Tugas Kelompok: 3
Ahmad Said, Bahrudin Zaini, Rahmat[1]
Pendahuluan
Dalam makalah ini
kami akan memaparkan kepada teman-teman sekalian tentang Dakwah Islam
Perspektif Sejarah. Dalam makalah ini kami tidak lagi menjelaskan apa yang
dimaksud dengan sejarah, ataupun apa yang dimaksud dengan dakwah itu sendiri. Melainkan
menuju ke titik pont penting dari bahasan judul besar kami di atas.
Sehingga dalam
makalah ini kita akan mengetahui bagaimana sejarah perkembangan atau sejarah
mengenai dakwah Islam itu dimulai semenjak kapan? Dan bagaimana
pengklasifikasiannya?. Nah untuk jawaban atas dua pertannyaan ini, kami
haturkan selamat membaca.
Penting kiranya
teman-teman berkenan untuk memberikan saran dan kritikan yang membangun guna
sempurnanya makalah kami ini. semoga bermanfaat amin.
Sub-sub dalam
pembahasan makalah
A.
Periode Sebelum Nabi Muhammad
B.
Periode Nabi Muhammad SAW dan Khulafa al-Rosyddun
C.
Periode Umayyah, ‘Absiyyah, dan Utsmani
D.
Periode Zaman Modern
E.
Modern ala Indonesia
Pembahasan
Sejarah
Perkembangan Dakwah
Para sarjana
Islam, terutama para sejarawan berbeda pandangan dalam menentukan titik awal
dakwah Islam dimulai. Perbedaan pendapat ini tidak terlepas dari pengertian
tentang makna Islam itu sendiri. Mereka yang beranggapan bahwa makna Islam
adalah makna universal, maka dakwah Islam telah dimulai sejak zaman Nabi Nuh
as. Namun jika Islam dalam maknanya yang spesifik adalah apa dibawa oleh Nabi
Muhammad, maka dakwah Islam dimulai semenjak diutusnya Nabi Muhammad SAW. Namun
para sarjana Islam yang membagas tentang sejarah dakwah, lebih cenderung
membahasnya pada tataran Islam dengan makna universal yang menakup dakwah Nabi
Nuh hingga Nabi Isa as.
Sejarah dakwah
dapat dibagi menjadi empat periode.
Periode pertama, tentang dakwah para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Periode
kedua, masa Nabi Muhammad dan Khulafa’ al-Rasyidun. Periode ketiga, masa
kekuasaan dinasti Umayyah, Abasiyyah, dan Usmani. Periode keempat, masa
modern.
A. Periode Sebelum Nabi Muhammad SAW
Pada periode
pertama, semenjak Nabi Nuh hingga Nabi Isa, para ahli sejarah Islam sepakat
bahwa mereka merupakan Da’i utusan Allah yang mengajak kepada ketauhidan
(pengesaan Tuhan) serta memerangi kemusyrikan, menyuruh kepada ketaatan, dan
mencegah perbuatan maksiat. Hal ini Allah terangkan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa’
atay 163:
Artinya: “sesungguhnay Kami telah memberikan wahyu
kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang
kemudian, dan Kami telah memberiakn wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq,
Ya’kub dan anak-anak cucunya, Isa, Ayyub, yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami
berikan Zabur kepada Daud”.
Dan dalam surat an-Nahl ayat 36:
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul
dan tiap-tiap umat.”sembahlah Allah dan jauhilah Thagut itu”, maka di antara
umat-umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu
di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul)”.[2]
Dakwah para nabi pada periode ini lebih bersifat lokal,
di mana para nabi diutus
kepada kaum tertentu,
sesuai dengan kebutuhan dan kecenderungan masing-masing kaum. Dalam menjalankan
dakwah, para nabi dibekali dengan kemampuan luar biasa yang biasa disebut
dengan mu’jizat sebagai legitimasi kebenaran yang mereka bawa. Al-Qur’an
juga menjelaskan tentang perjalanan dan metode dakwah mereka, di samping
kendala dan cobaan-cobaan yang dihadapi, serta kesabaran dan istiqamah mereka
dalam menghadapi kaumnya.
Hal ini dapat kita lihat dari beberapa redaksi dalam
Al-Qur’an yang bercerita tentang perjalanan dakwah mereka. Tentang Nabi Nuh
dalam surat Nuh dan al-A’araf ayat 59, tentang Nabi Hud dalam
surat Hud dan al-A’araf ayat 65-72, tentang Nabi Saleh dalam
surat Hud ayat 62-65, tentang Nabi Ibrahim dalam surat asy-Syu’ara ayat
69-89, tentang Nabi Luth dalam surat al-A’araf ayat 80-84, tentang Nabi
Yusuf dalam surat Gafir ayat 34, tentang Nabi Syu’aib dalam surat al-A’araf
ayat 85-87, tentang Nabi Musa dalam surat Thaha ayat 43-48, tentang
Nabi Daut dalam surat Sadh ayat 17-20, tentang Nabi Sulaiman dalam surat
Saba’ ayat 12-14 seta tentang Nai Isa dalam surat Ali ‘Imran ayat
59.
Para rasul telah berdakah dan menyeru manusia untuk
mengesakan (menauhidkan) Allah dan melarang mereka dari menyekutukan-Nya. Para
nabi telah menjelaskan hakikat tauhid itu dengan metode dan cara yang beraneka
ragam, antara lain dengan memerhatikan ayat-ayat kauniyat (tanda-tanda
kekuasaan Allah yang berkaitan dengan alam fisik), mengingatkan manusia akan
nikmat dan karunia Allah, menjelaskan sifat-sifat kesempurnaan yang ada
pada-Nya dengan argumen-argumen yang logis, dengan memuat permisalan-permisalan
atau dengan merenungi diri manusia itu sendiri dan cakrawala alam semesta.
Dengan kata-kata yang bijaksana dan argumen yang benar
itulah paa rasul menyampaikan dakwah kepada kaumnya. Tidak ada yang berbeda
antara utusan yang satu dengan yang lain. Mereka meyakinkan risalah dan
kerasulannya dengan menampakkan sikap jujur, karena setiap nabi dan rasul
memiliki sifat itu.
Sebagaimana seorang nabi menampakkan kepada kaumnya
sebagian mukjizat dari sisi Tuhan untuk menguatkan kebenaran risalahnya, ia
juga mendatangkan berbagai bukti dan argumen yang lain. Apa yang dibawa berupa
kebenaran itu diturunkan dari sisi Allah SWT. Dengan cara yang bijak, argumen
yang mantap, dan bukti yang nyata, agar benar-benar bisa diterima dengan lapang
dada oleh Mad’u (objek dakwah) dan bukan karena paksaan. Jika mereka
telah beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan dalil-dalil naqli dan
aqli (wahyu dan logika), dan ketika keimanan itu telah meresap di hati
mereka, maka para rasul kemudian mengajak mereka untuk beriman kepada hari
dibangkitkannya manusia dari kubur. Karena hal itu termasuk masalah gaib yang
tidak mungkin bisa dicapai oleh akal kecuali setelah beriman kepada Allah dan
rasul-Nya. Iman para rasul-rasul Allah mengandung konsekuensi beriman terhadap
apa yang mereka bawa. Dan di antara yang terpenting dari yang mereka bawa
adalah mengajak untuk beriman kepada hari ba’ts (kebangkitan), hisab serta
pembalasan. Oleh karena itu, mengingkari adanya hari ba’ts sama dengan
mengingkari apa yang dibawa oleh para rasul.[3]
B. Periode
Nabi Muhammad dan Khulafa al-Rosyddun
Sejarah dakwah Nabi Muhammad dapat dibagi menjadi dua
fase, fase Mekkah dan fase Madinah. Fase Mekkah dimulai semenjak Rasulullah
menerima wahyu pertama di gua Hira, dan dimulai dari kalangan tertentu dari
keluarga, saudara, dan kerabat terdekat beliau, seperti Khadijah, Abu Bakar,
Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah, kemudian diikuti oleh beberapa
sahabat lainnya, seperti Utsman bin ‘Affan, Zubair bin al-‘Awam, ‘Abd al-Rahman
bin ‘Auf dan lain-lain.
Setelah tiga tahun lamanya Nabi Muhammad berdakwah dengan
sembunyi-sembunyi (dakwah bi al-sir), maka Allah menurunkan perintah
kepada beliau untuk berdakwah dengan terang-terangan (dakwah bi al-jahr)
dan memperluas jangkauan dakwah. Dakwah ini mendapat tantangan yang sangat
keras terutama dari pamannya Abu Lahab dan orang-orang Quraisy. Namun penghinaan
dan siksaan yang dilancarkan oleh orang-orang Quraisy tidak mamp menghentikan
langkah Nabi Muhammad dan para pengikutnya.
Pada fase ini, Nabi Muhammad melakukan beberapa langkah
yang dianggap sangat penting untuk kelanjutan dakwah Islam, di antaranya adalah
konsentrasi beliau terhadap pendidikan dan penyucian diri bagi mereka yang
menerima Islam (memeluk Islam) dengan jalan pembelajaran dan penerapan
nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari serta memperdalam arti
solidaritas antara sesama muslim.
Sedangkan fase Madinah dimulai ketika Nabi Muhammad
menerima wahyu untuk berhijrah ke madinah pada saat orang-orang Quraisy
merencanakan pembunuhan terhadap Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Fase
Madinah merupakan lembaran sejarah baru bagi nabi dan para pengikutnya dengan
semakin kuat dan bertambahnya umat Islam, baik secara kuantitas maupun
kualitas.
Pada fase ini, Raulullah masih tetap berkonsentrasi untuk
menyampaikan dakwah atau risalah Islam dengan jalan pembacaan ayat-ayat
Al-Qur’an, mengajarkan makna-makna Al-Qur’an dan hukum-hukumnya, mendirikan
masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam, mempersaudarakan antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar, menegakkan hukum-hukum syariat, dan lain-lain.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, dakwah deteruskan oleh
Abu Bakar yang menjabat selama dua tahun tiga bulan delapan hari, kemudian Umar
bin Khattab yang menjabat selama sepuluh tahun enam setengah bulan, kemudian
dilanjutkan oleh Utsman bin ‘Affan yang menjabat selama dua beas tahun,
kemudian Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib yang menjabat selama lima
tahun. Jadi, masa Khulafa al-Rasyidun seperti yang diungkapkaan oleh al-Suyuthi
berlanjut selama 30 tahun, yaitu dari semenjak wafatnya Rasulullah pada tahun
kesepuluh Hijrah hingga terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun keempat puluh
Hijrah.
Pada masa ini, aktivitas dakwah secara intern
dilaksanakan dengan khotbah dan diskusi-diskusi keagamaan, baik antara para
sahabat ataupun dengan mereka yang baru memeluk Islam (muallaf). Secara
ekstern, dakwah semakin menggeliat dengan semakin luasnya daerah-daerah yang
dikuasai oleh umat muslim terutama pada masa khalifah Abu Bakar, umar bin
Khattab dan Utsman bin Affan, sedangkan pada masa Ali bin Abi Thalib laju
dakwah agak tertahan karena menghadapi gejolak politik yang terjadi antara
beliau dengan A’isyah dan pendukungnya, serta dengan Mu’awiyah yang banyak
memakan korban.
Pada masa Abu Baka terjadi peperangan melawan orang-orang
murtad dan orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat, serta memerangi Musailamah
al-Kazzab (seorang yang mengaku nabi). Pada masa ini juga Al-Qur’an untuk pertama
kali dikumpulkan sebagai reaksi dan ketakutan Abu Bakar dengan meninggalnya
sebagian besar para sahabat yang hafal Al-Qur’an dalam peperangan.[4]
Pada masa Umar bin Khattab banyak daerah yang dapat
ditaklukkan, di antaranya Damaskus, Azerbijan, al-Ahwaz, Palestina (Bait
al-Maqdis), dan lain-lain. Umar juga adalah khalifah pertama kali yang
mengumpulkan umat muslim untuk shalat Tarawih berjamaah.
Secara umum, dakwah pada masa ini semakin bergairah, baik
berupa gerakan-gerakan keilmuwan ataupun pendidikan dan pembelajaran. Pada
periode ini Al-Qur’an dikumpulkan untuk pertama kali pada masa Abu Bakar dan
kemudian pada masa Utsman bin Affan. Gerakan dakwah juga semakin luas dengan
banyakanya daerah yang telah dikuasai oleh umat Islam dan berbondong-bondongnya
orang yang ingin memeluk Islam dan menjadikannya sebagai pedoman hidup, karena
mereka melihat kebaikan di dalamnya.
C. Periode
Umayyah, ‘Abasiyyah, dan Utsmani
Periode ketiga adalah masa Dinasti Umayyah, ‘Abasiyyah,
dan Utsmani. Periode ini dimulai dengan berdirinya Dinasti Bani Umayyah oleh
Mu’awiyah bin Abi Shafyan pada tahun keempat puluh Hijriyah hingga runtuhnya
kekuasaan Dinasti Utsmani pada tahun1343 H/1924 M.
Pada periode ini dakwah Islam semakin luas dengan semakin
banyaknya daerah yang dapat ditaklukkan, seperti Asia Kecil, Romawi, Afrika
Utara, Andalusia, dan lain-lain. Pada masa ini para ulama ahli fiqh, tafsir,
dan hadis dikirim ke daerah-daerah yang telah ditaklukkan untuk menyebarkan dan
menjelaskan agama Islam dan ajaran-ajarannya untuk dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Demikian juga dibangun perpustakaan dan pusat-pusat ilmu
pengetahuan yang tersebar di berbagai tempat, seperti Mesir, Baghdad, dan Iran.
Pada periode ini, ilmu-ilmu keislaman, seperti Filsafat, teologi, hukum-hukum
Islam, dan mistik berkembang dengan pesat. Dalam bidang filsafat dikenal
al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina. Dalam bidang teologi dikenal Imam hasan
al-Asy’ari, al-Ghazali, dan lain-lain. Dalam bidang hukum Islam dikenal Imam
Hanafi, Imam Maliki, Imam syafi’i, dan Imam Ibn Hambal.
D. Periode
Zaman Modern
Sejarah dakwah adalah suatu proses yang mencakup segala
aspek kehidupan umat Islam lintas sosial, kultural, dan geografis. Pada periode
ini sebagian sejarawan mengkaji sejarahh dakwah berkaitan dengan aspek individu
(Da’i), seperti sejarah dakwah Hasan al-Banna, al-Maududi dan lain-lain,
sebagian lagi mengkaji sejarah dakwah dari aspek pergerakan, seperti pergerakan
Ikhwan al-Muslimun di Mesir, ada juga yang mengkaji sejarah dakwah dari aspek
geografis, seperti sejarah dakwah di Mesir, Indonesia, Afrika, dan lain-lain.
Oleh karena itu, membahas tentang sejarah dakwah Islam zaman modern merupakan
bahasan yang sangat luas sehingga tidak memungkinkan untuk melihatnya secara
utuh.
Namun secara garis besar, proses dakwah pada periode ini
baik yang berupa penyampaian (tablig) dan penyebaran Islam serta kegiatan
belajar mengajar masih tetap berjalan, walau-pun proses dakwah mendapat
tantangan dan rintangan, apalagi setelah runtuhnya Dinasti utsmani yang
meru-pakan simbol kekuatan Islam dn terbagi-baginya daera yang masuk ke dalam
kedaulatan Islam menjadi daerah-daerah kecil yang dikuasai oleh imperialis
(penjajah).
Pergerakan dakwah pada periode ini juga mengambil bentuk
yang bermacam-macam, ada yang berdakwah secara personal, ada juga yang bergerak
secara berkelompok yang kemudian mengambil bentuk pergerakan dakwah berua
institusi formal dan non formal dalam bentuk pergerakan politik, pemikiran dan
sosial dengan menerapkan metode-metode yang sesuai dengan pergerakan
masing-masing serta sarana-sarana dan prasarana yang berbeda-beda.[5]
E.
Modern ala Indonesia
Kira-kira pada
tahun 1980-an, di negeri kita muncul gejala dakwah yang menarik untuk diamati.
Apabila pada masa sebelumnya tahun-tahun itu dakwah hanya dilakukan oleh
orang-orang yang memang menekuni bidang itu, seperti kiai, ustadz, ulama dan
sebagainya, maka seak tahun-tahun delapan-puluhan itu orang –orang yang secara
profesional tidak pernah diperhitungkan untuk menjalankan dakah, sejak saat itu
mereka ramai-ramai terjun di bidang dakwah. Mereka itu adalah para insan-insan
seni, baik penyanyi, penari, pelawak, pemusik, pemain film, dan lain-lain. Pada
masa-masa sebelum itu mereka cenderung dikategorikan sebagai “orang-orang yang
didakwahi”, bukan orang-orang yang melakukan dakwah.
Memang, pada
tahun-tahun tujuh-puluhan sudah ada insan-insan seni yang terjun di bidang
dakwah. Namun jumlah mereka sangat sedikit, dan di samping itu, mereka kemudian
meninggalkan profesi sininya yang pada waktu itu mereka geluti dan kemudian
hanya menekuni bidang dakwah. Berbeda dengan gejala yang terjadi pada
tahun-tahun delapan-puluhan ke atas, di mana mereka yang terjun di bidang dakwah
itu tetap tidak meninggalkan profesinya semula sebagai insan-insan seni.
Contoh: kerjasama Artis-Mubaligh/Mubaligh-Artis.[6]
Kesimpulan
Perkembangan
dakwah Islam menuai banyak fersi. Fersi pertama, sebelum diutusnya Nabi
Muhammad. Kedua saat Nabi Muhammad SAW dan kemudian dilanjutkan oleh Khulafa
ar-Rosyidun, ketiga pada masa Dinasti Umayyah dan ‘Abasyiah dan yang terakhir
yaitu zaman kita saat ini, yaitu zaman modern.
Daftar Pustaka
Faizah, S.Ag, M.A., H. Lalu Muchsin Effendi, Lc., M.A., Psikologi
Dakwah, Jakarta: Prenada Media. 2006
Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: PT
Pustaka Firdaus. 1997
Majid dkk, Jelajah Dakwah Klasik-Kontemporer, yogyakarta:
Gama Media. 2006
No comments:
Post a Comment