Pengaruh Tasawuf
Dalam
Perkembangan Ekonomi Umat
Oleh: Imam Syafi’i[1]
Kajian Tasawuf (mistik, sufi, olah spiritual) berperan
besar dalam menentukan arah dan dinamika kehidupan masyarakat. Kehadirannya
meski sering menimbulkan kontroversi, namun kenyataan menunjukkan bahwa tasawuf
memiliki pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan
problem-problem kehidupan sosial dan ekonomi yang senantiasa berkembang
mengikuti gerak dinamikanya, karena tasawuf adalah jantung dari ajaran Islam, tampa tasawuf Islam akan
kehilangan ruh ajaran aslinya. Tasawuf akan membimbing seseorang dalam
mengarungi kehidupan ini yang memang tidak bisa terlepas dari realitas yang
tampak maupun yang tidak tampak, Untuk
menjadi seseorang yang bijak dan professional di dalam menjalankan
setiap peran dalam mengarungi kehidupan ini, karena selain bisa memahami
realitas lahir ia juga mampu memahami realitas batin, sehinga ia mampu untuk
berinteraksi dangan alam secara harmonis dan serasi, dan itulah yang diajarkan
di dalam agama Islam, keharmonisan dan keserasian dengan alam semesta.
Bicara tentang tasawwuf atau sufisme
bisa mengundang berbagai penafsiran di kalangan masyarakat Muslim. Tasawwuf
disebut-sebut sudah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW hingga saat ini dalam berbagai
bentuk. Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa "Iman yang paling
sempurna adalah hendaklah anda mengetahui bahwa Allah menyaksikan anda dimana
saja berada. " Pemahaman ini yang kemudian dikenal sebagai konsep
Ihsan, dipercaya sebagai salah satu bentuk pemikiran sufi atau tasawwuf yang
berkembang saat ini,
Tasawuf berasal dari tiga huruf sha, wawu dan fa
yang secara etimologi berarti bersih atau suci, sedangkan menurut istilah
terjadi beberapa pendapat, Imam Junaid al Bahgdaty mendefinisikan Tasawuf
sebagai berikut: “mengambil setiap sifat baik dan meningalkan setiap sifat yang
rendah”. al Sadzily sufi besar dari Afrika Utara mendefisikanya tasawuf
sebagai berikut: “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam serta
ibadah untuk mengembalikan diri pada jalan tuhan”. Dan banyak lagi istilah-istilah
yang saya kira tidak perlu saya paparkan, karena inti dari pada definisi
tasawuf adalah “penyucian batin atau hati dan menjaganya dari hal-hal yang
buruk, yang akan melahirkan perilaku hubungan yang harmonis dengan Sang
Pencipta dan segenap Mahkluk[2].
Tasawuf adalah bagian dari Syari’at Islam, yakni
perwujudan dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam yang lain,
yakni iman dan Islam. Oleh karena itu bagaimanapun, perilaku tasawuf harus
tetap berada dalam kerangka Syari’at. Maka al-Junaid mengatakan sebagaimana
dinukilkan oleh al-Qusyairi , “Kita tidak boleh tergiur terhadap orang yang
diberi kekeramatan, sehingga tahu betul konsistensinya terhadap Syari’at”.
Tasawuf sebagai manifestasi dari ihsan tadi, merupakan penghayatan seseorang
terhadap agamanya, dan berpotensi besar untuk menawarkan pembebasan spiritual,
sehingga ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya, mengenal
Tuhannya.
Kebanyakan orang Islam berpendapat
bahwa Sufisme atau Tasawwuf merupakan bagian daripada Islam, ada juga yang
menganggap Tasawwuf sebagai penyelewengan, tujuan kita adalah untuk memahamkan
orang bahwa Tasawwuf itu merupakan asas Islam, dalam arti bahwa sikap Islam
adalah sikap yang ada keseimbangan antara dunia dan akhirat, selain dari itu
ada keseimbangan antara yang zahir dan yang batin, sifat kerohanian dan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Syari’at. Tanpa keseimbangan seperti itu orang Islam akan menjadi bahan
olokan dari pihak lain atau tuduhan-tuduhan yang miring, jadi kita menganggap bahwa
Tasawwuf dapat mengangkat derajat umat Islam untuk dapat menempuh kebahagiaan
di dunia dan akhirat.
Lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam, diawali
dari ketidakpuasan terhadap praktik ajaran Islam yang cenderung formalisme dan
legalisme serta banyaknya penyimpangan-penyimpangan atas nama hukum agama.
Selain itu, tasawuf juga sebagai gerakan moral (kritik) terhadap ketimpangan
sosial, moral, dan ekonomi yang ada di dalam umat Islam, khususnya yang
dilakukan kalangan penguasa pada waktu itu. Pada saat demikian tampillah
beberapa orang tokoh untuk memberikan solusi dengan ajaran tasawufnya. Solusi
tasawuf terhadap formalisme dengan spiritualisasi ritual, merupakan pembenahan
dan elaborasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin. Faktor internal lainnya
ialah terjadinya pertikaian politik intern umat Islam yang menyebabkan perang
saudara yang dimulai antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bermula dari
al-fitnah al-kubra yang menimpa khalifah ketiga, Usman bin Affan maka sebagian tokoh agama mengambil jarak
dengan kehidupan politik dan sosial.
Kehidupan Dunia Dalam Pandangan Tasawuf
Sebenarnya al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw. memang
banyak yang bernada “mendiskreditkan” dunia, namun banyak pula yang
menganggapnya positif. Turunnya ayat-ayat yang bernada mendiskreditkan dunia,
seperti dalam firman Allah:
“Kecelakaanlah bagi setiap
pengumpat lagi pencela, Yang mengumpulkan
harta dan menghitung-hitung, Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya,
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia
benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah”.[3]
Ayat di atas tak lain karena berkaitan dengan sikap dan
watak kafir Arab waktu itu, yang mengharapkan kekekalan dunia ini.
Sedangkan ajaran-ajaran yang memandang positif terhadap
dunia, seperti dalam firman Allah:
“Dan
carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.[4]
Dari pemahaman terhadap ajaran-ajaran tadi, lahirlah
pemaknaan yang menumbuhkan konsep zuhud dalam tasawuf. Dalam rentangan
sejarahnya, pengaplikasian dari konsep ini dapat diklasifikasikan menjadi dua
macam: yakni zuhud sebagai maqam dan zuhud sebagai akhlak Islam.
Dalam konsep zuhud sebagai maqam, dunia dan Tuhan
dipandang sebagai dua hal harus dipisahkan. Contoh yang jelas adalah ketika
Hasan al-Bashri mengingatkan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz: “Waspadalah
terhadap dunia ini. Ia bagaikan ular yang lembut sentuhannya namun mematikan
bisanya. Berpalinglah dari pesonanya karena sedikit terpesona, Anda akan
terjerat olehnya…”.[5] Sedangkan
Abdul Qadir al-Jailani dengan tegas menyatakan bahwa dunia adalah hijab
akhirat, dan akhirat adalah hijab Tuhan. Bila berdiri bersama, maka jangan
memperhatikan kepadanya, sehingga hati (sirr) bisa sampai di depan pintu-Nya.
Pandangan seperti itu adalah hasil dari pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an
dan hadis Nabi secara tekstual, bukan pemahaman secara kontekstual dan
sosiologis. Jika memahaminya secara kontekstual dan sosiologis, maka perlu
memperhatikan pada masa awalnya al-Qur’an diturunkan, kondisi masyarakat Arab
mempunyai anggapan bahwa dunia adalah satu-satunya yang kekal dalam kehidupan
ini. Mereka beranggapan bahwa dunia ini adalah tempat yang abadi. Di sini
al-Qur’an memberikan jawaban terhadap sikap seperti itu[6].
Sedangkan zuhud sebagai akhlak Islam, bisa diberi makna
sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Sikap para ulama sebagaimana telah
disebutkan tadi, merupakan reaksi terhadap ketimpangan sosial, politik, dan
ekonomi yang mengitarinya, yang pada suatu saat dipergunakan untuk memotovasi
masyarakat dari keterpurukan ekonomi dan memobilisasi gerakan massa untuk menumpas berbagai macam bentuk
ketidakadilan di muka bumi ini. Dengan demikian formulasinya bisa berbeda-beda
sesuai dengan tuntunan zamannya. Oleh karena itu, sebagai akhlak Islam, zuhud
bisa berbentuk ajaran Futuwwah dan [7]al-Itsar.
Penyesuaian Sikap Dalam Tasawuf
Secara substansial, tasawuf memiliki beberapa ajaran
yang berdimensi sosial, antara lain Futuwwah dan al-Itsar. Futuwwah (kesatria) adalah
asal dari kata fata (pemuda), maka untuk masa sekarang maknanya bisa
dikembangkan menjadi seorang yang ideal, mulia dan sempurna, atau bisa juga
diartikan sebagai orang yang ramah dan dermawan, sabar dan tabah terhadap
cobaan, berani menjalani hidup, meringankan kesulitan orang lain, pantang
menyerah terhadap kedhaliman, profesional dalam menjalankan semua pekerjaan,
ikhlas karena Allah dan berusaha tampil ke permukaan dengan sikap antisipatif
terhadap masa depan dengan penuh tanggung jawab.
Keteladanan
tentang dua hal tersebut dapat dilihat pada perilaku sahabat Abu Bakar yang
rela memberikan seluruh hartanya demi kepentingan perjuangan Islam. Contoh lain
adalah Abu Dzar, ketika diancam oleh Mu’awiyah dengan kemelaratan dan pembunuhan,
dia justru menantangnya bahwa kefakiran lebih disenangi daripada kaya. [8]
Latar belakang kehidupan social Abu Dzar sangat menarik jika dikaji. Ketika
jabatan khalifah dipegang oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin Khattab, dia
tetap berjuang sebagaimana yang dilakukannya semasa Rasulullah saw. Namun
ketika jabatan itu dipegang oleh Utsman bin Affan, situasi sosial ekonomi
berubah, orang-orang kaya hidup berfoya-foya, sementara banyak orang miskin
yang membutuhkan uluran tangan mereka tak tertolong. Keadaan demikian terjadi
di Madinah maupun Syam. Abu Dzar prihatin, lalu mengadakan gerakan infak dengan
mengutip ayat al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari
orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang
dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.
dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih”[9].
Karena ucapan tersebut sehingga banyak orang kaya
yang tersinggung. Mu’awiyah menjadi cemas dengan kegiatan ini, maka dia lapor
kepada khalifah Utsman bin Affan. Abu Dzar dipanggil ke istana, dan terjadilah
dialog panjang di sana.
Ketika Utsman tersinggung dan terpojok, maka marahlah dia dan menyuruhnya
pergi. Akhirnya dia diusir ke Rabadzah dan hidup di pengasingan ini sampai
wafatnya.
Kisah menarik lainnya adalah Hasan al-Bashri. Salah satu
pendapatnya: “Jika Allah menghendaki seseorang itu baik, maka dia mematikan
keluarganya sehingga dia dapat leluasa dalam beribadah.” Ucapannya yang lain:
“Seseorang tidak akan sampai ke tingkatan shiddiqin, kecuali dia meninggalkan
istrinya bagaikan janda, dan anak-anaknya bagaikan yatim.” Dalam kajian ini
jelas bahwa kezuhudan dan kesufian pada diri Abu Dzar dan Hasan al-Bashri
menampilkan sikap peka terhadap masalah-masalah sosial. Dalam arti aktivitasnya
itu bisa diberi makna sebagai protes dan tanggung jawab sosial mereka pada
waktu itu sebagai perlawanan terhadap bentuk-bentuk penyelewengan. Menurut
hemat penulis, sifat dan sikap tanggung jawab sosial ini hanya ada pada diri
seseorang (sufi) yang telah benar-benar menghayati ajaran Islam, yang tertanam
dalam jiwanya “la yamliku syai’an wa la yamlikuhu syai’un” (tidak memiliki dan
tidak dimiliki sesuatu), tawakkal, qana’ah, sabar, ridla, menjalankan semua
perintah dengan bersunguh-sunguh dan rela mengorbankan harta dan nyawa demi Allah
semata.
Sikap tasawuf di masa sekarang
Menjelang abad XXI ini, tasawuf dituntut untuk lebih
humanistik, empirik, dan fungsional. Penghayatan terhadap ajaran Islam, bukan
hanya pada Tuhan, bukan hanya reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah
kepada sikap hidup manusia di dunia ini, baik berupa moral, spiritual, sosial,
ekonomi, teknologi, dan sebagainya. Dan ketika tasawuf menjadi “pelarian” dari
dunia yang “kasat mata” menuju dunia spiritual, bisa dikatakan sebagai reaksi
dan tanggung jawab sosial, yakni kewajiban dalam melakukan tugas dan merespon
terhadap masalah-masalah sosial.
Saat ini kita berada di tengah-tengah kehidupan
masyarakat modern, atau sering pula disebut sebagai masyarakat yang sekuler.
Pada umumnya, hubungan antara anggota masyarakatnya atas dasar prinsip-prinsip materialistik.
Mereka merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis.
Dalam masyarakat modern yang cenderung rasionalis, sekuler dan materialis,
ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya. Berkaitan dengan
itu, Sayyid Hosein Nasr menilai bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan
ilmu pengetahuan dan teknologi, berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya
sendiri. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat yang telah kehilangan
visi keilahian. Hal ini menimbulkan kehampaan spiritual, yang berakibat banyak
dijumpai oang yang stress dan gelisah, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.
Untuk mengantisipasi hal-hal semacam di atas, maka
diperlukan Keterlibatan langsung tasawuf dalam kancah politik dan ekonomi, hal
ini dapat kita lihat dalam sejarah Tarekat Sanusiyah di berbagai daerah di
Afrika Utara, Dalam kiprahnya, tarekat ini tidak henti-hentinya bekerja dengan
pendidikan keruhanian, disiplin tinggi, dan memajukan perniagaan yang menarik
orang-orang ke dalam pahamnya. Maka Fazlur Rahman menceritakan bahwa tarekat
ini menanamkan disiplin tinggi dan aktif dalam medan pejuangan hidup, baik sosial, politik,
dan ekonomi. Pengikutnya dilatih menggunakan senjata dan berekonomi (berdagang
dan bertani). Gerakannya pada perjuangan dan pembaharuan, dan programnya lebih
berada dalam batasan positivisme moral dan kesejahteraan sosial daripada
“terkungkung” dalam batasan-batasan spiritual keakhiratan. Coraknya lebih
purifikasionis dan lebih aktif, memberantas penyelewengan moral, sosial dan
keagamaan, maka Fazlur Rahman menamakannya sebagai Neo-Sufisme[10].
Kebutuhan akan kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini
sangat diperlukan bagi penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat martabat umat itu
sendiri, kerena sudah banyak terbukti bahwa umat Islam sering dijadikan
bulan-bulanan oleh orang-orang kafir karena kelemahan mereka dibidang ekonomi
yang akhirnya menjadikan mereka lemah dalam bidang teknologi dan politik, hal
ini adalah suatu bahaya yang wajib dihilangkan dan dijauhi oleh orang-orang
yang percaya terhadap Allah dan rasulnya, seperti dalam sabda rasul: ”tidak
boleh membahayakan diri sendiri atau orang lain” (H.R. Ibnu Majah dari
sahabat ‘Ubadah ibnu Samit)[11],
kalau kita perhatikan saat ini bahaya dari terbengkalainya perekonomian sangat
membahayakan umat, oleh karena itu pembenahan dalam bidang ekonomi sangat
diperlukan sebagai perantara bagi umat untuk memperoleh kedamaian di Dunia dan
Akhirat, dalam sebuah kaidah, ulama’ membuat sebuah kaidah di dalam menangapi
berbagai perintah Allah demi memperoleh kesempurnaan dalam menjalankanya yang
berbunyi: “segala bentuk perantara yang bisa menunjang kesempurnaan suatu
kewajiban maka hukumnya menjadi wajib”.
Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan sangat dianjurkan
didalam Islam, serta pengamalan dari pengetahuan juga harus disesuaikan dengan
kehendak Ilahi sebagai wujud yang kita yakini sebagai wujud tunggal yang
menguasai segala hal di alam semesta ini. dalam mendorong umat untuk giat
mencari ilmu, para ulama’ menetapkan bahwa setiap ilmu hasil ciptaan atau hasil
buatan yang memang diperlukan oleh umat Islam maka hukumnya adalah fardu
kifayah, seperti yang pernah dikatakan oleh al Ghozaly:
” apabila ilmu dan karya yang dimiliki oleh Nonmuslim
lebih baik dan lebih maju dari pada yang dimiliki oleh kaum Muslim, maka kaum
muslim berdosa dan kelak mereka akan dituntut atas kelalaianya itu”.[12]
Dari serangkaian paparan di atas kiranya kita bisa mengetahui
bahwa perkembangan tasawuf mulai dari awal munculnya sampai pada saat ini memang
dituntut untuk mengalami berbagai bentuk perubahan yang di sesuaikan dengan keadaan
dan pola kebiasaan dari suatu Masyarakat, karana tasawuf ibarat makanan yang
disuguhkan oleh para mursyid[13]
kepada suatu masa atau masyarakat yang berbeda-beda di setiap tempat dan waktu
dan membutuhkan keahlian dan racikan yang berbeda pula, tetapi perubahan bentuk
itu hanya sebatas pada bentuk luarnya saja, secara garis besar konsep dasar
yang ada dalam tasawuf hanyalah satu, yaitu keyakinan, ketundukan, kepatuhan,
pendekatan terhadap serta menjahui hal-hal yang bisa menganggu ibadah kepada Allah
yang satu.
والله
أعلم بالصواب
[1] Adalah mahasiswa STAI Ma'had ‘Aly AL-HIKAM Malang.
[3] Q.S al humazah :1-3
[4] Q.S al Qoshos: 77
[5] Abu Nu’aim, , tt. Sirri tasawwuf. Dar fikr. Bairut hlm: 394.
[6] Toshihiko Izutsu, 1993. etika beragama dalam al Quran,
firdaus, Jakarta,
hlm 66
[7] al itsar adalah
perbuatan yang lebih mendahulukan orang lain daripada diri sendiri selain pada
hal-hal yang memang diwajibkan.
[9].Q.S al-Taubah: 34
[10] Fazlu rahman,1984, tarihk al Sufi. Dar fikr. Bairut , hlm:285
[11] lihat Ibnu Majah.t.t “al
Sunan Ibnu majah”, hadis no: 2340
[12] Thoriq Abdu al Mun’im Muhammad. 1983. majalah manaru al Islam,
terbitan ke1 dalam pandangan tentang peradapan Islam dan Eropa. Hlm32
[13] mursyid adalah seorang alim yang dipercaya untuk membimbing para
pengikut dalam tarekat sufi.dan pengangkatanya dilakukan oleh Mursyid
sebelumnya.
No comments:
Post a Comment