PEMIKIRAN
FILSAFAT AL-FARABI
Oleh: A. Qomarudin
Dosen Pembimbing:
Mutamakin, S.Fil, M.A
PENDAHULUAN
Islam merupakan
ajaran agama yang tidak menerima pertentangan dan juga pemisahan antara
kehidupan rohaniyah dengan keduaniawian atau antara akal dan hati dan juga
antara ilmu dan amal. Justru antara beberapa hal di atas merupakan beberapa
aspek yang memang harus dikaji dan dipelajari oleh umat manusia. Sebab dalam
ruang lingkup ajaran islam memuat semua segi yang ada dalam kehidupan tanpa
menafikan salah satu diantaranya.
Begitu juga
dalam masalah filsafat yang menjadi perdebatan hebat antara beberapa filosof
Islam pada masa lalu. Dalam islam tidak ada yang melarang dan mencegah untuk
mempelajarinya. Sebab padanya akan kita ketemukan kaitan antara ilmu dengan
amal. Ilmu yang kita dapatkan akan menjadi landasan bagi seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan. Juga adanya keterkaitan
antara akal dan hati, yang mana akal kita dituntut untuk menelusuri kebenaran
yang muncul dari dalam hati kita. Dan apabila keduanya dapat dibuktikan secara
empiris, tentu menjadi sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
Beberapa hal di
atas yang menjadi kajian beberapa tokoh pada beberapa abad yang lalu. Dan pada
waktu itu dapat dikatakan keilmuan Islam berkembang pesat dengan langkah awal
menerjemahkan buku-buku induk dari bahasa-bahasa asing (Yunani, India, dan
Cina) kedalam bahasa arab. Demikian yang dilakukan para tokoh pada masa itu
untuk terus mengembangkan akal dan ilmu. Sehingga pada akhirnya akan muncul
beberapa tokoh ternama dari lapangan filsafat yang memepengaruhi alam pikiran
Islam dan selama berabad-abad juga telah mempengaruhi perkembangan pemikiran
bangsa Eropa.
Dalam makalah
ini penulis akan membahas sedikit tentang biografi dan pemikiran-pemikiran dari
kedua filosof Islam (Al-Farabi dan Ibnu Sina) yang keduanya berasal dari Dunia Islam
Timur. Dengan demikian, menjadi penting bagi kita sebagai Mahasiswa untuk mengkajinya
secara sistematis.
A. Al-Farabi
1. Riwayat dan Karya-karyanya
Nama
lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Tarkhan bin Auzalagh, dan
lebih terkenal dengan sebutan Al-Farabi. Ia dilahirkan di kota Farab (Wasij
sekarang Atrar, Turkistan) 257 H/ 870 M. Di kalangan orang-orang Latin Abad
Tengah, ia dikenal dengan Abu Nasr (Abunaser). Ayahnya seorang jenderal
berkebangsaan Persia dan ibunya seorang berkebangsaan Turki.[1]
Pada
waktu muda, ia pergi ke Iraq dan menetap di sana untuk belajar ilmu nahwu
kepada Abu Bakar as-Saraj, dan belajar mantiq kepada Abu Basr Matta bin Yusuf, yang
menggunakan buku Aristoteles sebagai rujukan. Kemudian ia pindah ke Harran,
pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhana bin Hailan.[2]
Akan tetapi tidak beberapa lama, ia kembali lagi ke bagdad untuk memperdalam
filsafat.
Pada
tahun 330 H/ 945 M, ia pindah ke Damaskus dan bertemu dengan saif ad-Daulah
al-Hamdani, sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Kemudian ia diberikan kedudukan
sebagai ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar. Akan tetapi, ia lebih memilih
kehidupan yang sederhana (zuhud), sehingga tunjangannya ia berikan
kepada fakir miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus. Selain itu, ada
sesuatu yang paling menggembirakan di tempat itu, adalah ia bertemu dengan
banyak para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan kaum cendekiawan
lainnya. Kurang lebih 10 tahun ia hidup di 2 kota ini, sampai akhirnya hubungan
antara pengusa keduanya memburuk dan akhirnya Saif ad-Daulah menyerbu Damaskus
dan dapat dikusai. Al-Farabi juga diikutsertakan dalam penyerbuan itu. Ia wafat
di Damaskus pada Desember 950 M dalam usia 80 tahun.[3]
Ia mendapat gelar kehormatan sebagai guru kedua dalam lapangan logika setelah
gelar guru pertama dialamatkan pada Aristoteles.[4]
Beberapa
karya-karyanya adalah; Syuruh Risalah Zainun al-Kabir al-Yunani,
Al-Ta'liqat, Risalah fima Yajibu Ma'rifatqabla Ta'allumi al-Fasafah, Kitab
Tashil al-Sa'adah, Risalah fi Otsbat al-Mufaraqah, 'Uyun al-Masail, Ara' Ahl
al-Madinah al-Fadhilah, Ihsha' al-'Ulum wa al-Ta'rif bi Aghradiha, Maqalat fi
Ma'ani al-Aql, Fushul al-Hukm, Risalah al-Aql, Al-Siyasah al-Madaniyah,
Al-Masail al-Falsafiyah wa al-Ajwibah 'anha, Al-Ibanah 'an Ghardi Aristo fi
Kitabi ma ba'da at-Thabi'ah, [5]
dan Al-Jam'u baina Ra'yain al-Hakimain[6].
Dalam
berfilsafat, Al-Farabi dikenal dengan filsuf sinkretisme yang memadukan
beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato,
Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Ini dapat dibuktikan
dengan melihat ilmu logika dan filsafatnya, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam
etika dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Dan dipengaruhi oleh Plotinus
dalam persoalan metafisika.[7]
2. Filsafatnya tentang Ketuhanan
Hasyimsyah
Nasution dalam bukunya Filsafat Islam.2005 mengutip tulisan TJ. De Boer bahwa konsep
ketuhanan yang Al-Farabi sampaikan adalah, memadukan antara filsafat
aristoteles dan Neo-Platonisme, yaitu al-Maujud al-Awal (wujud pertama)
sebagai sebab pertama dari segala yang ada. Sedangkan dalam pembuktian adanya
Allah, ia mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud, dan
tidak ada alternatif yang ketiga.
Wajib al-Wujud adalah wujudnya harus
ada (tidak boleh tidak ada) dan sempurna selamanya dan tidak didahului oleh
tiada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Jika wujud
ini tidak ada, maka mustahil ada wujud lain, karena adanya wujud lain itu
tergantung padanya. Sedangkan Mumkin
al-Wujud tidak akan menjadi wujud yang nyata tanpa adanya wujud yang
menguatkan, dan itu bukan dirinya akan tetapi Wajib al-Wujud.[8]
Dalam
bukunya Filsafat Islam.2005, Hasyimsyah Nasution mengutip tulisan TJ. De Boer mengenai
sifat Tuhan, Al-Farabi sejalan dengan paham Mu'tazilah, yaitu sifat Tuhan tidak
berbeda dengan substansi-Nya (zat-Nya). Misalnya, seseorang boleh menyebut asma'
al husna sebanyak yang diketahui, akan tetapi nama-nama tersebut tidak
menunjukkan adanya bagian-bagian pada zat Tuhan atau sifat-sifat yang berbeda
dari zat-Nya.
Sirajuddin
Zar dalam bukunya Filsafat Islam.2004 mengutip tulisan Al-Farabi Ara' Ahl
al-Madinah al-Fadhilah bahwa Tuhan adalah 'Aql murni. Ia esa adanya
sehingga Ia menjadi pemikir substansi-Nya sendiri dan sekaligus yang menjadi
obyek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya. Jadi, Tuhan adalah 'Aql,'aqil' dan
Ma'qul (Akal, Substansi yang berfikir, dan substansi yang dipikirkan).
Tentang
ilmu tuhan, Al-Farabi terpengaruh dengan pemikiran Aristoteles yang mengatakan
bahwa Tuhan tidak mengetahui dan tidak memikirkan alam. Kemudian ini
dikembangkannya dengan mengatakan Tuhan tidak mengetahui yang Juz'yiyah
(particular). Artinya pengetahuan Tuhan tentang yang juz'i tidak sama
dengan manusia menggunakan panca indra. Karena Tuhan mengetahu yang juz'i tidak
secara langsung melainkan lewat kulli yang ia sebab sebagai yang juz'i.[9]
Al-Farabi
juga mengemukakan ayat al-Quran yang berkenaan dengan sucinya Tuhan dari
sifat-sifat. Surat as-Soffaat: 180
سُبْحَانَ رَبِكَ
رَبِ اْلعِزَةِ عَمَا يَصِفُوْنَ
3. Konsepnya tentang Filsafat Emanasi
Teori
Neo-Platonisme-monistik tentang emanasi yang digunakan olen Al-Farabi pada
proses kejadian alam. Sedang menurut kebanyakan filusuf yunani mengatakan bahwa
Tuhan bukan sebagai pencipta alam, melaikan sebagai pengerak pertama. Ini
bertentangan dengan doktrin Mutakallimin, yang mengatakan Tuhan adalah pencipta
dari yang tidak ada menjadi ada. Bagi Al-Farabi Tuhan menciptakan sesuatu dari
bahan yang sudah ada secara pancaran. Maka penciptaan alam ini sudah sejak
zaman azali dengan materi yang berasal dari energi yang qadim dan susunan
materi yang menjadi alam ini adalah baru.[10]
Menurut
al-Farabi dunia itu azali, tanpa permulaan dan bukan ciptaan. Jelasnya, proses
emanasi itu sebagai berikut:
Tuhan
|
Wujud Pertama
|
Wujud Kedua
|
Akal Pertama
|
Wujud Ketiga
|
Akal Kedua
|
Wujud Keempat
|
Langit Pertama
|
Bintang-bintang
|
Akal Ketiga
|
Saturnus
|
Akal Keempat
|
Jupiter
|
Wujud Kelima
|
Wajib al-Wujud
|
Wujud Keenam
|
Mars
|
Akal Kelima
|
Akal Keenam
|
Matahari
|
Wujud Ketujuh
|
Akal KeTujuh
|
Venus
|
Wujud Kedelapan
|
Akal Kedelapan
|
Mercury
|
Wujud Kesembilan
|
Akal Kesembilan
|
Bulan
|
Wujud Kesepuluh
|
Akal Kesepuluh
|
Bumi, Roh-roh, dan materi pertama (Api, Udara, Air, dan Tanah).
|
Wujud Kesebelas
|
Mengatur dunia yang ditempati ('Aql Fi'il/ akal aktif).
|
Terciptalah
akal 1 sampai 10 di atas karena Tuhan berfikir tentang diri-Nya menghasilkan
daya atau energi yang karenanya menghasilkan sesuatu.[11]
Disebutkan
juga bahwa Al-Farabi mengklasifikasikan yang wujud kepada 2 rentetan, yaitu:
a. Rentetan wujud yang esensunya tidak
berfisik; - tidak berfisik dan tidak menempati fisik (Allah, 'Aql Pertama, dan
'Uqaul al-Aflak), -tidak berfisik tetapi menempati fisik (Jiwa, bentuk, dan
Materi).
b. Rentetan wujud yang berfisik
(benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda tambang, dan
unsure yang 4; air, udara, tanah, dan api).
Tujuan
utama Al-Farabi mengemukakan tentang teori emanasi ini adalah untuk menegaskan
kemaha esaannya Tuhan.[12]
4. Konsepnya tentang Manusia
Seperti
yang dikatakan Al-Farabi, bahwa manusia adalah termasuk dalam kategori rentetan
wujud yang berfisik, yang pada dirinya terdapat jasad dan jiwa. Kesatuan antara
keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya
memiliki substansi yang berbeda. Ini dapat dilihat dari keadaan binasah yang
dimiliki jasad tidak akan membawa kebinasahan jiwa.
Selain
hal di atas, sumber antara keduanya juga berbeda, yaitu jasad berasal dari alam
Khalq (berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak). Sedangkan jiwa
berasal dari alam Ilahi, ia diciptakan ketika jasad sudah siap menerima
kehadirannya.[13]
Ada
beberapa daya yang dimilki oleh jiwa manusia, yaitu;
a. Daya gerak (makan, memelihara, dan
berkembang)
b. Daya mengetahui (merasa dan imajinasi)
c. Daya berfikir (akal praktis dan akal
teoritis), untuk daya teoritis dibagi dalam 3 tingkatan; akal potensial, akal
aktual, dan akal mustafad.[14]
SIMPULAN
Baik itu
Al-Farabi maupun Ibnu Sina adalah orang-orang yang memiliki keahlian dalam
banyak bidang ilmu pengetahuan dan termasuk di antara filusuf Islam terbesar
yang memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh. Sehingga keduannya mampu
menjadi di antara orang-orang yang mempengaruhi para pemikir-pemikir setelahnya,
lebih-lebih para pemikir barat juga tidak dapat terlepas dari pemikirannya.
Daftar Rujukan
Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam. Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: PT. Ictiar Baru
Van Hoeve.
Nasution,
Hasyimsyah. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Shaliba,
Jamil. 1995. TarikhAl Falsafah Al
Arabiyah. Bairut: Dar al Kitab al Alimi.
Sudarsono.
2004. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Zar, Sirajuddin.
2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Hasyimsyah Nasution.
2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. hlm 32.
[2] Jamil Shaliba. 1995. TarikhAl Falsafah Al Arabiyah. Bairut: Dar al
Kitab al Alimi. hlm 135-136.
[3] Hasyimsyah Nasution. Op.Cit.
hlm 33.
[4] Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam. Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: PT. Ictiar Baru Van
Hoeve. hlm 185. Vol 4.
[5] Ibid. hlm 34.
[6] Sudarsono. 2004. Filsafat
Islam. Jakarta: Rineka Cipta. hlm 31.
[7] Hasyimsyah Nasution. Op.Cit.
hlm 34.
[8] Ibid. hlm 36.
[9] Loc.Cit.
[10] Ibid. hlm 37.
[11] Ibid. hlm 38.
[12] Ibid. hlm 38.
[13] Ibid. hlm 39.
[14] Ibid. hlm
39-40.
No comments:
Post a Comment