BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Peran agama dalam kehidupan sosial tidak akan pernah lepas dari
kehidupan manusia. Di mana tatanan kehidupan tersebut memiliki hubungan satu
dengan yang lainnya. Selain itu agama pulalah memberikan kepada manusia agar
menjalankan kehidupan sosialnya sesuai dengan norma yang berlaku dalam setiap
negara yang telah diatur baik secara tertulis berupa atauran-aturan yang dibuat
dalam pemerintahan.
Sehingga
agama nantinya memberikan harapan kepada kehidupan sosial dengan terjadinya
perdamaian di antar umat manusia. Oleh karena itu agama dalam lingkup sosioolgi
tidak bisa lepas dari ideologi, budaya, serta politik. Karena ketiga hal itulah
yang membangun paradigma masyarakat serta melakukan tindakan sesuai norma yang
berlaku yang terdapat di suatu negara. Pentingnya mengetahui hubungan antara
agama dengan ideologi, budaya dan politik inilah, maka perlu dibahas dalam
makalah ini hubungan agama dengan ideologi, budaya dan politik.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
hubungan agama dengan ideologi?
2.
Bagaimana
hubungan agama dengan budaya?
3.
Bagaimana
hubungan agama dengan politik?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui hubungan agama dengan ideologi
2.
Untuk
mengetahui hubungan agama dengan budaya
3.
Untuk
mengetahui hubungan agama dengan politik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan Agama dengan Ideologi
Bagaimanakah peranan agama dalam
menentukan sebuah ideologi sebuah negara? Apakah agama benar-benar menjadi
suatu dasar landasan dalam membuat suatu aturan bagi sebuah negara? Nah, inilah
beberapa pertanyaan yang menjadi pertanyaan besar bagi kita, khususnya di
negara kita yang mayoritas islam.
Pada hakikatnya pemikiran mendasar
tentang kehidupan adalah pemikiran menyeluruh (fikrul kulliyah) tentang alam
semesta, manusia, kehidupan, dan tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia
dan sesudah kehidupan dunia serta hubungan antara kehidupan dunia dan
sesudahnya.[1]
Oleh karena itu, pembahasan hubungan agama dan negara harus berdasar pada hal
tersebut sebagai pemikiran cabang yang lahir dari pemikiran mendasar tersebut.
Berikut ini adalah Ideologi-ideologi yang ada didunia yang digunakan sebagai
dasar negara.
1.Ideologi Materialisme
Ideologi materialisme (Al Maaddiyah) menyatakan bahwa segala
sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada Tuhan, tidak ada ruh, atau
aspek-aspek kegaiban lainnya. Materilah asal usul segala sesuatu. Materi
merupakan dasar eksistensi segala macam pemikiran (Ghanim Abduh, 1964). Atas dasar paham materialisme itu,
dengan sendirinya agama tidak mempunyai tempat dalam sosialisme. Sebab agama
berpangkal pada pangkuan eksistensi Tuhan, yang jelas-jelas diingkari oleh
materialisme. Bahkan agama dalam pandangan kaum sosialis-matrealis hanyalah
ciptaan manusia yang tertindas dan merupakan candu yang membius rakyat yang
harus dimusnahkan dari muka bumi (lihat Karl Heinrich Marx, Contribution to the
critique of Hegel Philosophi of right).
2.Ideologi Kapitalisme
Ideologi kapitalisme adalah pemisahan agama dari kehidupan
(fashluddin ‘anil hayah), atau sekularisme. Paham ini tidak menafikan agama
secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan.
Keberadaan agama memang diakui walaupun hanya sebagai formalitas, namun agama
tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial,
budaya dan sebagainya. Agama hanya mengatur hubungan antara manusia dengan
tuhannya sedangkan untuk hubungan antara manusia itu diatur oleh manusia itu
sendiri Zallum, 1993).
Berdasarkan paham kapitalisme, formulasi hubungan antara agama-negara dapat disebut dengan hubungan yang separatif, yaitu suatu pandangan yang berusaha memisahkan agama dari aspek kehidupan. Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dengan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia.
Berdasarkan paham kapitalisme, formulasi hubungan antara agama-negara dapat disebut dengan hubungan yang separatif, yaitu suatu pandangan yang berusaha memisahkan agama dari aspek kehidupan. Agama hanya berlaku dalam hubungan secara individual antara manusia dengan tuhannya, atau berlaku secara amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia.
3.Aqidah Islamiyah
Aqidah islamiyah adalah iman kepada Allah SWT, para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari akhir dan Taqdir (Qadar)
Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi islam yang darinya terlahir berbagai
pemikiran dan hukum islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah islamiyah
menetapkan bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap hukum
syara’, yang cakupannya adalah segala aspek kehidupan, dan bahwa pengingkaran
sebahagian saja dari hukum islam (yang terwujud dalam sekulerisme) adalah suatu
kebatilan dan kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman :
xsùy7În/uurwcqãYÏB÷sã4Ó®Lymx8qßJÅj3ysã$yJÏùtyfx©óOßgoY÷t/§NèOw(#rßÅgsþÎûöNÎhÅ¡àÿRr&%[`tym$£JÏiB|MøÒs%(#qßJÏk=|¡çur$VJÎ=ó¡n@ÇÏÎÈ
Artinya:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[2]
`tBuróO©9Oä3øts!$yJÎ/tAtRr&ª!$#y7Í´¯»s9'ré'sùãNèdtbrãÏÿ»s3ø9$#ÇÍÍÈ
Artinya:
“Barangsiapa yang tidak memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”[3]
Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum islam tanpa
kecuali harus diterapkan kepada manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau
Aqidah Islamiyah. Dan karena hukum-hukum islam ini tidak dapat diterapkan
secara sempurna kecuali dengan adanya institusi negara, maka keberadaan negara
dalam islam adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan
agama-negara dalam pandangan islam dapat diistilahkan sebagai hubungan yang
positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan
secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan
menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama. Agama tak dapat
dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara
yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur
kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Imam Al Ghazali dalam kitabnya AL Iqtishad fil I’tiqad
halaman 199 berkata :“Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah
dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan
kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan
roboh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga nicaya akan hilang lenyap.”
Begitu pula dengan Ibnu Taimiyah juga dalam Majmu’ul Fatawa juz 28 halaman 394
menyatakan :“Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari
kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.”
2.2 Hubungan Agama dengan Budaya
1.
Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sanserkerta yang terdiri dari dua
perkataan yaitu A dan Gama. A berarti tidak, Gama berarti kacau.[4]
Kedua kata itu kalau digabung berarti tidak kacau. Hal ini mengandung
pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia
agar tidak kacau. Menurut inti maknanya yang khusus, kata agama dapat disamakan
dengan kata religion dalam bahasa Inggris, religie dalam bahasa
Belanda-keduanya berasal dari bahasa Latin, religio, dari akar kata religare
yang berarti mengikat.[5]
Agama itu timbul
sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius
yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu manusia
tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk
merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti
melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan
yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata
Al-Din yang berarti agama adalah bersifat umum. Artinya, tidak ditunjukkan
kepada salah satu agama; ialah nama untuk kepercayaan yang ada di dunia ini.[6]
Seperti yang dimaksudkan dalam surat Al-Kafirun ayat 7. Pengertian agama
menurut Mukti Ali, agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa
dan hukum yang diwahyukan kepada
utusan-utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Adapun agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala sosial yang
umum dam dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa kecuali.
Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial
suatu masyarakat.[7]
Agama juga dapat dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat di
samping unsur-unsur yang lain, seperti kesenian, bahasa, sistem mata
pencaharian, sistem peralatan, dari sistem organisasi sosial.
2.
Pengertian Budaya
Menurut Koentjaraningrat, kata kebudayaan berasal dari kata
Sanserkerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau
“akal”. Maka kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal.
Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang
berarti “ daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang berarti “daya
dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa dengan “kebudayaan” yang berarti
hasil dari cipta, karsa dan rasa. Dalam arti disiplin ilmu antropologi budaya,
kebudayaan dan budaya itu artinya sama saja.[8]
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing
yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata Latin colore.
Artinya mengolah atau mengerjakan. Adapun menerut E,B Tylor kebudayaan adalah
komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat
oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Jadi kebudayaan merupakan hasil yang diperoleh masyarakat melalui
beberapa kebiasaan yang ada dalam lingkungkan masyarakat. Di mana budaya
menyatu dengan sisi yang lain sebagai akibat adanya pengetahuan dan kepercayaan
yang di anut dalam membuat sistem kehidupan sosial. Sehingga kebudayaan yang
dipercayai oleh suatu masyarakat itu memiliki ke khasan di setiap tindakan
sosial yang terwujudkan dengan adanya nilai-nilai sosial.
Namun manusia sebenarnya mempunyai dua segi dalam kehidupannya
yakni segi materiil dan segi spriritual. Segi materiil mengandung karya, yaitu
kemampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda maupun lainnya yang berwujud
benda. Sedangkan segi spiritual manusia mengandung cipta yang menghasilkan ilmu
pengetahuan, karsa yang menghasilkan kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan,
dan hukum, serta rasa yang menghasilkan keindahan. Manusia pada dasarnya
berusaha untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan menyerasikan diri terhadap
perilaku kaidah-kaidah melalui etika serta mendapatkan keindahan melalui
estetika.
3.
Agama dengan Budaya
Kebudayaan bukan hanya tatanilai atau suatu suprastruktur yang
merupakan cerminan dari infrastruktrur. Kebudayaan merupakan totalitas dari
obyek (kebudayaan “intelektual”) yang didukung oleh subjek (individu, kelompok,
kelas, sektor-sektor masyarakat). Oleh karena itu ada keanekaragaman budaya;
dapat konfrontasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya dan dominasi
satu kebudayaan terhadap kebudayaan lainnya. Cf. P. Ricoeur membedakan beberapa
lapis budaya:[9]
1.
Lapisan
pertama adalah alat-alat, yaitu segala sesuatu yang diciptakan manusia untuk
mencapai tujuan yang dikehendaki, termasuk segala bentuk teknologi dari yang
sederhana sampai yang canggih, dan ilmu pengetahuan. Kebudayaan dalam lapis ini
bersifat komulatif dan dapat dialihkan dari satu masyarkat kepada masyarakat
lainnya.
2.
Lapis
kedua adalah etos masyarakat, yaitu kompleks kebiasaan, sikap-sikap terhadap
masa lampau, alam dan kerja.
3.
Lapis
ketika adalah inti, hati atau menurut Dussel adalah inti-etiko-mistis dari
suatu kebudayaan, yaitu pemahaman diri masyarakat, cara bagaimana masyarakat
menafsirkan dirinya, sejarahnya, tujuan-tujuannya. Tanpa inti ini, suatu
kebudayaan, tidak memiliki kesatuan atau integritas.
Lapisan-lapisan
itu bukan merupakan susunan yang statis, tetapi ada interaksi antara
lapis-lapis itu, antara budaya yang satu dengan yang lainnya. Karena plapisan
ini memiliki hubungan antar lapisan satu dengan yang lapisan lainnya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan
yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan
masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang
pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan
kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan
keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan
membayangkan Tuhan.[10]
Lebih tegas dikatakan
Geertz, bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia
yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok
individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja
menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran,
bangunan.[11]
Dapatlah disimpulkan
bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan
kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi
dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan
beberapa kondisi yang objektif.
Mengenai hubungan agama
dengan kebudayaan, seorang ahli agama Prof. G. Van der Leeuw melihat ada empat
tingkat dalam hubungan antara agama atau agama-agama dengan kebudayaan. Yaitu
(1) agama dan kebudayaan menyatu (2) agama dan kebudayaan mulai renggang (3)
agama dan kebudayaan terpisah bahkan saling bertentang, seperti yang terdapat
dalam sekularisme (4) hubungan antara agama dengan kebudayaan dipulihkan
kembali atas landasan yang baru.
Dengan demikian menjadi
jelas bahwa hubungan antara agama atau agama-agama dengan kebudayaan tidak
bersifat statis, tetapi berkembang secara dinamis dalam sejarah.
Sebelum tahun 1908 ada
beberapa lapisan yang hubungannya dengan mengambangkan kehidupan nasional dan
modren dalam agama dan kebudayaan nasional. Lapisan pertama yakni Indonesia
asli, mengandung persamaan pokok juga memperlihatkan perbedaan-perbedaan di
berbagai daerah, merupakan lapisan keagamaan dan kebudayaan tertua, yang
menaruh pengaruhnya masih tetap
dirasakan di seluruh tanah air.
Lapisan kedua berupa
pengaruh kebudayaan dan keagamaan Hindu dan Budha yang berasal dari India,
telah mentransformasikan kehidupan kebudayaan dan keagamaan sejak awal tarikh
Masehi di pulau Jawa dan Bali. Tercemin dengan banyaknya nama-nama yang terdapat di kedua pulau tersebut,
seperti Subroto, Sukarno,Wibisono, dan seterusnya.
Lapis keagamaan dan
kebudayaan yang tiba dengan agama Islam telah mentransformasikan kehidupan
keagamaan dan kebudayaan di beberapa daerah, seperti tercermin dalam nama-nama
yang terdapat di Aceh,Minangkabau dan beberapa daerah yang lain. Di pulau Jawa
banyak nama-nama yang mencerminkan perpaduan antara pengaruh Islam dan pengaruh
pra-Islam, seperti Jusuf Wibisono serta nama-nama universitas Islam misalnya
IAIN Sunan Kalijaga.
Proklamasi Kemerdekaan
dan Pancasila (1945)
Pancasila merupakan
suatu usaha untuk merangkum semua aspirasi dan kekuatan yang telah muncul di
atas pentas politik, keagamaan dan kebudayaan sejak tahun 1908 dengan menolak
pilihan antara “ini” atau “itu”.
Kerangka konsep
kenegaraan yang baru dan modern itulah semboyan yang lama “Bhineka Tunggal Ika”
telah dihidupkan kembali. Pendekatan itu mencakup tugas penting yang mempunyai
dua segi, yaitu (1) mengembnagkan secara inovatif dan kreatif isi dan negara
Pancasila yang mengatasi pertentangan-pertentangan antara negara agama dan
negara sekuler (2) mengembangkan pemikiran kreatif untuk menempatkan
aspirasi-aspirasi dan kekuatan-kekuatan yang mula-mula saling bertentangan
menjadi bagian-bagian yang serasi dalam kerangka negara Pancasila.
Pada pihak lain
Pancasila berakar kepada warisan kebudayaan dan keagamaan bangsa kita. Warisan
itu terus mengalami perubahan dinamis dalam kerangka proses perubahan atau
transformasi kemasyarakatan dan kebudayaan menuju Indonesia yang modern, adil,
makmur, dan lestari berdasarkan pancasila.
4. Agama dan Budaya Indonesia
Jika kita teliti budaya
Indonesia, maka tidak dapat tidak budaya itu terdiri dari 5 lapisan.
Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen.[12]
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki
ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada
atau lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah
Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan
ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat
solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka
berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi bangsa
Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai
kekeluargaan yang sangat luhur.
Lapisan kedua adalah Hinduisme, yang telah
meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu
dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari
penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu
diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.
Lapisan ketiga adalah agama Buddha, yang telah
mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan
itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan
keutamaan.
Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah
menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan
melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana
yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi
munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang
disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik
maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar
manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan
sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitukasih tanpa syarat. Kasih bukan
suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan
sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah
mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan
terhadap orang miskin.
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di
Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa
memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Di samping pengembangan budaya immaterial tersebut
agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti
candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu
dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang
budaya Islam antara lain tdlah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah
Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda
dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu
menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has
Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus
di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam dan Hindu. Masjid
Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan
mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau
(Philipus Tule 1994:159).
Kenyataan adanya legacy tersebut membuktikan bahwa
agama-agama di Indonesia telah membuat manusia makin berbudaya sedang budaya
adalah usaha manusia untuk menjadi manusia.
2.3 Hubungan Agama dengan Politik
1.
Pengertian Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang
berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polities
yang berarti warga negara, politea yang berarti berhubungan dengan negara,
politika yang berarti pemerintahan negara, dan politikos yang berarti
kewarganegaraan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam
suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari
sistem tersebut dan bagaimana melaksanakannya. Negara adalah suatu organisasi
dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah
dan ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan yaitu kemmpuan seseorang atau
kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan
keinginan dari perilaku.
2.
Hubungan Agama dengan Politik
Hubungan agama dengan politik tidak dapat dipisahkan. Dapat
dikatakan bahwa politik berubah dari hasil pemikiran agama agar tercipta
kehidupan yang harmonis dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini disebabkan, pertama oleh sikap dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas
manusia tidak terkecuali politik harus dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua,
disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan manusia yang paling banyak membutuhkan
legimitasi adlah bidang politik, dan hanya agamalah yang dipercayai mampu
memberikan legimitasi yang paling menyakinkan karena sifat dan sumbernya yang
transcendent.
Agama secara hakiki berhubungan dengan politik. Kepercayaan agama
dpat mempengaruhi hukum, perbuatan yang oleh rakyat dianggap dosa, seperti
sodomi dan incest, sering tidak legal. Seringkali agamalah yang memberi
legimitasi kepada pemerintah. Agama sangat melekat dalam kehidupan rakyat dan
masyarakat industri maupun nonindustri, sehingga kehadirannya tidak mungkin
tidak terasa di bidang politik. Sedikit atau banyak, sejumlah pemerintahan di
seluruh dunia menggunakan agama untuk memberi legimitasi pada kekuasaan
politik.
Di dalam sejarah Islam, masuknya faktor agama (teologi) ke dalam
politik muncul ke permukaan dengan jelas menjelang berdirinya dinasti Umayyah.
Hal ini terjadi sejak perang Shiffin pada tahun 657, suatu perang saudara yang
melibatkan khalifah Ali bin Abi Thalib dan pasukannya melawan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, gubenur Syiria yang mmepunyai hubungan keluarga dengan ‘Utsman, bersama
dengan tentaranya. Peristiwa ini kemudian melahirkan tiga golongan umat Islam,
yang masing-masing dikenal dengan nama
Khawarij, Shi’ah, dan Sunni.
Dapat terlihat bahwa pemikiran atau tindakan politik itu tidak bisa
terlepas dari kepercayaan keagamaan. Hal ini disebabkan, perta,a, oleh sikap
dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia, tidak terkecuali politik, harus
dijiwai oleh ajarn-ajaran agama; kedua, disebabkan olehn fakta bahwa kegiatan
manusia yang paling banyak membutuhkan legimitasi adalah bidang politik., dan
hanyalah agamalah yang dipercayai mampu memberikan legimitasi yang paling
menyakinkan karena sifat dan sumbernya yang trancendent. Sebaliknya,
kepercayaan agama bisa juga dipengaruhin oleh pertimbangan-pertimbangan
politik. Untuk tarap kenegaraan, hal ini bisa dilihat pada sikap penguasa
bani Umayyah, yang mendukung doktrin
jabariyyah untuk memperoleh ketaatan penuh dari rakyat. Pada masa sekarang,
ajaran-ajearan teologis yang mendukung tumbuhnya toleransi di kalangan umat
beragama, dan dari sini diharapkan terciptanya kerukunan dan ketrentraman di
dalam suatu masyarakat atau negara, mendapat dukungan kuat dari pemerintah. Untuk
skala individu, hal ini antara lain bisa dilihat pada kasus-kasus orang-orang
yang mendukung suatu doktrin agama yang tadinya ia tentang, atau orang-orang
yang tersedia mengganti keaggotaannya dalam suatu organisasi keagamaan demi
kedudukan politik yang dia senangi. Dan memeang pengguna dan penyalahgunaan
agama adalah suatu yang inherent dalam seluruh pemeluk agama di sepanjang
sejarah umat manusia.
3.
Pengaruh
Hubungan Politik dan Agama
Dalam kehidupan bernegara, bidang politik sangat diperlukan. Namun
semua ilmu yang berhubungan dengan politik tidak dapat dipisahkan dengan ilmu
dan konsep agama yang telah ada. Pada agama suatu kalimat yang membuat dan
merupakan konsep awal politik yaitu :Allah mememrintahkan kepada manusia untuk
mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi
(6: 151), jadi Allah melarang perbuatan jelek, perbuatan jahat dan
ketidakadilan.
Ini dapat diartikan bahwa semua ilmu politik merupakan bentuk nyata
dari penggunaan agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh
dalam ilmu politik terdapat pemilihan pemimpin berdasarkan demokrasi, konsdp
itu didapat dari ilmu agama yang tidak menginginkan adanya perpecahan para
pejabat yang akan menyengsarakan rakyat. Dan masih banyak lagi merupakan konsep
dalam agama dan diadaptasi serta dijadikan politik dalam berbangsa dan
bernegara.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Hubungan
agama dengan ideologi ada tiga yakni, pertama. Ideologi materialisme (Al Maaddiyah)
menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada
Tuhan, tidak ada ruh, atau aspek-aspek kegaiban lainnya. Materilah asal usul
segala sesuatu. Dasar paham materialisme itu, dengan sendirinya agama tidak
mempunyai tempat dalam sosialisme. Kedua, Ideologi kapitalisme adalah pemisahan
agama dari kehidupan (fashluddin ‘anil hayah), atau sekularisme. Paham ini
tidak menafikan agama secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam
mengatur kehidupan. Ketiga, Aqidah islamiyah adalah iman kepada Allah SWT, para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari akhir dan Taqdir (Qadar)
Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi islam yang darinya terlahir berbagai
pemikiran dan hukum islam yang mengatur kehidupan manusia.
2.
Hubungan agama dengan
kebudayaan, seorang ahli agama Prof. G. Van der Leeuw melihat ada empat tingkat
dalam hubungan antara agama atau agama-agama dengan kebudayaan. Yaitu (1) agama
dan kebudayaan menyatu (2) agama dan kebudayaan mulai renggang (3) agama dan
kebudayaan terpisah bahkan saling bertentang, seperti yang terdapat dalam
sekularisme (4) hubungan antara agama dengan kebudayaan dipulihkan kembali atas
landasan yang baru.
3.
Hubungan agama dengan
politik yakni, politik berubah
dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmonis dan tentram
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan, pertama oleh sikap
dan keyakinan bahwa seluruh aktifitas manusia tidak terkecuali politik harus
dijiwai oleh ajaran-ajaran agama; kedua, disebabkan oleh fakta bahwa kegiatan
manusia yang paling banyak membutuhkan legimitasi adlah bidang politik, dan
hanya agamalah yang dipercayai mampu memberikan legimitasi yang paling
menyakinkan karena sifat dan sumbernya yang transcendent
DAFTAR RUJUKAN
Bashori.
2002. Ilmu Perbandingan Agama (Suatu Pengantar). Malang: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malang.
Kahmad, Dadang. 2002. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Soelaeman, Munandar. 2007. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT
Refika Aditama.
Musa
Asy’arie, dkk. 1988. Agama, Kebudayaan dan Pembangunan Menyongsong Era
Idustrialisasi. Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS.
Wach, Jajachim. 1984. Ilmu Perbandingan agama, Jakarta : CV
Rajawali.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan & Agama. Yogyakarta:
Kanisius.
Andito.
1998. Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik. Bandung:
Pustaka Hidayah.
[1]
An-Nabhani 1953
[2] Q.S
An-Nisa’ ayat 65
[3] Q.S
Al-Maidah ayat 44
[4] Bashori. 2002. Ilmu
Perbandingan Agama (Suatu Pengantar). Malang: Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Malang. Hlm. 22
[5] Dadang Kahmad.
2002. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hlm 13
[6] Ibid,
hlm. 13
[7] Ibid,
hlm. 14
[8] Munandar
Soelaeman. 2007. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT Refika Aditama. Hlm. 22
[9] Musa Asy’arie,
dkk. 1988. Agama, Kebudayaan dan Pembangunan Menyongsong Era Idustrialisasi.
Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS. Hlm. 24
[11] Clifford
Geertz. 1992. Kebudayaan & Agama. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 13
[12] Andito. 1998. Atas
Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik. Bandung: Pustaka
Hidayah. Hlm. 77-79
No comments:
Post a Comment