Wednesday, April 11, 2012

Merubah Pola Bermadzhab Dari Yang Qauly Menuju Ke Manhajy. Fikih Sosial


Ahmad Fauzi Haz
Lukman Hakim
Ihyak Al-Farisi
BAB I
PENDAHULUAN
Fiqh dalam pengertian ilmu tentang hukum-hukum Syariat yang bersifat praktis (amaliyah), telah menjadi warna dasar budaya muslim. Sejak awal pertumbuhannya, Fiqh telah berkembang sedemikian cepat sehingga melampaui cabang-cabang ilmu lainnya. Jika dalam tradisi Kristen Theologi terlihat begitu dominan, maka dalam Islam Fiqhlah yang sangat dominan mewarnai pola kehidupan. Inilah yang kemudian memunculkan citra bahwa kehidupan masyarakat Islam itu sangat legalistik. Karenanya tidak salah jika kita ingin melihat perilaku budaya masyarakat Islam, Fiqh adalah “jendela” yang tepat untuk digunakan.
Pengembalian Fiqh agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip etika dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan maqasid al-Syari’ah ke dalam proses pengembangan kerangka teoritik Fiqh. Dalah konteks ini, berarti hikmah hukum harus diintegrasikan ke dalam ‘illat hukum sehingga diperoleh suatu produk hukum yang bermuara pada kemaslahatan umum.
Untuk tujuan pengembangan Fiqh, para mujtahid masa lalu sebenarnya sudah cukup menyediakan landasan kukuh sebagaimana tergambar dalam kaidah-kaidah ushuliyah maupun fiqhiyah. Secara qauli pengembangan Fiqh bisa diwujudkan dengan melakukan kontekstualisasi kitab kuning atau dengan cara pengembangan contoh-contoh aplikasi kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh maupun Qawa’id al-Fiqhiyah. Sedangkan secara manhaji, bisa dilakukan dengan cara pengembangan teori masalik al-‘illat agar Fiqh yang dihasilkan sesuai dengan maslahat al-‘amanah.
Maka dalam hal ini, maka perlu diketahui bahwa dalam perubahan pola bermadhab dari bermadhab qouli ( tekstual ) kepola bermadhab manhaji ( metodologis ) perlu dijelaskan dan dipahami agar tidak terjadi kesalah pahaman. Sebagai gamabarannya akan dijelaskan tentang pengertian, perbandingan, beserta contoh-contohnya dan akan ditutup dengan penutup.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Madzhab Tekstual dan Madzhab Metodologis
1.        Madzhab
Menurut pengertian bahasa madzhab adalah lafal masdar dan isim makan dari fi’il madhi ذهب yang berarti pergi atau berpendapat. Adapun menurut istilah terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama’, di antaranya adalah :[1]
a.       Pendapat Said Ramadhani al-Buthi, menurutnya madzhab berarti jalan pikiran yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum islam dari al-Qur’an dan hadis.
b.      Pendapat K.H. abd Rahman, menurutnya madzhab berarti pendapat, paham, atau aliran seorang imam, seperti madzhab Abu Hanifah, madzhab Malik, mazhab Syafi’i, dan madzhab Ahmad ibn Hambal.
c.       Pendapat al-Hasan, menurutnya madzhab berarti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar dalam urusan agama, baik dalam urusan ibadah maupun yang lain.
Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa madzhab adalah jalan pikiran atau metode atau aliran atau pendapat seorang mujtahid yang berkenaan dengan hukum islam yang berdasarkan pada dua sumber yaitu al-Qur’an dan hadis.
2.      Tekstual (Qauli)
Tekstual dari kata teks, yang menurut bahasa adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan.[2] Jadi tekstual berarti berhubungan dengan teks.
Menurut pemahaman penulis yang dimaksud dengan bermadzhab tekstual (q`uli) adalah seseorang yang mengikuti teks pendapat seorang mujtahid-yang berkenaan dengan hukum islam yang berdasarkan pada al-Qur’an dan hadis- dalam menjawab permasalah kontemporer. Ini sesuia dengan yang dikemukakan oleh Mahsun Mahfudz[3] dalam pendahuluan makalahnya yang berjudul Rekonstruksi Madzhab Manhaji Nahdlatul Ulama Menuju Ijtihad Saintifik Modern. Bahwa yang dimaksud mermadzhab tekstual (qauli) adalah ketika penggalian suatu hukum merujuk langsung pada teks-teks pendapat imam madzhab empat atau pendapat ulama pengikutnya.[4]
3.      Metodologis (Manhaji)
Menurut pengertian bahasa metodologi adalah ilmu tentang metode, uraian tentang metode atau cara. Dengan demikian menurut Aziz Masyhuri, seperti yang dikutip oleh Mahsun, bahwa yang dimaksud dengan bermadzhab metodologis (manhaji) adalah menyelesaikan masalah hukum dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab. Prosedur operasional manhaji ini adalah dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fiqh) dan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).[5]
B.     Contoh – Contoh Bermazhab Tekstual
Penulis akan memberikan contoh yang diambil dari buku Sosuli Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Mu’tamar, Munas dan Konbes NU.[6]
1.      Bagaimana hukum budi daya jangrik?
Jawabannya adalah boleh
Dasar pengambilan hukum tersebut :
a.       Al-Figh ‘ala Madzahibil Arba’ah juz II, hlm. 3.
Yang artinya; jika suatu kaum sudah terbiasa memakan (jangkrik dan semisalnya) dan tidak membahayakan terhadap mereka, dan yang menjadi pedoman adalah diri mereka, makan menurut pendapat yang masyhur adalah tidak haram.
b.      Al-Majmu’ ‘ala Syarhil Muhadzdzab juz IX, hlm. 16
Yang artinya; madzha-madzhab ulama perihal serangga  ...... Imam Malik berpendapat, serangga itu halal susuai dengan firman Allah Swt.: “katakanlah ! tidaklah aku peroleh dalam waktu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali jika makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi....” (QS. al-An‘am :145)
c.       Al-Majmu; ‘ala Syarhil Muhadzdzab juz IX, hlm. 16
Yang artinya; pendapat yang paling benar di antara dua pendapat adalah, bahwa jangkrik itu haram sama seperti kumbang.
d.      Al-Mughni ‘ala Syarhi al-Kabir juz IV, hlm. 239.
Yang artinya; menurut pendapat kami, ulat itu adalah binatang yang suci dan boleh membudidayakannya untuk memiliki apapun yang keluar darinya, sama seperti binatang ternak.
2.      Bagaimana hukum jual beli jangkrik ?
Jawabannya adalah khilah
a.       Madzhab maliki dan madzhab hanafi mensahkan hukum jual belinya.
b.      Menurut ashasul wajhain dari madzhab syafi’i, hukumnya haram.
Dasar pengambilan :
a.       Al-Fighul Islami wa Adillatuhu li Wahbah Zuhailiy juz V, hlm 446-447.
Yang artinya; sah jual beli serangga dan binatang melata, seperti ular, dan kalajengking jika memang bermanfaat. Parameternya menurut mereka (madzhab Maliki) adalah, semua yang bermanfaat itu halal menurut syara’, karena semua (makhluk) yang ada itu memang diciptakan untuk kemanfaatan manusia sesuai dengan firman Allah Swt: “Dialah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu....”
b.      Al-Bujairimiy ‘ala Minhaj juz II, 178.
Yang artinya; tidak sah jual beli serangga yang tidak bermanfaat. Pensyarat berpendapat, tidak adanya manfaat tersebut bisa karena terlalu sedikit , seperti dua butir gandum, atau karena hina, seperti serangga.
c.       Al-Majmu’ ‘ala Syarhil Muhadzdzab juz IX, hlm. 16
Yang artinya; pendapat yang paling benar di antara dua pendapat adalah, bahwa jangkrik itu haram sama seperti kumbang.
C.     Contoh – Contoh Bermazhab Metodologis
1.      Saksi bagi wanita. Dalam fiqh salaf, perempuan tidak boleh menajadi saksi kecuali kalau jumlahnya dua ditambah satu laki-laki. Metode urf, yakni situasi dan kondisi sosial saat itu dimana perempuan tidak terbiasa dalam aktivitas perdagangan dan transaksi keuangan, sehingga tidak mempunyai pengalaman dan kemampuan dalam bersaksi. Saat ini, perempuan sudah aktif memperkaya diri dengan berbagai pengetahuan  dan pengalaman di lembaga-lembaga pendidikan tingkat tinggi di beberapa universitas. Selain itu, bersaksi dalam perdagangan saat ini sudah cukup duduk manis di kantor lewat kertas, sehingga di banyak lembaga PERBANKAN, justru wanita yang aktif di dalam kantor, laki-laki justru di lapangan. Makanya, saksi satu wanita tidak menjadi masalah. Kita bisa menggunakan metode urf dan maslahah, bahwa hukum harus membawa kemanfaatan untuk semua orang tanpa mendiskriditkan yang lain.[7]
2.      Mengenai miqat haji dan umrah bagi jamaah yang naik pesawat. Miqat tersebut sudah ditetapkan dalam hadis Nabi Saw, yng artinya sebagai berikut :[8]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, sesungguhnya Rasulullah Saw. Menentukan miqat untuk penduduk Madinah di Dzal Hulaifah, untuk penduduk Syam di al-Juhfah, untuk penduduk Yaman di Yalamlam, dan untuk Najad di Qarn. Maka tempat-tempat itulah untuk miqat mereka, dan bagi orang yang melewati tempat-tempat tersebut dari selain penduduknya yang akan menunaikan ibadah haji dan umrah. Maka barang siapa yang tinggal di tempat-tempat yang tidak disebut di atas maka miqatnya di tempat ia tinggal, sehingga penduduk Makkah miqatnya cukup dari Makkah. (HR. Bukhari)
Meurut Syaikh Abdullah bin Zaid al-Mahmud, kepala Peradilan Agama Qatar, seperti yang dikutip Kasuwi Saiban, bahwa miqat diperbolehkan dari Jeddah bagi jamaah yang naik pesawat. Ia berargumentasi bahwa hikmah ditetapkannya miqat haji pada tempat tertentu karena tempat-tempat tersebut berada di jalan masuk ke Makkah dan semuanya terletak di pinggir Hijaz. Oleh karena Jeddah menjadi jalan bagi jamaah yang naik pesawat dan dengan alasan darurat mereka butuh untuk menentukan miqat di bumi untuk memulai ihram haji maupun umrah, maka diperbolehkan menetapkan miqat di Jeddah tersebut.
BAB III
PENUTUP
Dengan gambaran di atas, jelas upaya apa pun yang dilakukan untuk tujuan pengembangan Fiqh menurut kita (para pengembang) memiliki wawasan tentang dimensi etika dan formal legalistik Fiqh. Penempatan kedua dimensi ini harus dilakukan secara proporsional agar pengembangan Fiqh benar-benar sejalan dengan fungsinya, yakni sebagai pembimbing sekaligus pemberi solusi atas permasalahan kehidupan praktis, baik bersifat individual maupun sosial.
Fiqh sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari’at Islam. Pemecahan problem sosial berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggungjawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum (al-maslahah al-‘ammah).
Kemaslahatan umum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriyahnya. Keperluan itu boleh berdimensi dlauriyah atau keperluan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun keperluan hajiyah (sekunder) dan keperluan yang berdimensi takmiliyah atau pelengkap (supplementary).
Daftar Pustaka
Makmur, Jamal, 2007, Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi. Surabaya : Khalista.
Mahsun Mahfudz, tt, Rekonstruksi Madzhab Manhaji Nahdlatul Ulama Menuju Ijtihad Saintifik Modern. Soft copy.
Saiban, Kasuwi, 2005,  Metode Ijtihad Ibnu Rusyd. Malang : Kutu Minar.
Sosuli Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Mu’tamar, Munas dan Konbes NU (1926-1999).
Kamus Besar Bahas Indonesia.



[1] Kasuwi Saiban, 2005,  Metode Ijtihad Ibnu Rusyd. Malang : Kutu Minar, hlm. 185-186.
[2] Kamus Besar Bahas Indonesia.
[3] Mahsun Mengutip Dari Aziz Masyhuri, Dalam Bukunya Yang Berjudul Masalah Keagamaan Nu.
[4] Mahsun Mahfudz, tt, Rekonstruksi Madzhab Manhaji Nahdlatul Ulama Menuju Ijtihad Saintifik Modern. Soft copy, hlm. 3.
[5] Ibid.
[6] Sosuli Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Mu’tamar, Munas dan Konbes NU (1926-1999), 2005,  hlm. 573-574.
[7] Jamal makmur, 2007, Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi. Surabaya : Khalista, hlm. 329.
[8]  Kasuwi saiban, Op.cit.,

No comments:

Post a Comment