KONFLIK PT. FREEPORT
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF GEOGRAFI SOSIAL
Risma
Dwi Arisona
Universiatas
Negeri Malang
Email:
rhe_iema@yahoo.co.id
ABSTRAK: PT. Freeport Indonesia merupakan
perusahaan tambang emas terbesar di dunia yang beroperasi di tambang Erstberg (1967) dan tambang Grasberg (1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Keberadaannya telah menimbulkan konflik yang tak terselesaikan hingga saat ini. Penyebab
konflik tersebut antara lain: 1) ketidakadilan
sistem pembagian hasil; 2) kondisi sosial yang timpang; 3)Tindakan representif keamanan PT. Freeport Indonesia; dan 4) Perasaan rendah diri (Inferiority complex).
Berdasarkan pendekatan Geografi Sosial, solusi meyelesaikan konflik tersebut adalah: 1) perlindungan
terhadap kelompok rentan (suku Amungme, Moni, dan Mee); 2) mengelola
kesenjangan antar kelompok masyarakat; 3) memberantas
perasaaan rendah diri; dan 4) membedakan
tugas TNI dan Polisi.
Kata
kunci: konflik, PT. Freeport
Indonesia, geografi sosial
Luas wilayah Papua
adalah 421.981 km2 (3,5 kali lebih besar dari pada Pulau Jawa) dengan
topografi daerah pegunungan. Papua berbatasan dengan; Laut Halmahera dan Samudra Pasifik di utara,
Laut Arafura dan Australia di selatan, Papua New Guinea di sebelah timur, dan
Laut Arafura, Laut banda dan Maluku di sebelah barat. Total penduduk Papua
sekitar 2.576.822 jiwa, hanya 1% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia,
70% tinggal di daerah pedesaan dan di tengah daerah pegunungan yang terpencil.
Berdasarkan sensus pada tahun 2000, populasi terpadat di dataran tinggi
Kabupaten Jayawijaya sebanyak 417.326 jiwa. Total penduduk asli, yang kaya akan
kebudayaan, diperkirakan sekitar 66% dari keseluruhan jumlah penduduk (Sugandi, 2008).
PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan
Copper & Gold Inc (81,28%), Pemerintah
Indonesia (9,36%), dan PT. Indocopper Investama (9,36%). Perusahaan ini merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui eksplorasi di tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg
(sejak 1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua (Wikipedia, 2012).
Gb 1. Peta Lokasi Tambang PT. Freeport
Indonesia
Gunung
Grasberg dan Danau Wanagon merupakan areal konsensi PT. Freeport Indonesia
dimana banyak suku-suku Papua yang tinggal di sekitar daerah tersebut (Falah,
2012). Ada kurang lebih 22 marga dari gabungan suku (Amungme, Moni dan Mee)
yang menghuni di Wase atau disebut Banti Tembagapura yang menghuni di bagian
Selatan, bagian utara dihuni kurang lebih 47 marga dari suku Moni, bagian barat
dihuni kurang lebih 47 Marga dari suku Mee (Ekagi), serta kurang lebih 43 marga lain yang menghuni di bagian barat jauh
dari Gunung Grasberg dan Danau Wanagon areal konsesi PT. Freeport Indonesia,
Tembagapura, Papua Barat.
PT. Freeport Indonesia dinilai telah menimbulkan kejahatan ekologi, tragedi
kemanusiaan, dan penjajahan ekonomi bangsa
(Ilyas, 2012). PT. Freeport Indonesia mengeksploitasi dan mengakses kehidupan politik, ekonomi, dan sosial
rakyat Papua secara membabi buta. Kekayaan alam Papua dirampok habis oleh PT. Freeport Indonesia, gunung-gunung emas dikeruk dengan serakahnya, tanpa memperhatikan kesejahteraan
masyarakat lokal Papua
yang mengakibatkan tragedi kemanusiaan di Papua. Untuk itu, pendekatan Geografi
dilakukan untuk mencari akar permasalahan dan solusi penyelesaian konflik
tersebut.
Teori Konflik
Menurut Karl Marx dalam
Suryani (2011), memandang konflik dengan konsep economic
made of production, yang menghasilkan kelas yang mengeksploitasi dan kelas
yang tereskploitasi. Teori konflik ini juga memandang masalah “dominasi “ dan “sub ordinasi” menjadi
pokok bahasan penting, karena berasumsi bahwa aturan, norma dan nilai yang
harus dianut oleh masyarakat sesungguhnya merupakan nilai, norma atau aturan
dari kelompok dominan yang memaksakannya kepada kelompok sub ordinasi. Pemaksaan nilai dan aturan tersebut, kelompok
dominan mempertahankan struktur sosial yang menguntungkan kelompoknya.
Menurut Coser
dalam Mizrazan (2011), konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
1)
Konflik Realistis, berasal dari
kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan
dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada
obyek yang dianggap mengecewakan.Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar
tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
2)
Konflik
Non-Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan
saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan,
paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang
buta huruf pembalasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet
dan lain-lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengk`mbinghitaman
sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan
mereka.
Berdasarkan
teori konflik tersebut diatas, konflik PT. Freeport Indonesia dengan masyarakat
lokal Papua dapat digolongkan kedalam konflik realistis. PT. Freeport Indonesia
sebagai kelompok ”dominan” dan
masyarakat lokal Papua sebagai kelompok ”sub ordinasi”. Kelompok dominan
ini tidak memberikan hak-hak yang seharusnya menjadi hak kelompok sub ordinasi.
Selain itu, kelompok dominan memaksa kelompok sub ordinasi mengikuti aturan
yang ditetapkan tanpa mengindahkan kepentingan-kepentingan yang menyangkut
kesejahteraan kelompok sub ordintat. Tekanan ketidakadilan yang besar
mengakibatkan kelompok sub ordinasi
melakukan perlawanan baik dengan diplomasi maupun kekerasan untuk
memperjuangkan haknya kepada kelas dominan.
Penyebab Konflik PT. Freeport Indonesia
Sejak berdirinya PT. Freeport Indonesia di
Papua telah terjadi serangkaian peristiwa yang terkait dengan konflik PT.
Freeport Indonesia dengan masyarakat lokal Papua. Pada Tahun 1977-1978, telah terjadi operasi
militer yang menewaskan sejumlah warga Papua. Tahun 1977,
terjadi sejumlah kasus kekerasan oleh aparat militer berupa penyiksaan,
pemerkosaan, penghilangan, pembunuhan, dan pemusanahan di sekitar kawasan PT.
Freeport Indonesia (Wikipedia, 2012).
Selanjutnya pada tahun 2006, telah terjadi serangkaian
aksi kekerasan sebanyak 4 kali dalam kurun waktu satu tahun yang membawa korban
jiwa tidak hanya dari masyarakat lokal Papua tetapi juga dari pihak keamanan
PT. Freeport Indonesia. Selain itu, demonstrasi besar-besaran juga terjadi di
berbagai wilayah Indonesia yang menuntut penutupan PT. Freeport Indonesia. Pada 18 April 2007, sekitar 9.000 karyawan
Freeport mogok kerja untuk
menuntut perbaikan kesejahteraan. Perundingan akhirnya diselesaikan pada 21
April setelah tercapai kesepakatan yang termasuk mengenai kenaikan gaji
terendah. Puncaknya pada 21 Oktober 2011, sekitar tiga orang
tewas akibat insiden penembakan di kawasan Freeport, Timika, Papua. Marcelianus, seorang personel polri berpangkat
Brigadir Polisi Satu juga tewas tertembak (Wikipedia, 2012).
Serangkaian peristiwa tersebut diatas, dilatarbelakangi hal yang sama, yaitu keberadaan PT.
Freeport Indonesia yang dinilai tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal sekitar
daerah pertambangan. Tetapi telah
menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Adapun penyebab konflik yang berbuntut
pada tidakan kekerasan yang terjadi di Papua adalah sebagai berikut.
1.
Ketidakadilan sistem pembagian hasil pertambangan
yang di lakukan oleh PT.Freeport Indonesia.
Komnas HAM dalam menduga pemicu konflik Papua
karena tidak adanya transparansi pembagian dana abadi (trust fund) PT Freeport Indonesia, khususnya bagi suku Amungme dan
Komoro. Warga menganggap bantuan itu sebagai dana kompensasi yang bersifat
permanen, sedangkan Freeport mengucurkannya sebagai bantuan sukarela. Suku
Amungme sebagai pemegang hak ulayat tanah pertambangan PT Freeport mendapat 65%
dari dana abadi 1 juta dolar AS. Sisanya diberikan kepada Suku Komoro yang
menguasai sebagian tanah ulayat.Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) Provinsi Papua, Matias Sarwa, mengakui pemalangan terhadap aktivitas
PT Freeport itu masalah “perut”, karena masyarakat adat selama ini tidak
diperhatikan secara baik (Falah, 2011).
2.
Kondisi sosial yang timpang antara masyarakat
asli Papua dengan masyarakat migran yang datang dari luar Papua.
Banyaknya
pekerja asing (migran) yang direkrut PT. Freeport Indonesia telah mengakibatkan
ketimpangan sosial (Falah, 2011). Ketimpangan sosial tersebut dipicu karena
selama ini mereka merasa kurang mendapat perhatian dalam hal kesejahteraan dari
pihak perusahaan. Para
pekerja asing mendapatkan gaji besar dari PT. Freeport Indonesia sehingga
kesejahteraannya terjamin. Sebaliknya, masyarakat asli Papua tidak mendapatkan
apa-apa. Hal tersebut dapat dilihat dari masyarakat
asli dan non asli yang bekerja di PT Freeport Indonesia tidak sebanding, karena
mulai dari tukang sapu hingga direktur berdasi, semuanya orang non Papua, akibatnya
menimbulkan konflik yang tak terselesaikan.
3.
Tindakan representif aparat keamanan PT. Freeport Indonesia
(Militer)
Penggusuran
Suku Amungme dari Grasberg ke Kwamki yang dilakukan secara paksa oleh aparat
keamanan PT. Freeport Indonesia telah mengakkibatkan 75% generasi Amungme punah
akibat geografis tempat tinggal berbeda (Samad, 2011). Selain itu, tindakan
reprensif dari pihak militer Indonesia yang merupakan bagian dari keamanan PT.
Freeport Indonesia tidak hanya terjadi terhadap masyarakat lokal Papua, tetapi
juga terhadap mahasiswa yang menggelar aksi demo yang menuntut penutupan PT.
Freeport Indonesia. Tindakan reprensif tersebut selalu berujung pada kekerasan,
sehingga selalu ada aksi pembalasan dari masyarakat lokal Papua dan mahasiswa
untuk membalas tindakan tersebut. Tidak mengherankan tindakan yang saling balas
mengakibatkan konflik di tanah Papua hingga saat ini terus berlanjut.
4.
Perasaan rendah
diri (Inferiority complex)
Masyarakat
asli Papua merasa martabat dan identitas mereka tidak diakui (Sugandi, 2008). Hal tersebut dapat dilihat dari proses yang
tidak melibatkan mereka dalam kebijakan seperti penolakan pengakuan terhadap
tanah ulayat atau wilayah nenek moyang, eksploitasi sumber daya alam tanpa
memperhatikan kesejahteraannya, dan kurangnya kesempatan bagi masyarakat lokal
untuk berpartisipasi dalam kepemilikan saham di PT. Freeport Indonesia. Tidakan-tindakan
semena-mena tersebut telah mengakibatkan masyarakat asli Papua merasa dirinya
merupakan kelas sub ordinasi yang tidak dianggap, secara tidak langsung
tindakan tersebut telah merendahkan martabatnya. Perasaan rendah diri yang
tertanam mengakibatkan rasa keputusasaan yang memicu tindakan balas dendam
dengan cara kekerasaan sebagi ekspresi kefrustasian terhadap perendahan
martabatnya yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia.
Berdasarkan analisis spasial
pattern, spasial struture, dan spasial process didalam menganalisis
konflik PT. Freeport Indonesia yang berkaitan dengan perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat lokal Papua sekitar daerah pertambangan. Perubahan sosial
yang tidak diikuti dengan perubahan kesejahteraan masyarakat lokal akan
menimbulkan golongan masyarakat dominan dan sub ordinasi yang akhirnya
menimbulkan konflik diantara mereka. Konflik terjadi di sekitar areal
pertambangan PT. Freeport Indonesia yang lama-kelamaan memicu konflik yang
lebih luas dan tidak terselesaikan hingga saat ini.
Solusi Penyelesaian Konflik PT.
Freeport Indonesia
1. Perlindungan terhadap Kelompok Rentan (Suku Amungme, Moni, dan Mee)
Suku Amungme merupakan salah satu suku asli Papua yang
berada disekitar areal pertambangan PT. Freeport Indonesia sangat rentan
menjadi korban kekerasan, seperti pengusiran yang mengakibatkan 75% generasinya
punah (Samad, 2011). Berdasarkan hal tersebut, perlu diadakan penjajakan
yang dapat dimengerti dan diikuti dengan intervensi program strategis terhadap kelompok rentan
(suku Amungme, Moni, dan Mee)
yang dikembangkan secara berkelanjutan. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan memberikan kesempatan yang setara bagi para pemain lokal termasuk
kelompok rentan (suku Amungme, Moni,dan Mee) untuk ikut serta secara aktif dalam menyelesaikan konflik
di antara mereka sendiri.
Selain itu, perlindungan terhadap hak ulayat
mereka harus benar-benar direalisasikan karena tanah tersebut merupakan tanah milik mereka. Pemenuhan hak ulayat akan membuat
mereka mempunyai tempat kedudukan di PT. Freeport Indonesia sehingga kesejahteraan yang mereka idamkan dapat terwujud
secara nyata, buka terusir dari tanah ulayat mereka. Jika hal tersebut dapat
dilaksanakan kemungkinan adanya kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia
terhadap suku Amungme, Moni, dan Mee dapat ditekan
seminim mungkin, karena setiap orang berhak mempunyai hak-hak yang setara untuk
terlibat dalam kemajuan.
Program intervensi harus memfasilitasi
kesetaraan kesempatan dan memastikan keterlibatan dari kelompok rentan ini.
Jadi, strategi intervensi yang memungkinkan seperti pemulihan masyarakat dan perbaikan
keadilan harus diberikan. Di sisi lain, strategi makro lainnya harus dilakukan
dengan mendorong pembentukan kebijakan publik yang memihak pada kelompok rentan (suku Amungme,
Moni, dan Mee) dari
obyek perubahan sosial menjadi subyek atau pemain aktif dari perubahan sosial
akibat adanya pertambangan PT. Freeport Indonesia di wilayah mereka.
2. Mengelola Kesenjangan antar Kelompok
Masyarakat (Migran dengan Lokal)
Pengelolan kesenjangan dapat dilakukan dengan memberikan
kesempatan yang sama antara masyarakat migran dengan lokal untuk bekerja di PT.
Freeport Indonesia. Penyamarataan hak yang diberikan akan memberikan peluang
besar masyarakat lokal untuk bekerja disana. Proporsi pekerja yang seimbang
antara migran dengan lokal diharapkan dapat menekan rasa kecemburuan sosial
sehingga konflik diantara mereka dapat ditekan seminim mungkin.
3. Memberantas Perasaaan Rendah Diri
Pendidikan yang layak merupakan salah satu cara untuk memberantas perasaan
rendah diri. Pendidikan sangat menentukan peran sereorang di tengah-tengah
masyarakat. Pengembangan pendidikan yang berbasis life skill akan membantu masyarakat lokal Papua untuk mempu ikut
serta dalam pengelolaan sumber daya alamnya tanpa ada rasa rendah diri yang
dapat menghambat pengembangan dirinya untuk maju. Selain itu, memberikan
peluang terhadap masyarakat lokal untuk bekerja di PT. Freeport Indonesia yang
nantinya akan mendorong transformasi kewenangan kepada masyarakat lokal. Ini berarti bahwa kesinambungan sama pentingnya
dengan memberikan ruang kepada masyarakat lokal untuk tumbuh dan berkembang.
Dari sisi ini, diluar dari organisasi non pemerintah, inisiatif dan asosiasi
berbasiskan masyarakat setempat (paguyuban) selayaknya diberikan perhatian dan
dukungan yang cukup pula baik dari pemerintah maupun masyarakat.
4. Membedakan
Tugas TNI dan Polisi
Secara konsepsional, membedakan TNI dan
polisi, baik institusinya maupun tugas dan cara operasionalnya, sehingga
masyarakat sekitar PT. Freeport Indonesia tidak lagi selalu menganggap kedua
kekuatan bersenjata itu mempunyai fungsi yang sama. Indonesia adalah negara
yang demokratis dan menganut supremasi sipil, polisi adalah bagian dari pemerintah
sipil, berada di bawah komando kepala-kepala daerah, dan tugasnya adalah
menegakkan keamanan dalam negeri (internal security ). Sedangkan militer
berada dibawah komando Presiden sebagai Kepala Negara, dan hanya bertugas mempertahankan
negara dari serbuan musuh, tanpa diembel-embeli fungsi-fungsi politik dan ekonomi, seperti kita ketahui bahwa pihak keamanan PT.Freeport Indonesia berasal dari kekuatan
militer Indonesia. Kondisi ini sungguh memprihatikan mengingat bahwa yang
melakukan kekerasan terhadap masyarakat lokal Papua adalah aparatur negara yang
seharusnya melindungi mereka. Pemisahan institusi ini, diharapkan kinerja aparatur negara tersebut
dapat lebih professional, tanpa adanya campur tangan pihak asing sehingga
rakyat tidak menjadi korban dalam konflik ini.
Kesimpulan
PT. Freeport Indonesia merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia
melalui tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg
(sejak 1988), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Keberadaan tambang
dinilai tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal Papua yang berada di
sekitar tambang tersebut. Sejak awal keberadaan PT. Freeport Indonesia telah
menimbulkan konflik yang berujung pada tindakan kekerasan yang dilakukan pihak
PT. Freeport Indonesia terhadap masyarakat lokal Papua yang mengakibatkan
75% generasi suku Amunge punah. Konflik
tersebut hingga saat ini belum terselesaikan karena kedua belah pihak
melancarkan aksi saling balas yang memakan korban nyawa dari kedua belah pihak.
Penyebab konflik tersebut antara lain: 1) ketidakadilan sistem pembagian hasil
pertambangan; 2) Adanya
kondisi sosial yang timpang antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat
migran; 3)Tindakan representif aparat keamanan PT.
Freeport Indonesia (Militer); dan 4) Perasaan rendah diri (Inferiority complex). Berdasarkan pendekatan
Geografi Sosial dalam menganalisis konflik tersebut, solusi untu menyelesaikan
konflik PT. Freeport Indonesia dengan masyarakat lokal Papua, adalah sebagai
berikut: 1 ) perlindungan
terhadap kelompok rentan (suku Amungme,
Moni, dan Mee); 2) mengelola
kesenjangan antar kelompok masyarakat (migran dengan lokal); 3) memberantas perasaaan
rendah diri; dan 4) membedakan tugas TNI dan polisi.
Daftar
Rujukan
Falah,
Nu Man. 2011. Konflik
Pembagian Hasil PT. Freeport Indonesia.(Online). (http://numanfalah.blogspot.com/), diakses tanggal 7 April
2012.
Mariam,
Mizrazan.2010. Teori Konflik.(Online). (http://benyahya.student.umm.ac.id/2010/07/09/teori-konflik/),
diakses tanggal 7 April 2012.
Samad, Richard. 2011. Konflik PT. Freeport Indonesia. (Online). (http://ototbisep.blogspot.com/2011/10/konflik-freeport-papua.html), diakses tanggal 7 April 2012.
Sugandi,
Yulia. 2008. Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua. Jakarta:
Friedrich Ebert Stiftung
(FES).
Suryani. 2011. Teori Konflik. (Online). (http://suryani.blogspot.com/2011/02/11/teori-konflik.html), diakses tanggal 7 April 2012.
Wikipedia, 2012. Freeport Indonesia. (Online) (http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Freeport_Indonesia&oldid=5099122), diakses tanggal 7 April 2012.
BIOGRAFI
Nama :
Risma Dwi Arisona
Tempat, Tanggal Lahir :
Bojonegoro, 10 Januari 1991
Alamat :
Jl. Masjid 116 Bubulan-Bojonegoro
Motto :
Dream, Belive, Make it happen!
No comments:
Post a Comment