Makalah UIN MALIKI Malang
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ketika agama menjadi macet disebabkan etnis, nasionalisme atau
modernisasi dan beberapa kesalahpahaman umum sekitar paradigma sekularisasi
yang menduganya dengan penyebaran atheisme.
Para
ahli sosiologi mengkaji hubungan antara agama dan perubahan sosial.
Sehingga terkesan bahwa agama menghambat perubahan sosial. Pandangan ini
tercermin dalam sebuah ungkapan “bahwa agama adalah candu masyarakat”, bahwa
karena ajaran agamalah maka rakyat menerima begitu saja nasib buruk mereka dan
tidak tergerak untuk berbuat sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Pandangan ini
ditentang oleh sosiolog yang lain yang menunjukkan bahwa dalam masyarakat kaum
agama merupakan kaum revolusioner yang memimpin gerakan sosial untuk mengubah
masyarakat.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dan ruang lingkup agama?
2.
Apa
pengertian dan perkembangan sekulerisme?
3.
Bagaimana
hubungan dan pengaruh agama terhadap sekulerisme?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mendeskripsikan pengertian dan ruang lingkup agama.
2.
Untuk
mendeskripsikan pengertian dan perkembangan sekulerisme.
3.
Untuk
mendeskripsikan hubungan dan pengaruh agama terhadap sekulerisme.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau
prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama
lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan
kepercayaan tersebut.
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila:
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara
kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1%
dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3%
Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya[1].
Pemahaman sosiologi atas agama tidak ditimba dari segi “pewahyuan”
yang datang dari “dunia lain, akan tetapi diangkat dari eksperiensi atau
pengalaman konkret sekitar agama yang dikumpulkan dari sana-sini baik dari masa
lampau (sejarah) maupun dari kejadian-kejadian sekarang. Dengan kata singkat,
definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak
pernah memberikan definisi yang evaluatif (menilai). Sosiologi angkat tangan
mengenai hakekat agama, baik atau buruknya agama atau agama-agama yang tengah
diamatinya. Dari pengamatan ini sosiologi hanya sanggup memberikan definisi
yang deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang mengungkapkan apa yang
dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.
Menurut aliran fungsionalis, mereka memandang agama itu sebagai
suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat
berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, maupun nasional.
Maka dalam tinjauannya yang dipentingkan ialah daya guna dan pengaruh agama
terhadap masyarakat.
Sejarah mengungkapkan bahwa manusia itu berusaha dan bergerak pada
dua bidang kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan kebahagiaan sekarang, dan kebutuhan
akan kebahagiaan nanti. Dua jenis kebutuhan yang mendasar ini dapat dikatakan dengan
istilah yang lebih abstrak sebagai kesejahteraan dalam dunia empiris “nyata”
dan dunia supra-empiris. Yang satu terletak di sini dan kini, yang lain
digambarkan sebagai di atas dunia ini, dunia transenden, yang tak terjangkau
oleh pengalaman (empiris) manusia, karena ada di luar pengalaman manusia.
Jika seseorang mengikuti sejarah agama menurut teori evolusi dari situ orang akan diperkenalkan
perkembangan bentuk-bentuk keagamaan dari bentuk yang masih sederhana hingga
bentuk yang modern. Melalui urutan klasik muncullah pra-animisme yang meliputi
magisme, fetisyisme, animisme, hingga kemudian muncul religi atau agama. Dalam
pra-animisme manusia menggunakan kekuatan “gaib” (supra-empiris) yang
dipercayai berada di dalam benda-benda tak bernyawa, seperti pada batu yang
aneh, besi (keris), dsb. Dalam animisme manusia berhubungan dengan dengan
makhluk yang bernyawa, khususnya makhluk halus atau roh-roh yang dipercayai
memiliki kekuatan lebih tinggi daripada manusia secara kategorial. Misalnya
para arwah nenek moyang, roh-roh yang dipercayai menguasai sumber mata air,
sungai, lautan, gunung, dsb. Dalam religi, manusia mengadakan hubungan dengan
(roh yang tertinggi) yang dipercayai memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang
oleh agama-agama besar disebut TUHAN, yang menciptakan dan menguasai alam
semesta.
Dengan uraian di atas, maka dapat didefinisikan bahwa agama ialah
suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos
pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya
untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya.
Dari uraian di atas, ada beberapa unsur-unsur yang dapat kita
rangkum, yakni :
1.
Agama
disebut sebagai sejenis sistem sosial. Di sini menjelaskan bahwa agama adalah
suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem dapat
dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat
saling berkaitan dan terarahkan pada tujuan tertentu.
2.
Agama
berporos pada kekuatan-kekuatan non-empiris. Ungkapan ini menyatakan bahwa
agama khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang dihuni
oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan manusia dan yang
dipercayai sebagai arwah, roh-roh, dan roh tertinggi.
3.
Manusia
mendayagunakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri dan
masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud kepentingan (keselamatan) ialah
keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan di “dunia lain” yang dimasuki
manusia sesudah kematian[2].
2.2
Ruang Lingkup dan
Unsur-unsur Agama
Secara garis besar ruang lingkup agama mencakup
:
1.
Hubungan manusia dengan tuhannya
Hubungan
dengan tuhan disebut ibadah. Ibadah bertujuan untuk mendekatkan diri manusia
kepada tuhannya.
2.
Hubungan manusia dengan manusia
Agama
memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan dan kemasyarakatan. Konsep
dasar tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran agama mengenai
hubungan manusia dengan manusia atau disebut pula sebagai ajaran kemasyarakatan.Sebagai
contoh setiap ajaran agama mengajarkan tolong-menolong terhadap sesama manusia.
3.
Hubungan manusia dengan makhluk lainnya atau
lingkungannya.
Di setiap
ajaran agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga keharmonisan antara makluk
hidup dengan lingkungan sekitar supaya manusia dapat melanjutkan kehidupannya.
Menurut Leight,
Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok :
1. Kepercayaan
agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi.
2. Simbol agama,
yakni identitas agama yang dianut umatnya.
3. Praktek
keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya, dan hubungan
horizontal atau hubungan antar umat beragama sesuai dengan ajaran agama.
4. Pengalaman
keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh
penganut-penganut secara pribadi.
5. Umat beragama,
yakni penganut masing-masing agama.
2.3 Pengertian
Sekulerisme
Kata-kata “sekuler”
dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda, dan lain-lain).[3]
Menurut kamus bahasa Indonesia “sekular” artinya bersifat duniawi kebendaan
(bukan bersifat keagamaan atau kerohanian).[4]
Kata sekuler yang diadopsi dari kata latin “Seaculum, pada mulanya
berarti “masa atau “generasi“ dan juga memiliki arti konotasi rangkap ditandai
dengan waktu yang tepat. Waktu menunjukkan pengertian sekarang atau pada masa
kini, dan waktu menunjukkan pada pengertian dunia atau duniawi. Tekanan
maknanya terletak pada suatu waktu tertentu atau periode tertentu di dunia yang
dipandang sebagai suatu proses sejarah.[5]
Sekulerisasi,
menurut Harun Nasution adalah proses penduniawian, yaitu proses melepaskan
hidup duniawi dari kontrol agama, dengan demikian sekulerisasi adalah proses
melepaskan diri dari agama dan bisa berakibat atau mengarah kepada atheisme.[6]
Harvey Cox
menerangkan perbedaan antara sekularisasi dengan sekularisme sebagai berikut:
Bagaimanapun,
sekularisasi sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup.
Ia muncul dalam samaran-samaran yang berbeda-beda, tergantung kepada sejarah keagamaan
dan politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di mana pun ia timbul, ia
harus dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkan adanya proses
sejarah, hampir pasti tidak mungkin diputar kembali, di mana masyarakat dan
kebudayaan dibebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan
pandangan dunia metafisis yang tertutup. Sekularisasi pada dasarnya
perkembangan pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama untuk suatu
idiologi, suatu pandangan dunia baru
yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai “agama baru” (Sekularism
is the name for an ideology, a new closed world view which fungtion very much
like a new religion).
Juga sekularisme adalah suatu paham, yaitu
paham keduniawian, suatu paham yang tertutup, suatu sistem idiologi tersendiri
dan lepas dari agama atau penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan
duniawi ini. [7]
Dalam ensiklopedi Britama disebutkan bahwa sekulerisme merupakan gerakan
kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan manusia dari kehidupan akhirat dengan
semata-mata berorientasi kepada dunia.[8]
Sebagai sebuah
paham, sekulerisme mengatakan bahwa kehidupan duniawi ini adalah mutlak dan
terakhir tidak ada kehidupan sesudahnya yang biasanya agama-agama menyebutnya dengan akhirat (hari kemudian, hari
kebangkitan, dan sebagainya).[9]
2.4 Proses Lahirnya Sekularisasi dan Perkembangannya
Sekularisme
atau proses sekularisasi berasal dari pengalaman sejarah eropa. Hal ini berarti
pemisahan secara bertahap “hampir semua aspek kehidupan dan pemikiran dari perkumpulan-perkumpulan
dan tujuan-tujuan kependetaan”, suatu proses yang berkembang di Inggris pada
abad ke enam belas dengan peralihan kekuasaan politik dari arena keagamaan ke
negara dan dalam kasus hukum dari kehakiman yang religius ke sekular.
Faktor lain
yang menyebabkan sekularisasi di Barat tumbuh subur adalah dalam teks injil
tertulis “Biarlah kaisar mengurus yang menjadi bagiannya dan Allah
mengetahui apa yang menjadi tugasnya”.[10]
Dalam
pengalaman sejarah Eropa yang sangat bervariasi, proses sekularisasi hidup
bersamaan dengan intensifikasi keagamaan pada tingkat persolan dan rakyat.
Beberapa sosiolog berpendapat bahwa variasi-variasi ini mengindentifikasikan
adanya mitologi sekularisme yang mengasumsikan adanya pada abad klasik, yang
kemudian di trasnformasikan ke dalam abad sekuler; mereka berpendapat bahwa
aspek-aspek sekularisme dan religiusitas hidup berdampingan, dan masih tetap
hingga kini. Sekularisme tidak berarti
merosotnya arti penting agama, baik pada masa praindustri maupun masa
industri. Praktek dan kepercayaan agama sebagai iman, semakin tebal dan bukan
semakin luntur selama sekularisari negara dan kemudian menyusul revolusi
Prancis dan revolusi industri.
Sekularisasi merupakan
sebuah proses yang panjang. Paradigma sekularisasi bukanlah sebuah konsep yang
sederhana. Seorang sosiolog Steve Bruce dalam karyanya God is Dead:
Sekularization in the West menjelaskan proses sekularisasi itu dimulai dari
reformasi protestan lalu turun kepada relativisme, pembagian dalam
bagian-bagian (compartmentalization) dan kebebasan pribadi (privatization).
Bruce juga menyentuh kekuatan-kekuatan yang berlawanan dengan sekularisasi,
ketika itu agama menjadi macet disebabkan etnis, nasionalisme atau modernisasi
itu sendiri dan atas beberapa kesalahpahaman umum sekitar paradigma
sekularisasi yang menduganya dengan penyebaran atheisme.
Ketegasan-ketegasan
sekularisasi oleh para ahli-ahli sosiolog terkemuka terletak pada beberapa
teori penting sebagai berikut :
1.
Auguste Comte (1798-1857), seorang sosiolog dari perancis
mengemukakan konsep yang dikenal dengan hukum tiga tahap (the law of three
stages) yang berisikan tahap-tahap perkembangan pikiran manusia: (a) tahap teologis ialah tingkat pemikiran manusia
bahwa semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu
kekuatan yang berada di atas manusia (b)
tahap metafisis, pada tahap ini manusia percaya bahwa gejala-gejala di dunia ini disebabkan. Manusia belum berusaha
untuk mencari sebab dan akibat gejala-gejala tersebut (c) tahap positif,
merupakan tahap di mana manusia telah sanggup untuk berpikir secara ilmiah.
Pada tahap ini berkembanglah ilmu pengetahuan.[11]
2.
Karl Marx (1818-83), menyatakan agama sebagai candu
masyarakat.
3.
Emile Durkheim (1858-1917), menyatakan agama sebagai fungsi
sosial. Ia percaya agama sebagai sistem kognitif adalah salah dan
bahwa manusia mendapatkan kebenaran melalui alam dan ilmu-ilmu sosial.
4.
Max Weber (1864-1920) bahwa kemoderenan berlandaskan rasio
bukan agama karena agama telah mengecewakan dunia.
5.
Bryan Wilson, seorang sosiolog modern menyatakan bahwa
kemoderenan berdasarkan kepada rasional dan sosial.
Para ahli sosiologi mengkaji
hubungan antara agama dan perubahan sosial. Ada yang berpendapat bahwa agama
menghambat perubahan sosial. Pandangan ini tercermin dalam ucapan Marx “bahwa
agama adalah candu masyarakat”, menurutnya karena ajaran agamalah maka rakyat
menerima begitu saja nasib buruk mereka dan tidak tergerak untuk berbuat
sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Pandangan ini ditentang oleh sosiolog yang lain yang menunjukkan bahwa dalam
masyarakat kaum agama merupakan kaum revolusioner yang memimpin gerakan sosial
untuk mengubah masyarakat. Contoh yang dapat diajukan untuk mendukung pendapat
demikian ialah antara lain: berbagai gerakan perlawanan kaum ulama di tanah air
terhadap penjajahan Belanda, kepeloporan para rohaniawan Katolik di Polandia
terhadap rezim komunis dan gerakan para Ayatullah yang berhasil menjatuhkan
rezim Shah di Iran.
Dalam banyak masyarakat,
perubahan sosial sering diiringi dengan gejala sekularisasi, yang oleh sebagian
sosiolog seperti Giddens didefenisikan sebagai proses melalui mana agama
kehilangan pengaruhnya terhadap berbagai sendi kehidupan manusia dan oleh
sosiolog lain seperti Light, Keller dan Calhoun didefenisikan sebagai proses
melalui mana perhatian manusia dan institusinya semakin tercurahkan pada hal
duniawi dan perhatian terhadap hal yang bersifat ruhaniah semakin berkurang.
Para ahli sosiolog mengemukakan bahwa proses ini seringkali memancing reaksi
dari kalangan agama, yang dapat berbentuk perlawanan maupun penyesuaian diri.
Banyak penyebab perubahan
sosial, antara lain: ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan penggunaannya
oleh masyarakat, komunikasi dan transformasi, urbanisasi, perubahan atau peningkatan harapan dan tuntutan manusia (rising demands)
yang semuanya ini mempengaruhi dan mempunyai akibat terhadap masyarakat yaitu perubahan masyarakat melalui kejutan dan karenanyalah terjadi
perubahan sosial yang disebut rapid social change.[12]
Akhinya yang harus kita
lakukan bagaimana menggunakan seluruh infrastruktur atau fasilitas yang
timbulkan oleh perubahan tadi tidak sampai menyebabkan ketergantungan kita
terhadap agama putus begitu saja dan membawanya
kepada arah sekularisasi. Namun justru sebaliknya masuknya suatu budaya,
menjadi khasanah penghayatan tersendiri untuk lebih mempertegas terhadap
kebenaran-kebenaran agama, baik secara dogmatis maupun rasional karena memang
sebagaimana disimpulkan Bruce bahwa sekularisasi tidak digerakkan oleh science ataupun rasionalitas tetapi bagaimanapun
disebabkan oleh pembedaan (diversity) dan pilihan masing-masing
individu.
Beberapa Negara Islam yang sekuler
adalah sebagai berikut:
1.
Kesultanan
Turki Usmaniyah
Turki Usmaniyah
sebagai kekuasaan birokrasi telah melembagakan otoritas sipil maupun agama
dalam administrari negara dan dalam pribadi penguasa, sultan atau khalifah.
Selama abad kesembilan belas, gerakan modernisari di sponsori oleh negara
menciptakan institusi sekular yang bertujuan memperkenalkan metode belajar, sistem hukum, dan
teknik-teknik militer Barat. Institusi-institusi ini, dan para elit yang
menjalankannya, tidak merusak organisasi-organisasi Muslim serupa sebagai
penggati mereka: yang terakhir ini tetap hidup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
penduduk Muslim. Proses reformasi ini disebut Tanzimat atau proses reorganisasi
mendapat perlawanan sepanjang abad. Jika
Turki tidak menerima peradaban
Eropa secara utuh, Turki tidak akan pernah memerdekakan dirinya dari intervensi
dan pengawasan Eropa serta akan kehilangan harga dirinya, hak-haknya dan bahkan
kemerdekaannya.
2.
Dunia
Arab
Berbagai bentuk
pemerintahan berlangsung di Dunia Muslim Arab, berkisar dari Negara Arab Saudi
yang beridiologi Wahhabiyah hingga rezim sosialis sekular di Irak dan Suriah.
Arab Saudi karena hubungan yang sudah berlangsung dua abad antara keluarga
Sa’ad dan gerakan reformis Wahhabiyah, memproklamasikan dirinya sebagai negara
Islam. Secara teknis, penguasa-penguasanya merupakan pejabat-pejabat sekular
yang memerintah sesuai dengan syariat sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama.
3.
Asia
Selatan dan Tenggara
Mayoritas
penduduk Muslim dunia tinggal di Asia Selatan dan Tenggara, terbentang dari
Pakistan hingga Indonesia. Wilayah ini mempunyai kondisi giografis dan
politik yang sangat beragam serta adanya
kelompok-kelompok agama dan etnis yang harus diakomodasi oleh ummat Islam itu
sendiri. Hal ini khususnya terjadi di India dan Malaysia yang telah memilih
untuk mengintensifkan identitas-identitas nasional keagamaan sebagai lawan
terhadap idiologi sekular, terutama di India, tempat gerakan sempalan Hindu
telah meningkatkan tekanan pada tahun-tahun terakhir ini. Setelah
kemerdekaannya, India memproklamirkan diri sebagai negara demokrasi sekular
dengan identitas keagamaan tersembunyi dalam ikatan bersama nasionalisme India.
4.
Iran
Satu-satunya masyarakat
Muslim yang kini diperintah oleh petugas-petugas agama dan hukum Islam adalah
Iran. Sudan secara prinsip adalah negara Islam, dan banyak oposisi terhadap
pelaksanaan syariat. Pengalaman Iran menunjukkan kelemahan konsep
negara-nasional sekular dalam suatu masyarakat yang penguasa-penguasa
tradisional telah melaksanakan kontrol langsung terhadap seluruh negara. Bagi
kebanyakan rakyat Iran, nasionalisme Iran mempunyai nuansa keagamaan. Kegagalan
revolusi 1906 karena intrik Inggris, Rusia dan Syah, tidak menghapuskan ingatan
ide-ide tersebut. Kemunculan Dinasti Pahlavi pada 1925 dibentuk oleh Kolonel
Reza Syah yang berusaha menyamai Mustafa Kemal Atururk dan menciptakan negara sekular
dari atas tidak juga dapat menghapuskan ide-ide itu. Periode Pahlevi
(1925-1979) merupakan periode sekular ketika upaya-upaya untuk memaksakan
tatanan modernisasi negara pada akhirnya menyulut perlawanan massa yang
dimotori oleh tokoh-tokoh agama syiah yang otoritasnya belum pernah secara
penuh ditumpas. Sekularisme sebagai
suatu yang diimpor dari asing dihubungkan degan Amerika yang berlangsuung
secara gradual terhadap Iran dan terhadap penguasa kedua Pahlavi, Muhammad Reza
Syah.[13]
2.5 Pandangan Agama Terhadap Sekularisasi
Para sejarahwan
mendefinisikan sifat atau batasan sekularisme dalam suatu masyarakat atau
budaya sebagai hal yang mengindikasikan “penempatan” agama dalam masyarakat
atau budaya tersebut: apakah otoritas yang berkuasa bersikap religius, apakah
monarki-ketuhanan atau pejabat keagamaan mengatur hukum-hukum yang dianggap
bersumber dari wahyu?; apakah negara berpenampakan sekular, diperintah oleh
orang-orang di luar hierarki agama, tetapi masyarakat dan budayanya bersifat
agamis, dengan otoritas negara yang diperkuat oleh hierarki tersebut
(sebagaimana yang terjadi dalam Kristen
pada abad pertengahan dan di Spanyol sampai abad ke-20)?’ atau apakah
sanksi untuk pemerintah dan hukum-hukumnya yang di ambil dari legitimasi
non-agama, dengan agama hanya sebagai persoalan keimanan pribadi?.
Di sisi lain pergolakan
antara agama dan sekuler tampaknya tak akan pernah putus-putusnya, meskipun
secara jelas tidak terlihat pertentangan tersebut.
Dalam agama
Kristen misalnya, masyarakat sekuler tidak mengenal adanya gereja. Upaya-upaya
intelektual teolog-teolog Kristen untuk mengetahui sifat Tuhan (sebagai cinta)
dan misteri-misteri Trinitas hanya formalisme kosong bila dibandingkan
pengalaman sufi tentang Tuhan (karena pengalaman ini paling tidak punya
pengaruh yang positif dan memperkaya pembinaan kepribadian, walaupun pada
umumnya bersifat individual dan asosial). Tetapi sumber keruntuhan
modernitas dalam bentuk sekularisme,
adalah jauh lebih buruk dari pada sumber keruntuhan Sufisme Islam atau pun
teologi Kristen zaman pertengahan, karena sekularisme menghancurkan kesucian
dan universalitas (transendensi) semua nilai-nilai moral suatu fenomena yang
efek-efeknya baru saja mulai terasakan, terutama paling jelas di masyarakat
Barat. Sekularisme dengan sendirinya adalah atheistis. Sepanjang menyangkut penegakan suatu tata sosial yang didasarkan
pada etika.[14]
Sekularisme muncul di dunia Islam di masa-masa pramodernis karena macetnya
pemikiran Islam pada umumnya, dan lebih khusus lagi, karena kegagalah hukum dan
lembaga-lembaga syari’ah untuk mengembangkan diri guna memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berubah.[15]
Menurut seorang
penulis rekonstruksi yang paling produktif, Gary North,” merupakan kewajiban
moral umat Kristen untuk menguasai kembali setiap intitusi demi Yesus Kristus”,
dia merasakan hal ini khususnya di Amerika Serikat, di mana hukum sekular di
pandang sebagai Supreme Court (hukum tertinggi dan dipertahankan oleh
para politisi liberal yang sedang bergerak ke arah apa, yang oleh Rushdoony dan
yang lainnya, disebut sebagai sebuah kebijakan yang menyimpang dari ajaran
Kristen. Utamanya yang menyangkut persoalan aborsi dan homoseksualitas. Namun,
bagaimanapun juga, apa yang paling diinginkan oleh kalangan rekonstruksionis lebih
sekedar penolakan terhadap sekularisme. Sebagaimana halnya dengan para
teolog lainnya.[16]
Sekali lagi,
sekularisme adalah paham keduniawian. Paham itu mengatakan bahwa kehidupan
duniawi ini adalah mutlak dan terakhir, tiada lagi kehidupan sesudahnya, yang
biasanya agama-agama menamakan hari kemudian, hari kebangkitan, dan lain-lain.
Kita semua yang hidup ini, adalah makhluk sekular, artinya kita sekarang masih
berada di dalam alam sekular, duniawi, karena belum pindah ke alam akhirat,
alam baka yaitu mati. Tetapi bagi penganut sekularisme, mereka adalah
orang-orang sekularis, artinya orang-orang yang menjadikan sekularisme sebagai
sentral keyakinannya. Dalam perspektif Islam, sekularisme adalah perwujudan
modern dari paham dahriyah, seperti di isyaratkan dalam al-Quran, surat
Jatsiah ayat 24:
(#qä9$s%ur $tB }Ïd wÎ) $uZè?$uym $u÷R9$# ßNqßJtR $uøtwUur $tBur !$uZä3Î=ökç wÎ) ã÷d¤$!$# 4 $tBur Mçlm; y7Ï9ºxÎ/ ô`ÏB AOù=Ïæ ( ÷bÎ) öLèe wÎ) tbqZÝàt ÇËÍÈ
“Dan mereka
berkata: "Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita
mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain
masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu,
mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Jatsiah: 24)
Jadi jelas,
sekularisme tidak sejalan dengan agama, khususnya agama Islam.[17]
Sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses peduniawian tanpa paham
keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah jadi dan terus akan terjadi dalam
sejarah. Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan
koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya hari
kemudian dan prinsip ketuhanan.
Sekularisasi,
dalam bentuk demikian, selalu menjadi keharusan bagi setiap umat beragama,
khususnya umat Islam, jika pada suatu saat mereka kurang memberikan yang wajar
kepada aspek duniawi kehidupan ini.
2.6 Agama dalam Masyarakat Sekuler
Masyarakat sekuler tidak
memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Terlalu dini untuk mengatakan
bahwa masyarakat ini berfungsi tanpa agama. Masyarakat sekular dewasa ini,
dimana pemikiran religius, praktek-praktek religius dan kebiasaan-kebiasaan
religius mempunyai peran yang kecil saja. Bagaimanapun adalah ahli waris
nilai-nilai, aturan-aturan dan orientasi keagamaan dimasa lampau hingga saat
ini belum ada masyarakat yang benar-benar sekular. Masih perlu dilihat apakah
masyarakat sekular akan mampu secara efektif mempertahankan ketertiban umum
tanpa kekerasan institusional apabila pengaruh agama semakin kurang. Barangkali
dalam beraksi terhadap institusional, impersonalitas dan birokrasi masyarakat
moderen yang semakin bertambah, agama akan memperoleh fungsi-fungsinya yang
baru. tetapi barangkali bukan agama yang menerima nilai-nilai institusional
baru yaitu agama yang ekumenisme, melainkan agama yang bersifat sekte-sekte.
Kita mungkin dapat berkata
bahwa perkembangan ini yang jelas merupakan bagian dari proses sekularisasi
adalah juga bagian dari proses meningkatnya rasionalitas manusia itu sendiri,
yaitu kesadarannya akan fakta-fakta yang sesungguhnya. Namun kita juga bertanya apakah
kerja yang dibuat lebih pantas untuk dipikul pekerja dan pelaksanaan lebih
berharga bagi masyarakat yang tidak
terdapat satu pengorbanan atau pengabdian tanpa pamrih. Masyarakat yang tidak religius telah berusaha
mencari jalan lain untuk menimbulkan motivasi bekerja, memenangkan i’tikad baik
mereka yang tidak berpamrih.[18]
2.7 Pengaruh Sekularisasi dalam Kehidupan
Sekularisme menginginkan
kemajuan dan kebebasan, kebebasan itu adalah; kebebasan dari agama, kebebasan
pribadi, dan kebebasan masyarakat. Maka yang terjadi dari akibat
kebebasa-kebebasan itu ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif.
Pada masa saat ini banya terjadi kejahatan yang disebabkan oleh reaksi terhadap
sekularisasi.
Terjadinya pemboman di mana (terorisme), seperti peledakan Oklahoma City pada tahun 1995, salah satu
bagian dari The Turner Diaries oleh William Pierce.juga berbisikan
pelaku pemboman seperti Eric Robert Rudolph pemboman klinik-klinik aborsi di
Brimagham, Alabama dan Atlanta; Georgia, peledakan sebuah bar kaum lesbian di Atlanta, dan
peledakan bom pada Olimpiade Atlanta 1996. Secara umum, peristiwa-peristiwa
tersebut memiliki keterkaitan dengan apa yang oleh kebanyakan aktivis Kristen
disebut sebagai immoralitas seksual; aborsi dan homoseksual. Menurut Michael
Bray, kemarahan Rudolph terhadap panitia Olimpiade sebagian dikarenakan karir pembawa obor olimpiade, yang setuju dengan
sebuah ordinasi yang mengatakan yang mengatakan bahwa “ sodomi tidak sesuai
dengan nilai-nilai komunitas”. Rudolph menginterprestasikan jalan memutar dari
perjalanan obor sebagai pandangan pro-gay dari sebafian panitia. Namun, dalam pengertian yang luas,
Rudolph merasa prihatin kepermisifan otoritas-otoritas sekuler di Amirika
Serikat dan Internasionalisme Atheistik
yang mengendalikan satu sisi yang Michael Bray menyebutkan “The culture war”
(perang kebudayaan) dalam masayarakat modern.[19]
Menurut William Pierce, upaya-upaya seperti itu diperlukan karena pola pikir
sekularisme diktatorial telah diterapkan pada masyarakat Amerika, sebagai hasil
dari sebuah konspirasi yang rumit, yang dirancang oleh orang-orang yahudi dan
kaum liberal garis-keras berkaitan dengan pencabutan kebebasan masyarakat
Kristen dan tautan-tautan spritual. Abouhalima menjelaskan bahwa keterlibatan
Amerika dalam politik agama dukungannya terhadap negara Israel dan Musuh-musuh
Islam”seperti Mubarak Mesir bukan hasil dari agama Kristen. Tetapi, hal itu berkaitan
dengan idiologi sekularisme Amerika, yang menurut Abouhalima, tidak netral, tapi memusuhi agama, khususnya Islam.
Modernitas pencerahan
memproklamirkan kematian agama. Modernitas tidak hanya menandai kematian
otoritas institusional gereja dan
kontrol ulama, tapi juga hilangnya agama idiologis dan intelektual di
tengah-tengah masyarakat. Penalaran ilmiah dan klaim-klaim moral dari kontak
sosial sekular menggantikan agama dan gereja sebagai basis kebenaran dan
identitas sosial. Kiblat dari devaluasi
agama merupakan” krisis umum dari keyakinan keagamaan”, menurut Bourdieu
“krisis bahasa keagamaan dan kemampuan performatifnya adalah bagian dari kekacauan
dan merupakan suatu pandangan dunia yang telah usang;”disentegrasi hubungan sosial seluruh alam semesta”. Dalam menghadapi disentegrasi
ini, kebangkitan aktivitas-aktivitas keagamaan memproklamirkan kematian sekularisme.
Mereka menyingkirkan upaya-upaya budaya sekular dan bentuk-bentuk
nasionalismenya untuk menggatikan agama. Mereka menentang pandangan bahwa masyarakat sekular dan negara-bangsa modern dapat memberika tabiat moral yang
menyatukan komunitas-komunitas nasional atau kekuatan idiologis untuk menopang
negara-negara yang diliputi oleh kegagalan etnir, ekonomi dan militer.
Apakah kebangkitan terorisme
agama memiliki keterkaitan dengan perubahan-perubahan global? Kita tahu bahwa
beberapa kelompok yang terkait dengan kekesaran dalam masyarakat industri memiliki sebuah agenda anti modernis. Secara ektrim, akhir dari penolakan
agama terhadap modernisme Amerika Serikat oleh anggota-anggota kelompok
anti-aborsi Amerika dan lain-lainnya.[20]
Akibat dari kekecewaan
terhadap nilai-nilai Barat modern adalah apa yang disebut” hilangnya keyakinan”
dalam bentuk idiologi kebudayaan, nasionalisme sekular.[21]
Meskipun beberapa tahun lalu merupakan ide yang gemerlap, ide tersebut kini
benar-benar telah menjadi tempat yang umum bagi nasionalisme sekular tersebut,
prinsip bahwa pandangan yang lebih berakar dalam suatu tatanan sekular daripada
sebuat identitas keagamaan ataupun etnis sedang mengalami krisis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gerakan sekularisasi menjadi
keharusan bagi setiap umat beragama. Sekularisasi mempunyai efek negatif
seperti pemboman yang terjadi khususnya di negara-negara maju, karena ketidak
puasan terhadap pemerintah yang sekular.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto,
Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Madjid, Nurcholish. 1998. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan.
Bandung: Mizan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
al-Attas, Muhammad al-Naquib. 1986. Dilema Kaum Muslimin,
terj. Anwar Wahdi Hasi dan H.M. Mukhtar Zoemi. Surabaya: Bina Ilmu.
Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional. Bandung: Mizan,
Qardhawi, Yusuf. 2000. Sekuler Ekstrim. Terj. Daat
Nuhani Idris. Jakarta: Pustaka
al-Kautsar.
Arkoun, Muhammad. 1998. Islam Modernitas. Jakarta:
Paramadina.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi: Suatu Pengantar.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Abdul Fatah, Rohadi. 2004. Sosiologi Agama. Jakarta: Titian
Kencana Mandiri
Fazlur Rahman. 1985. Islam dan Modernitas: tentang Transformasi Intelektual,
Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka.
Mark Juergensmeyer. 2002. Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan
Global Kekerasan Agama. Jakarta: Nizam Press.
Wilson, B.R. 1983. Agama di Dalam Mayarakat Sekuler. dalam
Roland Robertson (ed), Sosiologi Agama, terj. Paul Rosyadi. Jakarta:
Aksara Persada.
[1] Soerjono,
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1982), hlm.199
[2] Ibid.
[3]Nurcholish
Madjid. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), hlm.
216
[4]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), edisi kedua, hlm. 894
[5]Muhammad
al-Naquib al-Attas. Dilema Kaum Muslimin, terj. Anwar Wahdi Hasi dan
H.M. Mukhtar Zoemi. (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 14
[6]Harun Nasution.Islam
Rasional (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 188
[7]Nurcholish
Madjid. Op. Cit., hlm. 218 dan 257.
[8]Yusuf Qardhawi.
Sekuler Ekstrim. Terj. Daat Nuhani
Idris. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), hlm. 2
[9]Nurchalish
Madjid. Op. Cit, hlm. 219
[10]Muhammad
Arkoun. Islam Modernitas (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 78
[11] Soerjono
Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar (Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2002), hlm. 398
[12] Rohadi Abdul
Fatah, Sosiologi Agama (Jakarta: Titian Kencana Mandiri, 2004), hlm.102
[13] Ibid.
hlm. 134
[14]Fazlur Rahman. Islam
dan Modernitas: tentang transformasi Intelektual, Terj. Ahsin Muhammad.
(Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 16
[16]Mark Juergensmeyer.
Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan
Global Kekerasan Agama (Jakarta: Nizam Press, 2002), hlm. 36-37.
[17]Nurcholish
Madjid. Op. Cit., hlm. 258
[18] B.R.Wilson, Agama
di Dalam Mayarakat Sekuler, dalam Roland Robertson (ed), Sosiologi Agama,
terj. Paul Rosyadi (Jakarta : Aksara Persada, 1983), hlm. 177
[19]Mark
Juergensmeyer. Op. Cit., hlm. 40
[20] Ibid.,
hlm. 303
[21] Ibid.,
hlm.305
mas izin copy ya?
ReplyDeleteتفضلى
Delete