Makalah UIN MALIKI Malang
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam alur sejarah agama-agama di India zaman agama Buddha dimulai
sejak tahun 500 SM hingga tahun 300 M. Secara historis agama tersebut mempunyai
kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya dan yang datang sesudahnya, yaitu
agama Hindu.
Sebagai agama, ajaran Buddha tidak bertitik tolak dari Tuhan dan
hubungan-Nya dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia. Untuk
jangka waktu yang semestinya. Sehingga menimbulkan berbagai pertanyaa, apakah
agama Buddha dapat dipandang sebagai agama atau hanya sebagai salah satu aliran
filsafat saja.
Banyak
orang yang belum mengerti dengan benar tentang ajaran agama Buddha, terutama
tentang mereka yang bukan pemeluk agama itu. Ada yang berpendapat bahwa agama
Buddha sesungguhnya bukan agama karena
tidak mengajarkan ketuhanan.
B. Rumusan Masalah
1.
Siapa
pendiri atau pembawa agama Buddha?
2.
Apa
saja aliran-aliran agama Buddha?
3.
Bagaimana
isi ajaran-ajaran agama Buddha?
C. Tujuan Pembahasaan
1.
Untuk
mengetahui pendiri atau pembawa agama Buddha
2.
Untuk
mengetahui aliran-aliran agama Buddha
3.
Untuk
mengetahui ajaran-ajaran agama Buddha
BAB
II
TINJAUAN
UMUM
A.
Asal Usul Agama Buddha
B.
Pendiri Atau Pembawa Agama Buddha
Dalam cerita-cerita yang berkembang
di kalangan umat Buddha bahwa jauh sebelum zaman prasejarah, hiduplah seseorang
yang bernama Sumedha. Ia mengalami berjuta-juta reinkarnasi selama ia
dalam tubuh seorang manusia yang mempunyai derajat ke-buddhaan yang bernama Sidharta.
Sebelum itu itu ia telah menitis berjuta-juta kali dalam bentuk binatang,
manusia, dan dewa. Tidak semua makhluk dapat menjelma dalam tubuh yang
mempunyai derajat dalam ke-buddhaan, sebab derajat ini hanya bisa dicapai oleh
orang yang benar-benar telah mempersembahkan pengorbanan yang sebesar-besarnya
dan kasih sayang yang sedalam-dalamnya terhadap sesama umat manusia.
Menurut riwayat, Sidharta
dilahirkan pada kira-kira tahun 563 SM. Di daerah Kapilawastu, di kaki
pegunungan Himalaya. Ayahnya seorang raja yan kaya raya, bernama Sudhodana dan
ibunya bernama Maya. Riwayat tentang kelahiran Buddha diliputi cerita-cerita
yang unik.
Menurut sumber dari Mahayana,
seorang Bodhisattwa dalam bentuk seekor gajah putih turun dari sorga Tusita
memasuki rahim Maya sehingga ia hamil. Setelah ia melahirkan, anak itu diberi
nama Sidharta Gautama Sakyamuni, artinya pendeta dari suku Sakyamuni.
Menjelang kelahirannya banyak
terjadi peristiwa yang luar biasa, seperti keadaan dunia tampak begitu
indahnya, diliputi oleh tebaran bunga teratai, pohon-pohon mulai berbunga,
orang bisu bisa berbicara, orang tuli bisa mendengar, orang buta bisa
melihat, orang lumpuh bisa berjalan,
alat-alat musik berbunyi sendiri dan masih banyak keajaiban lainnya. Itu semua
merupakan pertanda akan datangnya anak yang kelak akan menjadi seorang pemimpin
besar.
Di waktu masih kecil, Sidharta telah
menunjukkan kecerdasan pikirannya yang jauh melebihi kawan-kawannya. Bahkan ia
sudah bisa menulis sebelum diajarkan oleh gurunya. Lagi pula, ia memilki
sifat-sifat yan terpuji. Oleh ayahnya yang berkedudukan raja, ia hendak
dimanjakan. Segala keinginannya akan dikabulkan asalkan ia mau menetap di
istana dan kelak bersedia menggantikan ayahnya menjadi raja. Namun ia menolak
hidup yang diliputi serba kemewahan bahkan ia tertarik untuk hidup sederhana
sebagai petapa. Kemudian ia bertekad untuk meninggalkan istana. Riwayat hidup
Sidharta termuat dalam buku: Lalitavistara dan Jatakamala Aryasur
serta digambarkan dengan visual pada dinding candi Borobudur.
Setelah ia menginjak usia 29 tahun,
terbitlah keinsafan batinnya, bahwa hidup kedunia dalam suasana kemewahan di
istana tidaklah dapat memberi ketenangan batinnya. Timbulnya keinsafan demikian
karena ia melihat beberapa peristiwa yanf mengesankan. Ia melihat seorang tua
yang sangat lemah tubuhnya, sehingga hidupnya penuh penderitaan. Ia berpikir
bahwa bagaimanapun juga orang hidup itu akhirnya akan mengalami tua yang
mengalami tua yang penuh penderitaan itu. Ia melihat orang sakit yang merasakan
penderitaan karena penyakitnya itu. Ia juga melihat orang yang mati, yang meskipun
tubuhnya masih utuh akan tetapi sudah tidak memilik daya apapun. Ia harus
berpisah dengan harta, tahta, dan segala sesuatu yang dicintainya. Terakhir ia
melihat seorang pendeta petapa yang meskipun hidupnya miskin tapi tampak cerah
wajahnya melambangkan kedamaian yang teradapat dalamm batinnya. Maka Sidharta
sangat tertarik menempuh hidup orang petapa ini.
Dari beberapa peristiwa yang
dijumpainya itu, ia dapat mengambil kesimpulan, bahwa hidup di dunia ini penuh
dengan penderitaan. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan istana ayahnya
guna mencari jalan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Ia
mengembara masuk keluar hutan, berpuasa, dan bertapa guna mendapatkan
pengetahuan yang sejati. Akhirnya setelah ia bersemedi dibawah pohon Boddhi di
Boddh Gaya tersingkaplah baginya: “pengetahuan tentang kebenaran yang sejati”.
Maka sejak itu ia memakai gelar Buddha, artinya yang telah memperoleh
pengetahuan tentang kebenaran sejati. Dengan derajat yang dicapainya itu ia
dapat melihat alam kedewaan yang orang biasa tidak dapat melihatnya, dan dapat
melihat kembali rentetan perjalanan hidupnya yang dulu-dulu semenjak ia masih Sumedha
dengan berbagai bentuk reinkarnasinya.[1]
C.
Sistem Ketuhanan
D.
Kitab Suci
Dalam membahas hal ini harus juga
kita tegaskan bahwa para pengikut Buddha tidak mendakwakan tentang kitab-kitab
yang diturunkan tetapi itu adalah didapat dari Buddha. Para pengikut Buddha
menghafal kata-katanya, pidato-pidatonya, dan peribahasanya. Tetapi, sesudah
kematian Buddha timbullah perselisihan di antara para pengikutnya. Begitu juga
rekaan-rekaan terhadap kata-katanya ini tetapi masih terus dikatakan darinya
(Buddha).
Para pengikut Buddha mengadakan
suatu persidangan di Rajagaha pada tahun 483 SM untuk menghilangkan sebab-sebab
perselisihan dan untuk mendekatkan atau menyatukan pengikut-pengikut dengan
jalan menentukan dan menetapkan kata-kata Buddha dan teman-temannya. Tatkala
semua telah berkumpul, mereka juga meminta kepada Kasyapa, seorang murid Buddha
mengenai metafisika. Dia pun membacakannya kepada mereka dan mereka menerimanya
dan meriwayatkan darinya. Mereka juga meminta Upali, murid yang panjang masa
hidupnya untuk membacakan Surat Pesanan. Maka dia membacakannya kepada
orang-orang serta menerima dan meriwayatkan darinya. Kemudian mereka meminta
Ananda, murid yang paling oleh Buddha supaya membacakan apa yang didengarnya
dari Buddha tentang cerita-cerita, peribahasa, perintah-perintah. Dia pun
berbuat demikian, mereka menerimanya dan meriwayatkan darinya.
Riwayat-riwayat ini tinggal
terpelihara di dalam dada, dan diterima oleh satu generasi ke generasi lainnya
hingga ke zaman Raja Asoka (242 SM). Ketika itu penyelewengan dan perselisihan
dalam riwayat-riwayat pun telah lahir. Para pemimpin dan pendeta-pendeta Buddha
merasa takut kehilangan kepustakaan (sumber ajaran) ini maka mereka bersidang
dan mengambil keputusan untuk menulis ketiga kumpulan riwayat itu. Tampaknya
mereka telah meletakkan tiap-tiap satu kumpulan riwayat di dalam sebuah tempat
khusus dan digantungkan dengan aman yang jauh dari kemungkinan rusak atau hilang,
juga untuk dilakukan pemujaan atasnya. Oleh sebab itu, kumpulan-kumpulan ini
dinamakan Raga yang Tiga atau Pitakas (Tri Pitaka)
Raga yang pertama mengandung
akidah-akidah dan oleh sebab itu dinamakan Raga Akidah atau Abhi
Dhamma Pitakas. Raga yang kedua mengandung syariat dan dinamakan Raga
Syariat atau Vinaya Pitakas, dan raga yang ketiga mengandung
cerita-cerita dan dinamakan Raga Cerita-cerita atau Sutta Pitakas.
Semua raga yang tiga ini disebut sebagai Undang-undang Pali yaitu mengandung ajaran Buddha yang lama
dengan tidak ada perubahan sedikitpun, dan dengan sebab inilah dia menjadi
kitab suci Buddha yang terpenting. Kitab ini dinamakan Undang-undang Pali
karena dipadankan dengan bahasa Pali yang digunakan di dalam penyusunan
riwayat-riwayatnya.[2]
E.
Mazhab Atau Sekte-Sekte Agama Buddha
Ketika Buddha Gautama wafat pada 483
SM yang tinggal hanya ajarannya atau Dharma, yang ada pada waktu itu belum
dibukukan. Tahun 269 SM Asoka memerintah hingga tahun 233 SM mula-mula ia
memusuhi agama Buddha, tetapi kemudian ia bertobat. Di bawah pemerintahannya
agama Buddha berkembang dengan cepat, hingga sampai di luar India.[3]
Zaman kejayaan agama Buddha ini
disertai juga dengan zaman perselisihan dan perpecahan. Ada banyak mazhab-mazhab
yang berbeda sekali yang satu dari yang lain, di dalam hal upacara-upacara
keagamaan dan di dalam soal-soal ajaran yang pokok. Yaitu, antara lain dalam
hal mendasarkan perbuatan hanya pada teladan para rahib yang sudah tua, bukan
kepada hukum. Dalam hal menerima dan memiliki emas dan perak dan sebagainya.
Oleh karena itu dikumpulkanlah suatu muktamar yang menyalahkan para rahib di
Waisali tersebut, dan memutuskan bahwa perbuatan para rahib itu bertentangan
dengan dharma (ajaran pokok).
Kejadian ini menyebabkan adanya
perpecahan di antara pengikut-pengikut Buddha. Golongan yang memegang teguh
kepada peraturan Wiyana Pitaka (pedoman kehidupan kerahiban) menyebut dirinya Sthawirawada
(Jema’at para murid), sedang golongan yang lebih besar, yang menyetujui adanya
perubahan, menyebut dirinya Mahasanghika (Jema’at yang besar). Perpecahan yang
terjadi di sini inilah yang agaknya menyebabkan adanya perpecahan yang agak
besar, yaitu dalam Hinayana dan Mahayana.
Perpecahan yang pokok di dalam agama
Buddha ialah terjadinya aliran: Hinayana dan Mahayana. Di dalam mazhab Hinayana
ada dua aliran pokok yaitu Therawada yang sekarang berkembang di Langka, Burma
dan Siam (Muangthai), dan Sarwastiwada yang berpusat di Mathura, Gandhara dan
Kasmir. Mahayana pecah menjadi banyak aliran. Tiap-tiap aliran menekankan salah
satu dari banyak jalan untuk mendapatkan kelepasan. Pada kira-kira tahun 150 M.
didirikan aliran Madhyamika oleh Nagarjuna, yang mengajarkan bahwa kelepasan
itu bisa dicapai dengan melaksanakan nikmat, dalam arti: merenungkan sunyata
(kekosongan). Pada kira-kira tahun 400 M. Aliran yogacara didirikan oleh
Asanga, yang dipengaruhi oleh falsafah sankhya. Sesudah tahun 500 M. agama
Buddha dipengaruhi oleh aliran Tantra. Cabang aliran ini berkembang di Nepal,
Tibet, Cina, Jepang, Jawa, dan Sumatra.
1.
Aliran Hinayana
Pada
pokoknya ajaran Hinayana mewujudkan suatu perkembangan yang logis dari
dasar-dasar yang terdapat di dalam kitab-kitab yang kanonik. Jika ajaran itu
diikhtisarkan, dapat dirumuskan sebagai berikut:[4]
a.
Segala
sesuatu bersifat fana, dan hanya berada untuk sesaat saja, serta disebut
dharma. Oleh karena itu tak ada sesuatu yang tetap berada. Tak ada aku yang
berpikir, yang ada hanya pikiran. Tak ada aku yang merasa, yang ada hanya
perasaan, dan sebagainya.
Dharma-dharma
itu adalah kenyataan atau realitas yang kecil dan pendek, yang berkelompok
sebagai sebab dan akibat. Karena pengaliran dharma yang terus-menerus itu, maka
timbullah kesadaran “aku” yang palsu, atau ada “perorangan” yang palsu.
b.
Tujuan
hidup ialah mencapai nirwana, di mana kesadaran akan ditiadakan. Sebab segala
kesadaran adalah belenggu. Hal ini disebabkan karena kesadaran tidak lain
adalah kesadaran terhadap sesuatu. Apakah yang tinggal ada di dalam nirwana
itu, sebenarnya tidak diuraikan dengan jelas.
c.
Cita-cita
yang tertinggi ialah menjadi arhat, yaitu orang yang keinginannya,
ketidaktahuannya dan sebagainya sudah berhenti, sehingga ia tidak ditaklukkan
lagi kepada kelahiran kembali.
2.
Aliran Mahayana
Dua
kata yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran Mahayana ialah Bodhisattwa dan
Sunyata. Secara harfiah “Bodhisattwa” berarti: orang yang hakikat atau
tabiatnya adalah hikmat yang sempurna. Sebelum Mahayana timbul, pengertian
“Bodhisattwa” ini sudah dikenal juga, dan dikenakan juga kepada Buddha Gautama,
sebelum ia menjadi Buddha. Di situ “Bodhisattwa” berarti: orang yang sedang
dalam perjalanan mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan menjadi
Buddha. Jadi mula-mula “Bodhisattwa” adalah gelar bagi makhluk yang ditetapkan
untuk menjadi Buddha. Di dalam Mahayana Bodhisattwa adalah orang yang bukan
hanya melepaskan dirinya sendiri, tetapi yang juga dapat menemukan sarana untuk
membuat benih pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada orang lain.
Cita-cita
tertinggi di dalam Mahayana ialah untuk menjadi Bodhisattwa. Cita-cita ini
berlainan sekali jika dibandingkan dengan cita-cita Hinayana, yaitu untuk
menjadi arhat. Sebab seorang arhat hanya memikirkan kelepasan sendiri.
Berhubung dengan cita-cita tentang Bodhisattwa
ini, maka di dalam aliran Mahayana ada ajaran tentang pariwarta, yaitu bahwa
kebajikan itu dapat dipergunakan bagi kepentingan orang lain. Orang yang
mendapatkan pahala karena kebajukannya, dapat mempergunakan pahala itu bagi
kepentingan orang lain. Ajaran ini sudah pasti berlainan sekali jika
dibandingkan dengan ajaran agama Buddha yang kuno, di mana diajarkan bahwa
hidup seseorang itu terpisah daripada hidup orang lain.
Di
dalam perjalanan hidupnya yang panjang itu seorang Bodhisattwa tidak akan
dilahirkan kembali ke dalam tempat penyiksaan atau ke dalam keadaan yang tidak
menyenangkan di dalam dunia ini. Demikian juga seorang Bodhisattwa tidak
diharuskan menyangkal dunia ini. Ia menerima keadaan hidup sebagaimana adanya.
Ia boleh beristri, memiliki kemewahan dan kekuasaan.
Hal
kedua yang memberi ciri Mahayana ialah ajaran tentang Sunyata, yang artinya
kekosongan. Kosong (sunyata) berarti tak ada yang mendiaminya. Sunyata berarti
bahwa “tak ada pribadi”. Segala sesuatu adalah kosong, oleh karenanya tak ada
yang bisa diinginkan atau dicari. Bukan hanya dunia ini yang kosong, tetapi
juga Nirwana, bahkan Dharma juga kosong. Kebenaran yang tertinggi adalah
kekosongan, oleh karenanya tak dapat dijadikan sasaran kepercayaan. Sebab Yang
Mutlak itu tak dapat dipegang. Seandainya dapat dipegang, tak dapat dikenal.
Sebab Yang Mutlak itu tidak memiliki ciri-ciri yang membedakannya dari yang
lain.
Di
dalam perkembangannya, Mahayana mengalami bermacam-macam pengaruh, di antaranya
dari gerakan Bhakti, dan aliran Tantra. Bhakti adalah penyembahan pribadi yang
berdasarkan penghormatan kepada dewa yang disembah, yang digambarkan dalam
bentuk manusia. Sejak abad pertama Masehi Bhakti ini mempengaruhi agama Buddha,
dan makin lama pengaruh itu makin kuat. Karena timbulnya unsur penyembahan ini,
maka berubahlah keterangan tentang ajaran tempat pengungsian orang Buddhis.[5]
Di
dalam agama Buddha Hinayana, Triratna, yaitu Buddha, Dharma dan Sangha menjadi
tempat pengungsian. Tetapi di dalam Mahayana, tempat pengungsian itu ialah
Buddha dan anak-anak Buddha atau Bodhisattwa dalam arti yang luas, dan
Dharmakarya. Demikianlah timbul ajaran tentang banyak Buddha, yang diuraikan
secara mitologis.
Ajaran
tentang banyak Buddha itu dialirkan dari ajaran tentang lima skandha. Mula-mula
diajarkan bahwa manusia itu terdiri dari lima skandha. Ajaran ini dikenakan
kepada Buddha sendiri. Diajarkan, bahwa Buddha juga terdiri dari lima skandha,
dan tiap-tiap skandha adalah suatu Buddha, yang disebut Tathagata (di Tibet
disebut Yina). Kelima Tathagata itu ialah Wairocana. Yang menerangi atau yang
bersinar, Aksobhya, Yang Tenang, tak terganggu, Ratnasambhawa, Yang dilahirkan
dari Permata, Amitabha, Terang yang kekal, Amoghasiddhi, Keuntungan yang tak
binasa. Para Tathagata ini berbeda sekali keadaannya dengan Buddha yang biasa.
Para Tathagata ini senantiasa Buddha, tidak pernah menjadi manusia, sedang
Buddha yang biasa itu menjadi manusia.
Kemudian
para Tathagata ini dihubungkan dengan penjuru alam. Mereka dipandang sebagai
membentuk tubuh alam semesta ini. Demikianlah Aksobhya dipandang sebagai
berkuasa di surga sebelah timur, Ratnasambhawa di selatan, Amitabha di barat,
Amoghasiddhi di utara dan Wairocana di tengah.
Perkembangan
selanjutnya menimbulkan adanya ajaran tentang Adhi Buddha, yakni Buddha yang
yang pertama, yang dipandang sebagai sudah ada pada mula pertama, yang tanpa
asal, sebab ia berada karena dirinya sendiri, yang tak pernah tampak, dan
berada di dalam Nirwana. Hakikat Adhi Buddha ini adalah terang yang murni. Ia
timbul dari sunyata, kekosongan. Dengan lima macam tafakur (dhyana) Adhi Buddha
ini mengalirkan dari dirinya lima Buddha, yang disebut Dhyani Buddha, yaitu:
Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha, dan Amoghsiddhi. Dhyani Buddha
ini dipandangnya sebagai menguasai daerahnya masing-masing, yang disebut
Buddha-ksetra. Daerah-daerah itu ada yang digambarkan sebagai alam yang murni,
dan ada yang kurang murni, sesuai dengan tugas Dhyani-Buddha itu masing-masing.
Di dalam daerahnya masing-masing itu kelima Dhyani-Buddha itu mengajarkan
ajarannya kepada para makhluk, dan menolong mereka untuk mendapatkan
pencerahan.
Dengan
daya pengetahuan serta tafakurnya para Dhyani Buddha ini mengalirkan lima
Bodhisattwa, yaitu: Wairocana mengalirkan Samantabhadra, Aksobhya mengalirkan
Wayrapani, Ratnasambhawa mengalirkan Ratnapani, Amitabha mengalirkan Padmapani
atau Awalokiteswara, dan Amoghasiddhi mengalirkan Wispapani. Para Dhyani
Bodhisattwa ini adalah pencipta alam bendawi ini. Dunia yang mereka jadikan itu
dapat binasa. Ada tiga yang sudah binasa. Dunia yang sekarang ini adalah yang
keempat, hasil karya Awalokiteswara, yang memiliki Amitabha sebagai
pelindungnya.
Akhirnya,
para Dhyani Bodhisattwa ini memantulkan diri pada lima Buddha yang dalam bentuk
manusia, yang disebut Manusia-Buddha, yaitu secara berurutan: Krakuckhanda,
Kanakamuni, Kasyapa, Sakyamuni dan Maitreya. Mereka ini adalah guru, utusan
para Dhyani Bodhisattwa itu.
Perkembangan
yang dmikian ini disebabkan juga karena pengaruh aliran Tantra. Sedangkan
kesatuan ajaran tentang Buddha yang bermacam-macam itu didapatkan dalam ajaran
tentang tiga tubuh Buddha, (trikaya).
Ketiga
tubuh itu ialah: Dharmakaya, Sambhogakaya dan Nirmanakaya. Dharmakaya adalah
tubuh kebahagiaan, tubuh hakiki, sedang Sambhogakaya adalah penjelmaannya
sewaktu di surga, dan Nirmanakaya adalah tubuh penampakannya, emanasi
(pengaliran), transformasi atau pemantulan tubuh surgawi, yaitu tubuh yang
tampak pada tiap-tiap Manusia Buddha. Di dalam agama Hindu, Dharmakaya adalah
Brahman, yang tanpa waktu dan tanpa sifat, sedang Sambhogakaya direalisasikan
dalam bentuk Iswara dan Nirmanakaya adalah penampakan Iswara itu dalam
awataranya atau penitisannya.
Sebutan
yang lain dari Dharmakaya adalah Swabhawakaya atau tubuh yang menampakkan
tabiat atau hakikatnya sendiri, jadi sama dengan swarupa, bentuknya sendiri, di
dalam agama Hindu. Selanjutnya Dharmakaya juga disebut Sunya, yang kosong,
Nirwana, kelepasan yang kekal, Budhi, hikmat, Prayna, hikmat ilahi,
Tathagatagarbha, kandungan Tathagata, dan sebagainya. Dari sini jelas bahwa
Dharmakaya itu bukan suatu dewa yang berpribadi, tetapi Dharmakaya adalah asas
jiwani, yang meliputi segala sesuatu, tetapi yang tak dapat diselidiki.
Kadang-kadang Dharmakaya ini dipersonifikasikan dengan Adhi-Buddha,
kadang-kadang dengan wairocana, jika wairocana itu dipandang sebagai Buddha
yang tertinggi.
Sebagai
Buddha yang tertinggi maka Dharmakaya itu dipandang sebagai memiliki
saktinya-istrinya, yaitu Praynaparamita, Hikmat Tertinggi, atau Budhi.
Praynaparamita ini juga dipakai sebagai sebutan kitab, atau kelompok
kitab-kitab dalam Mahayana. Akhirnya Praynaparamita ini dipersonifikasikan juga
sebagai seorang dewi, seperti halnya dengan Sakti di dalam agama Hindu.
Praynaparamita ini dipandang sebagai satu dengan Dharmakaya, seperti sakti itu
satu dengan Siwa. Oleh karena itu maka praynaparamita ini dipandang sebagai
“KeBuddhaan”, dan di dalamnya tiap-tiap Bodhisattwa dilarutkan, atau menjadi
fana. Selanjutnya praynaparamita ini juga dipandang sebagai Ibu-Buddha, yang
mengandung Buddha, yang menjadi sumber segala sesuatu yang ada, baik jasmani
maupun rohani.
Dalam
alam yang mutlak, Dharmakaya ini bisa disebut sunya atau kosong, tetapi di alam
kebenaran yang relatif ini Yang Mutlak itu menjelma dalam namarupa, secara
lahir dan batin, secara jasmani dan rohani. Bagi makhluk yang di surga.
Dharmakaya itu menjelma sebagai Sambhogakaya, sedang bagi makhluk yang di dunia
ini ia menjelma sebagai Nirmanakaya.
Sambhogakaya
adalah Buddha-Buddha yang dipandang sebagai dewa-dewa di dalam surga, yang
memiliki nama dan bentuk, tetapi yang maha tahu, berada di mana-mana dan maha
kuasa. Buddha dalam arti ini dapat disamakan dengan Iswara di dalam agama
Hindu, yang dapat disembah dengan bermacam-macam sebutan, sebagai umpamanya
Siwa dan Wisnu. Di dalam agama Buddha Mahayana, Buddha-Buddha ini disebut
Dhyani Buddha.
Untuk
zaman sekarang ini Buddha yang berfungsi sebagai dewa yang demikian itu adalah
Amitabha atau Amida. Ia memerintah di dalam surganya, Sukhawati, di sebelah
barat. Sebagai Juru Selamatnya atau Dhyani Bodhisattwanya adalah
Awalokiteswara, sedang Guru atau utusannya adalah Gautama. Sukhawati itu adalah
suatu Firdaus yang didiami oleh jiwa-jiwa yang selamat. Di situ mereka
menikmati kegirangan, kesucian dan hikmat yang abadi. Sukhawati inilah
cita-cita tiap orang Buddhis.
Bagi
keselamatan manusia berfungsilah Awalokiteswara, yang juga disebut Lokeswara,
Tuhan dunia, atau Lokanatha, Pelindung dunia. Dialah yang memperhatikan nasib
manusia yang menderita, serta menolongnya. Awalokiteswara ini digambarkan
dengan bunga teratai merah di tangan kirinya, sedang tangan kanannya
dikedangkannya ke bawah dengan terbuka, sebagai lambang kemurahan atau
anugerah.
Akhirnya,
Nirmanakaya adalah Buddha yang tampak, yang mengalir atau dipantulkan dari
Sambhogakaya, Tubuh ini ditampakkan oleh Sakyamuni setelah ia menjadi Buddha.
3.
Aliran Yogacara
Kira-kira pada abad yang keempat dua
bersaudara, yaitu Asanga dan Wasubandhu mendirikan suatu mazhab, yang disebut
Yogacara. Sedang mazhab Madhyamika menekankan kepada hikmat, mazhab Yogacara
menekankan kepada Yoga. Pandangannya terhadap dunia ini didasarkan atas
pengalamannya di dalam Yoga.[6]
Menurut Yogacara, Yang Mutlak adalah
cita atau pikiran (Citta). Hal ini didasarkan atas pengalaman seorang Yogin,
yang jika dihadapkan dengan Yang Mutlak itu, melihat di dalam bagian hidupnya
yang terdalam suatu pletikan terang. Oleh karena itu maka diajarkan, bahwa
dunia ini melulu terdiri dari citta.
Kenyataan yang tertinggi tak
terdapat di dalam dunia ini, oleh karenanya tidak mungkin kita alami. Pribadi
yang sebenarnya itulah sasaran yang tertinggi. Akar segala kejahatan terletak
pada kecenderungan kita untuk memandang segala sesuatu sebagai terpisah dari
pribadi kita yang terdalam, atau sebagai berada di luar pribadi kita yang
terdalam, sebagai sasaran. Sebab pada hakikatnya segala sesuatu dan segala
pikiran adalah melulu citta (cittamatra). Kita hidup di dalam khayalan, karena
kita menganggap apa yang kita pikirkan itu sebagai suatu dunia yang berdiri
sendiri, lepas daripada pikiran kita. Padahal segala sesuatu itu sebenarnya
bersumber pada pikiran kita dan terdiri dari pikiran saja.
Manusia mencapai hikmat tertinggi,
jika ia sudah dapat melihat segala sesuatu sebagai khayalan. Bukankah pada
tingkat yang tertinggi dari yoga itu seorang yogin dihadapkan dengan suatu
perwujudan yang khayali, yang hidup, tanpa ada persamaannya di dalam dunia ini.
Perwujudan itu biasanya dilihat sebagai suatu lingkaran biru, atau suatu
rangka, yang melulu khayalan dan dipandang sebagai pikiran atau citta. Oleh
karena itu dunia ini adalah suatu impian, yang memiliki kenyataan.
4.
Aliran Mantrayana
Sejak abad ketujuh agama
budha dipengaruhi oleh tantra. Ciri khas dari Tantra ialah ajarannya tentang
jalan kelepasan, yang dipandangnya sebagai melulu karena mantra. Dilihat dari
segi ini, maka Mahayana, yang memandang kunci kelepasan dari segala belenggu
hidup ini terdapat pada pengucapan mantra-mantra, disebut Mantrayana.
Di sini diajarkan kemahakuasaan mantra. Tak ada sesuatu yang tak
dapat dicapai oleh mantra. Mantra itu dapat memberikan “kebuddhaan”, dan segala
sesuatu yang diinginkan orang.
Mantra-mantra itu terdiri dari kata-kata, yang disusun dari banyak
huruf. Agar mantra-mantra itu dapat berfungsi, harus diucapkan dengan
merenungkan di dalam hati “bentuk huruf-huruf” itu, “bunyi” huruf yang
bermacam-macam itu, “arti” ucapan-ucapan di dalam mantra itu. Selanjutnya harus
disertai pengaturan nafas, penyajian bunga-bunga, bau-bauan dan sebagainya.
Mantrayana ini menghubungkan tiga hal menjadi satu, yaitu:
keinginan rakyat akan sesuatu yang dapat disembah, praktek bersemedi dari
Yogacara dan metafisika dari Madhyamika. Oleh karena itu di dalam Mantrayana ini
terdapat bermacam-macam dewa, makhluk rohani, sihir dan sebagainya. Tetapi di
atas itu semuanya hanya ada satu kenyataan, yaitu sunyata atau kekosongan.
Segala gejala yang beraneka ragam itu sebenarnya tidak nyata, sebab semuanya
itu adalah hasil khayalan kita. Demikian juga halnya dengan segala dewa itu.
Sekalipun demikian para dewa itu masih lebih berguna daripada segala hal yang dialami
manusia sehari-hari. Sebab dewa-dewa itu masih dapat membantu kita untuk
mendapatkan kelepasan dari belenggu hidup ini.
Supaya kita dapat terlepas daripada belenggu hidup ini, kita harus
merenungkan dewa-dewa itu, dengan cara demikian: bahwa mula-mula kita harus
merenungkan Sunyata atau kekosongan itu. Selanjutnya kita harus mengucapkan
berulang-ulang inti mantra-mantra dan menghidupkannya di dalam hati kita. Akhirnya
kita harus berusaha menggambarkan di dalam angan-angan kita dewa-dewa, seperti
yang dilukiskan di dalam patung-patung atau lukisan yang lain, sehingga kita
dapat mengidentikkan diri dengan dewa-dewa itu. Demikianlah kita akan menjadi
dewa itu sendiri. Dengan cara demikian kita “memperkembangkan kekosongan”,
yaitu dengan menimbulkan gagasan, bahwa dalam hakikatku yang sebenarnya, aku
bertabiatkan baja. Jika kita berhasil mengidentikkan diri dengan dewa-dewa itu,
kita juga akan mendapat bagian dari kekuasaan dewa yang bersifat magis itu.
Dua aliran yang terkenal di dalam Mantrayana ini ialah Wayrajana
dan Amoghawayra. Wayrajana adalah aliran kiri. Secara harfiah wayra berarti
petir, yang di dalam agama Hindu berfungsi sebagai senjata Indra. Petir ini
adalah senjata yang tak dapat dipatahkan, tetapi yang mematahkan segala
sesuatu. Di dalam Mantrayana kata wayra ini dipakai untuk mengungkapkan suatu
substansi yang luar biasa, yang keras sebagai baja atau intan, yang jernih
sebagai ruang yang kosong, yang tidak terkalahkan sebagai petir. Selanjutnya
wayra itu diidentikkan dengan kenyataan yang tertinggi, dengan Dharma dan
pencerahan.[7]
Menurut Wayrajana, orang yang sudah mendapat kelepasan itu
dikembalikan kepada tabiat sebenarnya, yaitu tabiat-intan (baja), dan
memperoleh tubuh-intan (baja), dan diubah menjadi makhluk yang terdiri dari
intan (baja), Wayrasattwa.
Aliran kanan dari Mantrayana ialah ajaran Amoghawayra (705-774).
Aliran ini masih berkembang di Cina. Buddha yang tertinggi adalah
Mahawairocana, dan diidentikkan dengan alam semesta ini. Tubuh Buddha ini
terdiri dari dua bagian, yaitu anasir yang pasif, yang bersifat rohani, yang
disebut anasir-kandungan, dan anasir yang aktif, yang bersifat jasmani, yang
disebut anasir-intan (baja). Seluruh dunia ini mewujudkan suatu pernyataan
Buddha bagi dirinya sendiri, yang digambarkan dengan dua mandala atau
lingkaran, yaitu: garbha-dhatu-mandala (lingkaran kandungan), dan
wayra-dhatu-mandala (lingkaran petir).
F.
Ajaran Agama Buddha
Ajaran agama Buddha disebut tiga
batu permata (triratna), yaitu: Buddha, Dharma dan Sangha.
1.
Ajaran tentang Buddha
Bagi kepercayaan Buddhis, hidup Sang Buddha sebagai perorangan,
sebagai Siddharta atau Gautama atau Sakyamuni, tidaklah penting. Buddha adalah
suatu gelar, suatu jabatan yang sudah pernah dijabat oleh orang-orang lain.
Menurut keyakinan Buddhis sebelum tahap zaman sekarang ini, sudah ada tahap
zaman yang tak terbilang. Dan tiap-tiap zaman ini memiliki Buddhanya
sendiri-sendiri. Oleh karena itu menurut keyakinan Buddhis ada banyak Buddha,
yaitu orang yang sudah mendapatkan pencerahan Buddhi. Menurut Jema’at Selatan,
sebelum Buddha Gautama sudah ada 24 Buddha yang mendahuluiNya. Tetapi menurut
Jema’at Utara ada lebih banyak lagi. Walaupun dalam soal bilangan banyaknya
Buddha yang sudah pernah ada, keduanya berbeda pendapat, tetapi mengenai tujuh
orang Buddha yang terakhir, keduanya ada kesamaan pendapat.
Ketujuh Buddha yang terakhir, yang sudah pernah menjelma sebagai
manusia adalah: Wipasyin, Sikhin, dan Wiswabhu, yang menjelma sebagai manusia
pada zaman emas, Kakukhanda, dan Kanakamuni, yang menjelma sebagai manusia pada
zaman perak, Kasyapa, yang menjelma sebagai manusia pada zaman tembaga, dan
Sakyamuni atau Gautama yang menjelma sebagai manusia pada zaman besi.[8]
Sekalipun Siddharta dilahirkan pada 563 SM, tetapi menurut
keyakinan orang Buddhis, pada tahun itu Gautama bukan untuk pertama kali datang
ke dunia. Sebelum dilahirkan sebagai Siddharta-Gautama ia sudah hidup
berjuta-juta abad, dengan nama Sumedha. Sama dengan nasib tiap-tiap orang, ia
mengalami kelahiran kembali yang banyak sekali. Pernah ia dilahirkan kembali
sebagai binatang, sebagai manusia dan sebagai dewa. Kesempurnaan, seperti yang
sudah dicapai oleh Gautama ini tak mungkin dicapai dalam s`tu kelahiran saja.
Sebenarnya tokoh Buddha itu adalah suatu asas rohani, suatu “ke-buddha-an”, atau
suatu tabiat kebuddhaan. Tabiat kebuddhaan ini sebenarnya tersembunyi di dalam
tiap-tiap orang yang menjadi Buddha, juga di dalam diri Siddharta. Dan tabiat
kebuddhaan inilah yang mengilhami Siddharta untuk mengerti akan kebenaran dan
kemudian mengajarkannya. Jika Buddha dipandang sebagai asas rohani, maka ia
disebut Tathagata.
Secara lahiriah Siddharta tampak sebagai manusia biasa, tetapi di
dalam tubuhnya yang tampak itu tersembunyi pribadi yang sebenarnya, yang tak
dapat dihayati oleh manusia biasa kecuali oleh mereka yang beriman. Tubuh
kegirangan ini dipandang sebagai tubuh yang tingginya 18 kaki, berwarna
keemasan. Di antara kedua keningnya di bagian atas terdapat suatu ikalan yang
lembut seperti kapas yang disebut urns, selanjutnya di atas kepalanya terdapat
usnisa, semacam serban di atas kepala. Akhirnya di sekitar kepala itu ada
lingkaran sinar, yang menandai kesucian dan sifat ilahinya.
2.
Ajaran tentang Dharma
Dharma adalah ajaran pokok. Ajaran pokok agama Buddha dirumuskan di
dalam yang disebut empat kebenaran yang mulia (4 aryasatyani). Yaitu ajaran
yang diajarkan oleh Buddha Gautama di Benares, sesudah ia mendapat pencerahan.
a.
Aryasatyani
Aryasatyani itu terdiri dari empat kata: yaitu dukha, samudaya,
nirodha dan marga.
v Yang disebut dukha ialah penderitaan. Hidup ini adalah penderitaan.
Misalnya: kelahiran adalah penderitaan, umur tua adalah penderitaan, sakit
adalah penderitaan, mati adalah penderitaan, disatukan dengan apa yang tak
disukai adalah penderitaan, dipisahkan dari yang disukai adalah penderitaan,
tidak mencapai yang diinginkan adalah penderitaan dan sebagainya.
v Yang dimaksud dengan samudaya adalah sebab. Maksudnya penderitaan
itu ada sebabnya. Keinginan kepada hidup itu menyebabkan orang dilahirkan
kembali, dengan disertai nafsu dan keinginan, yang mencari kepuasan di
sana-sini. Yaitu nafsu/keinginan kepada kesenangan, nafsu/keinginan kepada
milik, nafsu/keinginan kepada kekuasaan.
v Yang dimaksud dengan nirodha ialah pemadaman. Yaitu pemadaman
penderitaan itu terjadi, bila kita mampu menghapuskan seluruh nafsu/keinginan
kita secara sempurna.
v Yang dimaksud dengan marga ialah jalan kelepasan. Yaitu jalan yang
menuju kepada pemadaman penderitaan. Ini ada delapan, yakni:
1.
Percaya
yang benar, 5. Hidup yang benar,
2.
Maksud
yang benar, 6. Usaha yang benar,
3.
Perkataan
yang benar, 7. Ingatan yang benar,
4.
Perbuatan
yang benar, 8. Samadhi yang benar.
Yaitu konsentrasi sedemikian rupa
sehingga ia menjadi satu dengan sasaran semadie, dan mendapatkan damai
batiniah.
b.
Pratica samutpada
Penderitaan
itu disebabkan oleh nafsu/keinginan. Untuk menerangkan hal ini diajarkan apa
yang disebut Pratica Samutpada. Artinya pokok permulaan yang bergantungan.
Pokok permulaan sesuatu bergantung kepada pokok permulaan yang mendahuluinya, dan
ini bergantung lagi kepada pokok permulaan yang mendahuluinya dan seterusnya.
Seluruhnya adalah 12 pokok permulaan yaitu:
12. menjadi tua dan mati
bergantung pada dari kelahiran
11. kelahiran bergantung
dari hidup masa lampau
10. hidup masa lampau bergantung
kepada makanan, minuman dan sebagainya.
9. makanan,
minuman dan sebagainya ini bergantung kepada nafsu/keinginan
8. nafsu/keinginan
bergantung kepada emosi
7. emosi
bergantung kepada sentuhan/kontak
6. sentuhan/kontak
bergantung kepada indra dan sasarannya
5. indra
dan sasarannya bergantung kepada lahir/batin
4. lahir/batin
bergantung kepada kesadaran
3. kesadaran
bergantung kepada penafsiran yang salah
2. penafsiran
yang salah bergantung kepada .......
1. ketidaktahuan
(awidya)
c.
Ajaran tentang anica atau anicca
Kata anica berarti tidak kekal. Doktrin ini mengajarkan, bahwa di
dalam dunia ini tak ada sesuatu yang kekal. Semuanya adalah fana. Tak ada
sesuatu yang tetap ada, segala sesuatu itu “sedang menjadi”. Hidup ini adalah
suatu rentetan dari hal-hal yang terjadi untuk sesaat dan yang segera tidak ada
lagi. Hal ini digambarkan sebagai nyala api. Nyala api tampak seolah-olah tetap
ada. Maka kita melihat api yang tetap menyala. Tetapi hal ini tidaklah benar.
Sebab sebenarnya setiap kali ada nyala yang baru, yang kemudian hilang, disusul
oleh nyala yang baru, yang kemudian hilang lagi. Begitulah individualitas,
sebenarnya tidak ada.
d.
Ajaran tentang anatman atau anatta
Kata anatman
atau antta berarti tak ada jiwa. Ajaran ini tak bisa dipisahkan dari ajaran
tentang anica, yang mengajarkan bahwa tak ada sesuatu yang kekal yang tidak
berubah. Karenanya, tak ada jiwa yang kekal. Manusia sebenarnya tidak berjiwa.
Manusia adalah suatu kelompok keadaan jasmani dan rohani. Di dalamnya tak ada
suatu pribadi yang tetap.
e.
Ajaran tentang karma
Agama Buddha juga mengajarkan, bahwa
karma menyebabkan kelahiran kembali. Tetapi yang dilahirkan kembali itu bukan
jiwa, bukan “aku” manusia, sebab tak ada “aku” yang tetap. Yang dilahirkan
kembali adalah watak atau sifat-sifat manusia, atau “kepribadian”nya, tetapi
tanpa pribadi atau aku.
f.
Jalan kelepasan
Agar orang dapat lepas dari penderitaan itu orang harus melalui
suatu jalan yang terdiri dari delapan tingkatan, yaitu: Percaya yang benar,
Maksud yang benar, Perkataan yang benar, Perbuatan yang benar, Hidup yang yang
benar, Usaha yang benar, Ingatan yang benar dan Semadi yang benar.
Delapaan macam jalan yang diajarkan di dalam arjasatyani ini seirng
disingkatkan menjadi empat tingkatan. Masing-masing tingkatan ditandai dengan
pemutusan ikatan-ikatan yang mengikat kepada dunia ini. Keempat tingkatan itu
ialah: (1) Srotapana atau pertobatan, yaitu tingkatan orang yang sudah
ditempatkan pada arus yang benar. (2) Sakrdagamin, yaitu tingkatan orang yang
masih harus dilahirkan kembali sekali lagi. Sesudah itu ia akan mencapai
kelepasan yang sempurna. (3) Anagamin, yaitu tingkatan orang yang sudah tidak
akan dilahirkan kembali, dan yang sudah mendapat kelepasan di dalam hidup
sekarang ini. (4) Arhat, yaitu tingkatan orang yang sudah bebas dari dilahirkan
kembali, baik di dalam dunia berbentuk maupun di dalam dunia yang tidak
berbentuk. Dalam tingkatan ini orang mencapai nirwana.
g.
Ajaran tentang Nirwana
Kelepasan di dalam agama Buddha diungkapkan dengan bermacam-macam
ungkapan. Ungkapan yang paling terkenal ialah nirwana. Secara harfiah kata
nirwana berarti pemadaman atau pendinginan. Yang dipadamkan ialah keinginan,
api dari nafsu, kebencian dan sebagainya.
Orang di dalam nirwana itu mengalami suatu keadaan yang penuh
damai. Suatu keadaan yang jauh lebih baik daripada segala keadaan di dunia ini.
Baik bagi arhat maupun Buddha Gautama, di dalam hidupnya di dunia
ini sudah mencapai nirwana. Maka dapat ditentukan, bahwa keselamatan atau
kelepasan yang dicapai oleh seorang arhat itu tidak berarti, bahwa sesudah itu
ia akan langsung mati.
Nirwana itu dibedakan dalam dua macam, yaitu upadhisesa dan
anupadhisesa. Upadhisesa ialah status orang yang sudah mendapat kelepasan atau
nirwana, tetapi yang hidup lahiriahnya masih terus berjalan. Dan anupadhisesa
ialah status orang yang mendapat kelepasan, yang hidup lahiriahnya sudah tak
ada lagi, jadi yang dicapai sesudah mati.
Orang yang masuk ke dalam nirwana bukannya jiwanya campur atau
dilarutkan ke dalam jiwa yang maha agung, tetapi ia mendapat ketenangan sebagai
lautan yang tanpa ombak.
3.
Ajaran tentang Sangha
Pengikut
agama Buddha dibagi menjadi dua bagian, yaitu para Bhiksu atau para rahib dan
para Upasaka atau para kaum awam.
Inti
masyarakat Buddhis sebenarnya hanya terdiri dari para rahib. Sebab hanya hidup
kerahiban itulah yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan orang untuk
mencapai tujuan hidup yang tertinggi. Seluruh persekutuan para rahib disebut
sangha atau jema’at.
Kehidupan
kerahiban diatur di dalam kitab Winaya Pitaka. Dari kitab ini kita dapat mengetahui,
bahwa para rahib itu ditandai oleh tiga hal, yaitu: kemiskinan, hidup membujang
dan ahimsa (tanpa kekerasan).
Pertama-tama
seorang rahib harus hidup di dalam kemiskinan. Ia tidak diperkenankan memiliki
sesuatu, kecuali jubahnya, yang harus dibuat dari kain lampin, tempurung
sebagai alat mengemis, sebuah jarum untuk menisik jubahnya, sebuah tasbih,
sebuah pisau cukur untuk mencukur rambutnya, yang harus dilakukan tiap dua
minggu sekali, dan sebuah penyaring air minumannya supaya dibersihkan dari
binatang-binatang kecil.
Semula
seorang rahib diharuskan hidup tanpa rumah atau tanpa tempat berlindung yang
tetap. Oleh karena itu barang siapa hendak menjadi rahib, harus meninggalkan
rumahnya, ia harus hidup dari iman saja. Mereka biasanya hidup mengembara dan
kemudian dikumpulkan di dalam biara.
Makanan
mereka harus didapatkan dari mengemis. Di dalam mengemis itu mereka tidak
diperkenankan menerima uang. Dengan mengemis itu para rahib memberi kesempatan
bagi para kaum awam untuk berbuat baik.
Selanjutnya
seorang rahib harus hidup membujang. Ia tidak diperkenankan berhubungan dengan
wanita. Sebab hubungan seks dipandang sebagai sumber dosa. Akhirnya seorang
rahib harus hidup dengan ahimsa, tanpa kekerasan. Emat dosa yang benar-benar
harus dijauhi rahid ialah hidup mesum, mencuri, membunuh makhluk yang hidup dan
meninggikan diri karena kecakapannya membuat mukjizat.
Kesusilaan
rahib dicantumkan di dalam dasasila, atau sebenarnya sepuluh larangan, yaitu
larangan untuk membunuh, mencuri, hidup mesum, berdusta, minum-minuman keras,
makan pada waktu terlarang, mengunjungi tempat keramaian duniawi, bersolek,
tidur pada tempat tidur yang enak dan menerima hadiah.
Siapa
saja dapat menjadi rahib, baik lelaki maupun perempuan, asal ia tidak dikuasai
oleh orang lain. Juga orang yang memiliki penyakit menular dan yang bercacat
besar tidak diperkenankan.
Golongan
kedua dari pengikut Buddha ialah para upasaka atau para awam. Mereka itu adalah
orang, baik lelaki maupun perempuan, yang mengakui Buddha sebagai pemimpin
keagamaan-Nya, menerima ajarannya, tetapi yang tetap hidup di dalam masyarakat
dengan berkeluarga. Pada hakikatnya para upasaka tak dapat mencapai nirwana di
dalam hidupnya. Mereka boleh melaksanakan kelima larangan yang pertama dari
dasasila yang diharuskan bagi para rahib, yaitu tidak membunuh, tidak mencuri,
tidak hidup mesum dalam arti tidak berzina, tidak berdusta dan tidak
minum-minuman keras.
Tugas
para upasaka itu selanjutnya diuraikan umpamanya sebagai berikut: para orang
tua harus mengendalikan anak-anaknya dari perbuatan yang jahat, melatih mereka
kepada perbuatan baik, mengajarnya pengetahuan dan kesenian. Para anak harus
membantu orang tuanya, merawat miliknya, melayakkan diri untuk menjadi warisnya
dan sebagainya. Para murid harus menghormati gurunya, para guru harus memberi
pelajaran kepada muridnya dan sebagainya.[9]
BAB
III
PRAKTEK
KEAGAMAAN BUDDHA
a.
Ritual Keagamaan dalam Buddha
b.
Upacara Keagamaan dalam Agama Buddha
Pada
dasarnya agama Buddha tidak mengajarkan bahwa untuk mencapai Nirwana diperlukan
adanya upacara keagamaan seperti persembahyangan atau sesajian. Bagi kelompok
Buddha awwami yang berlaku adalah seperti :
1.
Mengucapkan
mantra-mantra dari kitab suci
2.
Mengikuti
ceramah atau wejangan keagamaan
3.
Menghaturkan
sesajian yang bermanfaat bagi umat Buddha
Tujuan
sikap dan perilaku amalan tersebut adalah untuk lebih memperkuat jiwa dan
kepercayaan diri sendiri agar semakin tebal keyakinan.
Jadi
upacara tersebut hanya cetusan hati nurani umat Buddha awami terhadap suatu
keadaan yang berguna bagi umat yang awam, sedangkan bagi para Puggala
(orang-orang suci) upacara tersebut tidak atau kurang diperhatikan dan
diperlukan. Dari macam-macam upacara umat Buddha terkandung beberapa macam
prinsip:
1)
Untuk
menghormati dan merenungi sifat-sifat luhur Sang Triratna
2)
Untuk
memperkuar keyakinan
3)
Untuk
membina batin yang luhur
4)
Untuk
mengulang dan merenungkan khotbah-khotbah sang Budha
5)
Untuk
melakukan annumodhana atau membagi perbuatan baik kepada orang lain.
Berdasarkan
prinsip-prinsip tersebut maka upacara yang dilakukan umat Budha pada umumnya
berisi pembacaan Paritta’, Khotbah agama Budha yang diselingi lagu-lagu
rohani. Upacara tersebut dilaksanakan secara harian, mingguan, setiap hari
upashota yaitu setiap tanggal 1 dan 15 berdasarkan penanggalan bulan dan pada
hari raya agama Buddha.
a.
Hari-hari raya Buddha
Hari-hari raya
agama Buddha adalah seperti Hari Raya Waisak, Asadha, Kathina dan Magha Puja.
1.
Hari
Raya Waisak
Hari raya ini
jatuh pada bulan purnama sidhi, bulan Mei-Juni, untuk memperingati tiga
kejadian penting yaitu:
a)
Saat
kelahiran Sidharta Gautama
b)
Saat
sang Petapa Sidharta mencapai pencerahan
c)
Saat
Sang Budha Gautama wafat dan mencapai Nirwana
2.
Hari
Raya Asadha
Hari raya ini
jatuh pada bulan sidhi bulan Juli-Agustus untuk memperingati hari ketika Sang
Budha mengajar dharma pertama kali kepada kelima muridnya yang disebut
“pemutaran roda dharma”. Pada hari ini pula Sang Budha pada pertama kalinnya
membentuk Sangha. Bagi para Bhikku hari ini adalah hari dimulainya menetap di
satu tempat tertentu selama tiga bulan selama musim hujan.
3.
Hari
Raya Kathina
Hari raya ini
dirayakan tiga bulan setelah hari Asadha sebagai ungkapan rasa terima kasih
kepada para Bhikku yang telah melaksanakan “vassa”, berdiam di suatu tempat
tertentu di daerah mereka.
4.
Hari
Raya Magha Puja
Hari raya ini
jatuh pada bulan purnama Februari-Maret untuk memperingati dua kejadian
penting:
a)
Berkumpulnya
2500 orang Arahat di Wihara Veluvana di kota Rajagraha untuk menghormati Sang
Budha, setelah mereka kembali dari tugas menyebar dharma
b)
Tahun
terakhir kehiudpan Sang Budha sewaktu ia di Cetiya Pavala (Vesali)
setelah memberi khotbah Inddipadadarma kepada para muridnya lalu membuat
keputusan untuk meninggalkan dunia tiga
bulan kemudian.[10]
b.
Upacara Perkawinan
Menurut
keputusan Sangha Agung Indonesia di Lembah Cipandawa tahun 1978 dinyatakan
bahwa perkawinan sebaiknya dilaksanakan di Vihara atau Cetya, atau jika tidak
ada di hadapan Altar Suci Sang Budha atau Bodhisatva atau terlebih dahulu Altar
disucikan dengan memanjat Paritta-Paritta Vandana, Trisarana, Pancasila
dan Puja. Kemudian yang berhak untuk melaksanakan Upacara Perkawinan
ialah Pandita Agama Budha mulai dari Upasaka Balu Anu Pandita, Upasaka Anu
Pandita, Upasaka Pandita dan Maha Pandita. Jalannya upacara sebagai berikut :
1)
Ketika
kedua mempelai memasuki ruang upacara seyogianya dinyanyikan lagu ”Aku
Berlindung” bait 1.3.5.7.
2)
Kedua
mempelai langsung menuju altar lalu membakar dupa dan melakukan namaskara tiga
kali. Setelah selesai maka upacara perkawinan dimulai dengan memanjatkan Paritta
Vandana dan Trisarana. Upacara dipimpin Pandita dan para hadirin
mengikuti.
3)
Pandita
memberikan wejangannya tentang kata-kata Sang Budha tentang perkawinan....,
4)
Pandita
bertanya kepada calon suami ...calon istri ...; kemudian mengikuti kata-kata
Pandita;
Seseudah itu
petugas mengikat benang kuning atau pita kuning atau kain kuning pada tangan kanan
pria dan tangang kiri wanita sebagai lambang persatuan dalam Dharma dan lalu
memasang kerudung kain warna kuning muda sebagai lambang kebijaksanaan dalam
lindungan dharma.
5)
Pandita
berkata, setelah saya mendengar pernyataan saudara berdua, bahwa ingin agar
perkawinan saudara berdua disahkan...maka dengan ini saya... menyatakan bahwa
saudara berdua sebagai suami istri yang sah, atas nama Sang Budha, Dharma dan
Sangha Semoga Cinta Kasih (Metta) Kasih Sayang (Karuna) dan Rasa
Sepenanggungan (Mudita) yang tiada akhir, selalu meliputi anda berdua,
mulai dari sekarang hingga tercapai Nirwana.
6)
Pemberkahan,
kalau ada Bhikkhu atau Bhikkhuni atau Samanera atau Samaneri, mereka memberkahi
kedua mempelai dengan memercikkan air suci kepadanya. Kalau tidak ada Anggota
Sangha boleh pandita dan kemudian diikuti orang tua mereka kedua pihak.
7)
Kata
sambutan, diberikan sesepuh sebagai petuah-petuah........ selanjutnya disusul
dengan pemberian selamat.....
8)
Upacara
diakhiri dengan melagukan Jaya Manggala Manavaka Gatta’ bait pertama dan
bait terakhir, atau ‘Chatta Manavaka Vimana Gatta atau Perkawinan
Bahagia, kemudian kedua mempelai dipersilahkan meninggalkan ruangan.[11]
c.
Upacara kematian
Upacara ini
dipimpin oleh seorang Pengacara atau Pemmpin Upacara dengan pelaksanaan sebagai
berikut:
1)
Untuk
memberkahan jenazah disediakan satu gelas air putih bersih.
2)
Pemimpinn
upacara membawa 2 atau 4 atau 6 batang dupa yang diikuti beberapa peserta
mengadakan prosesi mengelilingi jenazah hingga tiga kali (bila tenpat tidak mengizinkan
cukup pemimpin upacara memasang dupa saja).
3)
Selesai
prosesi baru dimulai membaca paritta-paritta dengan tenang dan tentram, serta
selalu mengikuti pemimpin, jangan mendahului pemimpin upacara. Paritta-paritta
yang dibaca ialah:
a.
Namo
Sanghyang Adi Buddhaya (3x)
b.
Vandana
ditambah dengan Namo Sabbe Buddhaya dan Namo Sabbe
Boddhisatvaya-Mahasattvaya.
c.
Trisarana
d.
Pancasila
(khusus untuk upa dan upi)
e.
Budha
Nussati
f.
Dhamma
Nussati
g.
Sangha
Nussati
h.
Karaniya
Metta Sutta
i.
Vijaya
Sutta
j.
Maha
Karuna Dharani
k.
Amitabha
Sutra
l.
Ettavata.[12]
c.
Tempat-Tempat Suci
d.
Perbandingan agama Buddha dengan agama Islam
|
BUDDHA
|
ISLAM
|
Tuhan
|
Brahma
|
Allah
|
Kitab Suci
|
Tripitaka
|
Al-Qur’an
|
Pembawa ajaran
|
Nabi Muhammad SAW
|
|
Pemimpin Umat
|
Rahib/Bikhsu
|
Kyai/ulama
|
Waktu Ibadah Ibadah
|
Minggu serta setiap tanggal 1, 8, 15, dan 23 penanggalan Chandra
Sengkala
|
Sholat 5 waktu tiap hari
|
Tempat Ibadah
|
Masjid, musholla
|
|
Aliran/Madzhab
|
Imam Syafi’i, Hanafi, Hambali, Maliki,
|
|
Keimanan
|
Empat kebenaran yang mulia (4 aryasatyani)
|
Rukun Iman yaitu ada 6
|
Hari Raya
|
Idul Fitri dan Idul Adha
|
BAB IV
PENUTUP
a.
Kesimpulan
b.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
Mudjahid, Abdul
Manaf. 1994. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Shalaby, Ahmad. 2001. Agama-agama Besar di India. Jakarta:
Bumi Aksara.
Hadikusuma,
Hilman. 1983. Antropologi Agama Bagian I. Lampung: PT Citra Aditya.
Mansur,
Sufa’at. 2011. Agama-agama Besar Masa Kini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://id.wikipedia.org/wiki/Siddhartha_Gautama, di akses tanggal 10 September 2012, 15:13 wib
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Agama_Buddha, di akses tanggal 10 September 2012, 15:13 wib
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha, di akses tanggal 10 September 2012, 15:13 wib
[1] Mudjahid Abdul
Manaf, Sejarah Agama-Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm.
24-26
[2]Ahmad Shalaby, Agama-agama
Besar di India (Jakarta: Bumi Aksara, 2001) hlm. 170-172
[3]Sufa’at Mansur,
Agama-agama Besar Masa Kini (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 91
[4] Ibid., hlm.
93
[5] Ibid., hlm.
96
[6] Ibid., hlm.
101
[7] Ibid., hlm.
104
[8] Ibid., hlm.
78
[9] Ibid., hlm.
90
[10] Hilman
Hadikusuma, Antropologi Agama Bagian I (Lampung: Citra Aditya,
1983), hlm. 240-241
[11] Ibid, hlm 242-243
[12] Ibid, hlm
243-244
No comments:
Post a Comment