
Walaupun defenisi yang dikemukan al-Nawâwiy terdapat kekurangan, namun ia telah menawarkan dua cara dalam menyelesaikan Hadîts mukhtalif yakni kompromi dan tarjîh. Menurut al-Nawâwiy, ada Hadîts-Hadîts mukhtalif yang memungkinkan untuk dikompromikan, dan ada Hadîts-Hadîts mukhtalif yang tidak mungkin untuk dikompromikan. Untuk kategori yang kedua ini, apabila tidak diketahui antara salah-satu Hadîts-Hadîts tersebut ada yang nâsikh dan yang mansûkh maka ditempuh jalan tarjîh. Artinya al-Nawâwiy juga menempuh cara nasakh dalam menyelesaikan Hadîts-Hadîts mukhtalif di samping cara kompromi dan tarjîh, namun ia tidak menjelaskan secara tegas dalam rumusan defenisinya.
2. Tahunuwiy (dikutib oleh Edi Safri)
الحديثان المقبولان المتعارضان في المعنى ظاهرا ويمكن الجمع بين مدلوليهما بغير تعسف
(Hadîts mukhtalif) ialah dua Hadîts yang maqbûl saling bertentangan pada makna zahirnnya, di mana memungkinkan untuk dikompromikan maksud yang dituju oleh kedua Hadîts tersebut dengan cara tidak dipaksakan (tidak dicari-cari).
Sepertinya Tahunuwiy hendak menyuguhkan penyelesaian Hadîts-Hadîts mukhtalif dengan cara kompromi saja. Walaupun demikian, berbeda dengan al-Nawâwiy, dalam defenisi di atas Tahunuwiy mensyaratkan Hadîts-Hadîts mukhtalif itu hendakannya dapat dirima sebagai hujjah atau maqbûl.
3. Edi Safri
Hadîts mukhtalif ialah Hadîts shahîh atau Hadîts hasan yang secara lahiriyahanya tampak saling bertentangan dengan Hadîts shahîh atau Hadîts hasan lainnya. Namun, makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh Hadîts-Hadîts tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan atau dicari jalan penyelesaiannya dalam bentuk nasakh atau tarjîh.
Di dalam defenisi di atas Edi Safri menawarkan tiga cara, seperti yang diungkapkan oleh al-Nawâwiy, yakni kompromi, nashk, dan tarjîh.
Ketiga defenisi di atas mengandung perbedaan dan persamaan yang mendasar. Dari segi sabjek (Hadîts-Hadîts mukhtalif), Tahunuwiy dan Edi Safri mensyaratkan Hadîts-Hadîts yang bertentangan itu harus maqbûl, baik berkwalitas shahîh maupun hasan. Sementara al-Nawâwiy tidak mensyaratkannya. Dalam aspek metode penyelesaiannya, Tahunuwiy hanya menempuh cara kompromi. Sementara al-Nawâwiy dan Edi Safri menawarkan kompromi, nasakh dan tarjîh.
Sebab–sebab yang Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif
1. Faktor Internal. Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shahih.
2. Faktor Eksternal. Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi menyampaikan haditsnya.
3. Faktor Metodologi. Yakni berkaitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits yang mukhtalif.
Faktor Ideologi. Yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.
C. METODE OPERASIONAL
Secara lansung, masing-masing defenisi di atas, telah menawarkan metode untuk menghilangkan pertentangan antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya, baik kompromi, nasahk, maupun tarjîh. Namun, bagaimana cara mengoperasikan metode-metode tersebut? dan apakah metode-metode tersebut digunakan secara berurutan? Jika Hadîts mukhtalif bukan dalam arti ta’ârudh tetapi tanawwu’, bagaiamana cara menyelesaikannya, dan apakah ada cara lain selain ketiga cara di atas?
Untuk mengawali pembahasan tentang metode atau cara menyelesaikan Hadîts mukhtalif, sengaja dikutip pernyataan Imam al-Syafi’iy sebagai peringatan yang tegas dalam memahami Hadîts-Hadîts mukhtalif, yaitu:
لا تجعل عن رسول الله حديثين مختلفين أبدا إذا وجد السبيل إلى أن يكونا مستعملين, فلا نعطل منهما واحدا لأن علينا في كل ما علينا في صاحبه, ولا نجعل المختلف إلا فيما يجوز أن يستعمل أبدا ألا بطرح صاحبه.
Jangan mempertentangkan Hadîts Rasulullah satu dengan yang lainnya, apabila mungkin ditemukan jalan untuk menjadikan Hadîts-Hadîts tersebut dapat sama-sama diamalkan. Jangan tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya kewajiban untuk mengamalkan keduanya. Dan jangan jadikan Hadîts-Hadîts bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan salah satu darinya.
Peringatan ini disampaikan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasulullah menyampaikan ajaran Islam yang antara satu dengan yang lainnya benar-benar saling bertentangan. Jika ada penilaian yang menyatakan bahwa satu Hadîts dengan Hadîts lainnya saling bertantangan, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, salah satu dari Hadîts tersebut bukanlah Hadîts maqbûl, karena Hadîts mardûd, baik dha’îf maupun mawdhû’, besar kemungkinan bertentangan dengan Hadîts shahîh atau hasan. Kedua, karena pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju oleh Hadîts-Hadîts tersebut. Karena bisa saja masing-masing Hadîts tersebut memiliki maksud dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan menurut maksud masing-masing.
Berdasrkan hasil penelitian Edi Safri mengenai metode penyelesaian Hadîts- Hadîts mukhtalif menurut Imam al-Syafi’iy, ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian dengan cara nasakh dan penyelesaian dengan cara tarjîh. Di mana ketiga cara tersebut dilakukan dengan berurutan. Artinya jika cara pertama tidak menemukan jalan keluar, maka ditempuh cara kedua, jika cara kedua belum juga diperoleh solusi, maka ditempuh cara ketiga. Berikut penjelasan lebih lanjut:
1. Penyelesaian dengan Cara Kompromi
Adapun yang dimaksud dengan metode kompromi dalam menyelesaikan Hadîts mukhtalif ialah menghilangkan pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masingnya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang tepat yang menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya. Untuk menemukan benang merah antara kedua Hadîts yang saling bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan empat cara, yaitu:
a. Pemahaman dengan Menggunakan Pendekatan Kaedah Ushûl
Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan menggunakan pendekatan kaedah ushul ialah memahami Hadîts Rasulullah dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah ushul yang terkait yang telah dirumuskan oleh ulama (ushûliyûn). Adapun yang menjadi objek kajian ilmu ushûl fiqh ialah bagaimana meng-istimbâth-kan hukum dari dalil-dalil syara’, baik al-Qur’ân maupun Hadîts. Untuk sampai pada hukum-hukum yang dimaksud, maka terlebih dahulu dalil-dalil tersebut dipahami agar istimbâth hukum sesuai dengan yang dituju oleh dalil. Di antara kaedah ushûl yang terkait seperti âm, khash, muthlaq, dan muqayyad. Nash yang umum haruslah dipahami dengan keumumannya selama tidak ada nash lain yang men-takhsishkan-nya, apabila ada dalil yang men-thakhsish-kannya maka nash tersebut tidak lagi diberlakukan secara umum. Demikian juga bagi nash yang muthlaq dengan yang muqayyad.
Sebagai contoh Hadîts tentang mengambil upah dari jasa berbekam:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي نُعْمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ وَعَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ قَارِظٍ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ حَدَّثَنِي رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ وَمَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ
Dua Hadîts ini melarang mengambil upah dari jasa berbekam, kemudian hadis lain menyebutkan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَكَلَّمَ أَهْلَهُ فَوَضَعُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ وَقَالَ إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ أَوْ هُوَ مِنْ أَمْثَلِ دَوَائِكُمْ ِ
Hadîts ini menunjukkan bahwa bahwa Rasulullah pernah berbekam yang dilakukan oleh Abu Thaibah kemudian ia diberi upah oleh Rasulullah. Hadîts pertama dikeluarkan oleh al-Nasâ’iy, Hadîts kedua dan ketiga dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab yang sama. Di lihat dari sisi redaksi antara pertama dan kedua dengan ketiga nampak saling bertentangan. Hadîts pertama dan kedua menjelaskan adanya larangan mengambil keuntungan dari berbekam yang sekaligus menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram. Para ulama mencoba memahami pertenatangan tersebut dengan menggunakan pendekatan muthlaq dan muqyyad. Haramnya kasb al-hajâm merupakan suatu yang muthlaq, kemudian dibatasi oleh adanya qârinah untuk mengambil manfaat dari orang lain karena Rasullullah melakukannya. Adanya qarinah menjadikan kasb al-hâjam tidak lagi haram akan tetapi makruh.
b. Pemahaman Kontekstual
Pemahaman kontekstual yang dimaksud di sini ialah memahami Hadîts- Hadîts Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang menjadi latarbelakang disampaikannya Hadîts, dengan memperhatikan asbâb al-wurud Hadîts-Hadîts tersebut. Dalam kata lain dengan memperhatikan konteks.
Jika asbab al-wurud al-Hadîts tidak diperhatikan, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahmi maksud yang dituju suatu Hadîts sehingga hal ini menimbulkan penilaian yang bertentangan antara satu Hadîts dengan yang lainnya. Oleh sebab itu mengetahui konteks Hadîts menjadi hal yang sangat orgen dalam pemahaman Hadîts. Jika konteks suatu Hadîts diikutsertakan dalam memahmi Hadîts-Hadîts mukhtalif, akan terlihat perbedaan konteks antara satu dengan yang lainnya sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyah dapat dilenyapkan dan masing-masing Hadîts dapat diketahui arah pemahamannya.
Sebagai contoh diambil Hadîts tentang meminang wanita yang telah dipinang orang lain.
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبِعْ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ.
Hadis lain yang diapandang bertentangan ialah:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
Dalam Hadîts pertama Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Namun dalam Hadîts kedua justeru Rasulullah sendiri yang meminang Fatimah Bint Qais untuk Usamah Ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Mengapa hal ini terjadi, apakah Rasulullah tidak konsisten dengan pernyataannya? Tentu pertanyaan seperti ini yang akan muncul ketika tidak dilihat konteks kedua Hadîts tersebut.
Imam al-Syafi’iy berpendapat bahwa Hadîts pertama tidak bertentangan dengan Hadîts kedua karena Hadîts pertama berlaku pada kondisi dan situasi tertentu; tidak berlaku pada situasi dan kondisi lainnya. Adapun yang menjadi latar belakang dituturkannya Hadîts pertama ialah: Rasulullah ditanya tentang seseorang yang meminang perempuan dan pinangannya diterima untuk selanjutanya diteruskan kejenjang perkawinan. Akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik hati perempuan tersebut, dibanding laki-laki pertama sehingga ia pun membatalkan pinangan pertama. Inilah yang menjadi konteks Hadîts pertama.
Sementara Hadîts kedua, berbeda konteksnya dengan Hadîts pertama. Fatimah bint Qais datang kepada Nabi seraya memberitahukan bahwa ia telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Rasulullah tidak menyanggah pernyataan ini – sesuai dengan Hadîts pertama – karena Rasulullah tahu bahwa Fatimah sendiri tidak suka dan belum menerima kedua pinangan itu, sebab Fatimah datang kepada Rasulullah untuk meminta pertimbangan. Lalu Rasulullah memberikan solusi dengan miminangkannya untuk Usamah. Hal ini menggambarkan bahwa konteks Hadîts pertama berbeda dengan konteks Hadîts kedua, Hadîts pertama kondisi di mana seorang perempuan dengan persetujuan walinya telah menerima pinangan dari seorang laki-laki, maka ia tidak boleh lagi menerima pinangan lelaki lainnya. Sementara Hadîts kedua kondisi di mana seorang laki-laki baru sebatas mengajukan proposal pinangan, belum ada kepastian diterima atau ditolak, maka dalam kondisi seperti ini seorang perempuan boleh menolak pinangan tersebut dan menerima pinangan yang disukainya.
c. Pemahaman Korelatif
Pemahaman korelatif yang dimaksud ialah memperhatikan keterkaitan makna antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya yang dipandang mukhtalif yang mebahas permasalahan yang sama sehingga pertentangan yangg nampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan. Karena dalam menjelaskan satu persoalan tidak hanya ada satu atau dua Hadîts saja akan tetapi bisa saja ada bebarapa Hadîts yang saling terkait satu sama lainnya. Oleh karena itu semua Hadîts tersebut mesti dipahami secara bersama untuk dilihat hubungan makna antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya sehingga diperoleh gambaran yang utuh tentang satu masalah tersebut dan pertentangan yang terjadi dapat diselesaikan.
Sebagai contoh dikemukan Hadîts-Hadîts tentang waktu-waktu terlarang dalam melakukan shalat.
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ
Dalam hadits lain dinyatakan
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي قَالَ مُوسَى قَالَ هَمَّامٌ سَمِعْتُهُ يَقُولُ بَعْدُ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ للذِّكْرَى
Dua Hadîts di atas sama-sama diriwaytkan oleh Imam al-Bukhâriy dalam kitab shahîh-nya. Hadîts pertema menegaskan larangan menunaikan shalat di waku setelah subuh hingga terbit matahari dan waktu setelah ashar hingga terbenamnya matahari. Sementara Hadîts kedua tidak dibatasi oleh waktu, di mana seseorang dapat melakukan shalat kapan saja apabila ia lupa menunaikan kewajibannya, baik watu setelah subuh hingga terbit matahari maupun waktu setelah ashar hingga terbenam matahari.
Dua Hadîts di atas dipandang yang bertentangan. Keduanya tidak bisa dipertemukan begitu saja, sebelum dilihat riwayat lainnya yang dipandang relevan untuk menarik benang merah pertentangan antara keduanya. Karena shalat yang dimaksudkan oleh Hadîts pertama adalah shalat sunnat, sementara Hadîts kedua merupakan shalat wajib yang tidak dapat tidak mesti dikerjakan, dan jika lupa maka merupakan rukhshah melaksanakannya pada waktu ingat. Jika Hadîts kedua dipahami dengan shalat wajib, maka Hadîts kedua berkenaan dengan shalat sunnat. Namun apakah yang dimaksudkan oleh Hadîts pertama adalah shalat sunnat muakkad atau ghair mu’aqqd?
Adapun Hadîts yang relevan menjelaskan persoalan terkait ialah: Hadîts Ummu Salamah yang menerangkan bahwa: suatu hari Rasulullah pulang ke rumahku setelah ashar. Lalu beliau shalat dua raka’at, tak pernak aku melihat beliau melakukan hal yang sama.” Ummu Salamah pun bertanya: engakau melakukan shalat yang sebelum ini tak pernah sebelum ini aku melihatnya. Rasul menjawab: ”sebelum ini aku senantiasa melakukan shalat sunnat dua rakaat setelah shalat zuhur. Namun tadi aku tidak sempat melakuaknnya kerana sibuk menerima delegasi dari Tamim dan urusan sadaqah. Dua raka’at tadi ialah shalat dua rakaat setelah zuhur.
Riwayat dari Qais juga dipadang mempunyai aspek korelasi dengan dua Hadîts yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâriy yang bertentangan di atas. Qais berkata: pernah Nabi memandangku ketika aku melaksanakan shalat dua raka’at setelah subuh. Lantas beliaupun bertanya: shalat apakah yang engkau kerjakan ini ya Qais? Tadi aku tak sempat melakukan shalat sunat fajr. Lalu beliau diam mendengarkan penjelasanku.
Keterangan dari Ummu Salamah dan Qais memastikan bahwa shalat yang dilarang pada Hadîts pertama merupakan shalat sunnat ghair muakkad. Untuk shalat sunnat muakkad, maka dua ketarangan di atas mengindikasikan bahwa ia boleh dilaksanakan.
d. Menggunakan Cara Ta’wîl
Takwil berarti memalingkan lafaz dari makna lahiriyahnya kepada makna lain yang dikandung oleh lafaz karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini dikukan makna lahiriyah yang ditampilkan oleh lafaz Hadîts dinilai tidak tepat untuk menjelaskan makna yang ditujunya, dengan mengambil kemungkinan makna lain yang lebih tepat di antara kemungkinan makna yang dikandung oleh lafaz. Pemalingan ini dilakukan kerana adanya dalil yang menghendakinya. Oleh al-Syafi’iy metode takwil dipandang dapat digunakan untuk menghilangkan pertenatangan antara satu Hadîts dengan Hadîts lainnya. Contoh:
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ
و حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَعْنٌ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ و قَالَ الْأَنْصَارِيُّ فِي رِوَايَتِهِ مُتَلَفِّفَاتٍ
Hadîts petama pada contoh di atas menggambarkan bahwa waktu yang lebi afdhal untuk melaksanakan shalat subuh ialah waktu asfar, yakni waktu subuh sudah mulai terang. Sedangkan Hadîts kedua menjelaskan bahwa waktu yang afdhal untuk melaksanakan shalat subuh ia ghalas, yakni susana gelap diujung malam dan datangnya cahaya subuh. Kedua Hadîts di atas menampilkan pertenatangan antara satu dengan lainnya, di mana Hadîts pertama di akhir waktu dan Hadîts kedua di awal waktu.
Dalam masalah ini Imam al-Syafi’iy justeru tidak melihat pertentanagn antara kedua Hadîts di atas. Imam syafi’iy men-takwil-kan kata isfâr pada Hadîts pertama. Di mana isfâr yang semulanya dimaknai dengan “waktu subuh yang sudah mulai terang mendekati matahari terbit” di-takwil-kan dengan makna “awal waktu subuh yang ditandai dengan terbitnya cahaya fajar yang tampak di langit. Dalam kata lain, makna isfâr pada Hadîts pertama di-takwil¬-kan dengan makna ghalas pada Hadîts kedua. Hal ini dilakukan karena Hadîts kedua dipandang memiliki nilai lebih dibanding Hadîts kedua untuk dijadikan sebagai hujjah.
Contoh lain Metode ini bisa menjadi salah satu alternatif baru dalam menyelesaikan hadits-hadits yang bertentangan. Sebagai contoh hadits tentang lalat. Hadits tersebut dinilai kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan. Sebab lalat merupakan serangga yang sangat berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit. Lalu bagaimana mungkin Nabi s.a.w. menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang hinggap di minuman? Demikian kurang lebih keraguan dan penolakan Taufiq Shidqi terhadap kebenaran hadits tentang lalat sebagaimana dikutip G.H.A. Juynboll. Hadis tersebut :
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
“Khalid Ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn Bilal bercerita kepada kami, dia berkata: Uthbah ibn Muslim telah bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn Hunain berkata: saya mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: apabila ada lalat jatuh dalam minuman salah seorang kalian, maka hendaklah ia membenamkannya sekalian, lalau buanglah lalat tersebut. Sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedang pada sayap yang lain terdapat penawar (obat).” (HR al-Bukhari).
Selintas hadits tersebut memang tidak masuk akal dan kontradiksi dengan teori kesehatan. Namun ternyata hasil penelitian dari sejumlah peneliti muslim di Mesir dan Saudi Arabia terhadap masalah ini, justeru membuktikan lain. Mereka membuat minuman yang dimasukkan kedalam beberapa bejana yang terdiri dari air, madu dan juice, kemudian dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat. Setelah lalat masuk kedalam beberapa minuman tersebut, mereka melakukan komparasi penelitian, antara minuman yang ke dalamnya dibenamkan lalat dan tidak dibenamkan. Ternyata melalui pengamatan mikroskop diperoleh hasil bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan yang tidak dibenamkan dipenuhi dengan banyak kuman dan mikroba, sementara minuman yang dihinggapi lalat justeru tidak dijumpai sedikitpun minuman dan mikroba. Ini adalah sebuah penelitian ilmiah dan semakin membuktikan kebenaran hadits tersebut secara ilmiah meskipun pada awalnya dari zhahir hadits terlihat mempunyai pertentangan dengan ilmu kesehatan.
Sebenarnya masih terdapat metode dalam penyelesaian hadits mukhtalif yang mana biasa disebut metode tawaqquf. Namun ditengarai ketika orang menggunakan metode ini terkesan hanya membiarkan saja tanpa ada usaha untuk melakukan komparasi dengan penelitian lebih lanjut. Oleh karenanya penulis lebih cenderung menggunakan metode ta’wîl daripada menggunakan metode tawaqquf. Karena setiap sumber perkataan Nabi pasti mengandung sebuah makna dan tujuan sehingga bagaimanapun juga kita harus mengungkap makna yang tersirat di dalamnya.
2. Metode al-Jam’u wa at-Taufîq
Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjîh (mengumpulkan salah satu dari dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa at-taufîq ini tidak berlaku bagi hadis–hadis dha’îf (lemah) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih.
Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufîq adalah hadits tentang cara berwudhu Rasulullah s.a.w.. Hadis pertama menyatakan bahwa Rasulullah s.aw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةً. اختلاف الحديث – ج ١ ص ٦
“Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali.” (H.R. asy-Syafi’i)
Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
“Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap).” (HR Asy-Syafi’i).
Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilâf al- Hadîts :
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ: مُخْتَلِفٌ مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُ: أَقَلُّ مَا يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌ. اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala)
3. Penyelesaian dengan Cara Nasakh
Penyelesaian dalam bentuk nasakh dipandang sebagai bentuk penyelasaian Hadîts-Hadîts mukhtalif non-kompromi. Dikatakan demikian karena salah satu dari Hadîts tidak lagi dapat diamalkan, hal ini sesuai dengan ungkapan imam al-Syafi’iy terdahulu yakni: ”Dan jangan jadikan Hadîts-Hadîts bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan salah satu darinya.” Di sini terungkap bahwa cara kompromi tidak membuahkan penyelesaian, oleh sebab itu ditempuh cara nasakh. Sebab pada Hadîts-Hadîts mukhtalif yang pertentangannya tidak saja pada makna lahiriyahnya namun juga pada makna yang dikandungnya, dalam masalah seperti ini munkin sekali antara Hadîts-Hadîts tersebut telah terjadi nasakh. Oleh karena itu ia mesti dipahami dengan melihat ketentuan-ketentuan nasakh yakni mengamalkan yang nâsikh dan meninggalkan yang mansûkh.
Secara etimologi nasakh mengandung dua makna, yaitu الإزالة (menghilangkan) dan النقل (memindahkan). Secara Istilah ulama ushûl merumuskan sebagai:
رفع الشارع حكما شرعيا بدليل عرعي متراخ عنه
Pembatalan hukum syar’iy oleh syar’iy berdasarkan dalil syar’iy yang datang kemudian.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam persoalan hukum makan daging kuda:
أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ.
Dua Hadîts di atas terlihat saling bertantangan, Hadîts pertama bersisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadîts kedua menunjukkan kebolahan memakan daging kuda. Pertenatangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh . Hukum keharaman makan daging kuda pada Hadîts pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada Hadîts Jâbir Ibn Abdallah yang datang setelahnya.
4. Penyelesaian dengan Cara Tarjîh.
Secara etimologi tarjîh berarti “menguatkan”, sedangkan secara terminologi tarjîh menurut didefenisi jumhur ulama ialah:
تقوية إحدى الإمارتين (أي دليلين الظنيين) على الأخرى ليعمل بها
menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanniy atas yang lainnya untuk diamalkan.
Dalam masalah penyelesaian Hadîts-Hadîts mukhtalif dengan cara tarjîh, dimaksudkan membandingkan Hadîts-Hadîts yang tampak bertentangan yang tidak dapat dikompromikan dan tidak pula ditemukan adanya indikasi nasakh, maka dengan perbandingan tersebut diambil Hadîts yang lebih kuat yang memilki nilai hujjah yang lebih tinggi dari Hadîts yang lainnya, di mana yang lebih kuat diamalkan dan yang lemah ditinggalkan. Oleh karena hal-hal yang dapat menguatkan sautu Hadîts untuk dijadikan hujjah digunakan sebagi data dan senjata untuk melemahkan Hadîts lain yang memiliki data ke-hujjah-an yang lebih sedikit, baik dari aspek sanad maupun matn. Dengan mengadu data ke-hujjah-an dapat diketehaui antara Hadîts yang bertentangan tersebut yang lebih râjih, sehingga dengan marjûh-nya yang lemah mengakibatkan pertentangan yang terjadi hilang, dan sekaligus melahirkan konsekwensi baru, yakni ditinggalkannya yang lemah.
Sebelum masuk pada pembahasan berikutnya perlu dijelaskan bahwa konsep penyelesaian Hadîts mukhtalif di atas, menurut Imam al-Syafi’iy dilakukan dengan berurutan. Namun, menurut Hanafiyah, urutannya tidak seperti yang diungkapkan Imam al-Syaf’iy, dan bahkan Hanafiyah memiliki metode lain yang tidak ditemukan dalam pendapat Imam al-Syafi’iy. Hanafiyah mendahulukan penyelesaian Hadîts mukhtalif dengan terlebih dahulu menerapkan metode nasakh, jika tidak ditemukan indikasi nasakh dan mansûkh, maka diteruskan dengan tarjîh, jika dengan cara tarjîh tidak juga berbuah solusi atas pertentangan yang terjadi barulah digunakan jalan kompromi, terakhir kitika ketiga cara tidak juga menuai hasil yang pasti, maka Hanafiyah menempuh jalan yang tidak ada dalam konsep al-Syafi’iy, yakni tasâqut al-dalîlain. Tasâqut al-dalîlain mengandung arti menggungurkan dua dalil yang bertentangan, maka dalam proplem Hadîts mukhtalif kedau Hadîts yang saling bertentangan tersebut digugurkan segugur-gugurnya, untuk kemudian merujuk pada dalil yang derajatnya dibawah derajat dalil yang saling bertentangan tersebut.
Di sini lah letak perbedaan Imam al-Syafi’iy dengan Hanafiyah dalam menyelesaikan bertentangan antara satu dalil dengan dalil lainnya. Hal ini didasari oleh cara pandang yang berbeda, Hanafiyah mendahulukan nasakh, hal ini bisa saja dilakukan agar kerja tidak berulang karena jika ditempuh kompromi terlebih dahulu, ternyata pertentangan yang terjadi sudah ada kejelasan nasakh-nya maka cara kompromi dipandang dapat menyita waktu. Dalam persoalan ini belum diteliti apa yang melatarbelakangi Hanafiah menggunakan urutan metode yang berbeda dengan al-Syafi’iy. Namun al-Syafi’iy dalam pernyataan terdahulu telah dijelaskan bahwa ia memilki prinsip mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan salah satu darinya, apalagi meninggalkan kedua dalil tersbut.
Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana di antara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ ، عَنِ الشَّعْبِيِّ ، عَنْ عَلْقَمَةَ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ يَزِيدَ الْجُعْفِيِّ ، قَالَ : انْطَلَقْتُ أَنَا وَأَخِي إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنَّ أُمَّنَا مُلَيْكَةَ كَانَتْ تَصِلُ الرَّحِمَ ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ ، وَتَفْعَلُ ، وَتَفْعَلُ هَلَكَتْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، فَهَلْ ذَلِكَ نَافِعُهَا شَيْئًا ؟ قَالَ : لاَ قَالَ : قُلْنَا : فَإِنَّهَا كَانَتْ وَأَدَتْ أُخْتًا لَنَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، فَهَلْ ذَلِكَ نَافِعُهَا شَيْئًا ؟ قَالَ : الْوَائِدَةُ وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ ، إِلاَّ أَنْ تُدْرِكَ الْوَائِدَةُ الإِِسْلاَمَ ، فَيَعْفُوَ اللَّهُ عَنْهَا.
حَدِيثُ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ.
“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka.” (HR Abu Dawud)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurûdnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah s.a.w.. Seraya bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an- Nasa’i, dan dinilai sebagai hadis hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.
Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan al-Quran surat at-Takwîr/81: 8-9 :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?”
Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad s.a.w. akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)
5. Masalah Tanawwu’ al-‘Ibâdah
Tanawwu’ al-‘Ibâdah merupakan salah satu cara yang ditempuh Imam al-Syafi’iy dalam menyelesaikan Hadîts mukhtalif dengan catatan mukhtalif tidak pada makna ta’âruth tapi tanawwu’. Adapun yang dimakud dengan Hadîts- Hadîts tanawwu’ al-ibâdah ialah Hadîts-Hadîts yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan, bukan pertentangan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut.
Manakah yang lebih afdhal untuk diamalkan? Dalam masalah ini perlu disimak tiga hal: (1) ragam ibadah yang sering dilakan oleh Rasulullah dan sahabat. (2) memperhatikan ajaran yang dibawa oleh Hadîts itu sendiri, manakah yang lebih tepat dan lengkap sesuai dengan situasi dan kondisi si pemakai. (3) memperhatikan manakah di antara Hadîts-Hadîts tersebut yang lebih tinggi tingkat ke-shahîh-annya. Maka dalam hal ini tingkat kesumpurnaan lebih penting untuk dijadikan yang utama. Contoh: tentang ragam bacaan dalam rukû’ dan sujûd:
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ
و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَيُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ
و حَدَّثَنِي حَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ قُلْتُ لِعَطَاءٍ كَيْفَ تَقُولُ أَنْتَ فِي الرُّكُوعِ قَالَ أَمَّا سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَأَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ افْتَقَدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى بَعْضِ نِسَائِهِ فَتَحَسَّسْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَإِذَا هُوَ رَاكِعٌ أَوْ سَاجِدٌ يَقُولُ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَقُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي إِنِّي لَفِي شَأْنٍ وَإِنَّكَ لَفِي آخَرَ
Tiga contoh bacaan dalam rukû’ dan sujûd di atas merupakan ragam ibadah yang ketiganya diajarkan oleh Rasulullah dan diriwayatkan dengan isnad yang shahîh. Dalam mengamalkannya tergantung pada orang yang mengamalkannya manakah yang menurutnya tapat untuknya, baik dari kebiasaan, hafalan, atau makna yang dikandung oleh bacaan itu sesuai dengan doa yang ingin ia panjatkan ketika sujûd dan rukû’. Masih banyak bacaan yang lain yang diajarkan oleh Rasulullah menyangkut bacaan rukû’ dan sujûd, maupun bacaan yang lainnya.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan pertanyaan yang diajukan pada sub pendahuluan dan paparan mengenai masalah yang dibahas, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat dipetik:
1. Ikhtilâf secara bahasa mengandung dua makna, yaitu, تعارض (pertentangan) dan تنوع (ragam). Sehingga dari makna ini Hadîts mukhtalif tidak saja dipahami sebagai Hadîts yang secara lahiriyahnya tampak bertentangan, namun juga digunakan untuk istilah ragam Hadîts yang mengandung perbedaan namun tidak membawa pertentangan.
2. Hadîts mukhtalif dapat diartikan dengan Hadîts maqbûl, baik shahîh atau hasan yang secara lahiriyahanya tampak saling bertentangan dengan Hadîts lainnya yang berkwalitas sama, namun, makna yang sebenarnya tidaklah bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat selesaikan, baik dengan cara kompromi, nasakh atau pun tarjîh.
3. Menurut Imam al-Syafi’iy Hadîts mukhtalif dalam kategori bertentangan dapat dipahami dan selesaikan pertenatangannya melelaui metode kompromi, nasakh atau pun tarjîh. Dimana metode kompromi meliputi bebarapa langkah yaitu: dengan menggunakan pemahaman dengan pendekatan kaedah ushûl, pemahaman kontekstual, korelatif, dan takwîl. Ketiga ini dilakukan dengan berurutan. Urutannya seperti yang diungkapkan Imam al-Syaf’iy ini, berbeda dengan Hanafiyah, di mana Hanafiyah menawarkan urutan nasakh, tarjîh, kompromi, dan yang terakhir ia menempuh metode yang tidak ada dalam konsep al-Syafi’iy, yakni tasâqut al-dalîlain. Kemudian bagi al-Syafi’iy untuk Hadîts mukhtalif dalam ketegori perbedaan yang mengandung keragaman diselesaikan dengan tanawwu’ al-ibâdah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Badrân, Abu al-‘Ainain Badrân, Adllah al-Tasyrî’ al-Muta’âridhah wa Wujuh al-Tarjîh bainahâ, al-Iskandariah: Muassah al-Syiariy al-Jâmi’ah, 1985
2. al-Bukhâriy, Abu ‘Abdallah Muhammad Ibn Ismâ’îl Ibn Mughîrah Ibn Bardizbâ, Shahîh al-Bukhâriy, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999
3. CD al-Hadîst al-Syarif
4. CD maktabah as-samila
5. Ibn Manzhûr, Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Lisân al-‘Arab, Bairût: Dâr Fikr, 1990
6. Al-Khatib, Muhammad Ajjâj, Ushul al-Hadîts Ulûmuh wa Musthalah, Bairût: Dâr Fikr, 1989
7. Ma’lûf, Lois, al-Munjid fiy Lughah wa al-I’lâm, Bairût: Dâr al-Masyrûq, 1994
8. Al-Naisâbûriy, Abi al-Hasan Muslim al-Hajjâj al-Qusairiy, Shahîh Muslim, al-Qâhirah: Dâr Ibn al-Haitsam, 2001
9. Al-Nasâ’iy, Abdurrahman Ahmad Ibn Syu’îb Ibn ‘Aliy, Sunan al-Nasâ’iy, Bairût Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 1995
10. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wcana Ilmu, 1997), Cet ke-2, h. 196
11. al-Qâsimiy, Muhammad Jamâl al-Dîn, Qawâ’id al-Tahdîts min Funûn Mushthalah al-Hadîts, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth
12. Safri, Edi, al-Imam al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Padang: IAIN IB Press, 1999
13. Samrah, Abu ‘Isâ Muhammad Ibn ‘Isâ Ibn, Jâmi’ al-Shahîh Sunan al-Tirmidziy, Bairût: Dâr al-Fikr, 1994
14. Al-Syafi’iy, Muhammad Ibn Idris, al-Umm, Bairût, Dâr al-Fikr, 1983
15. Âmir Ahmad Khaidir (ed.), Ihktilâf al-Hadîts, Bairût, Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1985
16. Al-Syuyûthiy, Jalâl al-Dîn Abu al-Fadhl Abd al-Rahmân, Tadrîb al-Râwiy fiy Syarh Taqrîb al-Nawâwiy, Bairût: Dâr Fikr, 1988
17. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushûl al-Hadîts. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) Cet. ke-1,
18. Syarf al-Dîn ‘Aliy al-Rajihi, Mushthalah al-Hadîts wa Atsaruh ‘ala al-Dâr al-Lughawiy ‘Inda al-‘Arabiy, (Barût: Dâr al-Nahdhat al-‘Arabiyah, tth),
19. Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008).
20. G.H.A Juynboll, The Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J Brill, 1969)
21. Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adhlabi, Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda Ulamâ al-Hadîts an-Nabawiy (Beirut: Dar al-Fikr al-Jadidah 1983),
Subscribe to:
Posts (Atom)