Ahmad
Fauzi Haz
Lukman
Hakim
Ihyak
Al-Farisi
BAB
I
PENDAHULUAN
Fiqh dalam pengertian ilmu tentang
hukum-hukum Syariat yang bersifat praktis (amaliyah), telah menjadi warna dasar
budaya muslim. Sejak awal pertumbuhannya, Fiqh telah berkembang sedemikian
cepat sehingga melampaui cabang-cabang ilmu lainnya. Jika dalam tradisi Kristen
Theologi terlihat begitu dominan, maka dalam Islam Fiqhlah yang sangat dominan
mewarnai pola kehidupan. Inilah yang kemudian memunculkan citra bahwa kehidupan
masyarakat Islam itu sangat legalistik. Karenanya tidak salah jika kita ingin
melihat perilaku budaya masyarakat Islam, Fiqh adalah “jendela” yang tepat
untuk digunakan.
Pengembalian Fiqh agar tetap
berjalan sesuai dengan prinsip etika dapat dilakukan dengan cara
mengintegrasikan maqasid al-Syari’ah ke dalam proses pengembangan kerangka teoritik
Fiqh. Dalah konteks ini, berarti hikmah hukum harus diintegrasikan ke dalam
‘illat hukum sehingga diperoleh suatu produk hukum yang bermuara pada
kemaslahatan umum.
Untuk tujuan pengembangan Fiqh, para
mujtahid masa lalu sebenarnya sudah cukup menyediakan landasan kukuh
sebagaimana tergambar dalam kaidah-kaidah ushuliyah maupun fiqhiyah. Secara
qauli pengembangan Fiqh bisa diwujudkan dengan melakukan kontekstualisasi kitab
kuning atau dengan cara pengembangan contoh-contoh aplikasi kaidah-kaidah Ushul
al-Fiqh maupun Qawa’id al-Fiqhiyah. Sedangkan secara manhaji, bisa dilakukan
dengan cara pengembangan teori masalik al-‘illat agar Fiqh yang dihasilkan
sesuai dengan maslahat al-‘amanah.
Maka dalam hal ini, maka perlu
diketahui bahwa dalam perubahan pola bermadhab dari bermadhab qouli ( tekstual
) kepola bermadhab manhaji ( metodologis ) perlu dijelaskan dan dipahami agar
tidak terjadi kesalah pahaman. Sebagai gamabarannya akan dijelaskan tentang
pengertian, perbandingan, beserta contoh-contohnya dan akan ditutup dengan
penutup.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Madzhab Tekstual dan Madzhab Metodologis
1.
Madzhab
Menurut
pengertian bahasa madzhab adalah lafal masdar dan isim makan dari fi’il madhi ذهب yang
berarti pergi atau berpendapat. Adapun menurut istilah terdapat beberapa
definisi yang dikemukakan para ulama’, di antaranya adalah :[1]
a. Pendapat
Said Ramadhani al-Buthi, menurutnya madzhab berarti jalan pikiran yang ditempuh
oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum islam dari al-Qur’an dan
hadis.
b. Pendapat
K.H. abd Rahman, menurutnya madzhab berarti pendapat, paham, atau aliran
seorang imam, seperti madzhab Abu Hanifah, madzhab Malik, mazhab Syafi’i, dan
madzhab Ahmad ibn Hambal.
c. Pendapat
al-Hasan, menurutnya madzhab berarti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat
seorang alim besar dalam urusan agama, baik dalam urusan ibadah maupun yang
lain.
Dari
ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa madzhab adalah jalan pikiran
atau metode atau aliran atau pendapat seorang mujtahid yang berkenaan dengan
hukum islam yang berdasarkan pada dua sumber yaitu al-Qur’an dan hadis.
2. Tekstual
(Qauli)
Tekstual
dari kata teks, yang menurut bahasa adalah naskah yang berupa kata-kata asli
dari pengarang, kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan.[2]
Jadi tekstual berarti berhubungan dengan teks.
Menurut
pemahaman penulis yang dimaksud dengan bermadzhab tekstual (q`uli) adalah
seseorang yang mengikuti teks pendapat seorang mujtahid-yang berkenaan dengan
hukum islam yang berdasarkan pada al-Qur’an dan hadis- dalam menjawab
permasalah kontemporer. Ini sesuia dengan yang dikemukakan oleh Mahsun Mahfudz[3] dalam
pendahuluan makalahnya yang berjudul Rekonstruksi Madzhab Manhaji Nahdlatul
Ulama Menuju Ijtihad Saintifik Modern. Bahwa yang dimaksud mermadzhab tekstual
(qauli) adalah ketika penggalian suatu hukum merujuk langsung pada
teks-teks pendapat imam madzhab empat atau pendapat ulama pengikutnya.[4]
3. Metodologis
(Manhaji)
Menurut
pengertian bahasa metodologi adalah ilmu tentang metode, uraian tentang metode
atau cara. Dengan demikian menurut Aziz Masyhuri, seperti yang dikutip oleh
Mahsun, bahwa yang dimaksud dengan bermadzhab metodologis (manhaji)
adalah menyelesaikan masalah hukum dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah
penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab. Prosedur operasional
manhaji ini adalah dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah (kaidah-kaidah
ushul fiqh) dan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).[5]
B. Contoh
– Contoh Bermazhab Tekstual
Penulis
akan memberikan contoh yang diambil dari buku Sosuli Problematika Aktual Hukum
Islam, Keputusan Mu’tamar, Munas dan Konbes NU.[6]
1. Bagaimana
hukum budi daya jangrik?
Jawabannya adalah boleh
Dasar pengambilan hukum
tersebut :
a. Al-Figh
‘ala Madzahibil Arba’ah juz II, hlm. 3.
Yang
artinya; jika suatu kaum sudah terbiasa memakan (jangkrik dan semisalnya) dan
tidak membahayakan terhadap mereka, dan yang menjadi pedoman adalah diri
mereka, makan menurut pendapat yang masyhur adalah tidak haram.
b. Al-Majmu’
‘ala Syarhil Muhadzdzab juz IX, hlm. 16
Yang artinya;
madzha-madzhab ulama perihal serangga
...... Imam Malik berpendapat, serangga itu halal susuai dengan firman
Allah Swt.: “katakanlah ! tidaklah aku peroleh dalam waktu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali
jika makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi....” (QS.
al-An‘am :145)
c. Al-Majmu;
‘ala Syarhil Muhadzdzab juz IX, hlm. 16
Yang
artinya; pendapat yang paling benar di antara dua pendapat adalah, bahwa
jangkrik itu haram sama seperti kumbang.
d. Al-Mughni
‘ala Syarhi al-Kabir juz IV, hlm. 239.
Yang artinya; menurut pendapat kami,
ulat itu adalah binatang yang suci dan boleh membudidayakannya untuk memiliki
apapun yang keluar darinya, sama seperti binatang ternak.
2. Bagaimana
hukum jual beli jangkrik ?
Jawabannya adalah
khilah
a. Madzhab
maliki dan madzhab hanafi mensahkan hukum jual belinya.
b. Menurut
ashasul wajhain dari madzhab syafi’i, hukumnya haram.
Dasar
pengambilan :
a. Al-Fighul
Islami wa Adillatuhu li Wahbah Zuhailiy juz V, hlm 446-447.
Yang artinya; sah jual
beli serangga dan binatang melata, seperti ular, dan kalajengking jika memang
bermanfaat. Parameternya menurut mereka (madzhab Maliki) adalah, semua yang
bermanfaat itu halal menurut syara’, karena semua (makhluk) yang ada itu memang
diciptakan untuk kemanfaatan manusia sesuai dengan firman Allah Swt: “Dialah
yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu....”
b. Al-Bujairimiy
‘ala Minhaj juz II, 178.
Yang artinya; tidak sah
jual beli serangga yang tidak bermanfaat. Pensyarat berpendapat, tidak adanya
manfaat tersebut bisa karena terlalu sedikit , seperti dua butir gandum, atau
karena hina, seperti serangga.
c. Al-Majmu’
‘ala Syarhil Muhadzdzab juz IX, hlm. 16
Yang artinya; pendapat
yang paling benar di antara dua pendapat adalah, bahwa jangkrik itu haram sama
seperti kumbang.
C. Contoh
– Contoh Bermazhab Metodologis
1. Saksi
bagi wanita. Dalam fiqh salaf, perempuan tidak boleh menajadi saksi kecuali
kalau jumlahnya dua ditambah satu laki-laki. Metode urf, yakni situasi dan kondisi
sosial saat itu dimana perempuan tidak terbiasa dalam aktivitas perdagangan dan
transaksi keuangan, sehingga tidak mempunyai pengalaman dan kemampuan dalam
bersaksi. Saat ini, perempuan sudah aktif memperkaya diri dengan berbagai
pengetahuan dan pengalaman di
lembaga-lembaga pendidikan tingkat tinggi di beberapa universitas. Selain itu,
bersaksi dalam perdagangan saat ini sudah cukup duduk manis di kantor lewat
kertas, sehingga di banyak lembaga PERBANKAN, justru wanita yang aktif di dalam
kantor, laki-laki justru di lapangan. Makanya, saksi satu wanita tidak menjadi
masalah. Kita bisa menggunakan metode urf dan maslahah, bahwa hukum harus
membawa kemanfaatan untuk semua orang tanpa mendiskriditkan yang lain.[7]
2. Mengenai
miqat haji dan umrah bagi jamaah yang naik pesawat. Miqat tersebut sudah ditetapkan
dalam hadis Nabi Saw, yng artinya sebagai berikut :[8]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a,
sesungguhnya Rasulullah Saw. Menentukan miqat untuk penduduk Madinah di Dzal
Hulaifah, untuk penduduk Syam di al-Juhfah, untuk penduduk Yaman di Yalamlam,
dan untuk Najad di Qarn. Maka tempat-tempat itulah untuk miqat mereka, dan bagi
orang yang melewati tempat-tempat tersebut dari selain penduduknya yang akan
menunaikan ibadah haji dan umrah. Maka barang siapa yang tinggal di
tempat-tempat yang tidak disebut di atas maka miqatnya di tempat ia tinggal,
sehingga penduduk Makkah miqatnya cukup dari Makkah. (HR. Bukhari)
Meurut Syaikh Abdullah bin Zaid
al-Mahmud, kepala Peradilan Agama Qatar, seperti yang dikutip Kasuwi Saiban,
bahwa miqat diperbolehkan dari Jeddah bagi jamaah yang naik pesawat. Ia
berargumentasi bahwa hikmah ditetapkannya miqat haji pada tempat tertentu
karena tempat-tempat tersebut berada di jalan masuk ke Makkah dan semuanya
terletak di pinggir Hijaz. Oleh karena Jeddah menjadi jalan bagi jamaah yang
naik pesawat dan dengan alasan darurat mereka butuh untuk menentukan miqat di
bumi untuk memulai ihram haji maupun umrah, maka diperbolehkan menetapkan miqat
di Jeddah tersebut.
BAB
III
PENUTUP
Dengan
gambaran di atas, jelas upaya apa pun yang dilakukan untuk tujuan pengembangan
Fiqh menurut kita (para pengembang) memiliki wawasan tentang dimensi etika dan
formal legalistik Fiqh. Penempatan kedua dimensi ini harus dilakukan secara
proporsional agar pengembangan Fiqh benar-benar sejalan dengan fungsinya, yakni
sebagai pembimbing sekaligus pemberi solusi atas permasalahan kehidupan
praktis, baik bersifat individual maupun sosial.
Fiqh sosial
bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang
sebagai perhatian utama syari’at Islam. Pemecahan problem sosial berarti
merupakan upaya untuk memenuhi tanggungjawab kaum muslimin yang konsekuen atas
kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum (al-maslahah
al-‘ammah).
Kemaslahatan
umum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebutuhan nyata masyarakat dalam
suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriyahnya. Keperluan
itu boleh berdimensi dlauriyah atau keperluan dasar (basic need) yang menjadi
sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab
(keturunan) dan harta benda, maupun keperluan hajiyah (sekunder) dan keperluan
yang berdimensi takmiliyah atau pelengkap (supplementary).
Daftar
Pustaka
Makmur, Jamal, 2007, Fiqih
Sosial Kiai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi. Surabaya :
Khalista.
Mahsun Mahfudz, tt, Rekonstruksi
Madzhab Manhaji Nahdlatul Ulama Menuju Ijtihad Saintifik Modern. Soft
copy.
Saiban,
Kasuwi, 2005, Metode Ijtihad Ibnu
Rusyd. Malang : Kutu Minar.
Sosuli Problematika Aktual Hukum
Islam, Keputusan Mu’tamar, Munas dan Konbes NU (1926-1999).
Kamus
Besar Bahas Indonesia.
[1] Kasuwi Saiban, 2005, Metode Ijtihad Ibnu Rusyd. Malang :
Kutu Minar, hlm. 185-186.
[2] Kamus Besar Bahas Indonesia.
[3]
Mahsun Mengutip Dari Aziz
Masyhuri, Dalam Bukunya Yang Berjudul Masalah Keagamaan Nu.
[4] Mahsun Mahfudz, tt, Rekonstruksi
Madzhab Manhaji Nahdlatul Ulama Menuju Ijtihad Saintifik Modern. Soft
copy, hlm. 3.
[6] Sosuli Problematika Aktual Hukum
Islam, Keputusan Mu’tamar, Munas dan Konbes NU (1926-1999), 2005, hlm. 573-574.
[7] Jamal makmur, 2007, Fiqih
Sosial Kiai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi. Surabaya :
Khalista, hlm. 329.
No comments:
Post a Comment