( Cerpen Humor Santri )
BAGAIMANA SANTRI JELEK BERSIKAP ???
Seorang santri yang masih lugu merasa bingung
bagaimana seharusnya ia bersikap. Ia memang santri yang berwajah pas-pasan.
Umurnya yang sudah mencapai dua lima tahun, meninggalkan bekas ketuaan di
wajahnya. Sehingga teman-temannya memanggilnya pak tua.
Ia juga terkenal sebagai santri yang hiperaktif
alias suka banget ngomong. Apalagi kalau
sudah di depan massa, ia seolah-olah menjelma menjadi orator ulung bak seorang
soekarno yang sedang berpidato menggerakkan massa. Tak heran jika
teman-temannya menjulukiya mulut besar.
Di samping itu, ia juga berpawakan pendek alias cebol.
Mungkin karena itulah ia mendapat panggilan kehormatan ( atau mungkin
penghinaan) berupa si kerdil.
Belum lagi ia juga seorang santri yang mempunyai
masalah dengan kedua matanya. Kedua matanya sudah mens tiga setengah. Untuk
bisa melihat dengan jelas, ia harus dibantu dengan kaca mata. Tapi sayangnya,
ia termasuk santri yang kurang modis. Kaca mata yang ia beli berdiameter 2 cm,
sebuah ukuran yang terlalu besar untuk bola matanya. Karena itulah sebagian
teman-temannya memanggilnya mr big glass.
Ia menyadari semua kekurangannya mulai dari usianya
yang sudah tak muda lagi, wajahnya yang pas-pasan, bakat bicara yang dianggap
sebagai over dosis, tubuh kerdil alias cebol, dan kekurangan-kekurangan yang
lain yang dianugerahkan oleh tuhannya, sang creator agung. Namun ia tak habis
pikir dengan perlakuan teman-temanya yang memberinya banyak panggilan negative.
Sore itu, ia memutuskan untuk menceritakan semua kegundahan
yang ada di hatinya kepada pak kiyai. Bukan untuk meminta belas kasihan tapi
sekedar untuk mengurangi beban berat yang menggelayuti pikirannya.
Setelah solat Asar dilaksanakan, ia segera menunggu
pak kiyai di depan rumahnya. Tak lama kemudian sang kiyai turun dari masjid dan
menyalami santrinya itu. Sang kiyai segera mempersilahkannya masuk ke dalam
rumah.
Oh betapa bahagia santri itu. Ia merasa sangat
dihargai oleh kiyainya. Memang kiyainya itu terkenal kiyai yang sangat tawadlu’
kepada makluk Allah termasuk kepada santrinya sendiri. Sang kiyai tidak pernah
meminta bantuan kepada siapapun untuk melakukan pekerjaanya selama ia masih
bias melakukannya. Seperti saat itu, sang kiyai sendirilah yang membawakan
minuman untuk santrinya tanpa merasa kikuk. Hal ini membuat sang santri tambah
menghormatinya sekaligus mengaguminya.
“Ayo lee…diminum dulu” ucap kiayai dengan suara penuh
wibawa.
“nggih yi…”
Dengan rasa malu sang santri meminum teh yang
disuguhkan kiyainya. Ia merasa malu karena sampai saat itu, ia belum bisa
mandiri. Untuk minum teh pun ia harus disuruh kiyai. Bahkan kadang kala sang
kiyai harus mengulang perintahnya berulang kali agar ia mau melakukannya.
Seperti saat itu, setelah minum the, sang kiyai memintanya makan roti. Ia diam
saja. Ia merasa tidak harus makan roti karena ia sudah kenyang atau lebih
tepatnya atas nama tawadlu’ ia berlagak malu-malu untuk makan padahal ia mau.
Bahkan seandainya roti itu ditawarkan di luar rumah oleh pembantu kiyai
misalnya, maka ia akan memakannya secepat kilat.
“lee… ada perlu apa? Tumben sowan.” Tanya sang kiyai
Pertanyaan kiyai itu guyonan namun juga mengandung
sindiran. Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa kiyai didatangai saat
dibutuhkan saja. Bahkan sebagian orang mengibaratkan kiyai dengan daun salam.
Saat kita memasak daging sapi misalnya
belum lengkap dan siip kalau belum diberi daun salam. Maka dengan usaha
apaun dan bagaimana cara, daun salam harus didapatkan. Tapi saat masakan sudah
matang. Daun salamlah bahan yang pertama kali dibuang. Sang sangtri merasa malu
dengan pertanyaan kiyainya.
“Gini bah….”, Sang santri mulai
angkat bicara ”aku merasa bingung bagaimana aku harus bersikap”
“Apa yang harus kamu sikapi”
Teman-teman di pondok ini memanggil saya dengan
julukan-julukan yang tidak semestinya tidak mereka lakukan. Mereka memanggilku
si cebol, pak tua, kuper alias kurang pergaulan, dan banyak julukan lain”
Lalu apakah kamu merasa
keberatan denga panggilan itu? Jika kamu merasa keberatan dengan panggilan itu
nanti akan saya sampaikan kepada mereka agar mereka tidak memanggilmu dengan
julukan-julukan itu. Tapi bukankah seharusnya kamu bersabar? Karena itu dapat
kamu jadikan lahan untuk mendapatkan pahala sebesar-besarnya dan
sebanyak-banyaknya.
Kalo hanya untuk bersabar atas
ejekan teman-teman aku bisa bersabar kok kiyai.
“lalu apa yang jadi masalah?”
Saya hanya nggak enak menjadi
sebab hilangya pahala-pahala kebaikan amal teman-temanku”
“Maksudmu apa?”
“Maksudku adalah saat aku mengaji dengan bapak kiyai
aku mendengar bahwa orang yang berlaku dlolim kepada orang lain nanti di
akhirat pahala amal kebaikannya akan delimpahakn kepada orang yang dizalimi dan
jika pahala kebaikan orang itu sudah habis, maka dosa orang yang dizalimi akan
diberikan kepadanya. Aku hanya takut kalau pahala amal perbuatan teman-teman
nanti akan dilimpahkan kepadaku. Dan jika pahala amal mereka tidak cukup untuk menebus
dosa ejekan mereka kepadaku, maka dosaku akan dibebankan kepada mereka.
Bukankah itu berarti mereka akan masuk neraka? Dan bukankah itu juga berarti
aku akan masuk sorga sendirian tanpa mereka? Aku hanya tak ingin sendirian di sorga
pak kiyai”.
Hahahahahaha.
No comments:
Post a Comment