I.
Pendahuluan.
Hidup
dan kehidupan rnanusia merupakan takdir Allah. Manusia tidak dapat melepaskan
diri dari segala ketetapan Allah. Takdir telah meletakkan manusia dalam suatu
proses, suatu rentetan keberadaan, urutan kejadian, tahapan-tahapan kesempatan
yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk berikhtiar mempertahankan serta
melestarikan hidup dan kehidupannya.
Manusia
diberi hak hidup bukan untuk hidup semata, tetapi ia diciptakan oleh Allah
untuk mengabdi kepadaNya. Dalam kerangka pengabdian inilah, manusia dibebani
berbagai taklif yang erat kaitannya dengan ikhtiar beserta sarana-sarananya dan
kemampuan manusia itu sendiri.
Dalam
proses tersebut, kehidupan manusia selalu dipengaruhi berbagai faktor yang
saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, manusia di dalam berikhtiar
melaksnakan taklif, berkewajiban mengendalikan dan mengarahkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kehidupannya, untuk mencapai makna dan tujuan hidupnya, yakni
sa'adatud darain atau kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat kelak.
Kesejahteraan
lahir-batin merupakan cita-cita setiap insan. Kesejahteraan lahiriah, lazimnya
merupakan sarana yang mendasar bagi tercapainya kesejahteraan batiniah,
meskipun ada juga orang yang memperoleh kesejahteraan batiniyah tanpa mendapat
kesejahteraan lahiriyah, menurut ukuran yang lazim.
Indikator
kesejahteraan masyarakat -di rnana keluarga/rumah tangga (usrah) sebagai unit
terkecil- memang sulit dirumuskan secara terinci. Namun sekurang-kurangnya
ajaran syari'at Islam dengan konsep fiqih sosial telah banyak menunjang sebagai
isyarat yang mendekati rumusan tersebut.[1]
Demikian
tadi adalah sekilas pandang tentang pembahasan fikih sosial, untuk lebih
jelasnya akan kami paparkan berikut ini :
II.
Pembahasan.
1.
Sejarah
dan Pengertian Fikih Sosial.
Dalam
sejarahnya, Fiqih Sosial muncul setelah ide-ide pembaruan Fiqih di Indonesia
bermunculan. Kita mengenal ide Fiqih Indonesia yang dipopulerkan oleh Hasby
Assidiqie tahun 1960an (bahkan benihnya sudah muncul sejak 1940an). Ide itu
ditindaklanjuti dengan ide Fiqih Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia) oleh
Hazairin pada tahun 1960an juga .
Kemudian
KH. Abdurrahman Wahid (lebih dikenal dengan pangilan Gus Dur) pada 1975
menawarkan ide Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan. Pada 1980an, Munawir
Sjadzali mengusulkan ide Reaktualisasi Ajaran Islam. Disusul dengan ide Agama
Keadilan oleh Masdar F. Mas’udi pada 1990an.
Kemudian
pada 1991 muncul Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang “dianggap” ijmak Ulama
Indonesia, yang diinstruksikan oleh Presiden Soeharto. Baru kemudian muncul ide
Fiqih Sosial pada 1994 oleh KH. Sahal Mahfudh dan KH. ‘Ali Yafie. Sebagai
sebuah wacana pemikiran, keberadaan Fiqh Sosial memang belum terdefinisikan
secara jelas.
Pemakaian
istilah fiqh soaial (al-fiqh al-ijtima’i) secara bahasa akan menjadi tepat
apabila disandingkan dengan term lain, yakni fiqh ndividu (al-fiqh al-infiradhi
). Kedua istilah ini relative belum dikenla dalam discourse fiqh klasik, walaupun
tidak dapat dipungkiri bahwa klasifikasi – klasifikasi fiqh yang dibangun
selama ini tetap mengapresiasikan dua sisi tersebut.
Jika
al-fiqh al-infiradhi lebih menekankan pada aspek ajaran tentang hubungan
individu dengan Tuhan (ibadah mahdhah ) dan hubungan manusia dengan manusia
dalam bentuk personal ( baina al-fardh wa al-fardh ), Maka fiqh sosial (al-fiqh
ijtima’i ) lebih menekankan kajiannya pada aspek ajaran tentang hubungan
antarsesama manusia-individu dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat
lainnya.
Dengan
pendekatan bahasa ini fiqh sosial dapat dipahami sebagai fiqh yang berdimensi
sosial atau fiqh yang dibangun atas dasar hubungan antarindividu atau kelompok
didalam masyarakat[2]. Ketiadaan
istilah tak otomatis menunjukkan ketiadaan ide dasar istilah tersebut. Adanya
indikasi Fiqih Sosial di dunia Arab bisa dilacak dari mekanisme Fiqih Sosial
itu sendiri. Ini mengingat Fiqih Sosial merupakan tema yang sangat besar.
Mekanisme
itu diantaranya adalah semangat menjadikan Fiqih tak hanya sebagai justifikasi
hukum. Akan tetapi, menjadikannya sebagai kritik sosial, agen perubahan sosial,
penggerak perubahan dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Dengan begitu, Fiqih
Sosial lebih peka terhadap masalah-masalah sosial dan lebih ramah budaya dan
peradaban.
Selain
itu, ada mekanisme lain dari Fiqih Sosial. Yaitu, menverifikasi kembali mana
persoalan-persoalan agama yang pokok dan mana yang cabang. Itu dilakukan dengan
metode Maqâshid al-Syarî’ah. dari dua mekanisme itu saja bisa terlihat bahwa
Fiqih Sosial, meskipun istilahnya dari Indonesia, akan tetapi spirit dan
mekanismenya itu universal. Fiqh sosial merupakan sebuah ikhtiar aktualisasi
fiqh klasik melalui upaya aktualisasi keseluruhan nilai yang ada didalamnya
untuk dioptimalkan pelaksanaan dan diserasikan dengan tuntunan makna sosial
yang terus berkembang.
Tujuan
pokok fiqh sosial adalah membentuk satu konsep fiqh yang berdimensi sosial,
atau fiqh yang dibangun dengan sejumlah peranan individu atau kelompok dalam
proses bermasyarakat dan bernegara. Secara khusus bisa dikatakan bahwa
pemikiran fiqh sosial ini berangkat dari realitas sikap keberagaman masyarakat
tradisional, yang secara hirarkis mempertahankan pola bermadzhab secara utuh (qauli
dan manhaji) dan benar (dimanifestasikan dalam seluruh sendi kehidupan).
Fiqh
sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol:
1.
Interpretasi
teks-teks fiqh secara kontekstual.
2.
Perubahan
pola bermadzhab dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab
secara metodologis (madzhab manhaji).
3.
Verifikasi
mendasar mana ajaran yang pokok ( ushul) dan mana yang cabang ( furu‘).
4.
Fiqh
dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara.
5.
Pengenalan
metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.[3]
Jika dicermati lebih jauh, kelima ciri di atas memang didasarkan atas
keyakinan bahwa rumusan produk hukum yang tertuang dalam berbagai kitab fiqh
banyak yang dapat diterapkan (applicable) untuk memecahkan masalah-masalah
sosial kontemporer. Pengembangan fiqh sosial tidak serta merta menghilangkan
peran khazanah klasik.
Dengan dasar keyakinan ini, kreatifitas dalam pengembangan fiqh
sosial diharapkan tidak tercabut dari akar tradisi orthodoxy. Persoalannya
sekarang bagaimanakah khazanah klasik itu disikapi. Untuk tujuan ini maka
prinsip “ almuhafadhatu ‘ala al-qodim al-salih wa al-akhdzu bil jadid al-aslah
” akan selalu menjadi panduan.
2) Paradigma Fikih Sosial.
Paradigma, oleh Thomas Khun diartikan sebagai cara pandang yang
memiliki makna transedensi, namun paradigma kini menjadi kata yang bermakna
awam dan telah digunakan sebagian masyarakat dengan makna atau arti yang
berbeda. Paradigma yang dimaksud adalah cara pandang dalam melihat perubahan
sosial di abad postmodernisme dari sisi fiqh (hukum Islam).
Saat ini, persoalan terbesar ummat manusia adalah munculnya
berbagai persoalan sosial kemasyarakatan dan berbagai persoalan lainnya yang
menyelimuti kehidupan manusia itu sendiri. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan
sosial yang demikian pesat saat ini, perangkat-perangkat hukum yang telah ada
disamping al-Qur’an dan as-Sunnah , para fuqoha dan pemimpin Islam diharapkan
tanggap serta ditantang untuk melakukan ijtihad guna menyelesaikan
masalah-masalah hukum (masail fiqhiyah ) yang lahir akibat perubahan atau
perkembangan sosial masyarakat Islam yang ada. Dan, secara paradigmatik
persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat yang menimbulkan persoalan hukum
( masail fiqhiyah ) harus disikapi secara kritis dan dipahami seditail mungkin,
hingga ijtihad atau kebijakan yang diambil oleh para fuqoha dan pemimpin Islam
lainnya dapat memberikan ketenangan dan ketentraman kepada ummat .
Pada prinsipnya tujuan syari’ at Islam yang dijabarkan secara rinci
oleh para ulama dalam ajaran fiqh ialah penataan hal ihwal manusia dalam
kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan
bernegara. Syari’at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang
dalam fiqh menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual, muqayyadah
(terikat oleh syarat dan rukun) maupun muthloqah (teknik operasionalnya tidak
terikat oleh syarat dan rukun tertentu). la juga mengatur hubungan antara
sesama manusia dalam bentuk mu’asyarah (pergaulan) maupun mu’amalah (hubungan
transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup).
Disamping itu ia juga mengatur hubungan dan tata cara keluarga,
yang dirumuskan dalam komponen munakahat. Untuk menata pergaulan yang menjamin
ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen
jinayah, jihad dan qadla . Pemecahan problem sosial berarti merupakan upaya
untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban
mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum.
Dalam hal ini, kemaslahatan umum -kurang lebih adalah kebutuhan
nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan
lahiriahnya. Baik kebutuhan itu berdimensi dlaruriyat atau kebutuhan dasar
(basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal
pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun kebutuhan
hajiyat (sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi tahsiniyyah atau pelengkap
(suplementer).[4]
Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqh sosial di dasarkan
atas keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan
tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dlaruriyat (primer), kebutuhan
hajiyat (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyyah (tersier). Fiqh sosial bukan sekedar sebagai alat untuk
melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih sebagaimana cara pandang
fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga menjadikan fiqh sebagai
paradigma pemaknaan sosial.
3) Tokoh Fikih Sosial Dan Pemikirannya.
Seperti yang telah dipaparkan pada keterangan sebelumnya. Diantara
tokoh-tokoh penggagas fiqh sosial diantaranya adalah KH. Sahal Mahfudh dan KH.
‘Ali Yafie. Kiai Sahal Mahfudh merupakan sosok kiai yang sangat kharismatik di
belantara Nusantara. repotasinya bisa disejajarkan dengan Gus Dur (almarhum)
baik pola pemikiran dan kegigihannya dalam memperjuangkan agama Islam.
Begitu juga beliau sering mengisi ceramah keagamaan di berbagai
tempat, diskusi dan yang lebih menarik beliau juga produktif dalam menulis.
Yang membuat namanya semakin tersohor, dengan perjuangannya melahirkan konsep
baru di bidang fiqih. Beliau memiliki keinginan kuat untuk memposisikan fiqih
mampu menjawab segala tantangan zaman, sehingga lahirlah pemikiran beliau yang
terkenal dengan sebutan fiqih sosial.
Pondasi kuat yang melatar belakangi timbulnya terobosan baru yang
progesif di bidang fiqih ini, tak lepas dari keinginan beliau untuk membuktikan
bahwa, fiqih tidak hanya berkaitan dengan ibadah mahdhah an-sikh (relasi
vertikal), namun juga mampu mengeluarkan manusia dari jurang kejumudan, keterbelakangan,
akhirnya menemukan konsep baru yang bernama ”fiqih sosial”, yakni fiqih yang
berhubungan, berkaitan, dan berkelin-kelindan dengan problematika sosial yang
meliputi pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, ekonomi, keilmuan, budaya,
dan politik.
Pada level ini kiai sahal berupaya mengentaskan kemiskinan dengan
mendoktrin masyarakat dengan paradigma yang berbeda. Beliau mampu melakukan
pergeseran pengertian miskin, setelah usahanya baik melalui ceramah, diskusi
dan tulisan. Dengan segala upayanya menyadarkan masyarakat, beliau tidak
henti-hentinya menyampaikan bahwa, hidup miskin harus dilawan dan harus di
hilangkan, tiada lain dengan upaya keras, terencana, dan terorganisir, tidak
menyerah tanpa ada upaya mengubahnya.
Kondisi miskin adalah kondisi yang tidak ideal, dan juga tidak
dianjurkan oleh agama, landasannya adalah hadis Nabi ”kefakiran mendekatkan
diri pada kekufuran” (HR. Abu Naim dari Anas). Dalam upaya kiai Sahal
mengentaskan kemiskinan, dalam ranah praksisnya, pada Tahun 1977 Sahal mengikutkan
santrinya, untuk mengikuti latihan tenaga pengembangan masyarakat yang di
selenggarakan oleh LP3ES Jakarta, bekerja sama dengan Departemen Agama RI,
selama satu tahun.
Selama satu tahun itu diajari bagaimana mengembangkan potensi
rakyat terutama di sektor pertanian. Dari berbagai konsep yang ditawarkan kiai
Sahal, perlu kiranya untuk membaca kembali berbagai konsepnya yang cukup
mencerahkan dan penuh argumen, sebagai masukan untuk mebawa pada perubahan yang
nyata, dengan tidak mudah menerima dengan kondisi yang kurang ideal, agar
kemiskinan yang menjadi salah satu faktor kekufuran tidak terus kita nikmati
selamanya.
K.H. Ali Yafie dilahirkan di Wani-Donggala, Sulawesi Tengah,
barangkali turut mengalirkan sifat pribadinya yang berkemauan keras, tekun, dan
paantang menyerah. Beliau adalah sosok tokoh yang bentuk dan struktur dasar
intelektualitasnya dirakit dipesantren.[5]
Begitu banyak kiprah beliau dalam bidang kemasyarakatan, dar
tingkat local (pengajar diberbagai madrasah), regional (dosen dan hakim pada
Pengadilan Tinggi Agama di Makasar, Inspektur Pengadilan Agama Indonesia
Wilayah Timur, Staf harian dan anggota Dewan Pleno Badan Potensi Karya Kodam
XIV Hasanudin) sampai tingkat nasional dengan duduk atau pernah menduduki
jabatan penting (Ketua Dewan Penasehat ICMI, anggota Dewan Pengawas Syari’ah
Bank Muamalat Indonesia, wakil ketua Dewan Pembina Badan Arbitrase Muamalat,
Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Guru Besar Institut Ilmu Al-
Qur’an, Guru Besar Dirasah Islamiyah Universitas As-Syafi’iyah).
Melalui berbagai uraian, K.H. Ali Yafie telah memandu kita
menjelajah belantara keagamaan dan sosial kemasyarakatan dalam spektrum yang
cukup luas. Salah satu karyanya adalah Menggagas Fiqih Sosial
dimana karya ini merupakan suntingan, kumpulan dari 26 artikel yang
masing-masing merupakan ide utuh, lepas, berdiri sendiri, dan disampaikan pada
berbagai kesempatan yang berbeda. Berkat teknik suntingan yang canggih, semua
artikel terangkum menjadi jalinan kesatuan karya penting yang setiap unsurnya
saling menopang dibawah tema sentral yang menggoda : Menggagas Fiqih Sosial.
Karya ini seirama dengan membumikan Al-Qur’an karya Prof. Dr. Quraish Shihab.
Dengan orisinalitasnya masing-masing, keduanya dimulai dengan
pembahasan tentang Al-Qur’an kemudian merambah kepada masalah-masalah sosial
kemasyarakatan yang actual saat ini. Dimana keduanya memberikan tekanan antara
lain pada perlunya pemahaman Al-Qur’an secara utuh. Salah satu cara untuk
memperoleh pemahaman Al-Qur’an secara utuh adalah dengan mendorong penafsiran
secara tematis.
Dengan menekankan pada atau mengajukan tema-tema tertentu. Dengan
kemampuan memilih ayat-ayat yang berkaitan dengan kehidupan dan dengan bantuan
Sunnah yang merupakan penjelasan paling otentik terhadap isi dan kandungan Al-Qur’an,
menurut K.H. Ali Yafie, kita bisa menjadikannya pedoman yang benar-benar
fungsional bagi manusia untuk hidup di dunia, terlebih di akhirat.
III.
Penutup.
Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqh sosial di dasarkan
atas keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan
tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dlaruriyat (primer), kebutuhan
hajiyat (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyyah (tersier). Fiqh sosial bukan
sekedar sebagai alat untuk melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih
sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga
menjadikan fiqh sebagai paradigma pemaknaan sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia
Dari Nalar Parsipatoris Hingga Emansipatoris. Yogyakarta: PT LKis Pelangi
Aksara Yogyakarta. 2005
Mahfudz, Sahal. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKis Yogyakarta.
1994.
Rahman, Jamal D. Wacana Baru Fiqih
Sosial 70 Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: MIZAN. 1997
http//.www.melbayawy.wordpress.com/2011/11/17/makalah-fikih-sosial.
No comments:
Post a Comment