Oleh:
Maulidatul
Khoiriyah
JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Oktober, 2012
===========================================
Pada waktu itu, ratu Balqis
dihadapkan pada situasi politik yang amat berat karena Nabi Sulaiman AS dalam
suratnya meminta agar ratu Balqis beserta rakyatnya takluk pada Sulaiman.
Apabila ratu Balqis menolak, pasti akan terjadi pertempuran. Telah menjadi kebiasaan
pada waktu itu, jika seorang raja berhasil memasuki wilayah kerajaan itu,
mereka akan menghancurkan negeri itu dan menjadikan penduduknya sebagai budak.
Mengingat keselamatan negeri dan rakyatnya yang terancam oleh Sulaiman dan
balatentaranya, ratu Balqis menempuh diplomasi dalami. Dia mengirim utusan yang
membawa hadiah kepada Sulaiman. Namun, setelah hadiah itu ditolak Sulaiman,
ratu Balqis merasa perlu datang ke istana nabi Sulaiman untuk merundingkan
perdamaian.
Dalam kehidupan rohaniah, setelah
diseru oleh nabi Sulaiman, ratu Balqis yang semula menyembah matahari, kemudian
beralih kepercayaan tauhid. Ia menyadari keagungan serta kemahakuasaan Allah.
Di samping itu, timbul pula kesadaran terhadap kesalahannya selama ini. hal ini
dilukiskan dalam ungkapannya dalam surat 27 (An-Nahl) ayat 44.
قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الصَّرْحَ فَلَمَّا رَأَتْهُ حَسِبَتْهُ
لُجَّةً وَكَشَفَتْ عَنْ سَاقَيْهَا قَالَ إِنَّهُ صَرْحٌ مُمَرَّدٌ مِنْ
قَوَارِيرَ قَالَتْ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (44)
Artinya:
Peristiwa itu menunjukkan bahwa ratu
Balqis memiliki keterbukaan pemikiran dan sikap untuk menerima sesuatu yang
baru, yang diyakini kebenarannya. Ini merupakan salah satu indikator sebagai
pemimpin yang dinamis. Dia juga memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang ideal,
seperti berwibawah, jujur, bijaksana, melindungi rakyat, berani dan mampu
mengatasi kesulitan, bertanggung jawab atas keputusan yang diambil, berjiwa
besar dan dinamis.
Pengalaman ratu Balqis menemukan
kepercayaan tauhid setelah berdialog dengan realitas yang menunjukkan
kemahakuasaan Allah, memantapkan langkahnya untuk mengajak rakyat Saba’ kepada
akidah yang benar. Maka, di bawah kepemimpinan ratu Balqis negara Saba’ menjadi
negeri yang sangat makmur dan rakyatnya mendapat kesejahteraan lahir batin.
Surat An-Naml yang memuat kisah ratu
Balqis tersebut disampaikan oleh Rosululloh kepada orang-orang yang berkumpul
di kota Makkah.[1]
Dimuatnya kisah tentang ratu Balqis dalam Al-Qur’an tentu bukan hanya sebuah
dongeng pada masa lalu, melainkan kisah nyata yang mengandung pelajaran tentang
kemampuan perempuan dalam memimpin negara super power yang digambarkan dalam
surat An-Naml ayat 23 sebagai berikut.
إِنِّي
وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ
عَظِيمٌ (23)
Artinya:
4. Dinamika
Pemerintahan Sultanah
Hak politik
bagi perempuan yang telah diberikan pada masa Rosululloh SAW bergulir pada masa
pemerintahan dinasti Islam dengan diangkatnya beberapa ratu atau sultanah.
Fatimah Marnissi menyebut beberapa nama perempuan yang menjadi kepala negara
diantaranya ialah sultanah Rodiyah (634 H/1236 M), putri Sultan Iltutmisy, Raja
Delhi. Suatu masih hidup, ayahnya telah memilih Rodiyah sebagai calon pewaris
tahta walaupun ayahnya memiliki tiga anak laki-laki. Iltutmisy memilih Rodiyah
dengan alasan bahwa Rodiyah dipandang memiliki kemampuan memimpin negara.
Dengan pertimbangan itu, Rodiyah diangkat sebagai Sultan sepeninggal ayahnya.
Ia memiliki loyalitas dan kecakapan tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya dan
dikenal sebagai administrator yang ulung oleh ahli sejarah.[2]
Ratu Islam
lainnya adalah Syajarat Al-Dur yang
menjadi kepala pemerintahan di Mesir. Sepeninggalan suaminya, Malik Al-Saleh
(Penguasa Dinasiti Ayubiyah terakhir),
Syajarat Al-Dur diangkat menjadi penguasa setelah Turan Syah, anak
tirinya, tidak memiliki kemampuan untuk memimpin. Pada masa pemerintahan Turan
Syah timbul pertentangan antara Sultan dengan para perwira Turki yang memimpin
pasukan. Pertentangan itu berakhir dengan terbunuhnya Turan Syah. Setelah
terbunuhnya Turan Syah, diangkatlah Syajarat Al-Dur sebagai Sultanah. Semenjak
suaminya masih hidup, Syajarat Al-Dur telah menaruh perhatian terhadap
persoalan-persoalan yang diahadapi pemerintah. Selain cerdas, ia memiliki
wawasan yang luas karena banyak membaca dan minulis. Ia juga memiliki kepekaan
politik yang terlihat sewaktu kerajaan dalam keadaan genting. Waktu itu ia
mengambil keputusan yang tepat untuk merahasiakan kematian suaminya agar tidak
menimbulkan kerusuhan politik. Karena belum disiapkan penggantinya, hal itu dapat memicu timbulnya gangguan
keagamaan, terutama dari tentara yang dikhawatirkan akan merebut kekuasaan.
Dalam kondisi demikian itu, ia memilih bekerjasama dengan para pemimpin pasukan
untuk mengambil langkah-langkah pengamanan negara. Selain masalah politik,
Syajarat Al-Dur juga berusaha memajukan pendidikan bagi masyarakat dengan
mendirikan sekolah yang terkenal dengan nama Jami’ Syajarat Al-Dur.[3]
Beberapa
perempuan lainnya yang dikenal sebagai kepala negara, antara lain dari Dinasti
Mongol terdapat Sultanah Kuthugh Tukan (681 H/1282 M), Absh Khatun (1287 M),
Padisyah Khatun (1295 M), Dawlat Khatun dan Sati Bek (739 H). Di Baghdad
terdapat Sultanah Tindu, Sultanah Fatema di Asia Tengah (1679-1681). Di
Meldives/Maladewa ada Sultanah Khodijah (1379 M), Sultanah Meriam (1383 M),
Sultanah Fatima (1388 M). Di Aceh juga pernah diperintah oleh Sultanah, yaitu
Taj Al-Alam Din Syah (1641-1675 M), Nur Al-Alam Din Syah (1675-1678 M), Inayat
Shah Din Shah (1678-1688 M) dan Kamalat Syah (1699).[4]
Pemerintahan
sulanah itu diakui oleh rakyatnya. Mereka sebagaian besar adalah turunan
sultan. Namun, pengangkatanya tidak semata-mata karena warisan, tetapi juga
atas persetujan dari para pembesar atau rakyat d negerinya. Misalnya, yang
terjadi pada Sultanah Khadijah. Putri Sultan Jalal al-Din Shalih Albendjali di
Maladewa itu dipilih oleh pnduduk kepulauan tersbut.
Pemerintahan
para sultanah itu pada umumnya bentuk kerajaan yang dibantu para wazir.
Diantara sultanah yang memiliki wewenang penuh untuk mengambil keputusan
penting bagi negerinya, seperti Syajarat Al-Dur yang dalam engembalian
tidak keputusan diharuskan mengadakan
musyawarah dengan pembesar kerajaan. Namun, adapula Sultanah yang memberikan
kewenangan lebih banyak kepada wazirnya untuk mengendalikan pemerintahan,
seperti Sultanah Khadijah yang lebih banyak mendelegasikan urusan pemerintahan
kepada wazirnya.
Dengan
membagi wewenang itu, pemerintahan Sultanah Khadijah mendapat dukungan dari
para pembesar sehingga stabilitas politik terjaga. Pemerintahan Sultanah
Khadijah berlangsung selamah 33 tahun dan rakyat merasakan kemakmuran. Hal ini
menimbulkan kepercayaan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk memimpin
negara. Kepercayaan itu menyebabkan para pembesar dan rakyat tidak ragu-ragu
lagi untuk menyerahkan pemerintahan berikutnya kepada Sultan perempuan. Maka,
berturut-turut Mala Dewa diperintah para Sultanah. Sepeninggalan Khadijah,
diangkatlah saudaranya Mayriam. Pada masa sesudahnya putri Meyriam yang bernama
Fatimah dinobatkan sebagai Sultanah yang memerintah di Mala Dewa sampai akhir
hayatnya pada tahun 790 H (1388 M).
Kepercayaan
masyarakat pada kepemimpinan perempuan, seperti di Mala Dewa, terdapat pula di
Aceh. Sejak awal sampai abad ke 17 M, kerajaan Aceh diperintah para Sultanah,
yang dimulai penguasa ke 14, yaitu
Sultanah Taj Al-Alam Safiyyat Al-Din Syah (1641-1675 M), Sultanah Nur Al-Alam
Nakyyat Al-Din Syah (1675-1678 M), Inayat Syah Zakyyat Al-Din Syah (1678-1688
M) dan Kamalat Syah (1688-1699 M).
Sultanah Taj
Al-Alam Safyyat Al-Din Syah merupakan wanita pertama yag memimpin kerajaan Aceh
selama 34 tahun. Putri dari Sultan Iskandar muda ini diangkat menjadi Sultanah
setelah suaminya, Sultan Iskandar Tsani, meninggal dunia. Karena tidak memiliki
anak laki-laki, Taj Al-Alam yang menjadi istri Iskandar Tsani dan juga putri
Iskandar muda diangkat menjadi penggantinya.
Dalam buku Bustanulsalatin
Nuruddin Ar-Raniri menggambarkan pribadi Sultanah Al-Alam memiliki sifat
yang terpuji dan seorang yang salihah. Selain ketaatannya menjalankan ibadah,
ia memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Misalnya dalam menegakkan keadilan, ia tidak segan-segan menjatuhkan hukuman
bagi yang bersalah maka, pada masa pemerintahannya, rakyat Aceh hidup dalam
ketenganan. Peningkatan hasil bumi dan tambang pun tidak lepas dari perhatian
Sultanah sehingga negerinya mencapai kemakmuran.[5]
Disamping
perhatian Sultanah di dalam penididikan, perekonomian, dan sosial, kehidupan
beragamapun semakin semarak. Semenjak pemerintahan ayahnya (Sultan Iskandar
muda), rakyat telah diperintahkan agar menjalankan sholat wajib lima waktu,
puasa wajib dan sunah, menjauhkan diri dari judi dan minuman keras.
Daftar Pustaka
Tamar Djaja, Pustaka Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1965)
Fatima Mernissi, Ratu-ratu Islam yang terlupakan. (Bandung:
Mizan, 1994)
Fatimah mernissi, Setara di hadapan Allah, Yogyakarta: SPPA
Yayasan Prakasa. 1995
No comments:
Post a Comment