Wednesday, June 13, 2012

Pengaruh Tasawuf Dalam Perkembangan Ekonomi Umat


Pengaruh Tasawuf
Dalam
Perkembangan Ekonomi Umat
Oleh: Imam Syafi’i[1]

Kajian Tasawuf (mistik, sufi, olah spiritual) berperan besar dalam menentukan arah dan dinamika kehidupan masyarakat. Kehadirannya meski sering menimbulkan kontroversi, namun kenyataan menunjukkan bahwa tasawuf memiliki pengaruh tersendiri dan layak diperhitungkan dalam upaya menuntaskan problem-problem kehidupan sosial dan ekonomi yang senantiasa berkembang mengikuti gerak dinamikanya, karena tasawuf adalah jantung dari ajaran Islam, tampa tasawuf Islam akan kehilangan ruh ajaran aslinya. Tasawuf akan membimbing seseorang dalam mengarungi kehidupan ini yang memang tidak bisa terlepas dari realitas yang tampak maupun yang tidak tampak, Untuk  menjadi seseorang yang bijak dan professional di dalam menjalankan setiap peran dalam mengarungi kehidupan ini, karena selain bisa memahami realitas lahir ia juga mampu memahami realitas batin, sehinga ia mampu untuk berinteraksi dangan alam secara harmonis dan serasi, dan itulah yang diajarkan di dalam agama Islam, keharmonisan dan keserasian dengan alam semesta.
Bicara tentang tasawwuf atau sufisme bisa mengundang berbagai penafsiran di kalangan masyarakat Muslim. Tasawwuf disebut-sebut sudah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW hingga saat ini dalam berbagai bentuk. Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa "Iman yang paling sempurna adalah hendaklah anda mengetahui bahwa Allah menyaksikan anda dimana saja berada. " Pemahaman ini yang kemudian dikenal sebagai konsep Ihsan, dipercaya sebagai salah satu bentuk pemikiran sufi atau tasawwuf yang berkembang saat ini,
Tasawuf berasal dari tiga huruf sha, wawu dan fa yang secara etimologi berarti bersih atau suci, sedangkan menurut istilah terjadi beberapa pendapat, Imam Junaid al Bahgdaty mendefinisikan Tasawuf sebagai berikut: “mengambil setiap sifat baik dan meningalkan setiap sifat yang rendah”. al Sadzily sufi besar dari Afrika Utara mendefisikanya tasawuf sebagai berikut: “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam serta ibadah untuk mengembalikan diri pada jalan tuhan”. Dan banyak lagi istilah-istilah yang saya kira tidak perlu saya paparkan, karena inti dari pada definisi tasawuf adalah “penyucian batin atau hati dan menjaganya dari hal-hal yang buruk, yang akan melahirkan perilaku hubungan yang harmonis dengan Sang Pencipta dan segenap Mahkluk[2].
Tasawuf adalah bagian dari Syari’at Islam, yakni perwujudan dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam yang lain, yakni iman dan Islam. Oleh karena itu bagaimanapun, perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka Syari’at. Maka al-Junaid mengatakan sebagaimana dinukilkan oleh al-Qusyairi , “Kita tidak boleh tergiur terhadap orang yang diberi kekeramatan, sehingga tahu betul konsistensinya terhadap Syari’at”. Tasawuf sebagai manifestasi dari ihsan tadi, merupakan penghayatan seseorang terhadap agamanya, dan berpotensi besar untuk menawarkan pembebasan spiritual, sehingga ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya, mengenal Tuhannya.
Kebanyakan orang Islam berpendapat bahwa Sufisme atau Tasawwuf merupakan bagian daripada Islam, ada juga yang menganggap Tasawwuf sebagai penyelewengan, tujuan kita adalah untuk memahamkan orang bahwa Tasawwuf itu merupakan asas Islam, dalam arti bahwa sikap Islam adalah sikap yang ada keseimbangan antara dunia dan akhirat, selain dari itu ada keseimbangan antara yang zahir dan yang batin, sifat kerohanian dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Syari’at. Tanpa keseimbangan  seperti itu orang Islam akan menjadi bahan olokan dari pihak lain atau tuduhan-tuduhan yang miring, jadi kita menganggap bahwa Tasawwuf dapat mengangkat derajat umat Islam untuk dapat menempuh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam, diawali dari ketidakpuasan terhadap praktik ajaran Islam yang cenderung formalisme dan legalisme serta banyaknya penyimpangan-penyimpangan atas nama hukum agama. Selain itu, tasawuf juga sebagai gerakan moral (kritik) terhadap ketimpangan sosial, moral, dan ekonomi yang ada di dalam umat Islam, khususnya yang dilakukan kalangan penguasa pada waktu itu. Pada saat demikian tampillah beberapa orang tokoh untuk memberikan solusi dengan ajaran tasawufnya. Solusi tasawuf terhadap formalisme dengan spiritualisasi ritual, merupakan pembenahan dan elaborasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin. Faktor internal lainnya ialah terjadinya pertikaian politik intern umat Islam yang menyebabkan perang saudara yang dimulai antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bermula dari al-fitnah al-kubra yang menimpa khalifah ketiga, Usman bin Affan  maka sebagian tokoh agama mengambil jarak dengan kehidupan politik dan sosial.
Kehidupan Dunia Dalam Pandangan Tasawuf
Sebenarnya al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw. memang banyak yang bernada “mendiskreditkan” dunia, namun banyak pula yang menganggapnya positif. Turunnya ayat-ayat yang bernada mendiskreditkan dunia, seperti dalam firman Allah:
 “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,  Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya,  Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah”.[3]
Ayat di atas tak lain karena berkaitan dengan sikap dan watak kafir Arab waktu itu, yang mengharapkan kekekalan dunia ini.
Sedangkan ajaran-ajaran yang memandang positif terhadap dunia, seperti dalam firman Allah:
“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.[4]
Dari pemahaman terhadap ajaran-ajaran tadi, lahirlah pemaknaan yang menumbuhkan konsep zuhud dalam tasawuf. Dalam rentangan sejarahnya, pengaplikasian dari konsep ini dapat diklasifikasikan menjadi dua macam: yakni zuhud sebagai maqam dan zuhud sebagai akhlak Islam.
Dalam konsep zuhud sebagai maqam, dunia dan Tuhan dipandang sebagai dua hal harus dipisahkan. Contoh yang jelas adalah ketika Hasan al-Bashri mengingatkan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz: “Waspadalah terhadap dunia ini. Ia bagaikan ular yang lembut sentuhannya namun mematikan bisanya. Berpalinglah dari pesonanya karena sedikit terpesona, Anda akan terjerat olehnya…”.[5] Sedangkan Abdul Qadir al-Jailani dengan tegas menyatakan bahwa dunia adalah hijab akhirat, dan akhirat adalah hijab Tuhan. Bila berdiri bersama, maka jangan memperhatikan kepadanya, sehingga hati (sirr) bisa sampai di depan pintu-Nya. Pandangan seperti itu adalah hasil dari pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi secara tekstual, bukan pemahaman secara kontekstual dan sosiologis. Jika memahaminya secara kontekstual dan sosiologis, maka perlu memperhatikan pada masa awalnya al-Qur’an diturunkan, kondisi masyarakat Arab mempunyai anggapan bahwa dunia adalah satu-satunya yang kekal dalam kehidupan ini. Mereka beranggapan bahwa dunia ini adalah tempat yang abadi. Di sini al-Qur’an memberikan jawaban terhadap sikap seperti itu[6].
Sedangkan zuhud sebagai akhlak Islam, bisa diberi makna sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Sikap para ulama sebagaimana telah disebutkan tadi, merupakan reaksi terhadap ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi yang mengitarinya, yang pada suatu saat dipergunakan untuk memotovasi masyarakat dari keterpurukan ekonomi dan memobilisasi gerakan massa untuk menumpas berbagai macam bentuk ketidakadilan di muka bumi ini. Dengan demikian formulasinya bisa berbeda-beda sesuai dengan tuntunan zamannya. Oleh karena itu, sebagai akhlak Islam, zuhud bisa berbentuk ajaran Futuwwah dan [7]al-Itsar.
Penyesuaian Sikap Dalam Tasawuf
Secara substansial, tasawuf memiliki beberapa ajaran yang berdimensi sosial, antara lain Futuwwah dan al-Itsar. Futuwwah (kesatria) adalah asal dari kata fata (pemuda), maka untuk masa sekarang maknanya bisa dikembangkan menjadi seorang yang ideal, mulia dan sempurna, atau bisa juga diartikan sebagai orang yang ramah dan dermawan, sabar dan tabah terhadap cobaan, berani menjalani hidup, meringankan kesulitan orang lain, pantang menyerah terhadap kedhaliman, profesional dalam menjalankan semua pekerjaan, ikhlas karena Allah dan berusaha tampil ke permukaan dengan sikap antisipatif terhadap masa depan dengan penuh tanggung jawab.
 Keteladanan tentang dua hal tersebut dapat dilihat pada perilaku sahabat Abu Bakar yang rela memberikan seluruh hartanya demi kepentingan perjuangan Islam. Contoh lain adalah Abu Dzar, ketika diancam oleh Mu’awiyah dengan kemelaratan dan pembunuhan, dia justru menantangnya bahwa kefakiran lebih disenangi daripada kaya. [8] Latar belakang kehidupan social Abu Dzar sangat menarik jika dikaji. Ketika jabatan khalifah dipegang oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin Khattab, dia tetap berjuang sebagaimana yang dilakukannya semasa Rasulullah saw. Namun ketika jabatan itu dipegang oleh Utsman bin Affan, situasi sosial ekonomi berubah, orang-orang kaya hidup berfoya-foya, sementara banyak orang miskin yang membutuhkan uluran tangan mereka tak tertolong. Keadaan demikian terjadi di Madinah maupun Syam. Abu Dzar prihatin, lalu mengadakan gerakan infak dengan mengutip ayat al-Qur’an:
 Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”[9]. Karena ucapan tersebut sehingga banyak orang kaya yang tersinggung. Mu’awiyah menjadi cemas dengan kegiatan ini, maka dia lapor kepada khalifah Utsman bin Affan. Abu Dzar dipanggil ke istana, dan terjadilah dialog panjang di sana. Ketika Utsman tersinggung dan terpojok, maka marahlah dia dan menyuruhnya pergi. Akhirnya dia diusir ke Rabadzah dan hidup di pengasingan ini sampai wafatnya.
Kisah menarik lainnya adalah Hasan al-Bashri. Salah satu pendapatnya: “Jika Allah menghendaki seseorang itu baik, maka dia mematikan keluarganya sehingga dia dapat leluasa dalam beribadah.” Ucapannya yang lain: “Seseorang tidak akan sampai ke tingkatan shiddiqin, kecuali dia meninggalkan istrinya bagaikan janda, dan anak-anaknya bagaikan yatim.” Dalam kajian ini jelas bahwa kezuhudan dan kesufian pada diri Abu Dzar dan Hasan al-Bashri menampilkan sikap peka terhadap masalah-masalah sosial. Dalam arti aktivitasnya itu bisa diberi makna sebagai protes dan tanggung jawab sosial mereka pada waktu itu sebagai perlawanan terhadap bentuk-bentuk penyelewengan. Menurut hemat penulis, sifat dan sikap tanggung jawab sosial ini hanya ada pada diri seseorang (sufi) yang telah benar-benar menghayati ajaran Islam, yang tertanam dalam jiwanya “la yamliku syai’an wa la yamlikuhu syai’un” (tidak memiliki dan tidak dimiliki sesuatu), tawakkal, qana’ah, sabar, ridla, menjalankan semua perintah dengan bersunguh-sunguh dan rela mengorbankan harta dan nyawa demi Allah semata.
Sikap tasawuf di masa sekarang
Menjelang abad XXI ini, tasawuf dituntut untuk lebih humanistik, empirik, dan fungsional. Penghayatan terhadap ajaran Islam, bukan hanya pada Tuhan, bukan hanya reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah kepada sikap hidup manusia di dunia ini, baik berupa moral, spiritual, sosial, ekonomi, teknologi, dan sebagainya. Dan ketika tasawuf menjadi “pelarian” dari dunia yang “kasat mata” menuju dunia spiritual, bisa dikatakan sebagai reaksi dan tanggung jawab sosial, yakni kewajiban dalam melakukan tugas dan merespon terhadap masalah-masalah sosial.
Saat ini kita berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern, atau sering pula disebut sebagai masyarakat yang sekuler. Pada umumnya, hubungan antara anggota masyarakatnya atas dasar prinsip-prinsip materialistik. Mereka merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis. Dalam masyarakat modern yang cenderung rasionalis, sekuler dan materialis, ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya. Berkaitan dengan itu, Sayyid Hosein Nasr menilai bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat yang telah kehilangan visi keilahian. Hal ini menimbulkan kehampaan spiritual, yang berakibat banyak dijumpai oang yang stress dan gelisah, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.
Untuk mengantisipasi hal-hal semacam di atas, maka diperlukan Keterlibatan langsung tasawuf dalam kancah politik dan ekonomi, hal ini dapat kita lihat dalam sejarah Tarekat Sanusiyah di berbagai daerah di Afrika Utara, Dalam kiprahnya, tarekat ini tidak henti-hentinya bekerja dengan pendidikan keruhanian, disiplin tinggi, dan memajukan perniagaan yang menarik orang-orang ke dalam pahamnya. Maka Fazlur Rahman menceritakan bahwa tarekat ini menanamkan disiplin tinggi dan aktif dalam medan pejuangan hidup, baik sosial, politik, dan ekonomi. Pengikutnya dilatih menggunakan senjata dan berekonomi (berdagang dan bertani). Gerakannya pada perjuangan dan pembaharuan, dan programnya lebih berada dalam batasan positivisme moral dan kesejahteraan sosial daripada “terkungkung” dalam batasan-batasan spiritual keakhiratan. Coraknya lebih purifikasionis dan lebih aktif, memberantas penyelewengan moral, sosial dan keagamaan, maka Fazlur Rahman menamakannya sebagai Neo-Sufisme[10].
Kebutuhan akan kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penunjang keberhasilan umat Islam  demi menjaga dan mengangkat martabat umat itu sendiri, kerena sudah banyak terbukti bahwa umat Islam sering dijadikan bulan-bulanan oleh orang-orang kafir karena kelemahan mereka dibidang ekonomi yang akhirnya menjadikan mereka lemah dalam bidang teknologi dan politik, hal ini adalah suatu bahaya yang wajib dihilangkan dan dijauhi oleh orang-orang yang percaya terhadap Allah dan rasulnya, seperti dalam sabda rasul: ”tidak boleh membahayakan diri sendiri atau orang lain” (H.R. Ibnu Majah dari sahabat ‘Ubadah ibnu Samit)[11], kalau kita perhatikan saat ini bahaya dari terbengkalainya perekonomian sangat membahayakan umat, oleh karena itu pembenahan dalam bidang ekonomi sangat diperlukan sebagai perantara bagi umat untuk memperoleh kedamaian di Dunia dan Akhirat, dalam sebuah kaidah, ulama’ membuat sebuah kaidah di dalam menangapi berbagai perintah Allah demi memperoleh kesempurnaan dalam menjalankanya yang berbunyi: “segala bentuk perantara yang bisa menunjang kesempurnaan suatu kewajiban maka hukumnya menjadi wajib”.
Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan sangat dianjurkan didalam Islam, serta pengamalan dari pengetahuan juga harus disesuaikan dengan kehendak Ilahi sebagai wujud yang kita yakini sebagai wujud tunggal yang menguasai segala hal di alam semesta ini. dalam mendorong umat untuk giat mencari ilmu, para ulama’ menetapkan bahwa setiap ilmu hasil ciptaan atau hasil buatan yang memang diperlukan oleh umat Islam maka hukumnya adalah fardu kifayah, seperti yang pernah dikatakan oleh al Ghozaly:
apabila ilmu dan karya yang dimiliki oleh Nonmuslim lebih baik dan lebih maju dari pada yang dimiliki oleh kaum Muslim, maka kaum muslim berdosa dan kelak mereka akan dituntut atas kelalaianya itu”.[12]
Dari serangkaian paparan di atas kiranya kita bisa mengetahui bahwa perkembangan tasawuf mulai dari awal munculnya sampai pada saat ini memang dituntut untuk mengalami berbagai bentuk perubahan yang di sesuaikan dengan keadaan dan pola kebiasaan dari suatu Masyarakat, karana tasawuf ibarat makanan yang disuguhkan oleh para mursyid[13] kepada suatu masa atau masyarakat yang berbeda-beda di setiap tempat dan waktu dan membutuhkan keahlian dan racikan yang berbeda pula, tetapi perubahan bentuk itu hanya sebatas pada bentuk luarnya saja, secara garis besar konsep dasar yang ada dalam tasawuf hanyalah satu, yaitu keyakinan, ketundukan, kepatuhan, pendekatan terhadap serta menjahui hal-hal yang bisa menganggu ibadah kepada Allah yang satu.

والله أعلم بالصواب










[1] Adalah mahasiswa STAI Ma'had ‘Aly AL-HIKAM Malang.
  [2]. Fadlullah  haeri.1998.  The elements of Sufism. Terjamah oleh: M. Hasyim Assegaf. Judul         belajar mudah tasawuf. Lentera.jakarta. Hlm 2
[3] Q.S al humazah :1-3
[4] Q.S al Qoshos: 77
[5] Abu Nu’aim, , tt. Sirri tasawwuf. Dar fikr. Bairut  hlm: 394. 
[6] Toshihiko Izutsu, 1993. etika beragama dalam al Quran, firdaus, Jakarta, hlm 66
[7] al itsar adalah perbuatan yang lebih mendahulukan orang lain daripada diri sendiri selain pada hal-hal yang memang diwajibkan.
[8] Abu al-Faidl al-Mutawaqqi, 1967. al zuhdu fi al Islam. Dar al Fikr. Bairut. hlm: 162).
[9].Q.S al-Taubah: 34
[10] Fazlu rahman,1984, tarihk al Sufi. Dar fikr. Bairut , hlm:285
[11] lihat  Ibnu Majah.t.t “al Sunan Ibnu majah”, hadis no: 2340
[12] Thoriq Abdu al Mun’im Muhammad. 1983. majalah manaru al Islam, terbitan ke1 dalam pandangan tentang peradapan Islam dan Eropa. Hlm32
[13] mursyid adalah seorang alim yang dipercaya untuk membimbing para pengikut dalam tarekat sufi.dan pengangkatanya dilakukan oleh Mursyid sebelumnya.

No comments:

Post a Comment