Membumikan
Fiqih Dengan Bermadzhab
Secara
Manhaji
P
|
By : khobir & bahruddin[1]
erkembangan limu pengetahuan
dan teknologi dewasa ini, menuntut para ulama Islam untuk melakukan upaya
rekonstruksi terhadap khazanah pengetahuan Islam secara inovatif. Termasuk yang
cukup urgen, adalah upaya para ulama tersebut untuk secara terus-menerus
melakukan ijtihad dibidang fiqih secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebab kajian soal ijtihad akan selalu aktual, mengingat kedudukan dan fungsi
ijtihad dalam yurisprudensi Islam tidak bisa dipisahkan dengan produk-produk
fiqih, apakah itu berfungsi sebagai purifikasi ataukah reaktualisasi.
Dalam sejarah
fiqih Islam fungsi ijtihad ini pernah mengalami kemandegan, karena munculnya
institusi ijtihad yang dibatasi oleh kelembagaan para mujtahid mutlak, seperti
institusi empat imam mazdhab yang sangat popular itu. Sehigga umat Islam
mengalami era taklid yang begitu panjang serta taasub madzhab yang berlebihan (yang
terjadi sekitar tahu 656 H/ 1258 M sampai sekarang) dan juga terlepas dari kualitas
dasar-dasar fiqih (Ushul Fiqh dan Qāwaidul Fiqh) yang telah dirumukan
oleh imam mujtahid itu, atau terlepas dari pengembangan dasar-dasar tersebut
dalam khazanah pemikiran para komentator (syarih) dari pengikut-pengikut
imam itu. Dengan demikian, fiqih aktual mengalami masa surut yang luar biasa.
Oleh sebab itu
institusi ijtihad sendiri dipegang oleh tiga kelompok besar di antara para
ulama fiqih.
Kelompok
pertama,
yang menolak ijtihad mentah-mentah, dengan alasan bahwa produk ulama mujtahid
dan salaf telah mampu menjawab setiap tanntangan zaman dan masalah-masalah
kontemporer dewasa ini. Tinggal bagaimana merelevansikan pemikiran aktualnya,
untuk kondisi dan situasi saat ini. Kelompok pertama ini lebih memilih taklid
dan mengikuti pola pandang bahwa aktifitas fiqih selalu disandarkan pada
imam-imam mujtahidnya.
Kelompok
kedua,
justru menganjurkan ijtihad dan secara ekstrim menolak taklid. Kelompok ulama
ini lebih puritan, namun, sikapnya yang secara mentah-mentah menolak taklid, mengakibatkan
munculnya sikap gegabah dalam melakukan ijtihad. Mereka tidak mau menengok
kembali khazanah ulama salaf, dengan dalih cukup mengambil dasar al-Qur’an dan
al-Hadits, untuk memproduksi kebutuhan fiqih yang berkembang. Karena itu pada
kelompok ini, bermunculan para “mujtahid baru” yang mengatasnamakan dirinya
sebagai pembaharu Islam yang secara kritis sering mereduksi pemikiran-pemikiran
mapan para ulama fiqih itu sendiri. Yang disayangkan sikap ekstrim ini membawa
pengeroposan dalam khazanah intelektual Islam, mengingat prasyarat-prasyarat
ijtihad yang seharusnya dipenuhi oleh seorang mujtahid diabaikan begitu saja.
Kelompok
ketiga,
lebih moderat. Para pakar fiqih yang mengambil
jalan “tengah” ini, tetap bersemangat agar fiqih Islam senantiasa aktual dengan zaman. Tetapi tidak melepaskan dataran
tempat berpijak para ulama pendahulunya (salafu as-shālih). Sebab apa
yang telah dicapai ulama salaf itu, dalam sekala global telah memenuhi tuntutan
psikologis dan kebutuhan yurisprudensi pada umumnya. Hanya saja, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut lebih jauh fungsi-fungsi yurisprudensi
untuk menjawab tantangan yang dinamis. Kelompok ketiga ini, memberikan respon
terhadap masalah-masalah aktual dengan metode-metode ijtihad, yang memadukan
metode ulama mujtahid dengan metode penelitian modern, bahkan secara komprehensif
memberlakukan apa yang disebut sebagai ijtihad kolektif (ijtihad jama’i).[2]
Bermadzhab
Secara Manhaji
Hukum Islam
atau yang biasa disebut fiqh merupakan ajaran yang paling populer dari seluruh
ajaran Islam. Bahkan, terkesan di masyarakat Muslim bahwa fiqh adalah totalitas
ajaran Islam. Sehingga ketika fiqh membeku dan tidak lagi mampu merespons laju
kemajuan dalam segala bidang kehidupan, seakan-akan seluruh ajaran Islam telah
runtuh. Di sini fiqh (dan ulamanya) dicap sebagai biang kemandulan terhadap
pencerahan problem kemanusiaan.
Fiqh,
sesungguhnya adalah hasil dialektika antara teks-teks otoritatif (al-Qur’an dan
dalam kadar tertentu juga al-Hadits) dan realitas kemanusiaan, dialektika
antara wahyu dan akal, dialektika antara yang samawi dan ardhi yang dibaca
secara cerdas oleh anak-anak zamannya. Hanafi (W. 150 H), Maliki (W. 179 H),
Hambali (W. 241 H) dan lain-lain adalah contoh pemikir yang melakukan pembacaan
terhadap dialektika tersebut. Kata dialektika perlu digarisbawahi untuk
memberikan kesan bahwa kedua belah pihak yang berdialog diletakkan dalam posisi
tawar yang sejajar, tidak ada yang menang dan tidak ada yang dikalahkan.
Dialektika itulah yang kemudian melahirkan aturan-aturan tata nilai yang
benar-benar membumi sebagai dimensi kemanusiaan namun tetap memiliki nilai
samawi sebagai dimensi keilahiyannya. Tata nilai itulah yang pada akhirnya
disebut dengan hukum Islam (fiqh).
Kesalahan besar
(mungkin juga ketidakmengertian) yang pernah dan sedang terjadi dalam rentang
perjalanan sejarah fiqh adalah mengubah watak dialogis fiqh menjadi corak
monologis. Di bawah tekanan corak kedua ini, akhirnya fiqh lambat laun namun
pasti menuju kematiannya. Dalam tarikan nafas yang sama, peran akal, nilai
tawar realitas-empiris dan hajat riil kemanusiaan terabaikan dan disia-siakan.
Anehnya justru manusia sendiri yang melakukan pembunuhan terhadap unsur-unsur
penting bangunan fiqh itu. Pada akhirnya fiqh dipahami sebagai hasil pemikiran
ulama Arab klasik yang final dan berlaku universal. Inilah yang oleh al-Qarāfi
( W. 684 H) disebut ‘kesesatan (dalam) agama’. Al-Qarāfi menyatakan “al-jumud
‘ala al-manqulat abadan
dhālalun fi al-din wa jahlun bi maqāsidi ulama al-muslimin wa al-salafi
al-madhin” (ketundukan tanpa batas terhadap produk hukum tertentu adalah
kesesatan dalam agama dan ketidakmengertian terhadap tujuan ulama salaf masa
lalu).
Ulama-ulama
madzhab sendiri yang pemikiran hukumnya diikuti oleh hampir seluruh umat Islam
di dunia, tidak pernah menganggap dirinya sebagai manusia suci (ma’shum)
yang terbebas dari kesalahan. Semua ulama madzhab menyerukan untuk tidak
mengamini pemikirannnya secara (membabi) buta. Imam Ahmad bin Hambal – yang
dikenal dengan ulama tradisionalis-literalistik – misalnya, menyatakan kepada
sahabat-sahabatnya: “janganlah kalian bertaqlid kepadaku, jangan pula pada
Syafi’i, al-Auza’i dan lain-lain. pilihlah hukum Tuhan dari sumber mana mereka
menemukannya.”
Tidak diragukan
lagi, ijtihad-ijtihad baru harus kita buka kembali lebar-lebar seiring dengan
kebutuhan untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan yang
semakin kompleks. Sudah saatnya kata “ijtihad” diakrabkan dengan
keseharian masyarakat muslim dan di atas semua itu betul-betul diaplikasikan
dalam upaya produktivitas fiqh. Untuk kepentingan ijtihad ini, metodologi ushul
fiqh perlu mendapat ruang yang sewajarnya. Menurut al-Ghazali, syarat utama
yang harus dipenuhi dalam proses ijtihad adalah perangkat metode ushul fiqh.
Kebenaran hasil ijtihad salah satunya ditentukan oleh ketepatan dalam
menggunakan metode ini.
Ushul fiqh
adalah seperangkat metode untuk melakukan pembacaan terhadap dialektika antara
teks dan realitas empiris masyarakat. Sebab itulah, agenda besar ushul fiqh
adalah analisis teks dan analisis maqāsid al-syariah Analisis teks diarahkan
untuk memahami al-Qur’an dan juga al-Hadits secara benar. Sedangkan analisis maqāshid
al-syariah ditujukan untuk mempersambungkan makna teks terhadap realitas
empiris dan kebutuhan riil masyarakat. Analisis teks dan analisis maqāshid
al-syariah harus dijalankan secara padu ketika seseorang hendak
mengijtihadi problem kemanusiaan. Ijtihad yang hanya bertumpu pada teks akan
melahirkan corak fiqh yang kering dari nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya
ijtihad yang hanya berpijak pada maqāshid al-syariah akan mengakibatkan
tampilan wajah fiqh yang liar dan sulit diterima nalar logika masyarakat,
khususnya masyarakat yang masih mempercayai teks, terlebih teks suci.
Untuk memenuhi
kebutuhan analisis teks, ushul fiqh menghadirkan kaidah-kaidah kebahasaan yang
luar biasa rumit sekaligus menarik. Dimulai dari kategori lafadz (kata) al-‘am,
al-khās, al-mutlaq, al-muqāyyad, al-amr, al-nahi, al-musytarāk, al-muawwal,
al-haqiqāh, al-majaz, al-kinayah, ad-dhāhir, an- nash, al- mufassar, al-muhkam,
al-khāfi, al-musykil, al-mujmal dan al-mutasyabih sampai pada teori
kalimat yang terdiri dari al-manthuq, al-mafhum, ibarāh al-nash, isyarāh
al-nash, dalalah al-nash dan iqtidhā’ al-nash.
Teori-teori
tersebut dapat digunakan untuk membuka sekian makna-makna teks yang masih
tersembunyi. Bukankah, ucap Ali ra, al-Qur’an hammalu aujuh, mengusung
banyak kemungkinan arti? Arti-arti yang menggenang bagai air lautan yang
terkungkung dalam celah-celah teks hanya dapat dibaca dengan berbagai macam
teori. Nah, ushul fiqh menyediakan teori-teori tersebut.
Suatu hal yang
tidak kalah pentingnya adalah analisis maqāsid al-syariah sebagai tujuan
substanstif kehadiran aturan hukum. Ulama terkemuka seperti al-Ghāzali (W. 504
H), ath-Thufi (W. 716 H) dan juga asy-Syātibi (W. 780 H) telah memberikan
eksplorasi menarik dan mendalam atas wacana ini. Sekalipun konsep maslakhah
mereka masih terkesan teosentris namun ada setitik cahaya yang dapat kita
gunakan sebagai lentera untuk membangun maslakhah yang lebih manusiawi dan
memberikan jaminan kesejahteraan pada seluruh umat manusia.
Di sisi lain
ushul fiqh mempersiapkan metode-metode alternatif lain ketika problem
kemanusiaan tidak dapat dicukupi secara langsung oleh teks setelah dilakukan
pembacaan secara konprehensif. Istihsan , al-urf, al-qiyas, sadd
al-dzari’ah, maslahah al-mursalah adalah sebagian metode alternatif itu.
Metode yang pertama dan yang kedua ini tidak bersifat hirarkis, melainkan
berjalan beriringan dan saling melengkapi.[3]
Sudah saatnya
fiqh dibangun bukan hanya berangkat dari teks suci dan bukan semata berpijak
pada realitas empiris tetapi dengan cara mendialogkan terus-menerus antara
dimensi teks dan realitas kemanusiaan. Ushul fiqh layak digunakan sebagai alat
baca dialektika tersebut. Sudah saatnya ushul fiqh bukan hanya dibaca di ‘alep
barakahnya’ tetapi divitalkan untuk membangun fiqh yang akomodatif terhadap
kebutuhan umat manusia. Selama ini ushul fiqh belum – kalau tidak dikatakan
tidak sama sekali – digunakan sebagi metode ijtihad di Indonesia. Organisasi-organisasi
keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah yang dikenal memiliki tokoh-tokoh cerdas
(ulama) belum benar-benar menggunakan metode ushul fiqh dalam perhelatan ilmiah
mereka. Bahtsul masa’il di tingkat manapun masih diramaikan dengan
perburuan-perburuan rujukan kitab klasik sekalipun kadang terlalu dipaksakan. Bahkan
tak jarang terdapat beberapa persoalan yang mauquf (dasar hukumnya tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih).
Sebab bagaimanapun rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas
tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi
sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus
berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Maka disinilah diperlukanya “fiqih
baru” yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam
masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj yakni mengambil
metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqih serta qawa’id (kaidah-kaidah
fiqih). [4]
Dengan kembali
menjadikan ushul fiqh sebagai metode ijtihad (bermadzhab secara manhaji), fiqh
akan menjadi lebih membumi dan manusiawi dari pada fiqh yang ada saat ini.
Simpulan
Dari uraian di
atas tampak jelas bahwa salah satu dari lima
ciri pokok fiqh social – fiqh yang dapat “membela” aspek social masyarakat saat
ini – sesuai hasil rumusan dari serangkaian halaqah NU bekerja sama dengan RMI
dan P3M adalah bermadzhab secara manhaji. Yaitu dengan mendalami kajian usul
fiqh dan qawaidul fiqh sebagai metodologi pemutusan hukum terkait dengan
problematika aktual yang belum sempat terpikirkan oleh ulama’ terdahulu. Karena
dengan kedua kajian itulah ulama’-ulama’ salaf menghasilkan dan memutuskan
hukum.
Semoga
lembaga-lembaga keagamaan kita, seperti “Majelis Tarjih” Muhammadiyyah, dan “Majlis
Bahtsul Masail” Nahdlatul Ulama’ mampu menutupi kelemahannya masing-masing. Seperti
yang diungkapkan oleh Rifyal Ka’bah, dalam hasil penelitiannya bahwa kelemahan “Majlis
Tarjih” Muhammadiyyah dalam metode penetapan hukum antara lain bahwa, majlis
ini, cenderung kurang memperhatikan pendapat-pendapat para ulama’ terdahulu,
dan mengklaim bahwa keputusan yang ada merupakan hasil ijtihad-ijtihad majlis
yang langsung disandarkan kepada Al-qur’an dan Al-Hadist.
Sementara itu “Majlis
Bahtsul Masail” Nahdlatul Ulama’ cenderung hanya mencukupkan diri pada
pendapat-pendapat para ulama’ terdahulu (memberlakukan secara dinamis nash-nash
fuqaha) dan kurang memperhatikan sumber pokok, yaitu Al-qur’an dan Al-Hadist.[5]
Sedangkan untuk melakukan istimbath yang cenderung ke
arah perilaku ijtihad oleh ulama NU dirasa sangat sulit, karena
keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang
ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya
muj’tahid.
&
No comments:
Post a Comment