I.
Pendahuluan
Keunggulan-keunggulan
Barat dalam bidang industri, teknologi, tatanan politik, dan militer tidak
hanya menghancurkan pemerintahan negara-negara muslim yang ada pada waktu itu,
tetapi lebih jauh dari itu, mereka bahkan menjajah negara-negara muslim yang
ditaklukkannya, sehingga pada penghujung abad XIX hampir tidak satu negeri
muslim pun yang tidak tersentuh penetrasi kolonial Barat. Sebagaimana diketahui
bahwa pada tahun 1798 M, Napoleon Bonaparte menduduki Mesir. Walaupun
pendudukan Perancis itu berakhir dalam tiga tahun, mereka dikalahkan oleh
kekuatan Angkatan Laut Inggris, bukan oleh perlawanan masyarakat muslim. Hal
ini menunjukkan ketidakberdayaan Mesir –salah satu pusat Islam- untuk
menghadapi kekuatan Barat.
Sejak
Napoleon menduduki Mesir, umat Islam mulai merasakan dan sadar akan kelemahan
dan kemundurannya, sementara mereka juga merasa kaget dengan kemajuan yang
telah dicapai Barat. Gelombang ekspansi Barat ke negara-negara muslim yang
tidak dapat dibendung itu memaksa para pemuka Islam untuk mulai berpikir guna
merebut kembali kemerdekaan yang dirampas. Salah seorang tokoh yang pikirannya
banyak mengilhami gerakan-gerakan kemerdekaan adalah Sayyed Jamaluddin Al
Afghani. Ia dilahirkan pada tahun 1839 di Afghanistan dan meninggal di Istambul
1897. Pemikiran dan pergerakan yang dipelopori Afghani ini disebut
Pan-Islamisme, yang dalam pengertian luas berarti solidaritas antara seluruh
umat muslim di dunia internasional. Tema perjuangan yang terus menerus
dikobarkan oleh Afghani dalam kesempatan apa saja adalah semangat melawan
kolonialisme dengan berpegang kepada tema-tema ajaran Islam sebagai
stimulasinya. Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa diskursus tema-tema itu
antara lain diseputar:
Perjuangan
melawan absolutisme para penguasa; Melengkapi sains dan teknologi modern;
Kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya; Iman dan keyakinan aqidah;
Perjuangan melawan kolonial asing; Persatuan Islam; Menginfuskan semangat
perjuangan dan perlawanan kedalam tubuh masyarakat Islam yang sudah separo
mati; dan Perjuangan melawan ketakutan terhadap Barat[1].
Disamping
Afghani, terdapat dua orang ahli pikir Arab lainnya yang telah mempengaruhi
hampir semua pemikiran politik Islam pada masa berikutnya. Dua pemikir itu
adalah Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha(1865-1935). Mereka sangat
dipengaruhi oleh gagasan-gagasan guru mereka yakni Afghani, dan berkat mereka
berdualah pengaruh Afghani diteruskan untuk mempengaruhi perkembangan
nasionalisme Mesir. Seperti halnya Afghani dan Abduh, Ridha percaya bahwa Islam
bersifat politis, sosial dan spiritual. Untuk membangkitkan sifat-sifat
tersebut, umat Islam mesti kembali kepada Islam yang sebenarnya sebagaimana
yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya atau para salafiah. Untuk
menyebarkan gagasan-gagasannya ini Ridha menuangkannya dalam bingkai
tulisan-tulisan yang terakumulasi dalam majalah Al Manar yang dipimpinnya.
Di
daratan Eropa, Syakib Arsalan selalu memotori gerakan-gerakan guna kemerdekaan
Arab. Misi Arsalan adalah menginternasionalkan berbagai masalah pokok yang
dihadapi negara-negara muslim Arab yang berasal dari kekuasaan negara-negara Barat;
dan menggalang pendapat seluruh orang Islam Arab sehingga membentuk berdasarkan
ikatan keIslaman, mereka dapat memperoleh kemerdekaan dan memperbaiki tata
kehidupan sosial yang lebih baik[2].
Sementara
pimpinan masyarakat Druze dan pembesar Usmaniyah yang mengasingkan diri ke
Eropa setelah Istambul diduduki Inggris ini menyebarluaskan propagandanya
melalui berbagai penerbitan berkala, diantarannya melalui jurnal La Nation
Arabe yang dicetak di Annemasse Prancis.
Meskipun
pada awalnya Arsalan mengambil alih konsep-konsep Pan-Islamismenya Afghani
karena merasakan perlunaya pembaharuan dalam masyarakat, namun dalam
praktiknya, ia lebih menitikberatkan perjuanggannya pada Pan-Arabisme. Gerakan
perjuangan yang dilakukan oleh para tokoh tersebut, walaupun belum mencapai
hasil yang diinginkan yakni kemerdekaan, namun gema pemikiran Islam mereka
sangat mewarnai era generasi selanjutnya, untuk membebaskan negerinya dari
penetrasi kolonial Barat.
II.
Pembahasan
- Eropa
- Sekilas Profil Negara Eropa
Eropa,
benua yang membentang di semenanjung Eurasia bagian barat. Luasnya sekitar
10.0000.000 kilometer persegi atau seper lima belas luas daratan bumi. Secara
geografis, benua ini dibatasi lautan Arktik di utara, Laut Tengah, Laut Hitam,
dan Pegunungan Kaukasus di selatan mengarah ke timur, Pegunungan Ural dan Laut
kasipia di timur dan lautan Atlantik di barat. Adapun negara-negara yang
termasuk Eropa barat adalah Perancis, Belanda, Belgia, Luxemburg, Monaco,
Jerman, Ingris, dan lain-lain.[3]
Eropa
menjadi pemimpin dunia dalam pembangunan ekonomi, misalnya pusat perindustrian
terletak dekat pertambangan bijih besi dan batu bara. Tanahnya subur dan banyak
menghasilkan produk pertanian penting. Akibatnya, standar hidup Eropa termasuk
tinggi dibanding dengan dunia lain.[4]
Dua
per lima belas penduduk dunia atau 696.360.000 dari 5, 026 miliar penduduk
dunia pada tahun 1988 berdiam di sini. Tingkat kepadatannya , dibandingkan
dengan rata-rata penduduk dunia yang hanya 33 jiwa per kilometer persegi.[5]
Pada
tahun 1900-an, pusat kekuatan dunia bergeser dari Eropa ke Uni Soviet dan
Amerika Serikat. Pada saat yang sama, Eropa mulai kehilangan daerah
kejajahannya. Selanjutnya, timbul Perang dunia I dan II yang mulai benua ini. Bena
ini lalu terbagi menjadi bagian komunis atau Eropa Timur dan non-komunis atau
Eropa Barat[6].
- Ekspansi Eropa
Usaha-usaha
awal untuk menemukan kembali kekuatan pemerintahan kerajaan ditandai dengan
revolusi Perancis dan kemudian oleh Napoleo, serta kekuatan Eropa lain, yang
menggoncang Eropa dari tahun 1792 sampai 1815 dan diteruskan oleh
tentara-tentara Eropa kemana saja mereka bergerak atau berlayar.Tentara
Perancis, Rusia dan Austria dalam waktu yang berbeda menguasai bagian-bagian
provinsi Usmani di Eropa. Untuk pertama kali, kekuatan laut Inggris dan
Perancis muncul di Mediterranian Timur. Pada tahun 1798 sebuah ekspedisi
Perancis dikomandoi Napoleon menduduki Mesir sebagai akibat perang dengan
Inggris; Perancis menguasai Mesir selama 3 tahun, dan mencoba maju ke Syria.
Namun, dipaksa mundur oleh aliansi Inggris dan Kerajaan Usmani[7].
Hal
di atas merupakan episode pendek, dan keurgensiannya oleh sebagian ahli sejarah
diragukan; sementara ahli sejarah yang lain tetap memandangnya sebagai
pembukaan era baru di Timur Tengah. Episode ini merupakan incursi besar pertama
dari kekuatan Eropa ke dalam sentral kota di dunia Islam. Ahli sejarah Islam Al
Jabarti yang hidup di Kairo ketika itu merekam impact yang ditimbulkan oleh
para invader tersebut secara panjang lebar dan detail, dan dengan gambaran
discrepancy yang ada pada kedua belah pihak serta ketidakpastian para penguasa
Mesir untuk menghadapi tantangan tersebut. Ketika berita tentang kedatangan
Perancis ke Alexandria sampai ke tangan para pimpinan Mamluk di Kairo, Jabarti
menjelaskan bahwa mereka tidak memperdulikannya: ”Terlalu mengandalkan kekuatan
mereka dan sesumbar bahwa jika seluruh the Franks datang, mereka pasti akan
dapat dikalahkan, dan Mamluk akan menghancurkannya di bawah telapak kaki kuda
mereka.” Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya Mamluk kalah, panik, dan
kucar-kacir.
Dengan
berakhirnya perang Napoleon, kekuatan dan pengaruh Eropa meluas lebih jauh.
Pengadopsian teknik-teknik baru dalam manufacture dan pengorganisasian industri
memberikan dorongan akibat dari kebutuhan dan energy yang dilepaskan oleh
peperangan-peperangan tersebut. Karena perang telah berakhir dan perdagangan dapat
bergerak dengan bebas, dunia menjadi terbuka terhadap kapas yang murah,
baju-baju wool dan barang-barang metal yang diproduksi oleh Inggris, Perancis,
Belgia, Swiss, dan Jerman Barat. Pada tahun 1830-an dan 1840-an terjadi
revolusi dalam bidang transportasi dengan ditemukannya kapal uap dan kereta
api. Sebelumnya, transportasi, terutama lewat darat sangat mahal, lambat, dan
penuh resiko. Sekarang menjadi cepat dan handal serta proporsi yang timbul
dalam total harga barang menjadi kecil; sehingga memungkinkan untuk memindahkan
barang-barang lux dalam jumlah besar ke pangsa pasar yang besar dan dalam jarak
yang jauh. Arus komunikasi dapat bergerak dengan cepat sehingga memungkinkan
pertumbuhan pasar uang internasional: Bank-bank, pertukaran barang, dan mata
uang dihubungkan dengan poundsterling. Keuntungan perdagangan dapat
diinvestasikan untuk menggerakkan aktivitas produksi yang baru. Di belakang
para pedagang dan pelayar berdiri kekuatan angkatan bersenjata dari
negara-negara Eropa[8].
Berkaitan
dengan perubahan-perubahan tersebut adalah pertumbuhan populasi yang terus
meningkat antara tahun 1800 dan 1850. Populasi Great Britain meningkat dari 16
menjadi 27 juta, dan keseluruhan Eropa meningkat 50%. Dengan demikian, London
menjadi kota terbesar di dunia dengan populasi 2,5 juta pada tahun 1850 M.
Pertengahan abad ini lebih dari separuh penduduk Inggris adalah urban.
Konsentrasi di perkotaan ini menyediakan tenaga untuk industri dan angkatan
bersenjata, serta pertumbuhan pasar domestik untuk produksi pabrik[9].
Gaung
ekspansi energi dan power Eropa ini terasa diseluruh penjuru dunia. Antara
tahun 1830-an dan 1860-an kapal uap secara reguler menghubungkan pelabuhan
Selatan dan Timur Mediterranian dengan London dan Liverpool, Marseille dan
Triete. Tekstil dan barang-barang logam mendapatkan pasar yang besar dan
berkembang. Ekspor Inggris ke negeri-negeri Mediterranian Timur meningkat 800%
dalam harga antara tahun 1815 dan 1850; pada saat itu Badui Syria telah memakai
baju yang dibuat dari katun Lancashire. Pada saat yang sama, kebutuhan Eropa
terhadap bahan baku meningkatkan produksi tanaman untuk dijual dan diekspor;
ekspor gandum terus meningkat walau tidak sehebat gandum Rusia; Minyak olive
Tunisia sangat dibutuhkan untuk pembuatan sabun, sutera libanon untuk pabrik di
Lyon dan kapas Mesir untuk pabrik di Lancashire[10]
Menghadapi
ledakan energi Eropa, negara Arab, sama halnya dengan Asia dan Afrika, tidak
dapat menggerakkan kekuatan yang seimbang. Populasi tidak banyak berubah
semenjak pertengahan abad ke sembilan belas. Wabah penyakit sedikit telah
dikontrol, paling tidak di daerah pinggir kota, sejak diperkenalkannya sistem
karantina ala Eropa. Namun, penyakit kolera datang dari India. Negerinegeri Arab
belum memasuki era perkeretaapian kecuali sebagian kecil mulai di Mesir dan
Aljazair; komunikasi lokal buruk dan sering terjadi kelaparan.
Dengan
kekuatan baru, bukan hanya Perancis dan Rusia bahkan negaranegara Eropa secara
umum mulai mencampuri hubungan antara sultan dan rakyatnya yang Kristen. Tahun
1808 Serbia berontak melawan pemerintah lokal kerajaan Usmani, hasilnya dengan
pertolongan Eropa, negara otonomi Serbia berdiri tahun 1830. Di Jazirah Arab,
pelabuhan Aden diduduki oleh Inggris dan India pada tahun 1839, dan menjadi pelabuhan
untuk rute ke India. Pada tahun 1830 Perancis mendarat di pantai Aljazair dan
menjajahnya.
- Pengaruh Penetrasi Barat terhadap Dunia Islam
Pengaruh
Eropa terhadap dunia Islam menyadarkan para pimpinan Kerajaan Usmani untuk
mengadakan perubahan. Begitu pun pada masa Sultan Mahmud II pada tahun 1820-an,
sejumlah kecil para pejabat yang menyadari perlu adanya perubahan mengambil
keputusan–keputusan yang cukup penting. Kebijaksanaan baru mereka adalah
membubarkan tentara lama dan menciptakan yang baru dengan para pelatih yang
didatangkan dari Eropa. Dengan tentara ini sangat dimungkinkan secara perlahan
untuk mendirikan kontrol yang langsung terhadap beberapa provinsi di Eropa dan
Anatolia, Irak dan Syria, serta Tripoli di Afrika. Keinginan tersebut bukan
hanya untuk mengembalikan kekuatan pemerintah namun juga untuk melakukan
pengorganisasian dengan cara yang baru. Keinginan ini diwujudkan dengan
mengumumkan piagam Gulhane yang dikeluarkan pada tahun 1839[11].
Di
Kairo, sepeninggalnya tentara Perancis, kekuasaan diambil alih oleh Muhamad Ali
[1805-1848], seorang bangsa Turki dari Macedonia yang dikirim oleh Kerajaan
Usmani melawan Perancis; dia mengumpulkan kekuatan penduduk kota, menghancurkan
rivalnya, dan memproklamirkan dirinya sebagai gubernur. Dalam usaha melakukan
pembaharuan dia melatih sejumlah perwira, dokter dan pejabat di sekolah-sekolah
baru dan di kirim ke Eropa. Di dalam negeri, Muhammad Ali melakukan kontrol
terhadap seluruh hasil pertanian, mengambil pajak dan hartaharta wakaf. Dia
juga memaksa petani untuk menanam kapas, membelinya dengan harga ditentukan dan
menjualnya kepada eksportir di Alexandria[12].
Di
Tunisia juga ada perubahan di bawah rezim Ahmad Bey [1837-55], yang mempunyai
kekuasaan sejak awal abad ke 18. Pemimpinnya adalah kelompok Turki dan Mamluk
yang dilatih dengan cara modern. Cikal bakal tentara yang baru dibentuk,
administrasi dan perpajakan diperluas, hukum-hukum baru dikeluarkan, dan
pemerintah berusaha melakukan monopoli terhadap barang-barang tertentu. Penerusnya
kemudian di tahun 1857 memproklamirkan reformasi dalam bidang keamanan,
kebebasan sipil, aturan perpajakan hak-hak Yahudi dan bangsa asing untuk
memiliki tanah dan kontrol terhadap semua kegiatan ekonomi[13].
Di
bawah pemerintahan Abd Al Azis, Turki Usmani secara pasti kehilangan wilayah wilayahnya
yang amat penting antara lain dengan berdirinya kerajaan Rumania pada tahun
1866[14].
Pada tahun 1877, Rusia mengumumkan perang terhadap Turki Usmani, dan pada bulan
Juli tahun itu juga jenderal Gurko dari Rusia menyeberangi Danube dan maju ke
Balkan, dan terus menduduki Andrianopel pada bulan Januari 1878. Sementara
Italia berhasil merebut Tripoli pada tahun 1912, dan pada tahun yang sama
Balkan mengumumkan perang melawan Turki Usmani.
Pada
waktu perang dunia I Pecah, Turki yang bergabung dengan Jerman, turut mengalami
kekalahan. Dengan kekalahan ini, negara-negara Eropa yang selama ini berada
dalam kekuasaannya otomatis terlepas menjadi negara merdeka. Berdasarkan
perjanjian Sevres diumumkan bahwa Hijaz diakui sebagai negara merdeka. Syria
dan Lebanon dinyatakan sebagai mandat Perancis. Irak, Palestina dan Trans
Jordan sebagai mandat Inggris.
Di timur, Persia menjadi rebutan antara
Inggris dan Rusia untuk beberapa waktu lamanya tanpa ada satupun yang berhasil
menjajahinya, sehingga ayah reza Pahlevi memaklumkan kemaharajaan Iran pada
tanggal 15 Desember 1925. Kendatipun secara teritorial Iran merupakan negara
merdeka, di bidang perekonomian dan industri sangat menggantungkan diri pada bantuan
Inggris dan Perancis. Pemerintah Persia tahun 1872 memberikan konsesi kepada
Perancis untuk mengontrol mendapatkan bea cukai selama dua puluh empat tahun,
sebuah monopoli terhadap konstruksi rel kereta api dan tram, hak-hak eksklusif penambangan
mineral dan metal, membangun kanal dan irigasi, dan hak-hak refusal yang
pertama dalam bank-bank nasional, jalan-jalan, telegraph dan pabrikpabrik sebagai
pembayaran kembali terhadap hak loyalti dan bagi hasil dengan keluarga Shah.
Tahun 1889 Bank Imperial Iran didirikan dengan bantuan Inggris, sebagai
imbalannya 1890 perusahaan Inggris memonopoli industri tembakau Iran termasuk
penjualan domestik dan impor. Sedangkan Rusia mencari keuntungan ekonominya melalui
industri penangkapan ikan di Kaspia (1888) dan bank diskon Iran dibentuk di bawah
sponsor Rusia tahun 1890-an. Rusia menjadi investor peminjaman utama terhadap
Shah.
Berbeda
dengan daerah-daerah lain, Persia dapat bertahan sehingga tidak ada yang dapat
menaklukkannya; meskipun demikian, Inggris, Perancis, dan Rusia saling berebut
pengaruh. Bagi Inggris, daerah ini penting untuk mempertahankan kekuasaannya di
India. Demikian pula bagi Rusia sangat berarti untuk melangsungkan hubungannya
dengan Asia Tengah[15].
Berbeda
dengan Persia, Afganistan sejak semula memang merupakan negara merdeka yang
gigih mempertahankan dunia Islam dari ancaman Inggris maupun Rusia. Upaya Inggris untuk menjajah
negeri ini berakhir dengan kegelapan dan kekalahan besar yang menyebabkan
mereka menghentikannya pada tahun 1919 M. Kegagalan yang serupa ini dialami
oleh Rusia yang mencoba menarik Afganistan masuk ke dalam Republik Soviet
Sosialis. Paham komunis yang dianut oleh Soviet membuat Afganistan enggan untuk
bergabung[16].
Dari
uraian diatas, dapat ditarik gambaran bahwa pada abad ke-19 dan awal abad ke-20
dunia Islam hampir seluruhnya berada dalam koloni Barat, kecuali Hijaz, Persia,
dan Afganistan. Dunia Islam lainnya yang membentang dari Maroko hingga
Indonesia merupakan negeri-negeri kolonial yang dijadikan ”sapi perahan” untuk
kemakmuran bangsa Barat.
- Masa Pembebasan dari Kolonial Barat
Dunia
Islam abad XX ditandai dengan kebangkitan dari kemunduran dan kelemahan secara
budaya maupun politik setelah kekuatan Eropa mendominasi mereka. Eropa bisa menjajah
karena keberhasilannya dalam menerapkan strategi ilmu pengetahuan dan teknologi
serta mengelola berbagai lembaga pemerintahan.Negeri-negeri Islam menjadi
jajahan Eropa akibat keterbelakangan dalam berbagai aspek kehidupan.
Terjadinya
penetrasi kolonial Barat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor intern
dan faktor ekstern. Disatu sisi kekuatan militer dan politik negara-negara muslim
menurun, perekonomian mereka merosot sebagai akibat monopoli perdagangan antara
timur dan barat tidak lagi ditangan mereka. Disamping itu pengetahuan di dunia
muslim dalam kondisi stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh suasana khurafat
dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistik.
Pada
sisi yang lain, Eropa dalam waktu yang sama menggunakan metode berpikir
rasional, dan disana tumbuh kelompok intelektual yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan
Gereja; Barat memasuki abad renaisanse. Sementara dalam bidang ekonomi dan
perdagangan mereka telah mengalami kemajuan pesat dengan ditemukannya Tanjung
Harapan sebagai jalur perdagangan maritim langsung ke Timur, demikian pula
penemuan benua Amerika. Dengan dua temuan ini Eropa memperoleh kemajuan dalam
dunia perdagangan karena tidak bergantung lagi kepada jalur lama yang dikuasai
Islam[17].
Pada
permulaan abad ini tumbuh kesadaran nasionalisme hampir disemua negeri muslim
yang menghasilkan pembentukan negara-negara nasional. Tetapi persoalan mendasar
yang dihadapi adalah keterbelakangan umat Islam, terutama menyangkut kemampuan
menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat paling
penting dalam mempertahankan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
tanpa mengenyampingkan agama, politik dan ekonomi. Upaya kearah itu tidak lepas
dari pembaharuan pemikiran yang dapat mengantarkan Islam terlepas dari
cengkraman kolonialisme Barat.
- Pembebasan Diri dari Kolonial Barat
Gerakan
kemerdekaan yang dilakukan oleh umat Islam selalu kandas ketika berhadapan
dengan kolonialis Barat, tentu saja, karena teknologi dan militer mereka jauh
lebih maju dari yang dimiliki umat Islam. Menurut Afghani, untuk menanggapi
tantangan Barat, umat Islam harus mempelajari contoh-contoh darinya. Tentu saja
tidak semua komunitas Islam sependapat dengan yang dimaksud belajar atau
berguru kepada Barat. Para ulama tradisional tetap mempertahankan corak
non-koperatifnya, sementara putra-putra negeri jajahan gelombang demi gelombang
belajar kepada penjajah atau di sekolah-sekolah yang sengaja diadakan di negeri
jajahannya. Dengan demikian, terdapat dua kelompok pejuang kemerdekaan dengan
basisnya masing-masing, ada yang sifatnya nonkoperatif yang basisnya
lembaga-lembaga pendidikan agama-di Indonesia pesantren, sedang di Asia Tengah
dan Barat serta Afrika basisnya pada kelompokkelompok tarekat-dan yang bercorak
kooperatif yaitu pakar terpelajar dengan pendidikan Barat[18].
Pada pertengahan pertama abad XX terjadi
perang dunia kedua yang melibatkan seluruh negara kolonialis. Seluruh daratan
Eropa dilanda peperangan, disamping Amerika, Rusia dan Jepang. Kecamuk perang
ini disatu sisi melibatkan Jepang, Hitler dengan Nazi Jermannya, dan Mussolini
dengan Fasis Italianya, dan disisi lain terdapat Inggris, Perancis, dan Amerika
yang bersekutu, serta Rusia[19].
Konsekuensi atas terjadinya peperangan
ini adalah terpusatnya konsentrasi kekuatan militer di kubu masing-masing
negara, baik untuk keperluan ofensif maupun defensif. Pengkonsentrasian
kekuatan militer tersebut mengakibatkan ditarik dan berkurangnya kekuatan
militer kolonialis dinegeri-negeri jajahan mereka. Dalam pada itu, negara
muslim tidak terlibat langsung dalam perang dunia kedua sehingga pemikiran
mereka waktu itu terkonsentrasi pada perjuangan untuk kemerdekaan negerinya
masing-masing, dan kondisi dunia yang berkembang pada saat itu memungkinkan
tercapainya cita-cita luhur tersebut. Mulai saat itu negaranegara muslim yang
terjajah memproklamirkan kemerdekaannya[20].
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan
Islam pada umumnya yang dikenal dengan gerakan pembaharuan didorong oleh dua
faktor yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur
asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam, dan menimba
gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Gerakan
pembaharuan itu dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam
memandang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama
kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme yang mula-mula didengungkan oleh
gerakan Wahabiyah dan Sanusiah. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang
oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaluddin Al Afghani [1839-1897 M].
Jika di Mesir bangkit dengan
nasionalismenya, dibagian negeri Arab lainnya lahir gagasan nasionalisme Arab
yang segera menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme itu
terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Demikianlah yang terjadi di Mesir, Syria,
Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein, dan Kuweit. Di India,
sebagaimana di Turki dan Mesir gagasan Pan-Islamisme yang dikenal dengan
gerakan Khilafat juga mendapat pengikut, pelopornya adalah Syed Amir
Ali(1848-1928 M). Gagasan itu tidak mampu bertahan lama, karena terbukti dengan
ditinggalkannya gagasan-gagasan tersebut oleh sebagian besar tokoh-tokoh Islam.
Maka, umat Islam di anak benua India ini tidak menganut nasionalisme, tetapi
Islamisme yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme.
Sementara di Indonesia, partai politik
besar yang menentang penjajahan adalah Sarekat Islam [SI], didirikan pada tahun
1912 dibawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Partai ini merupakan kelajutan dari
Sarekat Dagang Islam [SDI] yang didirikan oleh H. Samanhudi pada tahun 1911.
Tidak lama kemudian, partaipartai politik lainnya berdiri seperti Partai
Nasional Indonesia [PNI] didirikan oleh Soekarno, Pendidikan Nasional Indonesia
[PNI-Baru], didirikan oleh Muhammad Hatta [1931], Persatuan Muslimin Indonesia
[PERMI] yang baru menjadi partai politik pada tahun 1932, dipelopori oleh
Mukhtamar Luthfi[21]
Munculnya gagasan nasionalisme yang
diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat
Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari
pengaruh politik Barat, dalam kenyataannya, memang partai-partai itulah yang
berjuang melepaskan diri dari kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya
teraplikasi dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti gerakan politik, baik dalam
bentuk diplomasi maupun dalam bentuk pendidikan dan propaganda yang tujuannya
adalah mempersiapkan masyarakat untuk menyambut dan mengisi kemerdekaan.
Adapun negara berpenduduk mayoritas
muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah
Indonesia, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari
pendudukan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh tentara sekutu. Akan tetapi,
rakyat Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya itu dengan perjuangan
bersenjata selama lima tahun berturut-turut karena Belanda yang didukung oleh
tentara sekutu berusaha menguasai kembali kepulauan ini.
Negara
muslim kedua yang merdeka dari penjajahan adalah Pakistan, yaitu tanggal 15
Agustus 1947 ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua Dewan
Konstitusi, satu untuk India dan lainnya untuk Pakistan-waktu itu terdiri dari
Pakistan dan Bangladesh sekarang-. Di Timur Tengah, Mesir misalnya, secara
resmi memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1922. akan tetapi, pada
saat kendali pemerintahan dipegang oleh Raja Farouk pengaruh Inggris sangat
besar. Baru pada waktu pemerintahan Jamal Abd al Nasser yang menggulingkan raja
Farouk 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka. Mirip dengan
Mesir, Irak merdeka secara formal pada tahun 1932, tetapi rakyatnya baru
merasakan benar-benar merdeka pada tahun 1958. sebelum itu, negara-negara
sekitar Irak telah mengumumkan kemerdekaannya seperti Syria, Yordania, dan
Libanon pada tahun 1946. Di Afrika, Libya merdeka pada tahun 1951 M, Sudan dan
Maroko tahun 1956 M, serta Aljazair merdeka pada tahun 1962 M yang kesemuanya
itu membebaskan diri dari Perancis. Dalam waktu
yang
hampir bersamaan, Yaman Utara dan Yaman Selatan, serta Emirat Arab memperoleh
kemerdekaannya pula. Di Asia Tenggara, Malaysia yang waktu itu merupakan bagian
dari Singapura mendapat kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1957, dan Brunei
Darussalam baru pada tahun 1984 M.
Demikianlah satu persatu negara-negara
muslim memerdekakan dirinya dari penjajahan. Bahkan beberapa diantaranya baru
mendapat kemerdekaan pada tahun-tahun terakhir, seperti negara-negara muslim
yang dahulunya bersatu dalam Uni Soviet, yaitu Uzbekistan, Turkmenia,
Kirghistan, Kazakhstan, Tajikistan, dan Azerbaijan baru merdeka pada tahun
1992, serta Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia pada tahun 199210.
Namun, sampai saat ini masih ada umat
muslim yang berharap mendapatkan otonomi sendiri, atau paling tidak menjadi
penguasa atas masyarakat mereka sendiri. Mereka itu adalah penduduk minoritas
muslim dalam negara-negara nasional, misalnya Kasymir di India dan Moro di
Filipina. Alasan mereka menuntut kebebasan dan kemerdekaan itu adalah karena
status minoritas seringkali mendapatkan kesulitan dalam memperoleh
kesejahteraan hidup dan kebebasan dalam menjalankan ajaran agama mereka[22].
- Peradaban Barat Modern
Pandangan
hidup Barat era pertengahan, pada umumnya terpusat pada pencapaian
kesejahteraan akhirat semata-mata, serta menunjukkan sikap permusuhannya pada
dunia. Kutukannya terhadap dunia terutama sekali berkat suntikan Monastisisme
dan ajaran Nasrani ortodoks, yang memang sarat dengan cinta kasih dan
pengorbanan. Bangunan mitos kemanusiaan yang disusun oleh imam Gereja, St. Agustinus,
berdasarkan Injil yang mereka susun; awalnya sejarah manusia di surga sebagai
simponi kesejahteraan; manusia jatuh kebumi ke dalam lembah penuh dosa, yang
pada dasarnya baru dapat ditolong karena “Tuhan mengorbankan anak satu-satunya,
Kristus (Isa Al-Masih), sebagai penebus dosa dan juru selamat, “ adalah sebuah
ajaran “penantian” yang juga termasuk ke dalam semua ajaran agama dan doktrin
hidup. Karena itu masyarakat Barat abad pertengahan dengan sabar menanti
kedatangan kembali Yesus Kristus, untuk mengusir iblis, makhluk terkutuk dari
dunia.
Peradaban
Barat telah mantap dengan materialisme dan menyingkirkan keyakinan Gereja. Di
samping itu mereka juga berhasil membangun sistem penjelas ilmiah yang sangat
meyakinkan dengan mengembangkan aspek-aspek peradaban yang penting, seperti
ekonomi, politik dan sains itu sendiri secara sistematis.
Satu
langkah besar yang dibuat Barat saat itu adalah teknologi dan pengembangkan
perangkat dalam berbagai aspek kehidupan. Industri pun berkembang dengan pesat,
yang semula didesikasikan untuk keperluan kemanusiaan, kemudian
terdiversifikasi menjadi industry militer untuk memenuhi ambisi Eropa. Ketika
bangsa-bangsa lain hanya memiliki pedang dan anak panah dalam pertahanan, Eropa
telah berkembang menjadi bangsa dengan senjata tempur yang paling canggih di
zamannya. Karena itu dalam waktu yang relative singkat, Barat melakukan
ekspansi besar-besaran ke arah Selatan dan Timur, yang hampir seluruhnya
berpenduduk Muslim, menjadi jajahannya.
- Masa kepemimpinan Mustafa Kemal di Turki
Setelah
Perang Dunia I, Mustafa Kemal diangkat menjadi panglima militer di Turki
selatan. Tugasnya adalah merebut Izmir dari tangan tentara sekutu. Mustafa
Kemal berhasil memukul mundur tentara sekutu dan berhasil menyelamatkan Turki
dari penjajahan barat. Bersama teman-temanya, Mustafa Kemal mulai menentang
sultan di Istanbul karena perintahnya dianggap banyak tidak sejalan dengan
kepentingan nasional Turki; karena sultan di Istanbul berada di bawah kekuaan
sekutu dan harus menyesuaikan diri dengan kehendak mereka.
Mustafa
Kemal memimpin Turki dengan Jargon: westernisme, sekularisme, dan nasionalisme.
Pembaharuan-pembaharuan yang dilakukannya adalah:
1.
Pemisahan antara
pemerintahan dengan agama (sekularisasi). Ide ini diterima oleh Majlis Nasional
Agung (MNA) 1920.
2.
Kedaulatan Turki
bukan di tangan sultan, tapi di tangan rakyat.
3.
Jabatan Khalifah
dipertahankan, tapi hanya memiliki kewenangan spiritual; sedangkan kewenangan
duniawinya (sebagai sultan) ditiadakan (1922).
4.
Khalifah Walid
Al-Din melarikan diri di bawah perlindungan Inggris, karena tidak setuju dengan
keputusan MNA yang dipimpin Mustafa Kemal. Khalifah Wahid Al-Din dipecat dari
jabatannya karena dianggap sebagai penghianat, dan Abdul Madjid diangkat
sebagai penggantinya.
5.
Merubah bentuk
negara dari bentuk khilafah menjadi Republik, Islam menjadi Republik, dan Islam
menjadi agama negara (1923).
6.
Karena Khilafah
dianggap membangkang karena melakukan kegiatan-kegiatan politik, seperti
menerima tamu dari negara lain, mengirim duta ke luar negeri, dan mengadakan
upacara kebesaran pada hari jum’at, dan tetap tinggal di istana di Istanbul,
MNA memutuskan bahwa jabatan khalifah dihapus karena dianggap melahirkan
dualism kepemimpinan (3 maret 1924) Khalifah Abdul Madjid beserta keluarganya
minta suaka di Swiss.
7.
Turki
mendeklarasikan sebagai negara sekuler dengan menhapus Islam sebagai agama
negara (1937). Sebelum menjadi negara sekuler, Mustafa Kemal telah meniadakan
institusi-institusi keagamaan dalam pemerintahan :
a.
Penghapusan Biro
Syaykh Al-Islam (1924).
b.
Pengahapusan
Kementerian Syariat;
c.
Penghapusan
Mahkamah Syariat.
Sebagai
bagian dari proses sekularisasi, Mustafa Kemal kemudian memutuskan untuk :
- meniadakan pelajaran bahasa Arab dan Persia di sekolah-sekolah (1928).
- meniadakan pendidikan agama di sekolah-sekolah (1933);
- penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Turki agar dipahami oleh masyarakat;
- khotbah Jumat harus dilakukan dengan menggunakan bahasa Turki;
- azan haram menggunakan bahasa Turki (1933). Mustafa Kemal meninggal tahun 1938. Usaha pembaharuan yang telah dilakukannya, diteruskan oleh para pengikutnya[23]
- Kebangkitan Kembali Dunia Islam
Benturan-benturan antara Islam dan
kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa mereka memang jauh tertinggal
dari Eropa. Yang pertama merasakan hal itu diantaranya, Turki Usmani, karena
kerajaan ini yang pertama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa
penguasa dan pejuang-pejuang Turki banyak Belajar dari Eropa.
Pada pertenganahan
abad ke-20 M Dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya dari penjajahan Barat.
Periode ini merupakan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami
kemunduran di periode pertengahan.
Dengan demikian yang dimaksud dengan
kebangkitan Islam adalah kristalisasi kesadaran keimanan dalam membangun
tatanan seluruh aspek kehidupan yang berdasar atau yang sesuai dengan prinsip
Islam. Makna ini mempunyai implikasi kewajiban bagi umat Islam untuk
mewujudkannya melalui gerakan-gerakan, baik di bidang politik, ekonomi, sosial,
dan budaya.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan
Islam dikenal dengan sebutan gerakan pembaharuan. Pada periode ini mulai
bermunculan pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan pembaharuan itu muncul
karena dua hal antara lain:
- Timbulnya kesadaran di kalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran “asing” yang masuk dan diterima sebagai ajaran Islam. Ajaran-ajaran tersebut bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang sebenarnya, sepert bid’ah, khurafat dan takhyul. Ajaran inilah yang menyebabkan Islam menjadi mundur. Oleh karena itu, mereka bangkit membersihkan Islam dari ajaran atau paham tersebut. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan reformasi.
Adapun
gerakan-gerakan pembaharuan tersebut sebagai berikut :
- Gerakan Wahhabiyah yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul al-Wahhab (1703-1787 M) di Arabia.
- Grakan Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India.
- Gerakan Sanusiyyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair.
- Pada periode ini Barat mendominasi Dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Karena itu, mereka bangkit dengan mencontoh Barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power.
Adapun
langkah yang diambil berupa pengiriman para pelajar Muslim oleh penguasa Turki
Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan
menerjemahkan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam.
Gerakan pembaharuan itu kemudian
memasuki Dunia politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan
Pan-Islamisme (persatuan Islam sedunia) yang mulamula didengungkan oleh gerakan
Wahhabiyah dan Sanusiyah (Syalabi, 1988:107). Namun, gagasan ini baru
disuarakan dengan lantang oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M).
Al-Afghani adalah orang pertama yang
menyadari akan dominasi Barat dan bahayanya. Oleh karena itu, dia
memperingatkan Dunia Islam akan hal itu dan melakukan usaha usaha untuk
pertahanan (Syalabi, 1988:61). Menurutnya, umat Islam harus meninggalkan
perselisihan-perselisihan dan berjuang di bawah panji bersama. Disamping itu,
ia juga membangkitkan semangat lokal dan nasional negeri-negeri Islam. Karena
itu, al-Afghani dikenal sebagai bapak Nasionalisme dalam Islam.
Akhirnya
gagasan Pan-Islamisme menjadi redup ketika al-Afghani tidak didizinkan berbuat
banyak di Istambul oleh Sultan Kerajaan Usmani, Abdul al-Hamid II (1876-1909 M)
karena dianggapnya menjadi duri bagi kekuasaan sultan dan kalahnya Turki Usmani
bersama sekutunya, Jerman dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapuskan oleh
Mustafa Kemal, tokoh yang justru mendukung gagasan nasionalisme, rasa kesetiaan
kepada negara kebangsaan.
Di
Mesir, benih-benih gagasan nasionalisme tumbuh sejak masa al-Tahtawi (1801-1873
M) dan Jamaluddin al-Afghani. Tokoh pergerakan terkenal yang memperjuangkan gagasan
ini di Mesir adalah Ahmad Urabi Pasha.
Di
bagian Arab lainnya lahir gagasan nasionalisme Arab yang segera menyebar dan mendapat
sambutan baik, sehingga nasionalisme terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Demikian
ini yang terjadi di Mesir, Syiria, Libanon, Palestina, Iak, Hijaz, Afrika
Utara, Bahrein dan Kuwait. Semangat persatuan Arab ini diperkuat pula oleh
usaha Barat untuk mendirikan negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab dan di
negeri yang mayoritas dihuni Arab.
Di
India, gagasan Pan-Islamisme dikenal dengan gerakan khilafat. Syed Amir Ali (1848-1928
M) adalah salah seorang pelopornya. Namun gerakan ini akhirnya pudar, yang populer
adalah gerakan nasionalisme yang diwakili oleh Partai Kongres Nasional India. Gagasan
nasionalisme ini pun akhirnya ditinggalkan berubah menjadi Islamisme. Benih-benih
gagasan Islamisme dilontarkan oleh Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M), kemudian mengkristal
pada masa Iqbal (1876-1938 M) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948 M) (Nasution,
1988:165-205).
Sedangkan
di Indonesia, partai politik besar yang menentang penjajahan adalah Sarekat
Islam (SI), didirikan tahun 1921 di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Partai
ini merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H.
Samanhudi tahun 1911. Kemudian berdirilah partai-partai politik lainnya,
seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), didirikan oleh Sukarno (1927),
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru), didirikan oleh Mohammad Hatta (1931),
Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang menjadi partai politik tahun 1932,
dipelopori oleh Mukhtar Luthfi.
Demikianlah
gagasan-gagasan nasionalisme dan gerakan-gerakan untuk membebaskan diri dari
kekuasaan penjajah Barat yang kafir juga bangkit di negeri-negeri Islam
lainnya.
Mencermati
akselarasi kebangkitan Dunia Islam pada masa yang akan datang, terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tantangan yang dihadapi oleh Dunia
Islam, diantaranya adalah gerakan kristenisasi yang digarap secara
besar-besaran dalam Dunia Islam, khususnya yang terkatagori melarat. Gerakan
zionisme yang mendapat dukungan politik dan dana dari Dunia Barat kapitalisme
dan komonisme yang seringkali berkolaborasi dengan elite militer yang sedang
berkuasa dan sekularisme yang mengarap Dunia Islam melalui gerakan pemikiran
dan intelektual. Gejala ini dapat dilihat dalam kebijakan negara yang
memarginalkan kelompok elite agama dalam pemerintahan. Dan dapat pula dilihat
semakin banyaknya sarjana Muslim (IAIN) ke Dunia Barat dengan harapan
mende-islamisasikan masyarakat secara pemikirannya.
Kedua,
kelemahan Dunia Islam, diantaranya, lemahnya pengusaan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta lemahnya pengusaan terhadap Islam itu sendiri, misalnya
banyaknya umat Islam yang belum bisa menguasai pemahaman al-Qur’an, bahkan
banyak pula yang buta huruf membaca al-Qur’an. Pertanyaannya, bagaimana Islam
bisa bangkit kalau memahami ajaranya saja kurang sempurna. Inilah masalah yang
dihadapi umat Islam pada zaman sekrang ini.
Ketiga,
Salahnya Dunia Barat dalam memahami Islam, sebab mereka memahami Islam bukan
dari sumbernya tetapi dari prilaku-prilaku pemeluk Islam yang salah pula.Tetapi
sekarang ini ada kecenderungan Dunia Barat lebih obyektif melihat Dunia Islam, sebab
orang Barat sendiri sudah bosan dan muak melihat budayanya yang serba materialistis,
tidak mendatangkan kedamaian dan kebahagiaan. Dari sinilah mereka mulai tertarik
mempelajari Islam tanpa apriori. Kenyataan ini banyak dibuktikan banyaknya orang
Barat yang masuk Islam, baik dari kalangan budayawan maupun lainnya.
Pendek
kata kebangkitan Dunia Islam akan lahir apabila pemahaman dan komitmen terhadap
ajaran Islam merata di kalangan masyarakat Islam, sehingga dalam diri mereka tersimpul
keinginan untuk mengaktualkan Islam dalam pentas kehidupan bernegara. Hal lain
yang tak kalah penting adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa dua
kriteria itu tidak mungkin lahir kebangkitan Islam kembali.
III.
Kesimpulan
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa periode modern dalam sejarah Islam
bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai sekarang. Di awal periode ini
kondisi Dunia Islam secara politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru
pada pertengahan abad ke-20 M Dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya dari
penjajahan Barat.
Periode ini memang merupakan zaman
kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan.
Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan
pemabaharuan ini muncul karena dua hal:
1.
Timbulnya
kesadaran dikalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran “asing” yang masuk dan
diterima sebagai ajaran Islam. Ajaran-ajaran ini bertentangan dengan semangat
ajaran Islam yang sebenarnya, seperti bid’ah, khurafat dan tahayul. Oleh karena
itu mereka bangkit untuk membersihkan Islam dari ajaran atau paham seperti
itu. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan
reformasi.
2.
Pada periode ini
Barat mendominasi Dunia di bidang politik dan peradaban. Persentuhan dengan
Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Karena itu, mereka
berusaha bangkit dengan mencontoh Barat dalam masalah-masalah politik dan
peradaban untuk menciptakan balance of power (Yatim, 2003:173-174).
Sebagaimana telah disebutkan, ketika tiga
kerajaan besar Islam sedang mengalami kemunduran di abad ke-18, Eropa Barat
mengalami kemajuan dengan pesat. Kerajaan Safawiyah mengalami kemunduran,
karena tidak hanya mendapat serangan dari kerajaan Turki, tetapi juga mendapat
serangan dari kalangan Dinasti yang tunduk pada Safawiyah yang ingin merdeka,
yaitu berturut-turut Raja Afganistan, sehingga pada tahun 1722 M berhasil
menduduki Asfahan, kemudian disusul oleh serangan Dinasti Zand yang pada tahun
1750 M berhasil menguasai seluruh Persia. Maka berakhirlah kekuasaan kerajaan
Safawi di pertengahan abad ke-18.
Dengan demikian dapat diambil point bahwa
kelemahan Islam menyebabkan Eropa dapat menguasai, menduduki dan menjajah
negeri-negeri Islam dengan mudah.
Daftar
Pustaka
Albert
Hourani, A Historis of the Arab Peoples, Harvard University USA, 1991.
Aunur
Rahim Faqih dan Munthohah, Pemikiran & Peradaban Islam, UII Press,
Yogyakarta, 1998.
Yatim
Badri, Sejarah Peradaban Islam, RajaGrafindo Persadam Jakarta, 1999.
C.
Ernest Dawn. “from Ottomanism to Arabism: The Origin of an Ideology”, dalam The
Modern Middle East, Editor: Hourani et.
Carl
Brockelman, History of Islamic Peoples, Routledge & Kegan Paul,
London, 1980.
Aunur
Rahim Faqih dan Munthohah, 1998, Pemikiran & Peradaban Islam, UII
Press, Yogyakarta.
.
Cleveland
William, 1991, Islam Menghadapi Barat, terj. Ahmad Niamullah Muiz,1991,
Pustaka Firdaus, Jakarta.
Ira
Lapidus, A History of Islamic Socienties, Cambridge University Press,
Cambridge. 1988.
Jorgen
S. Nelsen. Muslims in Weatern Europe, Second Edition. Edinburgh
University Press, 1995.
Murtadha
Muthahhari, Gerakan Islam Abad XX, terj. Rineka Cipta, Jakarta, 1986.
P.M.Holt,dkk.
[Ed.], The Cambridge History of Islam, Vol. I B.,Cambridge University Press,
London, 1970.
S.
Nelsen. Jorgen. Muslims in Weatern Europe, Second Edition. Edinburgh
University Press, 1995.
William
I. Cleveland, 1991, Islam Menghadapi Barat, terj. Ahmad Niamullah
Muiz,1991, Pustaka Firdaus, Jakarta.
[1] Murtadha Muthahhari, Gerakan Islam Abad
XX, terj. Rineka Cipta, Jakarta, 1986,
[2] William I. Cleveland, 1991, Islam
Menghadapi Barat, terj. Ahmad Niamullah Muiz,1991, Pustaka Firdaus,
Jakarta, hlm.92.
[3] Jorgen S. Nelsen. Muslims in Weatern
Europe, Second Edition. Edinburgh University Press, 1995, hlm. 45-8.
[4] Bandingkan dengan negara-negara maju
lainnya, misalnya Inggris dan Perancis memiliki standar hidup yang relatif
tinggi.
[5] Jorgen S. Nelsen, op. cit., hlm. 67.
[6] Ibid.
[7] Albert Hourani, A Historis of the Arab
Peoples, Harvard University USA, 1991 hlm.263., dalam Aunur Rahim Faqih dan
Munthohah, Pemikiran & Peradaban Islam, UII Press, Yogyakarta, 1998,
hlm.265
[8] Op.cit , Albert Hourani,hlm 266.
[9] Ibid, hlm 267
[10] Ibid, hlm 267.
[11] Ira Lapidus, A History of Islamic
Socienties, Cambridge University Press, Cambridge. 1988. Hlm. 561., dalam
Aunur Rahim Faqih dan Munthohah, 1998, Pemikiran & Peradaban Islam, UII
Press, Yogyakarta, hlm. 89.
[12] Ibid, hlm 559.
[13] op.cit., Albert Hourani, hlm 274.
[14] Carl Brockelman, History of Islamic
Peoples, Routledge & Kegan Paul, London, 1980, hlm. 369.,dalam Aunur
Rahim Faqih dan Munthohah, 1998, Pemikiran & Peradaban Islam, UII
Press, Yogyakarta, hlm. 90.
[15] Baca : P.M.Holt,dkk. [Ed.], The Cambridge
History of Islam, Vol. I B.,Cambridge University Press, London, 1970, hlm.
687.
[16] op.cit.,Carl Brockelman, 1980 hlm. 507.
[17] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, RajaGrafindo
Persadam Jakarta, 1999,hlm. 169-170.
[18] Munthoha, Pemikiran dan peradaban Islam,
(Yogyakarta: UII Press. 1998.) hlm. 06
[19] Ibid. hlm. 97.
[20] Ibid
[21] Ibid, hlm 98
[22] Ibid, hlm. 99-100.
[23] C. Ernest Dawn. “from Ottomanism to Arabism:
The Origin of an Ideology”, dalam The Modern Middle East, Editor: Hourani et.
Al-hlm. 375-93.
No comments:
Post a Comment